(49)
Papi akhirnya memecah kesenyapan itu dengan mengajak pak Umar dan ibu Fatimah kembali ke ruangan duduk. Mereka semuanya meninggalkan garasi mobil itu. Semua diam. Antopun tidak sanggup menyembunyikan keheranannya. Dia yang ikut memberi saran tentang jenis mobil dan warnanya, yang diharapkan akan disukai pak Umar. Ternyata harus kecele. Pak Umar bukan suka atau tidak suka. Dia tidak mau menerima hadiah mobil itu. Kok ada ya, orang kayak pak Umar, komentar Anto dalam hati.
Mereka kembali duduk di ruang tamu. Masih belum ada yang mulai berbicara. Papi akhirnya mencoba membuat penawaran baru.
‘Kalau begini bagaimana, pak. Seandainya mobil itu saya hadiahkan ke SMU 369 melalui bapak. Jadi bapak bisa menggunakannya sebagai kendaraan dinas. Apakah hal ini memungkinkan?’ tanya papi pula.
Pak Umar tersenyum. Lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Dia menatap papi dengan penuh perhatian, sebelum berbicara.
‘Sama saja pak. Kalau mobil itu diserahkan kepada sekolah melalui saya, tetap saja saya tidak akan mungkin dapat memakainya. Sebab saya tidak mampu menanggung biaya operasionalnya. Jadi….. ya tidak usahlah. Kalau mobil itu diserahkan langsung ke sekolahpun, saya khawatir bahwa saya akan mendapatkan masalah untuk mengawasinya sesudah itu,’ jawab pak Umar.
‘Baiklah, kalau bapak tidak bersedia menerimanya, saya tentu tidak mungkin memaksakan. Kami hanya bisa berterima kasih yang sebesar-besarnya sekali lagi atas kebaikan bapak. Mudah-mudahan semua pertolongan yang bapak berikan akan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pemurah,’ kata papi akhirnya.
‘Amiin,’ jawab pak Umar pendek.
‘Masih mungkinkah saya mengusulkan sesuatu?’ tanya mami.
Semua mata memperhatikan mami penuh tanda tanya.
‘Apa yang ingin ibu usulkan?’ tanya pak Umar.
‘Saya berniat mau pergi umrah kalau saya dinyatakan benar-benar sudah sehat oleh dokter. Permintaan saya nomor satu saya ajukan kepada suami saya. Mas, maukah mas menemani saya pergi umrah?’ tanya mami ke papi.
‘Baik. Boleh…lalu maksudnya?’ tanya papi pula.
‘Usul dan permintaan saya yang kedua, maukah pak Umar membimbing kami dalam melaksanakan ibadah umrah itu? Maksud saya lebih jelasnya menemani kami pergi ke tanah suci?’ tanya mami ke pak Umar.
Pak Umar terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
‘Lebih tegasnya, saya akan membawa Anto ikut. Artinya waktunya kita tunggu sampai saat liburan sekolah. Dan saya minta tolong agar pak Umar, ibu Umar dan anak-anak pak Umar ikut membimbing dan menemani kami. Bisakah kira-kira pak dan bu Umar?’ tanya mami lagi.
Papi tersenyum mendengar usulan mami tapi tidak berani berkomentar. Papi menunggu jawaban pak Umar. Pak Umar berpandang-pandangan dengan ibu Fatimah. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Mungkinkah pak Umar sedang memikirkan dalih penolakan pula? Atau akankah dia menerima kali ini tawaran mami? Beberapa saat lagi tidak ada jawaban sementara mami dan papi memandang ke pak Umar harap-harap cemas. Akhirnya keluar juga kata-katanya.
‘Saya akan pikirkan. Saya akan bicarakan dengan istri dan anak-anak saya sebelum memberikan jawaban. Sementara ini hanya itu yang dapat saya katakan,’ jawab pak Umar.
‘Baiklah pak. Terima kasih. Mudah-mudahan Tuhan memberi kemudahan kepada saya melaksanakan yang saya cita-citakan ini. Dan mudah-mudahan pak Umar sekeluarga bersedia membantu kami sekeluarga, membimbing dan menemani kami melaksanakan ibadah umrah. Namun demikian saya ingin juga menanyakan, mungkin ibu Umar bisa memberikan tambahan barangkali bu?’ tanya mami ke ibu Fatimah.
‘Ini adalah sepenuhnya urusan suami saya. Jadi apapun keputusannya saya mengikut saja. Apapun jawaban dan pilihan suami saya maka saya akan taat dan mematuhinya,’ jawab ibu Fatimah.
Dengan demikian suasana yang sempat kaku beberapa saat sebelumnya bisa cair kembali. Mereka masih meneruskan obrolan sampai jam sebelas pagi, saat pak Umar dan istrinya mohon diri.
*****
Papi, mami dan Anto membahas kembali penolakan pak Umar atas pemberian hadiah mobil yang mereka tawarkan. Padahal kepadanya sudah dijelaskan betapa besarnya bagi mereka sekeluarga arti pertolongan yang diberikan pak Umar bagi pemulihan kesehatan mami. Sedang hadiah itu mereka berikan dengan ikhlas, dengan harapan akan dapat membahagiakan pak Umar dan keluarganya. Dengan harapan bahwa dengan cara seperti itu kiranya mereka dapat berbagi kebahagiaan. Tidak ada sedikitpun niat mereka untuk membayar jasa pak Umar. Mereka menyadari bahwa jasanya tidak dapat dinilai dengan uang. Tapi pak Umar ternyata menolaknya tanpa ragu-ragu.
Papi justru sangat mengagumi pak Umar yang polos, bersahaja namun sangat tegas dengan pendiriannya. Agaknya manusia seperti pak Umar sangat langka saat ini.
‘Luar biasa,’ kata papi. ‘Masih ada orang yang begitu kuat berpegang kepada prinsip hidup sederhana. Sedikitpun dia tidak tergoyahkan. Kita telah salah menilai bahwa kebahagiaan itu selalu berhubungan dengan benda. Ternyata pak Umar sedikitpun tidak terpengaruh dan bahkan agak kurang senang dengan cara kita menawarkan pemberian.’
‘Rasanya kita tidak berlebih-lebihan. Untuk menyerahkan hadiah itu cara yang paling baik memang seperti yang kita lakukan, pada saat pak Umar berkunjung ke sini. Seandainya kita antarkan ke rumahnya, padahal dia tidak mau menerima, mungkin dia akan marah dan tersinggung,’ tambah mami.
‘Atau sebaliknya, mi. Karena ada anak-anaknya, mungkin dia akan terpaksa atau dipaksa menerima oleh anak-anaknya,’ Anto ikut bersuara.
‘Mami rasa tidak. Pak Umar sangat berwibawa dimata istri dan anak-anaknya. Dan kelihatannya dia sangat mereka hormati. Apapun keputusannya pasti akan diikuti oleh istri dan anak-anaknya. Mami berkesimpulan demikian waktu mami lihat istrinya tidak sedikitpun terpengaruh. Tidak ada terlihat dia berharap suaminya akan mau menerima pemberian kita. Dan tidak terlihat dia kecewa waktu suaminya menolak tawaran tersebut,’ kata mami pula.
‘Betul yang dikatakan mami. Kamu dengar juga kan, waktu dia mengatakan bahwa dia menerima apa saja keputusan suaminya waktu mami menawarkan pergi umrah bersama-sama?’ kata papi.
‘Ya…kita tunggu saja apa jawabannya tentang rencana pergi umrah itu. Mudah-mudahan dia mau menerimanya,’ tambah mami.
‘Tapi rencana mau pergi umrah sekeluarga harusnya serius, dong? Maksud Anto, seandainya bapak Umar yang sangat bersahaja dan susah diprediksi itu menolakpun kita tetap pergi? Begitu kan mi?’
‘Ya…insya Allah….. Papi tadi sudah bilang setuju. Kalau mami dinyatakan dokter benar-benar sembuh dari penyakit mami, kita pergi. Iya kan mas?’
‘Ya, papi setuju. Tentu saja papi sangat berharap agar bapak Umar itu mau ikut bersama-sama kita.’
‘Berarti kita pergi sekitar bulan Juli mendatang? Saat libur kenaikan kelas?’ tanya Anto pula.
‘Ya…mudah-mudahan,’ jawab papi.
‘Mami masih mikirin seandainya pak Umar itu mengatakan tidak lagi.’
‘Katanya, kalau dia menolak, kita pergi bertiga saja? Gimana sih?’ tanya papi.
‘Bukan masalah pergi umrahnya. Bagaimana caranya menyampaikan rasa terima kasih kita kepadanya. Saya sangat ingin ada sesuatu yang kita berikan kepadanya sebagai tanda terima kasih kita,’ kata mami pula.
‘Itu yang salah. Kamu masih memakai standar umum dalam menilai dia. Dia itu tidak mengharapkan pemberian berupa barang, bahkan cenderung alergi terhadap hal-hal seperti itu,’ kata papi.
‘Atau mungkin karena yang kita tawarkan mobil. Kesannya sesuatu yang sangat mahal sehingga dia takut timbul prasangka yang tidak-tidak dari orang di sekitarnya,’ kata mami pula.
‘Mungkin juga. Saya pikir akan lebih baik kalau kita menawarkan persahabatan kepadanya.’
‘Kalau itu sih, iya. Kita kan sudah cukup akrab dengannya,’ kata mami.
‘Maksud saya…… kita juga ikut mendekati keluarganya. Kita minta izin untuk datang berkunjung ke rumahnya. Dan kita datang dengan ikhlas. Secara baik-baik, benar-benar ingin berkunjung membina hubungan sosial. Kapan-kapan sesudah itu kita undang pula mereka sekeluarga datang ke sini. Kita jamu mereka. Dengan cara pendekatan seperti itu mudah-mudahan akan lebih terbina hubungan baik di antara kita. Hubungan yang lebih akrab, kalau bisa seperti hubungan orang bersaudara,’ kata papi menerangkan.
‘Benar juga, mas. Begini saja. Bagaimana kalau minggu depan kita tanyakan apakah dia mau menerima kita? Kita datang berkunjung ke rumahnya untuk menanyakan jawabannya untuk pergi umrah,’ usul mami.
‘Boleh juga. Besok biar saya telepon dia di sekolah. Saya tidak akan bertanya urusan umrah. Saya bilang saja kita ingin datang berkunjung ke rumahnya, membalas kunjungannya ke sini,’ kata papi.
‘Ya…nggak usah langsung besok nelponnya, pi. Ntar kelihatannya kita ngebet betul. Biar saja agak dua tiga hari dulu. Misalnya hari Rabu gitu. Kan rencana mau ke sananya hari Minggu,’ usul Anto.
‘OK juga usul kamu. Dan kamu harus ikut, ya? Biar kelihatan bahwa kita ingin membina persahabatan keluarga seperti yang papi katakan.’
‘Ya.. betul itu. Anto mau kan?’ tambah mami.
‘Boleh. Anto mau aja.’
*****
No comments:
Post a Comment