Thursday, March 27, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (25)

25. Ziarah Di Makkah


Alangkah bersyukurnya saya kepada Allah SWT karena kami semua sudah menuntaskan rangkaian ibadah haji. Dengan selesainya anak saya yang paling tua melaksanakan thawaf, sa’i dan bertahallul kemarin sore, semua sudah menyelesaikan rukun haji dengan selamat. Kami serahkan kepada Allah semua amalan haji ini karena hanya Allah semata yang akan menilai dan memberi ganjaran. Mudah-mudahan Allah menerima dan ridha dengan amalan kami ini. Mudah-mudahan Allah mengampuni kekeliruan kami dalam melaksanakannya, mudah-mudahan Allah memaafkan kekurangan-kekurangannya. Saya juga bersyukur karena kesehatan saya dan istri saya terutama semakin baik meski batuk masih ada. Begitu pula dengan anak-anak, semua kebagian batuk tapi alhamdulillah tidak separah batuk kami.

Hari Ahad tanggal 8 Februari atau tanggal 17 Zulhijjah. Ada acara ziarah ke tempat-tempat khusus di sekitar Makkah yang memang sudah diprogram oleh penyelenggara. Berangkat jam setengah sembilan pagi dari depan hotel, mula-mula kami menuju ke arah jabal Tsur. Untuk melihat dari jauh bukit batu cadas yang menjulang cukup tinggi. Taksiran saya tingginya sekitar empat sampai lima ratus meter dari tempat kami berdiri. Di atas bukit ini terdapat gua Tsur, tempat Rasulullah SAW berdua dengan Abu Bakar bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy sebelum beliau berangkat hijrah ke Yathrib. Di kejauhan kami lihat titik-titik putih, berbaris berliku-liku menuju puncak. Itu adalah para peziarah yang mendaki ke puncak gunung itu. Kata yang pernah mendaki untuk sampai ke gua Tsur diperlukan waktu dua sampai tiga jam. Hal ini disebabkan karena jalan yang ditempuh sempit, berbatu-batu, terjal dan berliku-liku. Dan biasanya mereka yang ingin mendaki harus berangkat lebih awal, yakni segera sesudah shalat subuh. Saya sendiri belum pernah mendakinya. Kali inipun kami hanya memandangnya dari kejauhan seperti ini saja.

Dari kaki jabal Tsur kami melanjutkan perjalanan ke Arafah. Melihat tempat kami wukuf delapan hari yang lalu. Bus kami berhenti dekat jabal Rahmah. Banyak sekali peziarah di sekitar ini. Sebagian naik ke puncak bukit yang tidak seberapa tinggi ini. Disinipun saya tidak berminat untuk ikut naik ke atas bukit. Kami hanya melihat saja dari hamparan tempat mobil-mobil dan bus-bus di parkir. Banyak onta dengan sekedup (tempat duduk di punggung onta) yang sudah dihiasi meriah dibawa oleh orang-orang Arab untuk para ‘wisatawan’ ini. Biasanya banyak yang ingin berpose di punggung onta dan berfoto-foto. Dan kebanyakan yang melakukannya adalah jamaah dari Indonesia. Si Bungsu memotokan, seorang Arab yang dari tadi mendekati kami menawarkan ontanya. Anak-anak sayapun minta izin untuk berpose diatas onta. Ketiga-tiganya. Saya izinkan mereka. Ya sudahlah, bagi mereka mungkin ini ada maknanya. Saya tanyakan kepada orang Arab itu apakah kami boleh menyewa onta saja. Dia setuju karena dia memang hanya menyewakan onta dan tidak merangkap jadi tukang foto kilat. Saya cukup heran waktu saya tanya berapa sewanya jika anak-anak saya bergantian naik ontanya dan dijawabnya sepuluh rial. Sesudah anak-anak bergantian naik onta itu berdua-berdua (tiga kali) saya bayar dia lima belas rial. Pemilik onta itu tersenyum.

Rombongan juga membuat foto bersama dengan spanduk PT penyelenggara dengan latar belakang jabal Rahmah. Barangkali ini untuk bahan iklan nantinya.

Dari jabal Rahmah, kami mampir ke mesjid Namira yang terletak di perbatasan Arafah. Sebagian mesjid ini terletak di Arafah. Mesjid ini biasanya yang disorot dan ditayangkan tv pada saat khotbah wukuf. Kami hanya mampir di luar saja karena mesjid itu ditutup. Saya sempat shalat dua rakaat di bagian luarnya itu. Berikutnya kami mampir ke Mina, melihat ketiga jumrah yang beberapa hari yang lalu dirubung ratus ribuan manusia. Tempat ini sekarang sepi. Dan sudah bersih kembali. Tenda tempat kami bermalam masih disana tentu saja. Tapi sekarang kosong melompong.

Dari Mina kami menuju ke gunung Hira. Melalui jalan yang disisinya masih terlihat tembok bekas ‘tali’ air. Pemandu kami mengatakan tali air itu dibangun oleh khalifah Harun Al Rasyid dari dinasti Abbasiyah. Saya khawatir pemandu kami keliru waktu dia mengatakan bahwa saluran air itu adalah untuk mengalirkan air zam-zam ke Baghdad.

Kami akhirnya sampai di kaki gunung Hira, yang diatasnya terdapat gua Hira, tempat Rasulullah SAW menerima wahyu pertama kali. Seperti di bukit Tsur disinipun banyak peziarah yang mendaki puncaknya. Mereka kelihatan bagai titik-titik putih saja dari tempat kami memandang. Perlu tenaga dan semangat khusus untuk naik ke atas sana. Saya sependapat dengan umumnya ustad- ustad yang tidak menganjurkan mendaki bukit-bukit ini karena tidak ada nilai ibadahnya dan beresiko pula. Yang dalam istilah ustad-ustad tersebut tidak ada sunnahnya dan tidak dilakukan oleh para sahabat nabi. Buat yang mendaki mungkin mereka ingin menghayati sejarahnya.

Itulah rangkaian kunjungan ‘wisata’ atau ziarah kami pagi itu. Menjelang jam sebelas kami sudah sampai kembali ke hotel. Masih ada satu lagi permintaan anak-anak saya sesudah kami turun dari bus. Jajan ayam tawaf dan roti Arab. Ayam yang dipanggang utuh, di grill sambil berputar otomatis. Dulu nenek mereka (ibu saya) yang memberi istilah ayam tawaf dan mereka menyukainya. Ya, biarlah hari ini kita seperti orang berdarmawisata.



*****

No comments: