Wednesday, November 18, 2009

GEMPA SUMATERA BARAT 30 SEPTEMBER 2009

GEMPA SUMATERA BARAT 30 SEPTEMBER 2009

Antara Musibah, Derita dan Fakta

Sudah tercatat, bahwa pada hari Rabu tanggal 30 September 2009 jam 5 lebih 16 sore gempa berkekuatan 7.6 skala Richter menggoncang pantai barat Sumatera Barat. Kota-kota Padang dan Pariaman berikut kampung-kampung disekitarnya menderita kerusakan. Kerusakan ringan sampai kerusakan sangat parah. Lebih seribu orang terkorban dalam musibah itu. Selama berhari-hari sesudah kejadian dahsyat ini beberapa stasiun televisi tidak henti-hentinya mengabarkan berita disertai tayangan gambar tentang kerusakan akibat gempa. Tayangan tentang usaha mengeluarkan mayat-mayat yang tertimbun runtuhan bangunan. Disamping ada juga tayangan tentang korban yang jiwanya selamat sesudah badannya dikeluarkan dari puing reruntuhan. Ranah Minang menangis haru dalam derita. Bantuan datang dari mana-mana. Secara spontan, baik melalui kelompok-kelompok perorangan atau dari badan-badan sosial di dalam dan luar negeri.

Empat hari sesudah gempa, tanggal 4 Oktober, jam tiga sore hari, saya sampai di Bandara Minangkabau. Mulanya kedatangan saya ini direncanakan untuk keperluan keluarga, menghadiri perhelatan seorang kemenakan di Sawahlunto. Karena adanya musibah gempa, saya ikut mengantarkan sumbangan untuk para korban gempa. Ada dua kelompok yang menitipkan sumbangan kepada saya. Yang pertama jamaah masjid Al Husna di Kompleks Depkes II Jatibening Bekasi, di tempat saya tinggal. Yang kedua anggota milis Rantau Net, sebuah komunitas maya urang awak yang anggotanya tersebar di sekeliling dunia.

Saya yang datang berdua dengan istri dijemput ke Bandara oleh kemenakan yang lain, sepasang suami istri pula. Kami akan langsung ke Sawahlunto sore hari itu juga. Sebelum menuju Sawahlunto, kami ditawari untuk melihat suasana kota Padang paska gempa. Bangunan Bandara terlihat berdiri utuh, tidak ada kesan terkena pengaruh gempa. Ketika kami di jalan menuju kota Padang, juga belum terlihat kerusakan yang berarti. Istri saya sempat berkomentar, kok kelihatannya aman-aman saja. Baru setelah berada di dalam kota terlihat beberapa buah rumah yang runtuh. Ada yang retak-retak, ada yang dindingnya jebol, ada yang atapnya runtuh ke tanah. Saya menangkap sedikit keanehan. Beberapa buah rumah berjejer, satu yang di tengah hancur sementara yang di kiri kanannya utuh. Bagaimana mungkin yang digoyang hanya rumah yang di tengah itu saja, tanya istri saya. Tidak ada yang bisa menjawab.

Kami kelilingi kota Padang. Kami temukan lebih banyak lagi rumah, kantor, gedung sekolah, toko-toko dan ruko (rumah toko), show room mobil yang runtuh. Kami lalui daerah Pondok. Di sini kehancuran nyaris total. Kami tidak bisa masuk ke area hotel Ambacang karena jalan di dekat hotel itu ditutup polisi dengan police line. Laa hawla wa laa quwwata illa billah (tiada daya, tiada kekuatan kecuali dengan izin Allah). Bergetar hati melihatnya. Kemenakan kami bercerita tentang bangunan yang sekarang terlihat satu tingkat padahal tadinya ruko bertingkat tiga.

Kenapa bangunan-bangunan itu seolah-olah sebegitu rapuh? Bisa luluh lantak seperti itu? Sementara ada bangunan-bangunan lain di sebelah menyebelahnya masih berdiri utuh? Saya bukan ahli bangunan, tapi saya menduga bahwa mutu bangunan-bangunan itu tidak sama semuanya. Mungkin ada kekeliruan teknis pada pembuatan sebagian dari bangunan-bangunan yang runtuh itu.

Sepanjang jalan kami berbincang tentang gempa. Kemenakan itu menceritakan keanehan gempa hari Rabu sore itu. Katanya, getaran gempa itu tidak hanya horizontal tapi juga vertikal. Sebuah gentong tempat beras terlempar naik turun di atas lantai sampai akhirnya pecah, katanya. Bahkan lemari bofet tempat menaruh barang pecah belah juga seperti dilemparkan naik turun sehingga isinya berhamburan keluar.

Saya terheran-heran mendengar cerita itu. Tiga hari kemudian, ketika pergi mengantarkan sumbangan untuk korban gempa dan melintas di lembah Anai, saya terkesima melihat dua bongkah batu, yang satunya berukuran lebih kurang 2x3x3 m3 di pinggir jalan, kira-kira satu kilometer sebelum air terjun dari arah Bukit Tinggi. Kedua bongkah itu pastilah terjatuh dari bukit setinggi 30 meter di atas. Seandainya ketika itu ada sebuah tank baja melintas dan ditimpanya, pastilah tank itu akan jadi gepeng.

Gempa berkekuatan 7.6 skala Richter adalah gempa yang kuat. Bulan Maret tahun 2007 kota Solok dan sekitarnya dilanda gempa berkekuatan 5.8 skala Richter juga memporak-porandakan kampung dan nagari. Banyak rumah dan bahkan masjid yang rusak kala itu. Beberapa buah masjid ada yang rubuh kubahnya atau hancur dindingnya. Ketika itu saya juga pergi mengantarkan sumbangan untuk korban gempa.

Gempa memang merupakan ketetapan Allah. Dalam bahasa para ulama, gempa adalah sunatullah. Sekarang kita semakin terbiasa dengan istilah para ahli tentang lempeng-lempeng benua yang saling bertumbukan. Bahwa seluruh pantai barat Sumatera sampai pantai selatan Jawa adalah daerah yang selalu dipengaruhi oleh tumbukan lempeng-lempeng benua itu dan merupakan daerah rawan gempa. Ingin kita perjelas sedikit informasi tumbukan lempeng itu dengan bahasa yang lebih sederhana. Bayangkan sebuah jeruk bali. Jeruk yang tebal kulitnya dan di bawah kulit itu terdapat isi buah berwarna merah yang biasa kita makan. Seperti itulah lebih kurang keadaan bumi kita ini. Bagian yang seperti kulit jeruk bali itu adalah lapisan atas bumi yang terdiri dari lapisan-lapisan batuan. Bagian isi buah berwarna merah adalah serupa dengan bagian isi bumi yang terdiri dari lava bertemperatur sangat tinggi. Ketika gunung berapi meletus lava ini dimuntahkan keluar.

Kulit bumi yang terlihat seolah-olah diam saja, ternyata dinamis. Dia bergerak satu terhadap yang lain dengan kecepatan beberapa sentimeter pertahun. Di mana titik awal pergerakannya? Di suatu tempat dimana bagian kulit itu lahir dan muncul ke permukaan. Tempat dia keluar itu berupa sebuah rekahan terletak di dasar laut. Para ahli menyebutnya ‘sea floor spreading’ (dasar laut yang merekah). Pada bagian-bagian tertentu lempeng-lempeng yang bergerak itu dapat saling bertemu dan bertumbukan. Dua lempeng yang berbeda massa dan kandungannya akan berbeda pula reaksinya terhadap tumbukan itu. Tumbukan lempeng yang terjadi di sebelah barat Sumatera , dimana lempeng yang datang dari arah lautan hindia lebih plastis, dia menekuk atau menunjam ke bawah lempeng benua yang lebih kekar. Tempat penunjaman lempeng ini dicirikan dengan munculnya tonjolan-tonjolan ke permukaan. Itulah yang kita lihat sebagai pulau-pulau yang berbaris di sebelah barat Sumatera sejak dari pulau Simeulue di utara sampai pulau Enggano di selatan.

Tempat dua lempeng bertumbukan ini adalah merupakan daerah yang paling tidak stabil. Bagian kulit bumi yang bertumbukan ini mengalami retak-retak, patah-patah dan masing-masing bagian yang rekah-rekah ini, karena pengaruh panas tinggi dari bagian dalam bumi ‘dengan mudah’ bergeser, berpindah tempat, yang satu jatuh terhadap yang lain. Kejadian itulah yang kita rasakan sebagai gempa. Bagian yang bergerak, bergeser atau jatuh ini berada pada kedalaman belasan sampai puluhan kilometer dan biasa disebut sebagai pusat gempa atau epicenter. Sayangnya tidak ada alat yang dapat digunakan untuk memprediksi kapan datangnya gempa, dimana pusatnya, dan berapa kekuatannya. Para ahli hanya bisa mencatat data statistik dari gempa-gempa terdahulu

Bagian lempeng benua yang lebih kekar mengalami pula penonjolan berupa gunung-gunung seperti yang kita temui di bagian barat pulau Sumatera. Sebagian besar dari gunung-gunung tersebut adalah gunung berapi aktif.

Seperti halnya gempa bumi, letusan gunung berapi juga sangat akrab dengan daerah tempat bertemunya lempeng-lempeng benua ini. Letusan gunung itu pernah sedemikian dahsyatnya yang meninggalkan kawah raksasa danau Toba dan danau Maninjau sekarang. Gunung Toba dan Gunung Maninjau purba itu meletus sekitar 75,000 tahun yang lalu. Pada saat meletus gunung berapi melemparkan berjuta-juta ton material keluar dari kepundannya. Ada yang berupa bongkahan batu berbagai ukuran, berupa pasir dan debu vulkanis. Pasir dan debu vulkanis ini disebut sebagai ignimbrite. Penyebarannya bisa sampai beratus-ratus kilometer dari kepundan gunung berapi dan ketebalannya bisa sampai beratus-ratus meter.

Di Sumatera Barat, ignimbrite ini disebut penduduk sebagai bungin putih. Dinding tebing ngarai Sianok di Bukit Tinggi yang berwarna putih adalah contoh yang sangat baik. Sebagian besar Bukit Tinggi yang berbukit-bukit diselimuti material ignimbrit yang sebenarnya sangat labil dan mudah longsor. Penduduk menambangnya di tempat-tempat tertentu di tebing-tebing gundukan yang menyerupai bukit. Pasir putih ini biasa digunakan sebagai bahan bangunan bersama-sama dengan pasir pantai yang berwarna hitam.

Tumpukan pasir ignimbrit ini tidak berlapis dan mempunyai pori-pori yang mampu menyerap air. Jadi rawan longsor. Di bagian atas yang ditutupi oleh tanah soil, tumbuh-tumbuhan bahkan pohon-pohonan tinggi dapat tumbuh.

Pada saat berkunjung ke kampung (nagari) Lubuak Laweh tanggal 7 Oktober yang lalu, saya lihat kampung-kampung itu tertimbun oleh pasir putih ignimbrite ini. Bukit-bukit yang mengitari kampung-kampung itu rupanya ditutupi oleh ignimbite yang meluncur turun dalam volume raksasa sesudah disentakkan oleh getaran gempa.

Apa yang dapat kita simpulkan dari tulisan ini ?

Semua bagian barat Sumatera, seperti halnya bagian selatan Jawa adalah daerah yang rawan gempa. Sudah seperti itu sejak dulu dan akan seperti itu seterusnya. Itu sudah ketetapan Sang Maha Pencipta.

Membuat bangunan, apalagi bangunan beton bertingkat hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh ilmu teknik sipil. Salah penggunaan bahan seperti pemakaian kerangka besi yang tidak tepat akan sangat fatal akibatnya. Namun ini hanya sebatas ikhtiar.

Hendaklah mengenali lokasi tempat membangun dengan baik. Hindari tempat yang terancam kena longsoran atau bahkan kejatuhan batu dari tempat yang lebih tinggi. Sekali lagi ini hanya sebatas ikhtiar.

Banyak-banyaklah bertawakkal dan berserah diri kepada Sang Khaliq. Dia yang telah menciptakan bumi dan segala isinya dan Dia Maha Kuasa untuk berbuat sekehendak Nya. Dalam hitungan beberapa puluh detik, bencana mencekam yang menimbulkan ribuan korban bisa terjadi dengan izin dan kekuatan Nya.



*****

No comments: