Wednesday, October 27, 2010

MISIONARIS

MISIONARIS

Wanita muda itu bersirobok pandang lagi denganku. Ini adalah yang ke empat kali, kalau aku tidak salah, kami bertemu di dalam metro ini. Kali ini dia duduk di bangku diagonal berseberangan denganku. Sepertinya dia tersenyum kepadaku. Aku balas dengan senyuman pula. Melihat wanita yang warna kulitnya sama denganku memang menyuruhku untuk terlihat ramah kepadanya. Ingin juga aku menyapanya sekedar berbasa basi, tapi tentu tidak mungkin kulakukan dari jarak sejauh ini.

Ketika metro mendekati pemberhentian Lourmel, aku segera berdiri dari tempat dudukku dan memutar tubuhku menuju ke arah pintu, membelakangi wanita muda itu. Aku bergegas turun. Di luar gerbong metro udara terasa dingin sekali. Aku melilitkan syal ke leher dan menutupi sebahagian telinga. Aku melangkah cepat menuju ke luar, menuju ke tempat tinggalku di rue de Lourmel. Orang berduyun-duyun menaiki tangga untuk menyembul dari stasiun bawah tanah. Semua kedinginan. Semua tergopoh-gopoh. Memang begitu caranya di sini. Di Paris ini.

Lamat-lamat aku mendengar orang memanggil ‘monsieur – monsieur’ di belakangku. Tentu saja aku tidak menyangka bahwa panggilan itu ditujukan kepadaku, di tengah kerumunan sebegitu banyak orang. Sampai akhirnya si pemanggil itu menepuk pundakku. Aku menoleh dan ternyata si wanita muda di metro tadi. Dia berdua dengan seorang wanita lain berkulit putih.

Oui?!’ kataku dengan pandangan setengah tidak percaya.

‘Bolehkah kami minta waktu anda sebentar?’ tanyanya dengan bahasa Perancis yang fasih.

Sok benar wanita ini, pikirku dalam hati. Atau mungkin dia menjaga hati temannya yang wanita kulit putih itu sehingga dia berbahasa Perancis kepadaku? Ah, sesuka hatinyalah.

‘Ada apa? Apa yang bisa saya perbuat untuk anda?’ jawabku berbasa basi.

Tanganku seperti beku kedinginan. Aku meremas-remaskan kedua telapak tanganku menahan dingin. Di sebuah toko di depan sana terpampang pada sebuah running text informasi temperatur saat itu; satu derajad celcius.

‘Maukah anda kami ajak minum kopi di café itu? Disana kita berbicara sebentar? Disini dingin sekali,’ katanya. Mungkin memperhatikan keadaanku yang ‘mati’ kedinginan.

‘Kalian mau berbicara apa?’ tanyaku sambil setengah melotot kepada wanita muda berparas Solo itu.

‘Ayolah kita ke café itu,’ ajaknya lagi.

Aku menurut sambil bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan wanita muda ini sedang ada masalah dengan wanita kulit putih itu lalu ingin meminta bantuanku. Kami masuki café itu dan mengambil tempat duduk di bagian dalam. Wanita muda itu memesan tiga cangkir kopi.

‘Maaf, kalau kami mengganggu anda. Kami ingin berkenalan dengan anda,’ katanya sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

‘Anda orang Indonesia, kan? Kenapa dari tadi berbahasa Perancis terus? Ada apa sebenarnya?’ tanyaku dalam bahasa Indonesia.

Dia mengangkat alis matanya dan tersenyum.

‘Anda berbicara kepada saya?’ tanyanya lagi dalam bahasa Perancis.

‘Ya,’ kataku. ‘Anda bukan orang Indonesia?’ tambahku lagi.

‘Ah…. Bukan. Tentu anda mengira saya orang Indonesia,’ katanya tersenyum.

‘Anda……… orang Pilipina?’

‘Non plus…… Saya orang Madagaskar katanya.’

Aku terperangah. Aku langsung ingat guru sejarah di SMA dulu yang bercerita bahwa, ‘nenek moyangku orang pelaut, menempuh badai tiada takut,’ lalu nenek moyang kita itu berhanyut-hanyut sampai ke Madagaskar dengan rakit pohon kelapa. Inilah bukti keterangan sejarah pak guruku itu. Sekarang di depan mataku. Wanita muda yang aku sangka orang Solo, ternyata adalah orang Madagaskar.

‘Mais….. est-ce que vous êtes originaire de Madagascar?’

‘Ya…. Anda mengira saya orang Indonesia ?’ tanyanya tersenyum.

‘Kulit anda dengan kulit saya persis sama.’

‘Anda orang Indonesia rupanya. Saya menyangka anda orang Jepang,’ katanya.

‘Ya sudahlah….. Apa maksud anda? Apa yang anda perlukan dari saya?’

‘Baiklah….. Agar anda tidak penasaran…. Kami ingin menyampaikan pesan kepada anda. Mudah-mudahan anda berkenan mendengarnya.’

‘Pesan? Pesan apa?’

‘Baik…. Saya mulai. Saya ingin bertanya. Apakah anda seorang yang beragama?’

Waaaw.. Aku mulai bisa menebak.

‘Ya. Saya beragama,’ jawabku pendek.

‘Anda bukan seorang Kristen?’

‘Malheureusement non. Pourquoi?’

‘Oui…. Malheureusement non. Pasti anda akan tertarik kalau anda saya tunjukkan jalan yang menuju keselamatan.’

Aku tersenyum. Bersobok lawan aku rupanya, kataku dalam hati.

‘Jalan apa itu maksud anda ?’ tanyaku.

‘Jalan juru selamat. Ikutilah, anda pasti selamat.’

‘Bagaimana kalau anda berdua saya ajak untuk berbicara di tempat tinggal saya saja ? Mungkin di tempat ini kita kurang leluasa untuk bercerita panjang,’ ajakku.

Wanita muda Madagaskar berwajah Solo itu tersenyum sumringah. Mungkin dalam hatinya dia berkeyakinan bahwa kailnya sudah dimakan ikan pancingannya.

‘Seandainya hal itu tidak mengganggu anda, kami akan sangat bersenang hati. Anda tinggal di mana ?’ tanyanya.

‘Tidak akan mengganggu. Lagi pula saya sudah ditunggu istri saya. Ayolah kita ke tempat saya,’ ajakku.

Kami tinggalkan café itu, menuju ke apartemenku di rue de Lourmel.

‘Anda tinggal dekat sini?’ tanya wanita berkulit putih. Baru sekali itu suaranya terdengar.

‘Ya,’ jawabku. ‘Di bangunan di depan itu,’ aku menunjuk ke bangunan beberapa puluh meter di hadapan kami.

Aku persilahkan kedua wanita itu masuk ke apartemen kecil kami. Istriku sedikit terheran-heran melihat mereka.

‘Sebelum kita lanjutkan pembicaraan tadi, saya minta izin untuk beberapa saat. Mungkin sekitar sepuluh menit. Mudah-mudahan anda tidak keberatan.’

‘Pasti tidak. Terima kasih, anda telah baik hati sekali mengajak mampir. Silahkan anda melakukan keperluan anda. Biar kami tunggu,’ kata wanita kulit putih, yang tiba-tiba sekarang jadi banyak bicara.

Apartemen kami itu kecil. Hanya ada satu kamar tidur, lalu ruangan tamu yang sempit dan dapur merangkap ruangan makan. Di ruang terakhir ini biasanya kami shalat berjamaah. Aku memberi isyarat kepada istriku untuk mengerjakan shalat isya.

Kami shalat isya berjamah. Dengan bacaan dijahar tentu saja. Sesudah shalat dan berzikir barulah aku menghampiri mereka.

‘Sebelumnya, walaupun kita belum saling kenal, tapi saya ingin memberitahu anda bahwa ini istri saya.’

Istri saya menyalami kedua wanita itu.

‘Lalu….., silahkanlah lanjutkan cerita anda tadi.’

‘Jadi….. Anda orang Islam ?’ tanya wanita kulit putih.

‘Ya…. Saya beragama Islam.’

‘Bon…. Tidak apa-apa….. Kami ini dari gereja Hati Kudus. Kami ingin mengajak anda untuk mengikuti juru selamat. Dia yang menyelamatkan umat manusia semuanya….’ Si wanita kulit putih agak terbata-bata.

‘Siapa itu juru selamat anda?’

‘Jesus. Dia yang mati di tiang salib untuk menyelamatkan semua manusia dari hukuman atas dosa-dosa mereka,’ giliran si wanita Madagaskar berbicara.

‘Begini…… Pertama, saya sudah mempunyai ‘juru selamat’ saya sendiri. Dia adalah Allah, Sang Maha Pencipta alam raya ini. Dia yang menciptakan bumi yang kita huni sebagaimana juga Dia yang menciptakan matahari, bulan dan bermilyar-milyar bintang……’

‘Ya….. itulah Tuhan. Dan Tuhan itu mengutus anak Nya yang tunggal untuk menyelamatkan semua manusia. Kita tidak akan sampai ke rumah Tuhan kalau tidak melalui anak Nya itu,’ kata wanita kulit putih memotong pembicaraanku.

‘Saya tidak percaya. Bagaimana dia akan menyelamatkan manusia sementara dia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri?’

‘Dia tidak mau menyelamatkan dirinya karena dia mengorbankan dirinya untuk keselamatan manusia.’

‘Siapa yang mengatakan itu? Yang mengatakan bahwa dia membiarkan dirinya disalibkan orang untuk menyelamatkan manusia?’

‘Dia sendiri yang mengatakan.’

‘Anda punya bukti bahwa itu kata-katanya sendiri? Bahwa dia mengatakan dirinya disalib untuk keselamatan manusia? Apa bukan dia malahan merintih memanggil Tuhan dan protes kenapa Tuhan meninggalkan dia? Apa bukan dia yang mengatakan Eli..Eli Lama sabakhtani ?’

‘Anda tahu itu ?’

‘Ya saya tahu itu.’

‘Tapi dia adalah juru selamat……’

‘Tidak…. Dia adalah seorang nabi utusan Tuhan. Nabi Allah. Dia mengajak manusia, khususnya Bani Israel agar menyembah Allah. Allah Yang Maha Satu. Yang tidak ada Tuhan selain dari Dia. Yang tidak ada yang setara dengan Nya.’

‘Anda pernah mendengar tentang Jesus?’

‘Kami menyebutnya Nabi Isa. Dia seorang di antara nabi-nabi utusan Allah.’

‘Dia anak Tuhan. Dia lahir dari seorang perawan suci yang tidak bersuami.’

‘Dia bukan anak Tuhan. Dia adalah manusia biasa, makhluk ciptaan Tuhan. Ciptaan Allah.’

‘Dia bukan manusia biasa. Dia terlahir dari seorang wanita. Wanita suci yang tidak pernah disentuh manusia.’

‘Ya…. Wanita itu Maryam, seorang wanita tidak bersuami. Lalu Allah, Tuhan yang Maha Pencipta meniupkan ruh ke dalam rahimnya, sehingga dia mengandung kemudian melahirkan Isa. Kami juga menyebutnya sebagai Isa putera Maryam.’

‘Dia bukan manusia biasa. Dia anak Tuhan, diutus Tuhan untuk menyelamatkan anak-anak manusia yang berdosa.’

‘Terserah anda mau menyebutnya seperti itu. Tapi bagi kami orang Islam, Isa putera Maryam adalah seorang utusan Allah untuk Bani Israel. Kelahirannya tanpa ayah adalah hal yang mudah bagi Allah Yang Maha Pencipta. Sebagaimana mudahnya bagi Allah menciptakan Adam yang tidak punya ayah dan ibu.’

‘Jadi anda tidak mempercayainya sebagai juru selamat ?’

‘Dia seorang utusan Allah, dikhususkan untuk Bani Israel. Anda menyebutnya untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang dari anak-anak Israel. Begitu kan?’

‘Dari mana anda tahu ?’

‘Saya membaca juga kitab anda sedikit-sedikit.’

‘Jadi anda mempunyai penyelamat sendiri? Anda yakin bahwa dia akan menyelamatkan anda? Tanpa bantuan sang juru selamat?’

‘Ya… Penyelamat dan penolong saya adalah Allah. Saya tidak memerlukan juru selamat selain Dia’

‘Maaf…. Tadi… Sebelum ini apa yang anda kerjakan berdua dengan istri anda?’

‘Kami mengerjakan shalat. Kami menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta.’

‘Dimana Tuhan anda itu berada?‘

'Dia berada di tempat Nya. Yang tidak dapat dilihat oleh mata. Tapi Dia Maha Melihat. Dia menyaksikan dan mendengar apa yang sedang kita perbincangkan saat ini karena Dia Maha Mendengar.’

‘Pernahkah anda berjumpa dengan Nya ?’

‘Tidak pernah. Karena Dia tidak terjangkau oleh panca indera kita.’

‘Baiklah…… Kalau begitu…….. Karena anda sudah mempunyai penyelamat anda sendiri…. Mungkin kami tidak perlu lagi meneruskan…..’

‘Terserah anda.’

‘Maaf, kami telah mengganggu anda. Biarlah kami mohon diri kalau begitu…’

Kedua wanita itu meninggalkan apartemen kami.

‘Siapa mereka? Kenal di mana dengan mereka?’ tanya istriku setelah mereka pergi.’

‘Kan kamu dengar sendiri tadi siapa mereka. Tadi aku disamperi setelah keluar dari metro. Mula-mula diajak ke café. Setelah itu aku ajak sekalian ke sini,’ jawabku menjelaskan.


*****

Monday, October 25, 2010

GEMPA

GEMPA

Jam sembilan pagi. Matahari bersinar cerah mengusir embun dan udara dingin. Sinar matahari itu terasa enak menghangatkan badan. Malin Marajo, petugas mesjid sedang membersihkan kolam besar di belakang mesjid. Mengais dan membuang kumpulan kalayau sendok atau enceng gondok kata orang di Jawa. Kalau tidak segera dikeluarkan tumbuhan itu akan berkembang biak dengan cepat menutupi permukaan kolam dan pada gilirannya akan mengganggu kehidupan ikan-ikan di dalam kolam. Ikan mas, mujair dan gurame. Ikan-ikan yang merupakan cadangan dana mesjid. Kalayau sendok itu ikut masuk kolam bersama air bandar, entah dari mana asalnya.

Kak Zahara, seorang pedagang beras bersiap-siap akan menjemur padi di pagi hari itu. Wanita separuh baya itu biasa menjemurnya di pekarangan mesjid yang rata dan luas. Kak Zahara memergoki setumpuk kalayau sendok yang baru saja diangkat Malin Marajo tergeletak di tepi kolam dekat tempat dia biasa menjemur padi. Kak Zahara langsung mengingatkan.

‘Jangan di sana diletakkan kalayau itu Marajo. Tidak elok dipandang dan sebentar nanti dia akan berbau busuk,’ katanya.

‘Ah, di mana pula akan busuk. Dipanggang matahari sehari ini akan langsung kering. Kalau sudah kering nanti kubakar,’ jawab Malin Marajo.

‘Jangan kau bantah aku. Kalayau itu belum akan kering meski ditimpa panas matahari agak seminggu. Lebih baik kau buang ke pinggir kebun di seberang sana. Di sini, aku akan kena baunya, orang sembahyang di mesjid akan kena baunya.’

‘Bagaimana pula aku akan membuangnya ke pinggir sebelah sana, dia adanya di pinggir kolam sebelah sini. Kakak ini mempersulit pekerjaanku saja.’

‘Lebih baik kau dengar apa kataku. Atau kau akan dimarahi engku Imam. Bau kalayau ini busuk memusingkan kepala. Tanggung-tanggung bekerja, lebih baik kau lakukan sungguh-sungguh atau kalau tidak, tak usah kau kerjakan.’

‘Kenapa kakak pula yang memerintah-merintah?’

‘Aku bukan memerintah-merintah. Aku mengatakan yang benar. Bukan asal memerintah. Kalau sudah keluar bau busuknya nanti, pasti kau juga yang akan disuruh engku Imam memindahkannya.’

‘Kakak nyinyir. Pening kepalaku mendengar orang nyinyir.’

Malin Marajo bersungut-sungut sambil berusaha mendorong tumpukan kelayau yang masih di dalam kolam ke arah kebun yang dikatakan kak Zahara. Dia mendorongnya dengan galah bambu.

‘Yang ini jangan kau biarkan di sini,’ kak Zahara mengingatkan lagi, sambil menunjuk ke tumpukan yang sudah terangkat.

‘Berhentilah memerintah kak! Tanganku hanya dua. Dan berhentilah jadi orang nyinyir.’

Kak Zahara hanya tersenyum sambil medorong gerobak berisi karung-karung padi. Padi yang akan dijemurnya. Malin Marajo meneruskan pekerjaannya. Masih bersungut-sungut.

Tiba-tiba, Malin Marajo yang sedang mendorong-dorong kalayau sendok itu terpelanting masuk kolam. Air kolam itu beriak sejadi-jadinya sampai memancur ke atas. Air itu terpancur sangat tinggi, sementara yang di dalam kolam bergoyang-goyang. Bumi bergoncang sangat dahsyat. Malin Marajo yang tidak kehilangan kesadaran berpegangan ke pinggir kolam, pada saat bumi bergoncang luar biasa dan air kolam bagai diaduk-aduk itu. Entah berapa puluh detik suasana mencekam itu berlangsung. Malin beristighfar sambil menggigil ketakutan. Sambil berpegang kuat-kuat ke pinggir kolam.

Terdengar suara bunyi benda besar jatuh. Bunyi sesuatu yang runtuh menghantam bumi. Malin Marajo bertakbir dengan suara parau. Allaaahu Akbaaar. Dia menutup matanya. Rasanya inilah akhir hayatnya.

Kak Zahara dibantu sepupunya Salma baru saja selesai mengembangkan tikar penjemuran padi. Dua lembar tikar mensiro berukuran dua kali empat meter. Empat karung padi terletak di atasnya siap untuk dijemur, sebelum nanti digiling di mesin penggilingan padi. Kak Zahara baru akan menuangkan karung pertama ketika gempa dahsyat itu terjadi. Tubuh wanita separuh baya itu terpelanting dan terduduk di tanah. Salma yang berdiri dekat sebuah karung berpegangan erat-erat ke karung itu sambil berteriak ketakutan.

Kejadian itu berlalu begitu cepat. Hanya dalam bilangan beberapa detik. Kubah mesjid besar itu jatuh menimpa tepat ke tempat kedua wanita malang itu. Kedua wanita itu mungkin tidak sempat memikirkan apa yang tengah menimpa mereka. Keduanya terkorban. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.


****

Gempa besar itu berlangsung sekitar seratus detik Seratus detik yang luar biasa mencekam. Yang luar biasa dahsyat. Meninggalkan kehancuran yang mengerikan. Di kampung itu dua puluh buah rumah runtuh, hancur, rata dengan tanah. Lebih banyak pula yang rusak sebagian atau retak-retak. Menara mesjid runtuh dan sebagian dinding mesjid rengkah. Dalam waktu begitu singkat. Beberapa buah pohon tumbang. Jalan kampung retak aspalnya di sana-sini. Gempa itu terjadi di bawah cuaca cerah di sebelah pagi. Ada empat orang yang terkorban maut, termasuk kak Zahara dan Salma.

Malin Marajo menangis meratap ketika dia yang pertama sekali mendapatkan jasad kak Zahara yang sudah tidak bernyawa.

‘Berdosa aku kaaaaak…….,’ rintihnya pilu sambil mengusap darah di mulut wanita itu dengan kain sarungnya.

Tubuh wanita malang itu terhimpit runtuhan kubah mesjid. Hanya bagian dadanya ke atas yang terlihat. Darah keluar dari mulutnya. Di sebelahnya, terlihat sebagian kaki Salma. Sungguh sangat mengerikan pemandangan itu. Belum sampai sepuluh menit sejak Malin Marajo berbantah-bantahan dengan kak Zahara, yang sekarang sudah menjadi mayat dengan kondisi sangat mengenaskan seperti itu.

Korban lain adalah seorang laki-laki tua yang terbaring sakit di tempat tidur. Rumahnya runtuh. Orang tua itu terhimpit kayu besar yang jatuh dari langit-langit rumah. Korban ke empat seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun yang terhimpit runtuhan dinding sebuah rumah. Ada belasan orang yang luka-luka dan patah tulang. Sungguh sebuah musibah dahsyat. Musibah yang terjadi dalam sekejap mata.

Semua yang masih selamat terperangah. Terperanjat menyaksikan mimpi buruk di siang hari yang datang begitu tiba-tiba. Kampung itu jadi centang perenang mengenaskan. Tangis pilu terdengar di sana-sini. Tangis duka memandang kehancuran.

Terperangah itu tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Beberapa orang yang tinggal dekat mesjid bergotong royong mengeluarkan jasad kak Zahara dan Salma dari himpitan reruntuhan kubah mesjid. Lalu kedua jenazah itu dibawa pulang ke rumah mereka , sebuah rumah kayu lama, yang alhamdulillah tidak mengalami kerusakan berarti. Satu dari dua puteri kak Zahara jatuh pingsan ketika melihat jasad ibu dan etek mereka. Yang beberapa menit yang lalu masih segar bugar. Masih penuh semangat. Laa hawla wa laa quwwata illa billaahi. Kalau Allah berkehendak, apapun terjadi di bawah kekuasaan Nya.

****

Sore harinya bantuan datang dari kota. Dari perorangan maupun dari kelompok masyarakat. Menurut berita banyak sekali kampung dan nagari yang juga hancur seperti kampung ini, luluh-lantak disebabkan gempa pagi tadi itu. Berpuluh banyaknya korban yang meninggal. Entah berapa ratus yang terluka dan patah-patah. Entah berapa ratus, atau bahkan mungkin ribuan buah bangunan yang hancur..

Atas saran wali nagari, sekolah dasar yang alhamdulillah selamat, kecuali sedikit retak-retak, dijadikan tempat penampungan korban yang rumahnya hancur. Mesjid masih bisa dipakai untuk shalat berjamaah walaupun bagian atapnya sekarang terbuka karena kubahnya jatuh. Dinding mesjid hanya retak-retak di beberapa bagian.

Sesudah shalat maghrib, dengan jamaah lebih banyak dari biasanya, Buya Haji memberikan ceramah singkat untuk menenangkan hati masyarakat. Buya mengingatkan agar musibah yang terjadi dijadikan pelajaran untuk menyadari ke Maha Kuasaan Allah. Sebagai makhluk kita memang tidak ada apa-apanya di bawah kekuasaan Allah. Terjadi sedikit tanya jawab sesudah ceramah Buya Haji.

‘Buya! Apakah yang terjadi ini merupakan peringatan atau hukuman dari Allah?’ tanya guru Sofyan.

‘Biarlah kita berprasangka baik saja kepada Allah bahwa ini adalah sebuah peringatan. Kita diperingatkan agar lebih banyak mengingat Allah dan beribadah kepada Nya. Karena kita ini ternyata tidak ada apa-apanya. Karena Allah begitu Maha Perkasa dan Maha Berkuasa. Betapa mudahnya bagi Allah untuk berbuat sesuatu. Rumah, bangunan, mesjid yang kita bina bersusah payah dalam waktu lama, dalam beberapa detik saja, dengan kekuasaan Allah jadi porak poranda. Allah kuasa melakukannya. Allah kuasa menghancurkan alam raya ini.’

‘Tapi ada yang mengartikan bahwa ini adalah hukuman Allah karena sudah semakin banyaknya kemaksiatan, Buya. Bagaimana pula itu?’ tanya etek Syarifah.

‘Boleh-boleh saja ada yang berpendapat seperti itu. Tapi pada gilirannya, kan tetap saja merupakan sebuah peringatan Allah. Akankah kita sadar? Akankah mereka yang suka bermaksiat mau bertobat? Memperbaiki diri? Kalau mereka mau, maka beruntunglah mereka.’

‘Benarkah gempa itu juga merupakan sunatullah Buya?’ kembali guru Sofyan bertanya.

‘Benar sekali. Hujan, panas, laut bergelora, gunung-gunung mengeluarkan asap atau bahkan letusan yang melemparkan batu-batuan, gempa bumi semua itu adalah ketetapan-ketetapan Allah. Semua sudah diadakan Allah sejak dunia terkembang. Begitu kata para ahli. Tentulah guru Sofyan yang lebih tahu tentang itu. Tapi adakalanya sesuatu yang sunatullah itu dijadikan Allah untuk memperingatkan umat manusia bahkan ada juga umat-umat terdahulu yang dihukum Allah dengan bencana yang berasal dari alam. Kaum Luth yang dimusnahkan Allah dengan letusan gunung berapi. Kaum nabi Nuh yang ditenggelamkan dengan air bah. Kita sebagai orang yang beriman kepada Allah, tidak punya pilihan selain bertawakkal dan berserah diri kepada Allah. Seandainya musibah itu menimpa kita, mendatangkan maut kepada kita seperti yang dialami saudara-saudara kita hari ini, mudah-mudahan itu terjadi pada saat kita ikhlas bertawakkal kepada Nya.’

Begitu Buya Haji mengakhiri ceramah singkat beliau.


*****

Saturday, March 20, 2010

DIMADU

DIMADU

‘Tumben manyun...... ‘ Sri menyapa sahabatnya Wati, yang sudah lebih dulu hadir.

Wati hanya tersenyum kecut. Dia tidak menjawab. Tidak biasanya begitu. Wajah Wati memang terlihat seperti sedang bermasalah. Sri yang tahu watak Wati tidak mau menggoda lebih jauh. Jadilah mereka pagi hari itu diam-diaman, meski mereka duduk bersebelahan di kantor itu.

Wati dua kali kena marah pagi itu. Sesuatu yang luar biasa karena atasan mereka sangat jarang marah. Yang pertama ketika Wati menjawab telepon dan memberi tahu bahwa pak Adnan, atasan mereka sedang tidak ada di tempat. Pada hal pak Adnan ada di ruangannya dan sedang menunggu telepon tersebut. Waktu akhirnya pak Adnan yang menelepon, dia diberi tahu bahwa tadi waktu dihubungi, kata sekeretarisnya beliau sedang keluar. Pak Adnan menanyai mereka berdua, siapa tadi yang menerima telepon dan mengatakan bahwa dia sedang tidak ada di kantor. Wati mengaku dia yang menerima dan menyangka kalau pak Adnan sedang tidak ada di ruangannya.

Yang kedua waktu dia disuruh mengambil file undangan tender no 312. Wati mengatakan bahwa file itu tidak ketemu. Pada hal file itu ada di filing cabinet di sebelah mejanya karena memang dia yang bertanggung jawab menyimpannya.

‘Kenapa kamu uring-uringan hari ini? Kamu sakit?’ tanya pak Adnan.

‘Ya, pak. Saya kurang sehat,’ jawab Wati.

‘Pergilah ke dokter!’ perintah pak Adnan pula.

‘Nanti saya akan ke dokter, pak,’ jawabnya pula.

Wati berusaha keras untuk berkonsentrasi sesudah dua kesalahan fatal itu. Sangat konyol yang terjadi tadi itu dan dia seperti tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Sebelum siang, Sri menanyakan apakah dia mau ikut makan siang ke luar.

‘Aku nggak ikut. Aku mau tinggal di kantor saja,’ jawab Wati.

‘Atau....... Mau aku temani? Kita pesan makan siang dan makan disini?’ tanya Sri.

‘Terserah, kalau kau mau......,’ jawab Wati dengan nada lemas.

Akhirnya mereka memesan makanan yang diantar ke kantor siang itu. Sri menahan diri untuk tidak banyak tanya.

‘Aneh.......’ kata Wati mengeluh, ketika mereka mau mulai makan.

‘Aneh apanya?’ tanya Sri.

‘Suamiku. Aku merasa aneh dengan obrolannya,’ jawab Wati.

‘Oh, ya? Memangnya dia bercerita apa?’

‘Cerita tentang poligami....’

‘Maksudmu....... Dia..... ‘ Sri tidak meneruskan kata-katanya.

‘Ya.... Dia bercerita tentang laki-laki boleh beristri lebih dari satu....’

‘Dia mau menikah lagi?’ tanya Sri lebih tegas.

‘Entahlah. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Dia bersemangat sekali bercerita tentang itu.’

‘Memangnya..... Apa yang diceritakannya?’

‘Ya.... Tentang aturan dalam Islam yang membolehkan laki-laki beristri sampai empat orang dan itu tertulis dalam al Quran. Ada ayatnya.... Begitu katanya.’

‘Kau curiga dia akan menikah lagi?’

‘Sejujurnya, iya...... Seandainya kau di posisiku, pasti kau juga akan merasakan hal yang sama. Khawatir suamimu akan menikah lagi......’

‘Bukankah.... Laki-laki tidak boleh sembarangan menikah lebih dari satu orang? Ada undang-undang perkawinan yang mengatur. Harus ada izin dari istri pertama. Apa suamimu tidak tahu tentang itu?’

‘Tentu saja dia tahu. Justru itu. Katanya undang-undang itu menyalahi ketetapan Allah. Tidak ada aturannya di dalam agama Islam, baik dari ayat-ayat al Quran maupun dari hadits Nabi Muhammad yang mengharuskan seorang laki-laki yang ingin menikah lagi meminta izin dulu kepada istri pertamanya.’

‘Maksudnya.....? Mereka boleh sesuka-sukanya menikahi empat orang wanita? Tanpa ada yang mengatur? Begitu?’

‘Ya.... Begitu kata suamiku. Begitu keterangan ustad yang didengarnya. Diulang-ulangnya kata-kata itu. Tidak ada keharusan meminta izin kepada istri pertama. Coba kau bayangkan.... Tahu-tahu suami kita tidak pulang dan ternyata dia menginap di rumah istri barunya..... Ih.... Benar-benar mengerikan kalau terjadi yang seperti itu.’

‘Ya.... Tapi aku rasa, itulah yang dicegah oleh pemerintah. Laki-laki tidak boleh berbuat semena-mena seperti itu.’

‘Menurut suamiku, laki-laki yang berbuat seperti itu bukan berlaku semena-mena. Selama dia bisa berlaku adil di antara istri-istrinya.’

‘Mana mungkin? Itu egois namanya.... Tapi kalau kau mau, coba kita tanyakan kepada Lela. Kau tahukan? Suaminya menikah lagi?’

‘Apa yang mau ditanyakan?’

‘Apa saja. Bagaimana sampai suaminya menikah lagi. Bagaimana perasaannya sesudah dirinya dimadu?’

‘Iya juga ya..... Tapi.... Kenapa mesti menanyakan hal itu?’

‘Lha.... Kan kau khawatir.... kalau-kalau suamimu sedang mempersiapkan pernikahannya yang berikutnya.’

‘Anehnya.... Ketika aku menanyakan hal itu, jawabnya justru dia bilang dia tidak ada niat untuk menikah lagi. Dia bilang satu istri sudah cukup...... memberinya masalah. Dia tidak ingin menambah masalah baru. Begitu katanya.’

‘Nah, kalau begitu apa yang mesti dikhawatirkan?’

‘Cemas saja.... Seandainya-seandainya....’

‘Seandainya.... dia benar-benar..... menikah lagi... Apa yang akan kau perbuat?’

‘Justru itulah yang membuat aku uring-uringan.’

‘Kalau menurut aku sih...., tidak usah hal itu terlalu dipikirkan. Apa lagi kalau sudah ada pernyataannya yang sangat gamblang seperti itu. Hadapi saja hidup ini dengan santai.’

‘Enak saja kau ngomong..... Kalau ternyata kemudian dia benar-benar menikah lagi?’

‘Kan dia sudah bilang tidak berniat?’

‘Ya...... Kita kan tidak tahu isi hatinya yang sesungguhnya.’

‘Kalau begitu, hadapi saja apa adanya...’

‘Maksudmu?’

‘Apa lagi? Hadapi saja kenyataan. Atau kalau kau memang tidak bersedia dimadu.... ya minta cerai?’

‘Kau tahu....? Repot berdiskusi dengan suami yang sudah rajin mengaji seperti suamiku. Katanya lagi, ada hadits, ada ucapan Nabi Muhammad bahwa wanita yang tanpa alasan yang jelas minta diceraikan suaminya, tidak akan masuk surga.’

‘Kan ada alasan.... Alasannya kau tidak sudi dimadu.....’

‘Katanya itu bukan alasan. Wanita boleh minta cerai kalau dia disakiti atau dia diabaikan suami. Tapi tidak bisa minta cerai hanya karena alasan dimadu....., katanya.’

‘Dengan menikah lagi itu, bukankah dia menyakiti hati istri?’

‘Entahlah.... Kata suamiku..... Selama dia bisa berlaku adil di antara istri-istrinya, tidak ada alasan seorang istri merasa disakiti hatinya.’

‘Ya nggak dong.... Dengan menikah lagi itu, pasti dia sudah menyakiti hati istrinya yang pertama.’

Di saat mereka asyik berbantah-bantahan itu Lela yang tadi mereka sebut-sebut melintas dengan setumpuk berkas surat di tangannya.

‘Lel! Mampirlah sebentar..... Ada yang mau kami tanyakan,’ kata Sri.

‘Tentang apa?’ tanya Lela tersenyum.

‘Kamu sudah makan? Mau ikut makan dengan kami?’ tanya Sri pula.

‘Pertanyaanmu itu pasti basa-basi. Kalau aku bilang aku mau ikut makan, kalian sudah tidak punya makanan lagi. Iya kan?’

‘Kalau kamu mau, aku pesan lagi. Mau?’

‘Ah nggak..... Aku bercanda. Aku lagi puasa....... Apa yang ingin ditanyakan?’

‘Ini pertanyaan serius.... Jadi jangan salah sangka...... ‘

‘Ya... pertanyaannya apa? Apanya yang serius?’

‘Suamimu menikah lagi......., benar kan?’

‘Ya.’

‘Kau mengijinkannya?’

‘Kenapa itu yang kau tanyakan? Suamimu kawin lagi juga?’

‘Bukan......... Tapi seandainya suami...... Seandainya suami memberi isyarat mau menikah lagi. Nah, suamimu itu dulu bagaimana ceritanya, sampai dia kawin lagi?’ tanya Sri.

‘Jadi benaran, suamimu sedang berencana mau kawin lagi?’

‘Katakan saja begitu..... Bukankah aturannya, menurut ketetapan atau undang-undang pemerintah, suami harus minta ijin ke istrinya dulu? Apakah hal sama juga kamu alami waktu itu?’

‘Jadi begitu? Baik..... Kalau kamu benar-benar ingin tahu ceritanya, begini pengalamanku itu. Suatu saat suamiku memberi tahu....... maksudnya minta ijin untuk menikah lagi. Jelas aku tidak mau memberi ijin. Lama sekali, ada berbulan-bulan, dia merayu-rayuku untuk minta persetujuanku. Aku tegas-tegas saja bilang, ceraikan saja aku, kalau dia mau menikah lagi. Dia nggak mau menceraikan aku tapi tetap bersikukuh mengatakan keinginannya untuk menikah lagi. Alasannya tidak masuk diakal. Katanya dia bersimpati kepada seorang perempuan yang ingin dinikahinya itu. Wanita itu seorang janda dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil dan dia ingin membantu janda itu. Kataku silahkan saja dibantu, tapi jangan dinikahi. Katanya pula cara seperti itu justru tidak benar. Pokoknya ceritanya begitu-begitulah. Sampai suatu ketika dia memberi tahu bahwa dia sudah menikahi wanita tersebut. Reaksiku spontan, saat itu juga aku pergi dari rumah. Aku lari ke rumah orang tuaku. Aku beritahu orang tuaku bahwa kehidupan rumah tanggaku sudah bubar karena suamiku sudah menikahi wanita lain. Ayahku menasihatiku dan mengatakan bahwa tindakanku itu salah. Beliau mengatakan bahwa aku harus bersabar menghadapi kenyataan dan tidak seharusnya pergi dari rumah.

Ternyata suamiku menyusul ke rumah orang tuaku. Aku tidak mau menemuinya karena aku betul-betul muak melihatnya. Aku mengurung diri di kamar. Eh, dia malah minta ijin untuk ikut tinggal di rumah orang tuaku. Tentu saja akhirnya aku bertemu juga dengannya. Aku tidak mau menyapanya. Tapi, di rumah orang tuaku itu, entah dibuat-buat atau bagaimana, dia berlaku sebaik mungkin kepadaku.

Setelah beberapa hari, aku tetap belum mau pulang ke rumah, dan dia masih ikut tinggal di rumah orang tuaku, aku tanya, bagaimana dengan wanita itu? Maksudku, kenapa sekarang dia selalu hadir di rumah orang tuaku. Jawabnya benar-benar membuatku senewen dan mangkel. Dengan tenang dia katakan, minggu itu adalah giliranku, dan minggu berikutnya dia akan tinggal di rumah istri barunya. Aku mengamuk waktu itu dan mengusirnya ke luar kamar. Dia keluar kamar tapi tetap bertahan di rumah itu. Selama tiga hari berikutnya dia tidur di sofa di ruang tamu karena pintu kamar aku kunci. Dan benar saja, setelah seminggu dia memberi tahu bahwa dia akan ke tempat istri barunya untuk seminggu pula. Aku bentak dengan mengatakan, pergi saja kesana dan tidak usah kembali lagi.

Ayahku, seperti biasa selalu menasihatiku untuk bersabar. Seminggu kemudian dia kembali muncul. Aku tidak mau mengacuhkannya. Sementara dia tetap berusaha berbaik-baik denganku, tapi aku cuek saja. Selama seminggu pula dia ikut tinggal disitu dan tidur di sofa setiap malam.

Begitu yang terjadi sampai lebih kurang dua bulan. Dia datang seminggu dan pergi seminggu. Akhirnya aku menyerah. Mungkin benar, bahwa dia tidak ingin menceraikanku. Ditambah dengan nasihat kedua orang tuaku, akhirnya aku menerimanya kembali dan bersedia pula kembali ke rumah kami. Meskipun hatiku masih sering panas, apalagi ketika dia pergi seminggu dari rumah. Tetapi harus aku akui, bahwa ketika di rumah dia tetap seperti biasa. Memberikan perhatian dan memperlakukanku dengan sangat santun.

Akhirnya begitulah. Aku menerima nasib, mempunyai madu. Dan ternyata..... ya beginilah keadaannya,’ Lela mengakhiri ceritanya.

‘Artinya..... Sekarang kau menerima? Atau terpaksa menerima keadaan?’ tanya Sri

‘Ya..... Mungkin seperti kau bilang....., terpaksa menerima. Karena aku minta cerai dia tidak mau menceraikan aku. Aku lari ke rumah orang tuaku, disana orang tuaku mengijinkan dia ikut tinggal. Seolah-olah memberi angin kepada suamiku untuk tidak menceraikanku.’

‘Sudah berapa lama suamimu menikahi istri keduanya itu?’ tanya Wati.

‘Sudah hampir dua tahun.’

‘Pernah bertemu dengannya?’

‘Pernah.’

‘Berantem?’

‘Nggak.... Aku harus jujur mengakui bahwa dia wanita baik. Dia berlaku sangat sopan kepadaku dan sikapnya itu tidak dibuat-buat.’

‘Jadi? Kau berbaik-baik juga kepadanya?’

‘Awalnya aku bersikap judes kepadanya. Aku plototin, aku sinisin bahkan aku bentak. Tapi dia sangat sabar. Tidak melawan dan tidak mencari gara-gara. Tidak memancing-mancing pertengkaran. Akhirnya aku malu hati sendiri.’

‘Menurutmu apa kira-kira penyebab suamimu mau menikah dengannya?’

‘Anak. Kami tidak punya anak. Dan itu bukan salahku. Dokter mengatakan suamiku itu mandul sementara dia sangat ingin punya anak.’

‘Dan dia menyayangi anak tirinya itu?’

‘Ya..... ‘

‘Bagaimana dengan kau sendiri? Maksudku, apakah kau juga menyayangi anak tiri suamimu itu?’

‘Mereka memang anak-anak manis.... Yang memerlukan kasih sayang. Akupun menyukai mereka secara wajar-wajar saja.’

‘Memangnya apa yang terjadi dengan ayah mereka?’

‘Meninggal karena kecelakaan.’

‘Wah......! Seru juga pengalaman hidupmu....,’ Sri berkomentar.

‘Dan kalian? Apakah suami kalian sedang....... Atau sudah menikah lagi?’

‘Tidak,’ jawab Sri.

‘Mudah-mudahan jangan....’ Wati menambahkan.

‘Ya.... aku setuju denganmu. Mudah-mudahan jangan. Tapi kalau terjadi, ternyata ada kalanya tidak seburuk yang dibayangkan.’

Percakapan mereka terhenti ketika pak Adnan sudah kembali dari makan siang.


*****

Wednesday, February 24, 2010

(RENCANA) POLIGAMI

(RENCANA) POLIGAMI

‘Jadi?’ tanya Khairul ketika mereka sudah selesai makan.

‘Apanya yang jadi?’ Arif balik bertanya.

‘Bagaimana rencana kau mau bertambuh?’

‘Kan sudah selesai kita makan. Bertambuh apa juga lagi?’

‘Bukan bertambuh makan…. Bertambuh istri…. Katanya kau akan kawin satu lagi…’

‘Entahlah…. Pening kepalaku…. Macam-macam sekarang syaratnya.’

‘Oh ya? Apa saja syaratnya? Memang dulu tidak banyak syaratnya?’

‘Harus jelas alasan kenapa ingin menikah lagi. Harus ada izin dari istri pertama. Mana ada istri pertama yang mau memberi izin suaminya menikah lagi? Harus ada izin atasan. Entah apa pula urusan atasan kalau awak mau menambah istri. Sementara dia? Berhau-hau dengan istri orang tidak ada masalah.’

‘Tak baik memperkatakan orang. Apa lagi berprasangka buruk….’

‘Memperkatakan orang karena memang harus diperkatakan. Berprasangka buruk kata kau? Kelakuannya bergelanggang mata orang banyak. Sekantor orang tahu. Dan dia seperti bangga dengan apa yang dikerjakannya. Tapi benar juga, itu bukan urusanku. Cuma, urusan awak ini yang kacau.’

‘Sebenarnya apa alasan kau mau menikah lagi?’

‘Itupun tidak perlu kujelaskan kepadamu. Aku yang punya masalah, aku yang tahu keperluanku. Dan menurut hematku menikah satu lagi itu penyelesaiannya. Tapi…. Ternyata repot….’

‘Dimana letak repotnya? Selain alasan-alasan yang kau katakan tadi?’

‘Kalau aku menikah lagi, aku ingin menikah secara resmi. Harus ada surat nikah. Supaya tidak timbul masalah pula di kemudian hari. Tapi justru di situ masalahnya. Ketika aku pergi ke kantor KUA, aku diingatkan tentang semua persyaratan tadi. Tidak boleh ada satupun yang terabaikan. Alias, kalau istri pertama tidak memberikan persetujuan di atas kertas bermeterai, atasan tidak memberikan persetujuan di atas kertas bermeterai, orang KUA tidak mau melayani. Repot kan?’

‘Kepada orang KUA itu…… Tidak kau jelaskan pula apa alasan kau?’

‘Terlanjur kujelaskan. Padahal membuka aib saja. Huh! Malunya aku. Tapi itulah. Mereka bersikukuh dengan persyaratan yang mereka minta.’

‘Ya…. Memang repot kalau begitu. Tapi…. Tidakkah dicoba meminta izin istri secara baik-baik? Siapa tahu istrimu pengertian…’

‘He…he..he.. Kan sudah kubilang. Tidak akan ada istri yang mau mengizinkan suaminya kawin lagi. Apapun alasannya. Termasuk istriku tentu saja…’

‘Kalau begitu banyak-banyak sajalah berzikir….’

‘Maksudmu?’

‘Banyak-banyak mengingat Allah agar keinginan menikah lagi itu bisa terlupakan…’

‘Coba kau jelaskan! Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang beristri lebih dari satu?’

‘Allah membolehkan. Aku ulangi, membolehkan. Bukan mewajibkan atau menyuruh. Itupun dengan peringatan, sekiranya yang akan beristri lebih dari satu itu mampu berbuat adil. Sekiranya tidak sanggup berlaku adil, cukuplah satu istri saja. Itu ketetapan Allah dalam al Quran.’

‘Apa batasan adil itu?’

‘Adil dalam pembagian nafkah lahir batin kepada masing-masing istri. Dan yang paling berat adalah adil dalam hal kasih sayang.’

‘Kalau seorang laki-laki yang tidak mampu berbuat adil dengan istri-istrinya, adakah sangsinya di dunia?’

‘Entahlah. Aku tidak tahu tentang itu. Tapi aku bisa membayangkan resikonya. Perseteruan di antara sesama istri, ketika yang satu merasa diperlakukan tidak adil.’

‘Adakah keterangan al Quran atau ajaran Nabi SAW tentang keharusan minta izin istri pertama?’

‘Tidak ada.’

‘Coba kau jelaskan pula apa persyaratan agar suatu pernikahan itu syah menurut ketetapan agama Islam.’

‘Ada lima rukunnya. Harus ada calon pengantin laki-laki. Ada calon pengantin perempuan. Ada wali nikah. Ada saksi sekurang-kurangnya dua orang laki-laki dewasa. Dan yang terakhir ada ijab kabul. Sudah, itu saja.’

‘Hanya itu?’

‘Ya, hanya itu.’

‘Tidak perlu ada surat menyurat? Tidak perlu ditulis dan ditanda-tangani oleh para saksi yang hadir itu? Aku dengar untuk masalah hutang piutang ada perintah di dalam al Quran agar ditulis dan juga disaksikan oleh beberapa orang saksi. Apakah pernikahan tidak seperti itu?’

‘Tidak ada. Kalau hutang piutang memang ada perintah Allah seperti itu. Tapi untuk pernikahan tidak ada. Artinya begitu kelima persyaratan tadi itu terpenuhi, pernikahan itu sudah syah. Dan sesudah itu disunahkan menyelenggarakan walimahan. Perjamuan pernikahan. Berhelat atau berpesta semampunya. Tujuannya untuk memberi tahu karib kerabat bahwa kedua pengantin sudah syah menjadi suami istri.’

‘Sekarang orang menyebut-nyebut istilah nikah sirri. Tahukah kau apa maksud nikah sirri itu?’

‘Sirr itu artinya secara diam-diam. Mungkin pernikahan yang dilakukan secara diam-diam. Entah pulalah.’

‘Aku dengar juga begitu. Seorang laki-laki, yang tidak mau istri pertamanya tahu, menikah secara diam-diam. Apakah pernikahan seperti itu syah menurut Islam? Bagaimana pendapatmu?’

‘Kalau secara hukum Islam, selama kelima rukun tadi itu terpenuhi, pernikahan itu sudah syah.’

‘Jadi istilah nikah sirri itu tidak tepat kalau begitu?’

‘Aku rasa tidak tepat. Aku rasa istilah itu tidak dikenal di negara berpenduduk Muslim lainnya.’

‘Keterlaluan kalau begitu….’

‘Maksudmu?’

‘Keterlaluan ketika pemerintah menambah-nambah aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah.’

‘Aku tidak mau berkomentar.’

‘Kabarnya, nanti para pelaku nikah sirri itu akan dituntut secara hukum dan akan dimasukkan ke penjara.’

‘Kasihan kalau begitu. Kasihan masyarakat di daerah-daerah tertentu yang tidak memiliki surat nikah. Pada hal mereka sudah menikah secara Islam.’

‘Memangnya ada?’

‘Pasti ada. Di kampung-kampung masih banyak masyarakat yang menjalankan pernikahan secara hukum agama saja tanpa mencatatkannya ke penjabat KUA.’

‘Apakah benar bahwa penjabat KUA berwenang menetapkan persyaratan bagi orang yang akan menikah?’

‘Penjabat KUA itu kan pegawai pemerintah. Mereka menjalankan perintah.’

‘Bukankah sebenarnya tugas mereka itu hanya untuk mencatat pernikahan saja.’

‘Mungkin awalnya demikian. Tapi sesudah pemerintah memberikan tugas tambahan, dengan mendata status calon pengantin akhirnya ditugaskan pemerintah pula untuk menjaring dan mencegah agar orang tidak menikah secara tidak terdaftar.’

‘Seandainya mereka yang sudah menikah berpuluh tahun yang lalu, tapi tidak punya surat nikah, apa yang harus mereka perbuat? Apakah menerima saja seandainya nanti dimasukkan ke penjara?’

‘Pertanyaanmu sangat sulit. Aku tidak sanggup menjawabnya.’

‘Apakah dulu orang-orang tua kita mencatatkan pula pernikahan mereka ke KUA?’

‘Peraturan pemerintah atau undang-undang perkawinan itu baru ada sejak tahun 1974. Sebelum itu tidak ada ketetapan seperti itu. Aku tidak yakin bahwa orang-orang tua kita mempunyai surat nikah seperti kita sekarang.’

‘Tentu nanti orang-orang tua kita juga terancam dipenjarakan?’

‘Entahlah.’

Arif terdiam cukup lama. Mungkin dia sedang berpikir keras.

‘Kau….?’ Arif memulai lagi.

‘Kenapa?’ tanya Khairul.

‘Kau sendiri tidak terpikir untuk menikah lagi?’

‘Tidak…. Kenapa?’

‘Kau takut tidak sanggup mengurus persyaratan KUA atau karena alasan lain?’

‘Aku tidak memerlukannya. Bagiku satu istri sudah cukup. Aku tidak punya masalah dengan satu istri.’

‘Seandainya kau punya masalah?’

‘Buat apa masalah diandai-andai?’

‘Aku ingin tahu pendapatmu yang sejujurnya.’

‘Itu adalah pendapatku sejujurnya.’

‘Menurut pemahaman kau, kenapa Allah mengizinkan laki-laki itu beristri sampai empat, meski dengan syarat adil sekalipun?’

‘Karena Allah tahu. Karena Allah Maha Tahu dengan naluri dan keperluan masing-masing hamba Nya. Allah Maha Tahu bahwa ada di antara hambanya itu memang tidak merasa cukup dengan hanya satu orang istri. Dan Allah mengizinkan, karena kalau tidak bisa-bisa orang itu menyeleweng. Malahan melakukan perbuatan yang dilarang Allah. Melakukan perzinaan.’

‘Jadi menurut kau memang ada orang laki-laki yang tidak merasa cukup dengan satu orang istri saja, itu sebabnya Allah izinkan.’

‘Ya.’

‘Bukankah bisa pula seorang wanita merasa tidak cukup terpenuhi hasratnya dengan satu orang suami saja? Dan wanita tidak boleh mempunyai lebih dari satu suami? Bagaimana itu?’

‘Begitu ketetapan Allah. Aku tidak mau mencari-cari alasannya. Aku mendengar dan aku taat dengan ketetapan itu.’

‘Ini pertanyaanku yang terakhir. Seandainya kau jadi aku. Apa yang kau lakukan?’

‘He..he..he.. Bukankah aku tidak mungkin jadi kau? Tapi baiklah. Tadi sudah kukatakan. Banyak-banyak berzikir dan memohon kepada Allah agar hasrat ingin beristri lagi itu bisa dilupakan.’

‘Kalau tidak bisa?’

‘Kalau tidak bisa menikah lagi saja. Cari calon pengantin wanita. Yang ada walinya untuk menikahkan. Cari saksi satu orang lagi. Aku bersedia jadi saksi yang pertama. Lakukan ijab kabul. Kau akan resmi jadi suami istri di mata Allah. Setelah itu berusaha keraslah untuk berlaku adil.’

‘Bagaimana dengan urusan dengan pemerintah?’

‘Hadapi apa adanya.’

‘Huh…. Itu yang berat.’


*****

Monday, February 15, 2010

TUKANG TUNJUK

TUKANG TUNJUK

Perang adalah bencana. Perang adalah kejahilan dan kebrutalan. Perang membawa korban terutamanya di kalangan yang tidak ikut berperang. Di kalangan rakyat berderai yang tidak ikut dan tidak mengerti kenapa terjadi perang. Mereka biasanya yang paling banyak menderita. Perang adalah tempat dimana fitnah dan dendam bisa dikobarkan. Alasan untuk berperang sejak jaman belum ber belum hampir selalu sama. Untuk melampiaskan hawa nafsu di satu fihak dan untuk mempertahankan diri di fihak yang lain. Hawa nafsu serakah ingin berkuasa, hawa nafsu ingin melanggengkan kekuasaan, hawa nafsu karena pantang kelintasan, hawa nafsu nyata-nyata ingin merampok dan menguasai milik orang lain. Maka dikobarkanlah perang. Sebuah negeri diserang, dihancurkan, hunian penduduknya dibumi hanguskan, penduduknya dipecundangi, dilecehkan, dihinakan, dibunuh dengan semena-mena.

Perang juga memecah belah masyarakat. Masyarakat terpaksa, dengan alasannya masing-masing harus berfihak kepada salah satu kelompok dari yang berperang. Berpihak kepada salah satu pihak dalam jaman perang tentu beresiko. Tapi juga memberi jaminan seandainya luput dari resiko.

***

Si Poan punya alasan tidak suka dengan orang PRRI. Tidak suka dengan orang kampung yang mendukung dan membantu orang PRRI. Alasannya karena partai orang tuanya berseberangan dengan partai orang-orang PRRI. Orang-orang PRRI itu kebanyakan adalah orang Masyumi. Orang yang memandang enteng kepada partai ayahnya, PKI. Tapi Poan juga tahu bahwa di kampung boleh dikatakan 99% orang pro PRRI. Poan tahu betul siapa-siapa di antara temannya, anak muda yang ikut lari ke luar, bergabung dengan tentara pemberontak. Diapun pernah diajak ikut. Tentu saja dia menolak. Dengan cara halus.

Suatu hari tentara APRI masuk kampung. Menggeledah rumah-rumah mencari tentara PRRI. Mencari anak-anak muda yang dicurigai ikut jadi tentara PRRI. Anak-anak muda yang ada di kampung berketabungan lari untuk menghindar. Sebenarnya sangat konyol yang mereka lakukan itu. Tiga orang terlihat oleh tentara pusat. Diteriakinya supaya berhenti dan mengangkat tangan. Anak-anak muda itu tidak tahu aturan seperti itu. Tidak mengerti aturan berhenti dan mengangkat tangan. Yang ada di dalam benak mereka hanyalah lari untuk menyelamatkan diri. Sementara tentara APRI yang ‘ringan-ringan tangan’ itu, sesudah sekali diperintahkan berhenti tidak didengar langsung membidik kepala anak-anak muda malang itu. Dor! Anak muda itupun tersungkur. Langsung terjilapak. Inna lillahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Si tentara APRI tidak mempedulikan sedikitpun. Dia mencari dan mengejar lagi yang lain. Dan mendornya pula.

Beberapa orang masuk ke rumah-rumah. Memeriksa ke sana ke mari. Dengan sepatu bot yang tidak dibuka. Berderak-derak bunyi tapak sepatu mereka di rumah kayu penduduk. Ada yang sampai memanjat ke atas loteng lalu menyenter-nyenter. Bahkan masuk ke dalam kandang di bawah rumah. Sambil membentak-bentak, menghardik-hardik, menanyakan dimana disembunyikan tentara PRRI. Rakyatpun mati kuncun semuanya.

Si Poan duduk tenang-tenang di rumah. Dengan sangat yakin. Dia tidak akan diapa-apakan oleh tentara APRI itu seandainya mereka naik ke rumah. Dua orang tentara ternyata memang naik ke rumahnya dengan terlebih dahulu menerjang pintu masuk. Soalnya di halaman terjemur tiga helai celana panjang laki-laki. Di ruang atas didapatinya Poan sedang duduk dengan tenang di tikar.

‘Angkat tangan! Kamu pemberontak, ya?!’ teriak seorang dari kedua serdadu itu.

‘Tidak pak. Ambo rakyat,’ jawab Poan dengan tenang.

Tentara itu menodongkan senjatanya ke kepala Poan sambil matanya melotot mencari-cari entah apa di rumah itu. Mata itu akhirnya hinggap di sebuah gambar yang ditempel di pintu lemari. Gambar palu arit.

‘Siapa yang PKI di rumah ini?’ tanya tentara itu dengan nada suara tidak lagi garang.

‘Apak saya, pak,’ jawab Poan.

‘Kau ikut dengan kami ke Bukit Tinggi!’ perintah tentara itu pula.

Dan Poan dibawa. Dinaikkan ke atas mobil truk reo. Dia ditahan dua hari di kantor Balayon B di Bukit Tinggi tapi sesudah itu diijinkan pulang.

***

Tentara APRI makin sering masuk kampung. Dan sekarang menangkapi beberapa orang kampung yang lalu dibawa ke markas Batalyon B dekat lapangan kantin di Birugo. Yang ditangkap umumnya adalah mereka yang punya anggota keluarga ikut lari ke luar alias jadi tentara PRRI. Dan kebanyakan adalah wanita. Yang suaminya atau saudaranya atau anaknya ikut PRRI. Entah dari mana tentara pusat itu tahu. Ditangkap dan dibawa ke Batalyon B itu sangat mengerikan. Banyak orang yang dibawa kesana, terutama yang laki-laki, tidak pulang dan hilang lenyap bak ditelan bumi. Tapi untunglah tidak demikian dengan rombongan ibu-ibu. Setelah ditahan sekitar beberapa minggu, dan diinterogasi siang dan malam, mereka umumnya diijinkan kembali pulang.

Orang kampung curiga. Dimana tentara-tentara pusat itu tahu bahwa ada anggota keluarga wanita-wanita itu orang PRRI? Dengan sebegitu jelasnya? Tentu ada yang memberi angin agaknya. Tapi siapa?

Si Poan boleh dikatakan satu-satunya anak muda yang bisa hidup tenang-tenang saja di kampung. Sekali sepekan dia pergi ke Bukit Tinggi. Pergi menggalas barang mudo. Membawa cabai merah, kentang dan sayur-sayuran yang dikumpulkan dari petani. Tiba-tiba saja dia sudah jadi seorang penggalas. Anehnya dia hanya membawa barang dagangan itu ke pasar Bukit Tinggi saja. Tidak pernah ke pekan-pekan berhampiran. Padahal kebanyakan orang menghindar untuk pergi ke pasar Bukit Tinggi. Takut digeledah dan dibentak-bentak tentara pusat. Tentara pusat memang selalu merazia setiap penumpang bendi yang menuju Bukit Tinggi. Penumpang laki-laki, meski orang tua-tua sekalipun disuruh turun. Digeledah dan ditanyai macam-macam. Barang bawaan ibu-ibu di dalam kambut atau karung diobok-obok.

Pada suatu petang, ketika akan membayar sesudah minum teh telur di lepau mak Tangkudun, selembar kertas yang dikeluarkan Poan dari saku bajunya terjatuh. Mak Pakiah yang duduk di dekatnya mengambil kertas itu dari lantai.

‘Kertas apa ini Poan?’ tanya mak Pakiah sambil menyerahkannya kembali.

‘Catatan jual beli lado mah, mak,’ jawab Poan sambil memasukkan kertas itu kembali ke saku celananya.

‘Si Nuraini kan ndak ada berkebun lado. Kenapa ada pula namanya di kertas itu?’ tanya mak Pakiah sambil lalu tanpa curiga apa-apa.

Nuraini adalah kemenakan mak Pakiah. Suaminya ikut ke luar. Nuraini sampai hari itu sudah hampir sebulan ditahan di Batalyon B.

‘Itu si Nuraini orang penggalas di pasar mah, mak. Pedagang yang membeli lado yang ambo bawa,’ jawab Poan mantap.

‘Oooo, mantun,’ jawab mak Pakiah pula.

Mak Tangkudun, pemilik lepau, menyimak saja soal jawab singkat itu. Setelah Poan berlalu tidak tahan juga hatinya untuk berkomentar.

‘Berdetak saja hatiku,’ kata mak Tangkudun ketika di lepau itu yang tinggal mak Pakiah seorang saja lagi.

‘Tentang apa?’ tanya mak Pakiah.

‘Tentang musang berbulu ayam.’

‘Hah? Siapa pula yang jadi musang?’

‘Apa yang Pakiah baca di kertas yang jatuh sebentar ini?’ tanya mak Tangkudun.

‘Kertas yang mana?’

‘Kertas yang dikembalikan ke si Poan.’

‘Ada tersurat nama Nuraini. Entah kenapa nama itu pula yang tertangkap di mata ambo. Ada nama si Fadilah di bawah itu dan nama-nama entah siapa lagi.’

‘Si Fadilah kan sama-sama dijemput dan dibawa tentara pusat? Tidak ada lagi nama yang lain yang teringat terlihat tadi?’

‘Rukayah..... Ya di atas nama si Nuraini ada Rukayah.’

Mak Tangkudun menghempaskan kopiahnya ke meja.

‘Pastilah kalau begitu. Si Nuraini, si Fadilah dan si Kayah sampai hari ini belum juga pulang dari Birugo. Ndak berdetak hati Pakiah ada kaitan nama-nama di kertas tadi itu dengan kenyataan ibu-ibu yang ditangkapi itu? Kalau ambo sangat yakin ambo sekarang,’ kata mak Tangkudun.

‘Jadi?’ mak Pakiah mulai ikut berpikir. Mulai agak menangkap maksudnya.

‘Tukang tunjuk,’ jawab mak Tangkudun.


***

Alhamdulillah, ibu-ibu yang ditangkap itu akhirnya dilepaskan juga semuanya. Hanya, sesudah itu rumah mereka selalu diintai tentara pusat. Beberapa kali di antara ibu-ibu itu terkejut ketika pergi ke sumur di waktu subuh terserobok dengan tentara sedang duduk bersiaga dekat pintu sumur. Mungkin tentara itu semalaman menanti-nanti tentara luar anggota keluarga penghuni rumah itu. Siapa tahu mereka pulang ke rumah.

***

Seminggu sesudah percakapan mak Tangkudun dan mak Pakiah di lepau, si Poan dijemput orang tengah malam. Tidak sedikitpun dia curiga. Ketika pintu diketuk dan namanya dipanggil, dan yang memanggil itu berbahasa Indonesia, Poan segera turun. Tentu saja dia kaget ketika sampai di halaman. Yang menjemputnya adalah tentara bersenjata tidak berseragam. Poan menghilang tidak tentu rimbanya sejak saat itu.

Beberapa hari sesudah itu wali nagari didatangi tentara pusat. Habis dia ditampari dan dibentak-bentak ketika tentara pusat itu menanyakan kemana perginya si Poan. Wali nagari menjawab sejujurnya bahwa dia tidak tahu. Wali nagari dan wali jorong dibawa ke Birugo dan ditahan sebulan disana. Sesudah sebulan, mereka diantarkan kembali ke kampung dalam keadaan lusuh dan kurus.

*****

Saturday, February 13, 2010

SURAT JALAN

SURAT JALAN

Sudah tiga bulan perang berlangsung. Perang antara tentara APRI yang datang dari ibu kota melawan tentara PRRI. Perang yang ganjil. Perang yang brutal dari pihak yang datang menyerang. Tentara PRRI banyak menghindar. Menghindar ke hutan, ke kampung-kampung yang jauh di pegunungan terpencil. Tentara APRI yang dijuluki rakyat dengan tentara pusat adalah tentara yang bengis dan tega. Mereka menembaki orang-orang yang dicurigai sebagai tentara pemberontak. Kalau terjadi peperangan di dekat suatu kampung lalu ada tentara APRI yang terkorban, maka beberapa rumah di kampung itu dibakar. Itulah sebabnya tentara PRRI menghindar. Karena tidak mau mencelakai dan merugikan rakyat. Ketika PRRI menghindar, tentara APRI dengan mudah menguasai kampung dan nagari, membuat pos di kota-kota kecamatan.

Syamsu batal ikut bergabung dengan tentara PRRI. Ada sebuah telegram dari kakaknya di Padang memberi tahu bahwa maknya yang sejak perang pecah tinggal di Padang, sedang sakit dan masuk rumah sakit. Dia diminta segera datang. Padahal teman-temannya sudah pada pergi semua. Ikut memanggul senjata. Ada delapan orang anak-anak muda yang masih sekolah di SMA, di STM dan SMEA dari kampung yang ikut bergabung dengan kompi Udin Pitok. Syamsupun sudah ikut mendaftar. Tapi tepat sehari sebelum dia seharusnya melapor di markas tentara itu di Lasi Tuo, telegram dari kakaknya itu datang.

Tidak mudah untuk bepergian ke Padang. Meski jarak Bukit Tinggi – Padang sejak dari perhentian oto di Bukit Tinggi sampai ke perhentiannya pula di Padang tidak lebih dari 91 kilometer. Oto bus NPM dapat menempuh jarak itu antara dua sampai tiga jam. Yang lebih sulit adalah untuk mendapatkan surat jalan. Tanpa surat jalan yang ditandatangani komandan tentara APRI jangan dicoba-coba untuk bepergian antar kota. Apa lagi bagi seorang anak bujang mentah seusia Syamsu. Tanpa surat jalan, kalau ada razia di perjalanan, dia akan dituduh tentara PRRI. Akan dituduh tentara pemberontak. Kalau sudah dapat cap seperti itu dia bisa ditembak mati.

Tentara APRI sangat alergi dengan anak-anak muda seusia Syamsu. Di kampungnya sudah tiga orang yang mati ditembak tentara APRI. Anak-anak muda malang yang lari ketakutan ketika tentara APRI secara diam-diam datang masuk kampung. Dan anak-anak muda itu ditembak dari belakang di bagian kepala. Ada yang terkapar di batang air, ada yang tertelungkup di sawah bancah, ada yang tersandar di rumpun betung. Pada hal mereka tidak bersenjata dan lari benar-benar karena takut. Itu pulalah sebabnya kebanyakan anak-anak muda jadi benci kepada tentara pusat. Mereka beramai-ramai mendaftar untuk ikut berperang.

Syamsu harus pergi ke Padang menengok emaknya. Dia bergegas mengurus surat jalan. Yang pertama sekali adalah meminta surat pengantar di kantor wali nagari. Tidak sulit mendapatkan surat ini. Wali nagari menyatakan dalam surat keterangannya bahwa Syamsu akan meneruskan sekolah di Padang. Sekarang surat itu harus dibawa untuk mendapatkan pengesahan dari komandan tentara APRI di kecamatan.

Syamsu diantarkan wali jorong, yang masih terhitung mamaknya, ke kantor Buter. Buter adalah penguasa militer di tingkat kecamatan. Kantor itu menempati sebuah rumah tinggal. Di depan rumah ada gardu jaga dimana selalu ada seorang tentara bersiaga mengawal. Di teras luar rumah itu ada meja dan dua buah kursi. Dua orang tentara duduk disitu. Mereka adalah petugas piket. Siapapun yang ingin berurusan ke kantor itu harus melapor terlebih dahulu kepada tentara petugas piket ini. Agak terjarak ke samping ada dua buah bangku panjang tempat menunggu bagi orang yang ingin bertemu dengan komandan tentara. Ketika Syamsu sampai di kantor itu ada tiga orang wanita separuh baya duduk di bangku panjang. Mereka sedang menunggu untuk diwawancara. Mereka juga ingin mendapatkan surat jalan. Begitu ketentuannya kalau ingin mendapatan surat jalan yang ditandatangani komandan Buter.

Wali jorong yang menemani Syamsu mendaftar melalui tentara piket itu, yang rupanya seorang OPR. OPR adalah tentara bantuan yang dibuat oleh APRI, berasal dari penduduk lokal.

‘Siapa yang hendak berurusan?’ tanya tentara OPR itu dalam bahasa Indonesia.

Kamanakan wak ko ha,’ jawab wali jorong.

‘Di sika harus cara Indonesia!’ kata tentara OPR itu garang.

Mendengar kata-kata ‘disika’ satu di antara ibu-ibu yang sedang menunggu itu menahan tawa sambil menutup mulut.

‘Jangan gelak-gelak. Apa yang digelakkan?’ bentak tentara OPR ke arah ibu-ibu itu.

Si ibu itu menekur dan terdiam. Ibu yang satunya masih tersenyum.

‘Jangan cimees-cimees disika! Kesika mau mintak surat atau mau mencimees? Kalau cimees-cimees nanti kamu tidak diagis surat.’

Perut Syamsu juga memilin mendengar kata-kata tentara yang gagah ini. Dia berusaha menekur menahan rasa geli.

‘Hang yang hendak berurusan?’ bentaknya pula ke arah Syamsu.

‘Iya, pak,’ jawab Syamsu.

‘Ada surat wali nagari?’ tanyanya pula.

‘Ada pak. Ini....’ Syamsu menyerahkan sebuah amplop.

Tentara itu membuka amplop dan mengeluarkan surat pengantar dari wali nagari. Diperhatikannya surat itu dengan bola matanya menari ke kiri dan ke kanan. Syamsu tambah sakit perut melihat tingkah tentara itu. Surat yang ditangan tentara itu terbalik.

‘Catat nama hang disika!’ katanya menunjuk ke sebuah buku tulis besar di atas meja di hadapannya.

Syamsu mengisi buku itu.

‘Catat apo keperluan hang!’ perintahnya lagi.

‘Sudah pak. Sudah awak tulis,’ jawab Syamsu.

‘Apa keperluan hang?’

‘Sudah awak tulis di dalam buku ini.’

‘Apa yang hang tulis? Mau mintak surat apa hang?’

‘Surat jalan, pak.’

‘Suratkan disika. Bahasa hang mintak surat jalan.’

‘Ini sudah awak tulis pak.’

‘Kalau sudah nantikan disinan!’ perintahnya pula sambil menunjuk ke bangku panjang.

Kedua lelaki itu pergi duduk ke bangku yang ditunjukkan. Lamat-lamat Syamsu mendengar kedua tentara itu berbicara setengah berbisik.

Indak ba hang do. Ba kau,’ kata kawannya.

Maa lo jaleh di ang. Kau tu untuak padusi,’ jawab tentara itu.

Dua orang tentara lain datang. Kedua tentara OPR itu berdiri dan memberi hormat. Rupanya yang datang itu komandan di kantor ini. Dia itulah yang biasa di sebut orang pak Buter.

Satu persatu ibu-ibu yang menunggu itu disuruh masuk menghadap komandan tentara tadi di dalam ruangannya. Masing-masing berada di ruangan itu sekitar sepuluh menit. Akhirnya sampai pula giliran Syamsu disuruh masuk.

‘Inya saja yang masuk. Engku indak berurusan jadi indak boleh masuk,’ tentara OPR tadi mengingatkan ketika dilihatnya wali jorong ikut pula berdiri.

Syamsu masuk sendirian. Dia mengangguk ke arah komandan itu.

‘Ada perlu apa kau?’ bentak komandan tentara itu.

‘Awak mau minta surat jalan, pak,’ jawab Syamsu tenang.

‘Surat jalan apa? Kau ndak ikut berontak?’

‘Tidak, pak,’ jawab Syamsu.

‘Mana surat pengantar?’

Syamsu menyerahkan surat dari wali nagari. Tentara itu membacanya.

‘Dimana kau sekolah?’

‘Di SMA, pak.’

‘Dulu di SMA mana? Kenapa sekarang mau pergi ke Padang melanjutkan sekolah?’

‘Dulu di Bukit Tinggi, pak. Sekarang orang tua ada di Padang.’

‘Ada saudara kau yang ikut memberontak?’

‘Tidak, pak.’

‘Teman-teman kau?’

‘Tidak ada pak.’

‘Bohong kau! Banyak anak-anak muda seumur kau ikut-ikut pergi ke hutan. Masak di kampung kau tidak ada yang ikut?’

‘Awak tidak tahu pak,’ jawab Syamsu.

‘Untung kau masih punya otak, mau bersekolah. Kalau kau ikut-ikut memberontak, suatu saat kau akan terbunuh. Paham kau?’

‘Iya, pak.’

‘Kapan kau mau berangkat ke Padang?’

‘Segera, pak. Kalau bisa hari ini juga.’

‘Ya, sudah. Ini tak tanda tangan. Jangan sampai hilang surat ini. Kalau ada razia di jalan, kau tidak punya surat, habis kau.’

Tentara itu menyerahkan surat jalan itu kepada Syamsu. Dia mengangguk kepada komandan tentara itu sebelum keluar.

‘Sudah selesai urusan hang?’ tanya tentara OPR lagi, begitu Syamsu keluar.

‘Sudah pak,’ jawab Syamsu.

‘Ndak pandai hang berterima kasih agak sedikit?’

‘Terima kasih banyak, pak,’ ujar Syamsu seramah mungkin.

Indak itu do. Tinggalkan tanda terima kasih agak sedikit,’ tambah tentara itu pula.

‘Maksudnya bagaimana, pak?’ Syamsu pura-pura tidak mengerti.

Tentara OPR itu menggesek-gesekkan tiga buah jari tangannya memberi isyarat. Bertepatan dengan itu komandannya keluar.

‘Kok belum pergi kau? Apa lagi?’ tanya komandan itu membentak Syamsu dengan mata melotot.

‘Sudah mau pergi pak,’ jawab Syamsu.

‘Kau siapa? Ada urusan apa?’ bentak komandan itu ke wali jorong.

Ambo wali jorong. Mengawani dia saja,’ jawab wali jorong dengan wajah pucat.

Kedua orang itu segera berlalu dari kantor Buter. Tentara OPR menggerutu dalam hati karena tidak jadi dapat tanda terima kasih.


*****

Saturday, January 23, 2010

RAPAT BERHELAT

RAPAT BERHELAT

Syafwal menerima usulan istrinya agar anak mereka diperhelatkan di kampung. Menerima dengan ikhlas. Meski istrinya membumbui bahwa permintaan itu adalah permintaan mertuanya. ‘Percuma saja rumah dibuat sebesar dan serancak ini tidak dimanfaatkan untuk berhelat,’ begitu kata mak Khadijah, mertuanya. Kakak iparnya, Nursal Sutan Mudo, juga ikut menyemangati. ‘Rancaklah berhelat di kampung. Kalaulah nanti akan ada lagi resepsi di Pakan Baru tidak jadi soal. Yang di kampung ini perlu benar rasanya dilaksanakan. Bukankah menantu awak orang kampung juga meski berbeda kecamatan?’ Begitu kata mamak rumahnya Sutan Mudo itu. Syafwal tidak keberatan sama sekali.

‘Cuma ada satu permintaan saya, uda,’ kata Syafwal.

‘Apa itu?’ taya Sutan Mudo.

‘Kalau berhelat di kampung, kita pakai benar cara di kampung. Cara beradat,’ katanya.

‘Tentulah iya,’ Sutan Mudo menyetujui. ‘Kita rancang betul sebaik-baiknya,’ tambahnya.

‘Kalau begitu besok malam rapat kita. Kita perbincangkan pelaksanaan helat itu,’ usul Syafwal.

Suai. Biarlah besok saya ajak si Pirin, Rajo Bungsu, mak Muncak, mak Malin ke rumah. Gindo ajak pulalah agak berdua bertiga dari tipak bako si Lena. Sesudah sembahyang isya kita mulai rapat,’ Sutan Mudo memberi persetujuan.

‘Baiklah kalau begitu uda,’ jawab Syafwal Bagindo Sati.

***

Sesuai rencana, semua yang diundang rapat telah hadir malam itu. Rapat dipimpin Sutan Mudo. Karena dia mamak rumah. Dia mamak kandung Lena, puteri Syafwal yang akan menikah.

‘Begini mah, mak,’ kata Sutan Mudo, seolah memberi laporan kepada mak Muncak dan mak Malin. ‘Dari fihak Gindo Sati kan sudah sesuai setentangan kerja besar yang akan kita seberangkan ini. Sudah setuju helat si Lena dilaksanakan di kampung. Namun ada sebuah permintaan dari fihak Gindo Sati, yakni supaya helat ini dikerjakan menurut adat. Ini kan permintaan yang sebenar permintaan. Permintaan yang sudah sangat jelas. Kalau kita berhelat di kampung tentu iya kita selesaikan dengan cara di kampung. Tapi supaya lebih jelas lagi, itulah sebabnya maka pada kesempatan ini kita perundingkan, bagaimana tertib pelaksanaannya.’

‘Kalau begitu sudah betul itu. Apa juga yang akan dirundingkan lagi?’ mak Muncak berkomentar.

‘Maksudnya begini, mak. Tolonglah mamak curaikan, rangkaian helat dengan cara beradat itu. Sesudah itu tentu ingin pula kita mendengar dari fihak Gindo, kalau-kalau ada tukuk tambahnya.’

‘Kalau yang secara adat di nagari kita ini, menikah di rumah jadi, atau di masjid pun bisa. Kita tentukan harinya. Kalau sekiranya di rumah, bisa dilaksanakan di sehari sampai atau di hari pelaksanaan ijab kabul. Kalaulah akan dilaksanakan di masjid boleh juga sore hari, atau biasa juga dilaksanakan orang sesudah sembahyang Jumat. Kalau nikah di rumah, yang biasa dilakukan orang, rombongan marapulai datang menjelang maghrib. Marapulai datang dengan mamak-mamaknya beserta anak-anak muda yang mengantarkannya. Langsung diselesaikan ijab kabul malam itu. Sesudah itu makan minum si pangkal dan si alek. Malam itu, malam sampai disebut orang, adalah malam helat marapulai dengan kawan-kawannya sesama anak muda, diiringkan pula oleh seorang berdua mamak-mamaknya.

Besoknya anak daro dijemput oleh rombongan ibu-ibu dari fihak marapulai. Istilahnya pun hari dijemput. Yang datang adalah rombongan perempuan lengkap dengan pasumandannya. Anak daro dan marapulai diarak ke rumah mertua. Di sebelah petang, rombongan itu diantar kembali ke rumah anak daro.

Lalu malam harinya, marapulai membawa mamak-mamaknya, khusus mamak-mamak saja, ke rumah istrinya untuk makan singgang ayam. Maka sudah selesailah helat itu. Begitu yang diadatkan di nagari kita ini,’ jawab mak Malin.

‘Bagaimana kira-kira Gindo?’ tanya Sutan Mudo.

‘Ambo menurut saja..... Tapi ada satu pertanyaan, mak. Di kota dikerjakan orang helat ini dengan acara malam bainai. Apakah itu tidak lazim, mak?’ tanya Syafwal.

‘Itu boleh-boleh saja. Walaupun tidak semua orang mengerjakan. Maksudnya adalah malam menasihati calon anak dara. Datang bako, datang mintuo (istri mamak) untuk memandikan calon anak dara dan melekatkan inai. Mereka membawa hadiah untuk anak ujung emas, calon anak dara. Malam bainai ini kalau mau dikerjakan boleh saja. Biasanya dilakukan semalam sebelum akad nikah. Dan itu adalah helatnya ibu-ibu.’

‘Lalu..... Bagaimana dengan helat untuk tamu orang kampung, nyiak?’ tanya si Pirin.

‘Ha... itu urusan kau lah itu,’ jawab mak Muncak.

‘Hari Minggu kita jamu tamu undangan, kan begitu Gindo?’ tanya Sutan Mudo memastikan.

‘Iyalah uda, saya menurut saja,’ jawab Syafwal.

‘Tapi ada pula kebiasaannya pak etek, helat hari minggu itu biasanya sampai malam,’ Pirin menambahkan.

‘Ya iyalah. Kalau masih ada tamu datang tentu kita layani. Ndak masalah kan, itu?’ jawab Syafwal.

‘Dan biasanya, pada malam hari itu yang datang anak-anak muda kampung. Mereka minta agak diistimewakan sedikit.’

‘Maksudnya?’ tanya Syafwal.

‘Kalau bisa disediakanlah minuman untuk mereka. Khusus untuk malam itu,’ usul Pirin.

‘Sebentar dulu.... Maksudnya bagaimana?’

‘Malam orang berhelat itu, sudah seperti tradisi pula di kampung sebagai malam hiburan untuk anak-anak muda. Mereka akan datang berombongan mendengarkan musik. Begitu biasanya.’

‘Musik? Musik apa? Dari tadi kita tidak ada membicarakan musik,’ Syafwal terheran-heran.

‘Begini, Gindo. Sekarang, dek jaman kemajuan, di kampung ini kalau orang berhelat selalu ada hiburan musik. Orgen tunggal, begitu disebut namanya. Dipanggil tukang orgen. Yang muda-muda nanti akan menyumbang lagu. Bernyanyi di pentas. Kebetulan si Pirin ini pemain orgen tunggal itu,’ Sutan Mudo membantu menjelaskan.

Syafwal tidak segera menjawab. Dia sudah memperkirakan akan ada pembahasan tentang orgen tunggal ini. Justru inilah sebenarnya yang ingin dicegahnya dengan usul untuk melaksanakan perhelatan secara beradat.

‘Jadi, bagaimana pendapat Gindo?’ tanya Sutan Mudo.

‘Saya tidak setuju, uda,’ jawab Syafwal singkat.

‘Maksudnya?’

‘Saya tidak setuju ada acara musik orgen tunggal,’ jawab Syafwal tegas.

‘Itu tidak mungkin pak etek,’ giliran Pirin mengeluarkan pendapat.

‘Kenapa tidak mungkin?’

‘Saya diundang orang kemana-mana berorgen tunggal. Sekarang giliran di rumah bako saya sendiri tidak ada musik. Apa kata orang?’

‘Tidak terlalu faham saya maksudnya.’

‘Pak etek. Bermain orgen ini pekerjaan saya. Dengan ini saya mencari rejeki. Kalau sampai helat si Lena tidak pakai orgen tunggal, kan sama saja namanya pak etek menggulingkan periuk nasi saya. Masak pak etek sampai hati?’

‘Tapi melaksanakan perhelatan tidak ada kewajiban membuat pertunjukan musik. Tidak ada hubungannya itu.’

‘Ada hubungannya Gindo.... Sekarang cara seperti itu yang diperbuat orang. Tidak ramai helat kalau tidak ada orgen tunggal.’

‘Ambo minta maaf, uda. Minta maaf kepada mak Muncak serta mak Malin. Kalau yang satu ini sungguh, ambo tidak mau ikut.’

‘Apa alasan Gindo?’

‘Banyak mudharatnya uda. Sekali lagi mohon maaf mamak-mamak.’

‘Mudharat? Apa mudharatnya?’

‘Sebelum saya jawab. Tadi si Pirin mengawali dengan permintaan agar untuk anak-anak muda di malam hari disediakan minuman. Minuman apa maksudnya?’ tanya Syafwal.

‘Ya.... Minumanlah pak etek. Tapi kalau pak etek tidak mau menyediakan tidak juga jadi masalah. Biarlah mereka urus sendiri urusan minuman itu.’

‘Jadi apa yang akan mereka lakukan pada acara itu? Kenapa perlu minuman? Maaf, maksudnya minuman ini, minuman keras?’

‘Ya... sekedar bir bintang begitulah pak etek. Kan maksudnya untuk sedikit bergembira. Malam muda mudi. Malam gembira. Biar mereka berjoged-joged sebagai bentuk kegembiraan di hari istimewa anak dara dan marapulai,’ Pirin merasa seperti dapat angin.

‘Jawaban saya pasti tidak. Saya tidak setuju dengan acara seperti itu,’ jawab Syafwal.

‘Begini, Gindo. Maksudnya, kita mengerjakan seperti yang dilazimkan orang sekarang. Kalau Gindo tidak setuju dengan menyediakan minuman untuk mereka, seperti kata si Pirin, biarlah mereka urus sendiri apa yang mereka perlukan. Kalau sekedar bermusik-musik itu apa pulalah salahnya.’

‘Sangat salah itu, uda. Ambo meminta pelaksanaan helat ini secara adat adalah untuk menghindarkan hal-hal yang seperti itu. Kalau kita biarkan, kalau ambo biarkan berarti ambo menyokong tradisi baru itu. Tradisi baru kata si Pirin. Tradisi yang jelas sangat banyak kelirunya. Ambo bukan tidak mendengar uda, di acara berorgen tunggal itu biasanya anak-anak muda itu banyak yang sampai mabuk. Yang perempuan berjoged dalam keadaan setengah waras, bergoyang dengan goyangan yang tidak pantas. Ini bukan budaya kita, uda. Yang berjoged dan yang mabuk-mabuk anak kemenakan kita. Ambo tidak setuju membiarkan anak-anak muda itu berbuat yang tidak pantas seperti itu.’

‘Kalau tidak ada orgen tunggal, tidak akan ada orang datang ke perhelatan, pak etek. Percayalah.’

‘Begini Pirin. Hutang kita adalah mengundang. Datang tidak datang terpulang kepada yang diundang.’

‘Dan helat ini bisa saja diganggu anak-anak muda kalau tidak ada orgen tunggal.’

‘Begini sajalah. Urusan orgen tunggal, mohon maaf sebesar-besarnya kepada mamak-mamak, kepada uda, biarlah jadi tanggung jawab saya mengatakan tidak. Kalau ada yang mengganggu saya serahkan urusannya kepada si Misran di kapolsek. ’

Misran adalah kemenakan sepersukuan Syafwal, komandan polisi di kapolsek.

‘Sudahlah. Benar juga yang dikatakan Bagindo Sati. Kita coba mengawali meninggalkan musik orgen tunggal itu. Aku sependapat dengan Gindo. Acara seperti itu merusak,’ mak Malin kembali ikut berbicara.

‘Rapat apa ini. Rapat tidak sendereh...’ kata Pirin merentak lalu bangkit dari duduk dan langsung pergi.

Mak Malin dan mak Muncak tersenyum saja melihat. Nursal Sutan Mudo tidak berani mempertegaki anaknya itu lagi. Dia terpaksa diam saja.


*****

Thursday, January 21, 2010

Pantun 2

Pantun 2

Keselamatan atas engkau para saudara
Dimana saja anda berada
Semoga rahmat Allah senantiasa
Menyertai anda serta berkah Nya

Kusampaikan lagi sebuah cerita
Berasal dari dunia sana
Ketika terlelap aku melihatnya
Gerangan entah apalah makna

Menjelang subuh aku terjaga
Ditepuk pipi dicubit paha
Sambil menggosok-gosok mata
Habis bermimpi aku kiranya

Bergemuruh rasanya darah di dada
Gamang dan takut tidak terkira
Senyampang mimpi menjadi nyata
Betapa menyeramkan itu semua

Di dalam mimpi aku terpana
Maninjau Singkarak berlaga-laga
Marapi Singgalang meronta-ronta
Pasaman Tandikek begitu pula

Bersamun awan di udara
Hitam pekat kelabu tua
Berdesir angin menghalaunya
Bunyi ribut membahana

Tapi yang aneh mempesona
Orang kampung tenang-tenang saja
Seolah tak terjadi apa-apa
Mereka asyik bercengkerama

Rasian yang terlalu kasat mata
Rasanya tidak susah benar tadbirnya
Mimpi buruk sedang menimpa
Minangkabau ranah tercinta

Berkali-kali musibah tiba
Marapi dan Talang mengirim tanda
Berbuat garang mereka bisa
Memanggang nagari di sekitarnya

Jangan ditanya perkara gempa
Sudah berulang dihoyaknya
Handam karam nagari yang dilanda
Masjid dan surau porak poranda

Puting beliung pernah bicara
Pohon besar ditumbangkannya
Semua diterbangkan ke udara
Ranap yang tinggal tak berdaya

Air yang adalah sebuah karunia
Dengannya kehidupan bermula
Tapi ketika sangat banyak dia tiba
Dihanyutkannya segala yang ada

Jadi kalau perkara tanda
Sudah lengkap rasa-rasanya
Allah tunjukkan untuk semua
Bahwa Allah bisa sangat murka

Namun herannya mereka tetap mada
Tidak sedikitpun bisa membaca
Tanda-tanda kekuasaan Nya
Asyik juga berbuat dosa

Batil dan haq dipercampurkannya
Halal dan haram sama direguknya
Tuak dan kopi sama dinonongnya
Perbuatan tercela dikerjakannya

Mereka mempunyai puteri dan putera
Tiba masa menikahkannya
Didatangkan orang siak dan ulama
Untuk menyaksikan ijab kabulnya

Sebuah perbuatan wajib atas mereka
Menikahkan anak-anak remaja
Agar terhindar dari dosa
Dari melakukan perbuatan tercela

Sesudah ijab kabul jadi upacara
Orang banyak di kerumahkannya
Untuk memberikan restu dan doa
Kepada marapulai dan anak dara

Ketika itulah dimulai dosa
Orgen tunggal diadakannya
Entah siapa yang punya budaya
Bunyi musik memekak telinga

Berdentam-dentam membahana
Laksana bunyi meriam belanda
Sedang berperang di medan laga
Tak siapa dapat melerainya

Di siang hari belum puncaknya
Semakin malam semakin bergelora
Tuak dan bir entah dari mana datangnya
Mereka teguk dengan leluasa

Musik orgen tunggal semakin membara
Penyanyi yang biasanya betina muda
Sungkan dan malu jadi tiada
Mereka bergoyang pinggul dan dada

Tidak menunggu terlalu lama
Mabuk dan tenggen datang mendera
Pikiran waraspun jadi sirna
Semua bergoyang mengikuti irama

Inilah batil yang seutuhnya
Pangkal dosa bermacam dosa
Ninik dan mamak hilang wibawa
Tidak seorangpun angkat bicara

Alihkan pula pandangan mata
Ke tengah kampung ke pinggir kota
Orang berdamini atau berkoa
Azan terdengar dibiarkan saja

Kok dilihat pula para remaja
Berkeliaran berbuat semaunya
Ke pinggir laut berhura-hura
Berkeluntun-puntun jantan betina

Seakan-akan belum sempurna
Dari berpacu berbuat durjana
Yang muda berbuat suka-suka
Yang tuapun lupa dituanya

Tidak ada yang sadar seorang jua
Bahwa mereka telah berdosa
Melanggar larangan Allah Ta’ala
Dengan apa yang dikerjakannya

Oleh karena itu wahai saudara
Mari kita ingat-ingatkan jua
Bahwa dahulu tidak serupa
Ketika adab budaya masih dipelihara

Berhelat berkenduri boleh saja
Diundang sanak serta saudara
Orang kampung semuanya
Tanda bersyukur kepada Nya

Bersukacita ada batasnya
Norma susila tetap dipelihara
Tidak semua berseleperan saja
Bergalau tak jelas juntrungannya

Berpesta pora bermusik ria
Berorgen tunggal konon namanya
Handam karam bunyi suaranya
Sangat mengganggu para tetangga

Apalagi ditambah pula
Minum tuak, bir dan sebangsanya
Bernyanyi berjoged bermabuk ria
Perbuatan dosa itu semua

Jadi sekali lagi para saudara
Mari mulai dari diri kita
Kok nyampang berhelat kemenakan kita
Perhelatkan dengan cara biasa saja

Mari kembali makan berjamba
Diringi dengan sedikit hota
Sekedar yang perlu-perlu saja
Ketika kita sama bersila

Bukan karena apa-apa
Kalau tetap juga berbuat dosa
Tanpa pernah merasa jera
Murka Allah yang akan menimpa

Tidakkah kita faham juga?
Dengan semua peringatanNya?
Ketika didatangkanNya berbagai bala?
Untuk mengingatkan kita semua?

Jangan dipandang enteng saja!
Ketika nagari dihoyak gempa!
Puting beliung datang menyapa!
Ombak di laut menggelora!

Semua itu isyarat yang disampaikan Nya
Bahwa kita anak manusia
Sebenarnya tiada kuasa tiada daya
Jadi janganlah ongeh juga

Mari ingatkan anak kemanakan kita
Supaya kembali ke jalan Nya
Beramal salih di alam dunia
Agar di akhirat kelak terpelihara.