Tuesday, December 9, 2008

SANG AMANAH (87)

(87)


Iwan jadi agak bersimpati sesudah mendengar cerita singkat Edwin tadi. Waktu istirahat kedua, waktu Anto pergi shalat, Iwan yang hanya kadang-kadang ikut shalat di mesjid sekolah itu, mengajak Edwin untuk ngobrol-ngobrol.

‘Emangnya lo kerja di pompa bensin selama ini?’ tanya Iwan mengawali obrolan mereka.

‘Emang,’ jawab Edwin pendek.

‘Kapan lo berhenti kerja di sana?’

‘Hari Minggu kemarin.’

‘Kerja karena kemauan lo atau karena…….?’ Iwan tidak meneruskan kata-katanya.

‘Karena kemauan gue dan karena kebutuhan keluarga gue. Nyokap gue buruh kasar, bokap gue sudah nggak ada. Adik gue tiga orang masih pingin sekolah. Makanya gue kerja buat nyari uang. Buat ngebantuin nyokap gue,’ Edwin bercerita datar.

Iwan terperangah mendengarnya.

‘Bokap lo udah nggak ada?’

‘Ya, bokap gue meninggal enam bulan yang lalu. Kecelakaan lalu lintas juga. Dan gue mulai bekerja sesudah bokap gue nggak ada. Amir yang ngenalin gue dengan mandor di pompa bensin tempat gue bekerja itu. Mandornya itu saudaranya Amir,’ cerita Edwin lagi.

‘Nah, terus……… Sekarang lo sekolah….gimana caranya dong. Maksud gue, kalau tadinya lo harus bekerja untuk ngebantuin nyokaplo, sekarang gimana caranya?’

‘Itu sih panjang lagi ceritanya. Pokoknya Tuhan yang menolong deh. Gue juga nggak nyangka bakal bisa sekolah lagi. Tadinya gue pikir udah pasti nggak bakalan mungkin gue kembali sekolah. Ternyata ada aja pertolongan Tuhan yang tidak diduga-duga.’

‘Maksud lo ada yang nolongin?’

‘Maksud gue Tuhan memberikan kemudahan. Nyokap gue yang tadinya hanya bekerja sebagai buruh kasar, tiba-tiba ada yang nawarin untuk bekerja di kantoran gitu, dengan gaji yang lebih baik. Tiba-tiba saja. Dan tiba-tiba pula gue ditawarin kalau mau kembali bersekolah. Ya jelas gue mau banget. Semua terjadi dalam waktu singkat. Hari Jumat gue masih bekerja seperti biasa. Hari Jumat malam waktu gue pulang dari tempat kerja, terjadi semua perubahan itu,’ lanjut Edwin.

Iwan melongo mendengar cerita itu. Meski masih agak samar-samar tapi dia mengerti apa yang diceritakan Edwin. Iwan masih punya sedikit uneg-uneg.

‘Sori, Win. Gue bukannya mau usil. Tapi……… Tapi gue bener-bener sekedar pingin tahu. Abis lo dikeluarin dari sekolah tahun lalu itu, lo lama nggak sih masih kecanduan?’

‘Gue nggak pernah kecanduan. Lo nggak bakalan percaya. Biar kata lo nggak percaya juga, gue ngomong sebenarnya. Dulu itu gue dicekokin anak-anak beberapa kali. Ada yang gue dikasih tahu kalau minuman gue dikasih pil. Akibatnya gue sampe sakau emang. Ada empat kali gue sakau. Nggak sadar. Tapi sekali lagi gue nggak pernah nyandu. Gue nggak pernah merasa kepingin. Dan gue nggak ngerasain apa-apa waktu gue mabok. Paling nggak, waktu itu nggak ada rasa enaknya yang bikin gue kepingin lagi, gitu. Pada hari gue dikeluarin dari sekolah, gue dikasih ‘Sprite’ yang dicampur pil ama Parlin, itu anak yang juga dikeluarin. Dia udah duluan minum. Gue nggak niat mau minum. Justru gue kepingin lihat kayak apa tampangnya orang lagi sakau itu. Sialnya, waktu itu kita ketangkap pak Mursyid. Begitu ceritanya waktu itu. Dan sejak dikeluarin dari sekolah gue nggak pernah lagi nyoba tuh barang. Nggak mau dan gue benci amat.’

Iwan terperangah mendengar cerita Edwin. Ternyata anak ini tidak ‘sejahat’ yang dipikirnya. Ternyata selama ini dia telah keliru menilai Edwin.

Lonceng masuk untuk pelajaran terakhir berbunyi. Anak-anak kembali masuk kelas.


*****


Hari Kamis pagi. Hari keempat Edwin bersekolah. Sore nanti ada latihan basket kembali. Masih dua minggu lagi sebelum hari kompetisi. Anak-anak kelas dua C diwakili tiga orang pemain tangguh tim bola basket SMU 369, yaitu Herman, Iwan dan Anto. Pak Hardjono menempatkan Herman dan Anto dalam tim A dan Iwan di tim B.

Diam-diam Iwan ingin agar Edwin dimasukkan ke dalam timnya, tim B. Tapi, mungkin banyak anak-anak yang tidak akan suka, seperti kemarin-kemarin dia sendiri juga tidak suka. Iwan ingin mengajak Edwin ikut latihan nanti sore. Pada waktu istirahat pertama Iwan tidak keluar dari kelas. Dia mendatangi Edwin yang juga tidak keluar kelas dan mengajak ngobrol.

‘Win, lo kan disuruh pak Hardjono ikut latihan basket?’ Iwan mengawali pancingannya.

‘Pak Hardjono mungkin sekedar ngajak aja. Lagian kan lo-lo latihan buat mengikuti kompetisi. Gue nggak enak dong mau ikut-ikutan.’

‘Lha, lo kan disuruh? Kalau sekedar latihan aja kan nggak ada salahnya?’

‘Iya sih. Tapi gue kayaknya emang nggak bisa tuh,’ jawab Edwin hati-hati.

‘Kenapa sih, emang?’

‘Gue belom siap aja.‘

‘Belom siap apanya sih? Mendingan lo datang aja. Ikut latihan ama kita-kita,’ Iwan mendesak.

Edwin tidak menjawab. Anto yang masuk ke kelas lagi karena kayaknya ada yang kelupaan, heran melihat Iwan lagi ngobrol dengan Edwin. Dia mendengar ujung pembicaraan mereka barusan. Ada apa nih, kok tumben-tumbenan Iwan berubah begini. Memang dari kemarin-kemarin dia lihat Iwan beberapa kali ngobrol dengan Edwin tapi dia tidak tahu apa yang mereka bincangkan.

Tiba-tiba Amir datang. Dia sengaja mencari Edwin.

‘Win. Ntar lo mau nonton basket lagi nggak?’ tanyanya begitu dia lihat Edwin.

‘Ah, nggak deh kayaknya Mir,’ jawab Edwin.

‘Kenapa lo. Kan waktu itu pak Hardjono nyuruh lo ikut latihan. Masak lo berani nolak?’

‘Nggak berani sih. Tapi ntar gue ada perlu,’ jawab Edwin pura-pura.

‘Mau kemana lo?’

‘Ada perlu aja di rumah,’ jawab Edwin sekenanya.

‘Ya udah. Maksud gue, kalau lo mau datang biar gue jemput. Jadi lo nggak datang nih?’

‘Kayaknya nggak deh.’

‘Kalau lo ntar disuruh beneran sama pak Hardjono, gimana?’

‘Ah, lo lagi. Gue nggak bakalan disuruh datang.’

‘He..he..he. Gini aja, kalau nanti ada perubahan lo kasih tahu gue,’ ujar Amir sambil terus berlalu.

Iwan dapat akal. Dia akan menghubungi pak Hardjono dan meminta pak Hardjono yang menyuruh Edwin datang latihan. Diam-diam Iwan keluar menuju ke kantor guru sendirian. Didapatinya pak Hardjono sedang di ruangan itu dengan guru-guru lain. Iwan minta izin untuk berbicara dengan pak Hardjono.

‘Ada apa Wan?’ tanya pak Hardjono.

‘Tentang latihan nanti sore pak,’ jawab Iwan.

‘Iya. Kenapa?

‘Waktu itu bapakkan mengajak Edwin ikut latihan pak?’ ujar Iwan.

Pak Hardjono mengernyitkan keningnya. Apa maksud anak ini? Apa dia mau mendikte? Apa dia mau menghalang-halangi Edwin diikut sertakan? Pak Hardjono mengerti kalau ada di antara anak-anak itu tidak siap menerima Edwin dilibatkan dalam kompetisi nanti. Tapi kalau sampai ada di antara murid-murid ini yang terlalu memaksakan agar Edwin diisolir, jelas ini tidak sehat.

‘Apa maksud kamu Wan?’ tanya pak Hardjono dengan pandangan serius.

‘Maksud saya, kalau dia diikut sertakan menghadapi kompetisi, agar dia diikutkan dalam tim saya pak, tim B,’ jawab Iwan.

Pak Hardjono bertambah bingung. Ditatapnya wajah Iwan dengan pandangan hati-hati. Ini benar-benar aneh. Bukankah kemarin-kemarin anak ini tidak suka kalau Edwin diajak ikut latihan?

‘Tapi rasanya kemarin itu, waktu latihan hari Senin, kamu tidak suka kalau Edwin diikutsertakan. Kok sekarang berubah?’ tanya pak Hardjono.

‘Saya sudah berbincang-bincang dengan Edwin pak. Saya bersimpati kepadanya sekarang,’ jawab Iwan polos.

‘Oh begitu. Jadi kamu tidak keberatan kalau Edwin diikutsertakan?’

‘Tidak pak. Bahkan saya ingin dia berada dalam satu tim dengan saya.’

‘Baik kalau demikian. Coba kita ajak dia latihan nanti dan kita lihat. Kita lihat juga bagaimana reaksi teman-temanmu yang lain,’ jawab pak Hardjono.

‘Tapi ada masalah kecil lagi pak.’

‘Masalah apa lagi?’

‘Dia tidak mau datang nanti sore, pak. Saya sudah mengajaknya dan dia tidak mau.’

‘Tidak mau kenapa?’

‘Saya tidak tahu pak. Tadi ada Amir, anak kelas tiga IPA itu juga mengajaknya, tapi katanya dia tidak mau. Sama Amir ditanya, bagaimana kalau bapak yang menyuruh, dia diam. Makanya saya mau minta tolong kepada bapak untuk menyuruh Edwin ikut latihan nanti sore,’ kata Iwan.

Pak Hardjono tersenyum. Dia mengerti sekarang. Syukurlah anak-anak muridnya ini mempunyai hati yang polos seperti ini. Pak Hardjono menyanggupi untuk mengajak Edwin nanti sore.

‘Kalau begitu kamu panggil dia sekarang. Kamu bilang saya ingin bertemu,’ perintah pak Hardjono.

‘Baik, pak,’ jawab Iwan.

Dia langsung keluar dari kantor guru, menuju ke kelasnya kembali. Didapatinya anak-anak tadi masih dalam kelas. Anto sedang berbincang-bincang dengan Edwin dan Sapto.

‘Win! Lo dipanggil pak Hardjono,’ Iwan memberi tahu Edwin.

‘Oh ya? Lo ketemu pak Hardjono dimana?’ Edwin bertanya, sedikit curiga.

‘Nggak, gue pas keluar. Ketemu pak Hardjono. Terus dia nyuruh manggil elo,’ Iwan sedikit berbohong.

Edwin pergi menuju kantor guru. Anto mengamati Iwan dengan pandangan penuh tanda tanya. Permainan apa yang sedang dimainkan Iwan? Ah mudah-mudahan saja bukan permainan ‘kotor’.

‘Lo barusan dari mana Wan?’ tanya Anto.

‘Dari luar,’ jawab Iwan pendek.

‘Lo menghadap pak Hardjono?’

‘Iya. Kenapa emang?’

‘Lo, yang kenapa emang. Lo ngapain menghadap pak Hardjono?’

‘Ada aja,’ jawab Iwan menambah penasaran Anto.

‘Lo mau ngerjain Edwin?’ tanya Anto lagi.

‘Nggak. Ngapain sih lo banyak tanya amat, kayak intel?’

‘Bukan gitu. Tapi gue serius nih nanya. Apa lo mau ngerjain Edwin?’

‘Tidak saudara. Saya tidak ada niat menjahili Edwin. Saudara tidak perlu curiga. OK?’ jawab Iwan mantap.


*****

No comments: