Sunday, November 30, 2008

SANG AMANAH (78)

(78)

Samsul dikejar ‘dead line’. Dia seharusnya sudah memberikan informasi penyelidikannya tentang Edwin kepada ketua OSIS hari ini. Tapi dia belum mendapatkan informasi yang memadai. Dia belum berhasil menemui Edwin. Dan siang ini dia harus berusaha mengejar kembali berita penting itu. Dia harus bertemu dengan Edwin. Samsul minta tolong dan sekalian mengajak Amir untuk menunjukkan pompa bensin tempat Edwin bekerja. Kedua anak itu sudah setuju pergi ke sana pulang dari sekolah hari ini. Dengan berboncengan sepeda motor mereka langsung menuju ke arah Tebet, melalui jalan raya Kali Malang, Cawang, jalan M.T Haryono dan berputar di bawah jembatan layang menuju jalan Prof. Dr. Saharjo di Tebet. Mereka melaju sampai ke pompa bensin tempat Edwin bekerja. Di pompa bensin itu ada empat orang pegawai pengisi bensin berpakaian seragam. Tapi tidak ada Edwin. Amir mencari mas Hendro di kantor pompa bensin. Mas Hendro agak heran melihat kedatangan Amir dengan temannya dan menyapa akrab.

‘Tumben lo Mir. Ada apa?’ tanya mas Hendro.

‘Nyari Edwin mas. Dia masih kerja di sini kan?’ Amir balik bertanya.

‘Masih. Tapi barusan di ajak saudara orang yang ditolonginnya tadi malam ke rumah sakit,’ jawab mas Hendro.

‘Orang yang ditolongin? Siapa bang?’

‘Tadi malam ada tabrakan maut di depan sini. Ada yang meninggal satu orang. Terus…. Edwin katanya nolongin yang satunya, yang luka parah tapi masih hidup. Ngantarin ke rumah sakit naik taksi. Orang yang selamat ini, tadi malam waktu dibawa ke rumah sakit lagi pingsan. Terus tadi pagi udah sadar. Katanya pingin ketemu orang yang nolongin. Nah barusan Edwin dijemput sama adiknya… kayaknya sih. Baru aja. Belum juga seperempat jam,’ mas Hendro menjelaskan.

‘Rumah sakit mana, mas?’

‘Katanya di Keluarga Sejahtera Jatinegara. Emang ada apa sih?’ mas Hendro jadi penasaran.

‘Yaa. Ada perlu aja mas. Kira-kira lama nggak, mas ya?’

‘Yaa…itu sih gue kagak tau. Tapi gue rasa nggak bakalan lama. Kan dia lagi kerja. Tadi waktu dijemput itu, anak yang jemput bilang, sebentar aja. Karena saudaranya yang kecelakaan, sama ibunya pingin ketemu. Tapi..ngomong-ngomong gue jadi penasaran bener. Ada apaan sih emangnya?’

‘Ah nggak. Pengen ngobrol-ngobrol aja. Ada yang mau ditanyain sih. Tapi ngomong-ngomong gimana dia kerjanya di sini bang?’ tanya Amir.

‘Baik-baik aja. Anaknya rajin dan nggak macem-macem. Jujur. Gaulnya sama yang lain-lain di sini enak. Dan dia belum pernah bolos. Kan udah lumayan lama juga dia kerja di sini. Ada empat bulanan gue rasa. Dan nggak pernah protes. Sebenarnya lagi gue test juga nih. Sejak dari pertama kali masuk gue biarin masuk siang terus. Dia kerja dari jam dua belas siang sampai jam sepuluh malam. Dan dia nggak pernah ngomel. Paling-paling, pernah agak terlambat datang, mungkin gara-gara macet, eh besoknya dia datang lebih cepet. Pokoknya baik-baik aja deh,’ jawab mas Hendro.

‘Jadi nggak pernah ada masalah, gitu mas?’ tanya Amir.

‘Nggak tuh. Masalah apa sih, maksud lo?’

‘Ya nggak tau. Masalah apa aja barangkali. Tapi kalau mas Hendro bilang nggak ada ya bagus dong. Gue kan nggak enak kalau ternyata ada masalah.’

‘Nggak ada masalah apa-apa. Kalau ada kan nggak bakalan dia bisa bertahan lama kerja di sini. Ngomong-ngomong lo barusan dari sekolah langsung ke sini? Nggak pulang dulu lo?’ tanya mas Hendro lagi.

‘Kebetulan ada perlu aja mas. Oh ya, kenalin ni teman gue di sekolah, mas. Samsul,’ Amir memperkenalkan Samsul.

‘Pengen kerja di sini juga? He..he..he,’ mas Hendro bercanda.

‘Pengen juga kali mas. Ngomong-ngomong, berapa gajinya kalau kerja di sini mas?’ tanya Samsul, ‘to the point’.

‘Gajinya berapa bener sih. Dua puluh rebu sehari tambah uang makan tujuh rebu lima ratus. Ya lumayan, biar nggak ngenyusahin orang tua lah. He..he..he,’ jawab mas Hendro pula.

‘Dibayarnya bulanan mas?’ tanya Samsul lagi.

‘Nggak. Mingguan. Tiap hari Sabtu. Biar bisa buat ngajak pacar nonton layar tancap. He..he..he. Gimana? Lo mau ikut kerja juga nggak?’

‘Belum sekarang, mas. Siapa tahu nanti-nanti saya kepingin kerja.’

Amir mungkin sudah sangat lapar. Dia mengajak Samsul untuk pergi makan dulu di warung di sekitar tempat itu.

‘Sul! Edwin mungkin agak lama nih. Mendingan kita pergi makan dulu aja, yuk! Gue lapar nih. Ntar kita ke sini lagi.’

‘Mau makan dimana?’ tanya Samsul.

‘Mas! Warteg yang di sebelah sana itu masih ada ya?’ tanya Amir ke mas Hendro.

‘Masih. Bener juga, mendingan lo pergi makan dulu aja ke sana. Nih, gue kasih duit buat makan. Kalau di Warteg segini cukup buat berdua,’ mas Hendro memberikan selembar dua puluh ribuan.

‘Yaa. Terima kasih banget nih. Dengan duit segini masih bisa lebih nih, buat makan berdua di Warteg. Yok Sul, kita pergi makan,’ Amir menerima uang itu sambil tersenyum. Kedua anak itu berjalan menuju Warteg.

Waktu mereka kembali dari makan, Edwin sudah ada di pompa bensin itu. Anak itu merasa heran, ada urusan apa kedua temannya itu datang menemuinya ke tempat dia bekerja. Tapi dia berusaha tenang-tenang saja. Karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

‘Tumben Sul, Mir. Lagi ngapain lo? Katanya mas Hendro lo nyariin gue?’ Edwin menyapa kedua temannya itu ramah.

‘Iya. Emang bener sih. Ada yang mau kita tanyain,’ jawab Samsul.

‘Semalam lo ke rumah kata nyokap gue. Ada apa Sul?’

‘Bener. Semalam gue ke rumah lo. Gue lagi dapat tugas nih dari OSIS. Tugasnya memantau…ciiieh… bahasanya keren ya? Memantau bagaimana keadaan lo sekarang. Maksudnya bagaimana keadaan lo sejak sudah nggak sekolah. Lo nggak keberatan kan?’ tanya Samsul.

‘Ah, nggak. Tapi apanya yang mau lo pantau? Apa gue masih bernafas atau udah enggak? Begitu?’ tanya Edwin santai.

‘Ceritanya sih panjang, nih. Gini. Di sekolah sekarang kepseknya kan baru. Kepsek yang sekarang memang agak beda dengan pak Suprapto. Orangnya, gue bilang keras, tapi baik banget. Maksudnya dalam soal peraturan dia ini keras. Lo tau nggak. Di sekolah sekarang udah nggak ada yang berani merokok. Bahkan guru-guru udah nggak ada yang ngerokok, begitu peraturan dia. Tapi perhatian dia ke kita-kita, maksudnya buat kemajuan pelajaran kita, baik banget. Nah, kemarin ini ada anak berkasus mau dimasukin sekolah di sana. Anak itu keponakannya ibu Purwati. Kasusnya apa nggak usah gue ceritain dulu. Anak itu sih belum atau mungkin juga nggak diterima. Tapi ceritanya terus jadi berkembang kemana-mana. OSIS mau protes kalau memang anak berkasus itu mau diterima, karena dulu teman-teman kita dikeluarin. Eh, nggak taunya sama pak kepsek yang baru ini OSIS disuruh memantau tadi itu. Kita disuruh memantau keberadaan teman-teman yang dulu dikeluarin. Kayak-kayaknya sih, kalau lo mau, lo bakal diijinin kembali ke sekolah. Tapi ini biar guru-guru nanti yang menghubungi lo. Tugas gue adalah menyelidiki, apakah lo sudah tidak terlibat lagi dengan barang-barang gituan. Dan menurut cerita yang gue dengar dan melihat juga keadaan lo seperti sekarang, gue yakin kalau lo ini bersih. Dan biar lo tau, yang dipantau adalah semua yang dikeluarin dari sekolah waktu itu. Jadi bukan cuma lo aja. Begitu ceritanya,’ Samsul bercerita panjang.

Edwin termangu mendengar cerita Samsul. Lama dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Matanya menerawang jauh. Bersekolah kembali? Betapa sebenarnya dia sangat gembira mendapatkan tawaran ini. Ah, seandainya ayah masih ada. Betapa ayah akan sangat gembira mendengar tawaran ini. Tapi itulah masalahnya. Ayah sudah tidak ada. Dan dia sekarang membantu ibu untuk mencari nafkah, menggantikan ayah. Kayaknya tawaran itu terlalu indah tapi sudah tidak mungkin lagi terjangkau.

‘Kenapa Win? Kok lo ngelamun?’ tanya Samsul.

‘Ah, nggak. Jadi begitu ceritanya? Ya gue senang dong, kalau memang begitu ceritanya. Lo memang pernah ngelihat gue ‘sakau’ kan waktu itu? Dulu. Di sekolah. Itu akibat kedunguan gue. Sebenarnya sih gue nggak pernah nyandu dengan itu barang. Dua tiga kali gue dicekokin anak-anak dengan pil yang dimasukin ke minuman. Sesudah dikeluarkan dari sekolah itu gue kapok. Gue bersumpah nggak bakalan lagi gue mau iseng nyobain benda haram itu. Tapi ya itulah. Gue terlambat. Sampai dikeluarin dari sekolah. Tapi sekarang. Lo bilang, mungkin gue mau ditawarin lagi kembali ke sekolah? Sesudah hampir setahun nggak sekolah? Gue senang banget sebenarnya. Tapi kayaknya nggak mungkin. Terus terang aja. Lo taukan, babe gue udah nggak ada? Dan sekarang gue bekerja nyari duit untuk membantu nyokap gue. Buat biaya sekolah adik-adik gue,’ Edwin bercerita sendu.

‘Gue ngerti Win. Tapi gini aja deh. Karena tugas gue adalah mendapatkan berita tentang lo, maka gue mau ceritain apa adanya. Tentang gimana kelanjutannya, seandainya lo ditawarin kembali ke sekolah, sementara ini nggak usah kita bicarakan dulu. Gimana Win?’ Samsul mengusul.

‘Ya nggak apa-apa. Silahkan lo bilangin aja apa adanya. Paling tidak gue berterima kasih banyak kalau memang nasib gue diperhatiin lagi. Apakah kenyataannya nanti gue bisa beneran bersekolah lagi atau nggak, kan lain lagi ceritanya,’ jawab Edwin pula.

‘Jadi gitu aja deh Win. Sori nih ngegangguin lo lagi kerja. Kalau gitu gue balik dulu ya?’

‘Ya deh. Sekali lagi gue berterima kasih nih. Salam aja buat teman-teman,’ jawab Edwin.

Kedua anak itu berpamitan ke mas Hendro sebelum meninggalkan pompa bensin itu. Edwin memperhatikan mereka pergi. Sambil bertanya dalam hatinya. Siapa agaknya kepala sekolah SMU 369 yang baru itu? Yang punya rencana yang tidak umum itu? Mau menerima kembali murid yang sudah pernah dikeluarkan. Rasanya terlalu indah untuk benar-benar jadi kenyataan.

Ah ngapain juga hal itu dipikirin, bisikan dalam hati Edwin.



*****

Saturday, November 29, 2008

RODA - RODA

RODA-RODA

Roda berputar ke atas ke bawah. Semua roda. Seperti roda keretapi. Seperti roda mobil. Seperti roda pesawat terbang. Seperti roda gerobak demo, gerobak beroda tiga itu sekalipun. Setiap titik pada bagian roda itu bergantian turun dan naik. Menarik sekali mengamati perputaran roda-roda itu.

Cerita ini asli tentang perputaran roda. Bukan cerita kiasan. Roda pertama yang bersinggungan dengan mataku adalah roda sepeda ayahku. Sejak mulai dengan didudukkan di kursi rotan yang diikat entah dengan cara bagaimana di batang sepeda laki-laki ayah, di depan, sampai kemudian dibonceng di belakang. Dibonceng di belakang itu aku alami selama setahun aku bersekolah di Taman Kanak-Kanak Ibu Kate di Atas ngarai. Ketika itu kami tinggal di Lambau, di seberang sekolah pertanian di Bukit Tinggi. Ayahku menjemput dan mengantarku dengan sepeda setiap hari.

Di jalan Lambau itu lalu lalang banyak mobil. Lebih istimewa di hari Rabu dan Sabtu, hari pasar di Bukit Tinggi, karena bus dari arah timur (dari arah Paya Kumbuh) dibelokkan melalui jalan itu. Melihat roda oto berbaris-baris itu jadi pandangan yang menyenangkan, sedang naik oto merupakan keinginan yang terbawa mimpi ketika itu. Sekali-sekali ada juga aku dibawa ayah menompang naik mobil. Bahkan suatu kali aku dijemput ke sekolah (SR 11 Simpang Mandiangin) dan dibawa ayah ikut dalam perjalanan dinas beliau ke Lubuk Basung. Kami singgah di sebuah restoran di tepi danau Maninjau dan ayah membawaku melihat orang kedai mengambil ikan yang akan digoreng dari dalam danau. Kenangan itu sudah berumur lebih setengah abad. Ketika itu usiaku baru enam tahun lebih sedikit. Di Lubuk Basung kami melihat beruk memanjat kelapa, kenangan yang juga selalu bercokol di benakku.

Beberapa puluh meter saja dari tempat kami tinggal terdapat rel keretapi Bukit Tinggi - Paya Kumbuh. Cuitan panjang keretapi serta asap hitamnya adalah bagian lain dari kenangan masa kanak-kanakku. Roda-roda lokomotif uap yang banyak sekali dan saling berpacu-pacu itu sempat pula jadi bahan pengamatanku. Kami, kanak-kanak, biasa meniru-niru gerakan roda keretapi itu dengan mengayun-ayunkan tangan kiri dan kanan bergantian, sambil mendesus-desus meniru bunyi lokomotif berwarna hitam itu. Tidak lupa kami meniru cuitan keretapi dengan suara melengking.

Ada sebuah permainan yang kami buat (tepatnya aku dibuatkan) dari tutup botol limun yang dipipihkan dengan cara dilindihkan di rel keretapi, lalu dibuat gasing. Botol limun itu menjadi pipih, bulat dengan pinggiran bergerigi. Bagian tengahnya dilobangi dengan paku dan ke dalam lobang itu dimasukkan benang yang lalu dipertautkan. Gasing tutup botol limun pipih itu kami mainkan dengan menarik dan mengulur benangnya dengan kedua tangan digerakkan saling mendekat lalu saling menjauh.

Kalau berpergian sekeluarga, misalnya ke kampung, kami dibawa ayah dan ibu berkendaraan bendi. Sebuah bendi untuk kami sekeluarga. Aku sering duduk di depan, dekat mak Kusir. Jadi paslah, duduk di samping mak Kusir yang sedang bekerja.

Ketika kami hijrah ke kampung karena perang PRRI, pemandangan roda-roda tidak lagi sebanyak waktu di jalan Lambau. Di kampung yang agak sering terlihat hanyalah roda bendi. Dan roda pedati yang ditarik kerbau. Atau roda gerobak dorong pengangkut kerupuk ke pekan Lasi. Kampung kami satu setengah kilometer dari pinggir rel keretapi. Tapi cuitan keretapi masih terdengar sangat jelas. Ketika berumur delapan tahun, aku pernah ikut dengan teman-teman yang lebih besar naik keretapi ke Bukit Tinggi tanpa minta ijin kepada ibu. Waktu ibu tahu sore harinya, aku dimarahi.

Tamat sekolah rakyat, aku melanjutkan sekolah ke SMP di Tanjung Alam, sekitar tiga setengah kilometer dari kampung. Ada teman-teman yang memilih naik keretapi untuk pergi ke sekolah dengan resiko sering terlambat. Aku lebih menyukai berjalan kaki saja, bergerombol melalui jalan pintas. Kadang-kadang kami berjalan memotong jalur melalui pematang sawah. Di kejauhan dapat kami lihat keretapi dengan asap hitam membubung ke udara. Di kejauhan terlihat pula mobil besar kecil lalu lalang di jalan besar di sebelah rel keretapi itu.

Hujan besar dan banjir yang menghanyutkan jembatan terjadi ketika aku sekolah di SMP sekitar tahun 1964. Sebuah jembatan berlantai kayu, yang kutempuh setiap hari untuk pergi ke sekolah runtuh karena tebing sungai dikikis air bah. Sebuah jembatan lain yang lebih vital ikut pula runtuh. Jembatan Batang Air Tumbuk, antara Biaro dan Baso di jalan raya Bukit Tinggi – Paya Kumbuh. Akibatnya lalu lintas dibelokkan melalui kampung kami. Jadilah jalan kampung kami seperti jalan besar. Oto gadang-gadang, bus dan oto prah, berseliweran menolong menambah rusak jalan kampung yang tidak beraspal, yang selama ini hanya untuk ditempuh bendi. Dan kampung jadi ramai oleh dendang kalason bus yang mendayu-dayu. Bus-bus yang datang dari Pakan Baru, di subuh buta dapat kami tebak dari bunyi dan irama kalasonnya. Ada bus Lega Ekspress yang akan ke Padang. Ada bus Kampar Djaja yang akan ke Bukit Tinggi.

Di akhir tahun 1966 aku duduk di sebuah bus menuju Pakan Baru. Bus Batang Kampar nomor 10. Sopirnya si Idrus (dalam lidah Minang si Duruih) adalah seorang jagoan sejati. Dia memetik, memainkan kalason sambil berdendang, sambil menyetir bus besar itu melalui jalan yang berlobang-lobang sangat besar. Roda bus itu terpelanting-pelanting keluar masuk lobang sebesar kubangan gajah. Jalan Bukit Tinggi – Pakan Baru sejauh 221 km itu aku tempuh berkali-kali dengan bermacam-macam bus (yang paling sering Cahaya Kampar), antara tahun 1967 dan 1969 awal, ketika aku ikut kakak sepupuku, bersekolah SMA di Rumbai.

Di Rumbai aku sering melihat roda traktor besar pembajak jalan. Jalan tanah yang dibajak itu kemudian disiram dengan minyak mentah. Begitu cara orang Caltex membuat jalan di daerah operasional mereka. Jalan berminyak itu aman untuk kendaraan Caltex yang dibekali paku pengaman pada bannya, tapi sangat berbahaya bagi kendaraan umum yang menggunakan roda dengan ban biasa. Tahun 1978, ketika mahasiswa Bandung menuntut agar Suharto berhenti menjadi Presiden, aku menulis sebuah makalah kecil untuk buku biru perjuangan mahasiswa, menyoroti pemerintah yang tidak pernah terpikir untuk membuat jalan beraspal antara Pakan Baru – Dumai.

Kelas tiga SMA aku pindah ke SMA 3 Bukit Tinggi Aku bersekolah disana sepanjang tahun 1969. Inilah masa ketika aku berlangganan keretapi. Di hari pekan keretapi itu dijejajali penumpang dan jalannyapun sangat terlambat. Seringkali aku bergelayut di bordes (bagian luar gerbong) sambil mengamati roda keretapi yang berdengkang-dengkang di atas rel. Menompang keretapi seperti itu sangat tidak mengenakkan. Sering-sering mata kelilipan pecahan bara sebesar ujung beras.

Naik keretapi yang sedikit lebih nyaman aku rasakan antara Jakarta dan Bandung di saat aku kuliah di Bandung. Jarak lebih kurang 180 km antara kedua kota ini ditempuh sekitar lima jam. Keretapi Parahiyangan belum lahir waktu itu. Jauh hari kemudian, di tahun 1983 aku naik keretapi dari Paris ke Madrid. Di perbatasan Perancis dengan Spanyol roda keretapi harus diganti karena ukuran rel di kedua negara itu tidak sama. Kami dikejutkan oleh suara berdengkang-dengkang pula di tengah malam. Tapi anehnya kereta api sedang berhenti. Suara aneh itu berasal dari pekerjaan mengganti roda tersebut.

Roda pesawat Boeing 747 menggelinding selama lebih dari 60 detik sebelum pesawat itu mengapung ke udara. Roda yang menggelinding itu tidak tampak tapi suara dan getarannya dapat dirasakan. Ketika menunggu menjelang take off di kesibukan turun naiknya pesawat di bandara, kita bisa melihat dari jendela, roda pesawat lain menimbulkan asap saat dia mendarat. Seandainya roda-roda itu macet maka pastilah akan menjadi urusan besar bagi pesawat yang mendarat itu.

Di dalam pesawat, menggelinding roda troley yang didorong pramugari ketika menghidangkan makanan dan minuman. Roda yang berderit halus, seringkali tertahan-tahan di sela senyuman sang pramugari.

Roda yang berputar kencang dari mobil yang kukendarai sendiri pernah naas dua kali. Yang pertama ketika aku berlima beranak dalam perjalanan menuju ke arah selatan Perancis. Mobil yang sedang melaju dalam kecepatan 140 km sejam itu tiba-tiba bergetar dahsyat. Bawah sadarku menyuruh tanganku melepaskan kontrol pegangan stir sekaligus menarik kaki dari injakan gas. Dalam beberapa puluh detik mobil itu pelan-pelan berhasil aku ketepikan dan berhenti. Ternyata ban belakang sebelah kanan pecah. Aku menggigil dan berkeringat dingin. Dan tidak punya kekuatan bahkan untuk sekedar membuka baut roda. Istrikulah yang membuka baut-baut itu.

Kejadian kedua hampir sama, terjadi di jalan tol Cikampek beberapa bulan yang lalu. Untungnya saat jalan agak ramai dan kecepatan mobilku sedang-sedang saja. Ban roda kanan depan hancur berderai bagai kerupuk. Masih aku temukan penyebabnya. Paku besar menancap di ban yang malang itu.

Roda-roda yang menggelinding itu selalu asyik diamati.


*****

SANG AMANAH (77)

(77)

‘Silahkan pak Muslih!’ jawab pak Umar.

‘Saya ulangi pertanyaan saya dalam rapat dengan pengurus OSIS kemarin. Apakah pak Umar sudah memikirkan akibat yang mungkin timbul? Seandainya anak-anak itu kembali kambuh lagi di sini. Catatan sejarah mereka menunjukkan, bahwa selama masa skorsing saja ada yang berani datang kembali ke sekolah dan mengulangi perbuatan yang sama. Apakah kita sudah siap untuk menerima kenyataan hal seperti itu berulang kembali. Dan kalau terjadi, apakah nama dan reputasi sekolah ini nanti tidak hancur? Sekarang kalau kita amati. Orang tua mereka masing-masing saja sudah bisa menghadapi kenyataan ini dengan tidak protes. Bahkan mereka berusaha mencari jalan keluar masing-masing. Kenapa kita mesti membantu orang-orang yang sesungguhnya saat ini tidak meminta pertolongan kita. Apakah kita tidak akan dinilai orang lain sebagai orang yang ‘kurang pekerjaan’ nantinya? Itu saja tambahan dari saya pak.’

‘Pak Muslih. Saya menyadari sepenuhnya ada kemungkinan itu. Itulah sebabnya kita harus lebih siap. Orang tua mereka tidak meminta bantuan kita. Betul. Mereka sudah menerima anak mereka menjalani hukuman tempohari, karena kenyataannya memang anak mereka waktu itu bermasalah. Lalu mereka berusaha memperbaiki anak mereka itu. Lalu sekarang setelah kita pantau dan ternyata anak-anak itu, yang dulu adalah murid-murid kita, ibarat sakit, sekarang sudah sembuh. Meski ada memang resiko akan kumat atau kambuh lagi. Tapi saya yakin kita bisa membantu mencegahnya. Kita berikan bimbingan serta perhatian khusus kepada anak-anak itu. Insya Allah saya sanggup melakukan itu, membimbing mereka dengan perhatian khusus. Kenapa kita mesti khawatir? Menurut pak Muslih, ini sudah tidak tanggung jawab kita lagi karena toh anak-anak itu dulu sudah resmi dikeluarkan. Mungkin memang begitu halnya. Tapi di sini ada sebuah peluang. Ada sebuah kesempatan bagi anak-anak itu untuk melanjutkan pendidikan mereka dan saya rasa kita sangat dianjurkan untuk menolong mereka. Sangat dianjurkan oleh kode etik kita sebagai pendidik, untuk membantu pendidikan siapa saja yang memang seharusnya berhak untuk mendapatkan pendidikan itu.’

Ruangan itu kembali sunyi. Pak Muslih tidak mampu lagi bersuara. Dalam hati kecilnya dia juga menyadari bahwa tidak ada salahnya mencoba membantu anak-anak yang dulu dikeluarkan itu. Bahkan sangat mulia jika anak-anak yang tadinya sudah menjalani masa hukuman lalu dibantu kembali mendapatkan pendidikan mereka.

Guru-guru lain saling membisu. Sebagian berpandangan satu dengan yang lain. Tapi tidak ada yang mampu mengeluarkan kata-kata.

Setelah beberapa saat berlalu, ibu Purwati memecah keheningan.

‘Maaf pak. Ada hal lain yang barangkali juga perlu jadi bahan pertimbangan. Ada lagi kasus lain di sekolah ini selain narkoba di waktu yang lalu. Pernah ada anak-anak yang dulu dikeluarkan karena ….maaf…hamil. Mereka dikeluarkan. Bagaimana dengan kasus seperti ini menurut pak Umar? Apakah pak Umar berpendapat bahwa mereka juga bisa diterima kembali bersekolah seandainya mereka menginginkan?’ tanya ibu Purwati.

‘Begini, bu. Kalau pendapat saya, jika mereka, mudah-mudahan tidak banyak contoh seperti yang ibu sebutkan, memang sudah insaf, sudah menyadari kekeliruan mereka dan sanggup tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama, maka saya pribadi berpendapat anak yang seperti itu tetap diberi kesempatan bersekolah kembali. Dan kita bimbing dengan hati-hati agar mereka jangan mengulangi lagi perbuatan tercela yang pernah mereka lakukan. Apakah mereka masih sanggup untuk bersekolah kembali sesudah punya bayi? Tentu lain lagi masalahnya. Tapi kesempatan untuk berubah menjadi baik, bagi mereka yang sudah insaf, menurut pendapat saya sangat wajar dan bahkan perlu kita dukung dan kita bantu semampu kita,’ jawab pak Umar mantap.

‘Maaf, pak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat sependapat dengan pak Umar,’ pak Tisna tiba-tiba ikut berbicara.

‘Terima kasih pak Tisna. Mudah-mudahan pak Tisna sependapat ini bukan karena sudah lelah mengikuti diskusi ini,’ jawab pak Umar sambil tersenyum.

‘Insya Allah bukan karena itu pak. Saya sejujurnya memahami apa yang disampaikan pak Umar dan saya ikut mendukung gagasan untuk menerima kembali seandainya mantan murid-murid kita itu ingin kembali belajar di sini dengan persyaratan seperti yang pak Umar sampaikan tadi,’ ujar pak Tisna menambahkan.

‘Boleh saya mengajukan usul pak?’ pak Mursyid mengangkat tangan.

‘Silahkan, pak Mursyid!’ jawab pak Umar.

‘Ada dua hal yang ingin saya usulkan. Pertama kita ‘voting’ saja. Sekedar ingin tahu siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju dengan gagasan pak Umar. Maksudnya hanya sekedar mengetahui. Karena siapa tahu, bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain, yang pada diam-diam ini belum tentu semuanya satu pendapat. Baik yang setuju maupun yang tidak setuju. Usul yang kedua, apakah tidak sebaiknya kita jajaki juga apakah benar anak-anak tadi itu, minimum yang tiga orang, Edwin, Wahyu dan satunya Danta kalau saya tidak salah, memang masih berminat untuk bersekolah kembali di sini. Siapa tahu mereka justru sudah malu untuk kembali lagi, karena teman-temannya dulu sudah kelas tiga. Mereka tentu tidak mungkin kita terima di kelas tiga. Itu saja usul saya pak. Terima kasih,’ pak Mursyid mengakhiri kata-katanya.

Guru-guru yang lain cukup kaget mendengar usul pak Mursyid. Tapi tidak ada yang menolak. Sepertinya tidak ada yang keberatan diadakan ‘voting’. Apa lagi sekedar untuk mengetahui apakah sefaham atau tidak dengan gagasan pak Umar tadi.

Pak Umar minta ketegasan guru-guru yang hadir.

‘Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu? Ada yang keberatan dengan usul pak Mursyid?’ tanya pak Umar.

Tidak ada jawaban.

‘Atau semua setuju dengan usul pak Mursyid?’ tanya pak Umar kembali.

Tidak ada jawaban, tapi guru-guru itu pada tersenyum.

‘Atau begini saja. Siapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang setuju kita adakan ‘voting’? Yang setuju mohon mengangkat tangan.’

Guru-guru itu pada mengangkat tangan. Tidak serentak. Tapi akhirnya hampir semua mengangkat tangan.

‘Sekarang, siapa yang tidak setuju kita adakan ‘voting’ mohon mengangkat tangan,’ ujar pak Umar.

Tidak ada yang mengangkat tangan.

‘Pak Muslih bagaimana?’ tanya pak Umar lagi.

‘Saya abstain,’ jawab pak Muslih, disambut ketawa guru-guru yang lain.

‘Pak Wayan juga abstain?’ tanya pak Umar lagi.

‘Ya sudah, saya abstain saja pak. Pertanyaan mula-mula tadi saya pikir siapa yang tidak setuju. Makanya saya tidak mengangkat tangan.’

Guru-guru itu kembali gemuruh ketawa.

‘Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu. Mayoritas kita setuju diadakan ‘voting’. Maka kita akan adakan ‘voting’ dengan cara yang sama. Pertama siapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang setuju. Saya ulangi, yang setuju, jika mantan murid bermasalah yang sudah dinyatakan insaf, diterima kembali bersekolah di SMU 368. Bagi bapak-bapak dan ibu-ibu yang setuju diminta mengangkat tangan. Dan kali ini akan kita hitung. Silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu,’ kata pak Umar memberi komando.

Kali ini guru-guru itu mengangkat tangan lebih tangkas, tanpa melirik dulu kiri kanan seperti sebelumnya. Hasilnya dua puluh dari dua puluh tiga guru yang hadir mengangkat tangan. Pak Umar menghitung jumlah itu.

‘Baik ada dua puluh orang yang setuju. Sesuai prosedur ‘voting’ tetap saya tanyakan siapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidak setuju,’ tanya pak Umar lagi.

Tidak ada yang mengangkat tangan. Guru-guru yang lain kembali gerrr. Berarti pak Muslih, pak Darmawan dan ibu Lastri abstain.

‘Kalau begitu kita sahkan dulu hasil pemungutan suara ini. Jadi kita secara mayoritas, dua puluh berbanding tiga setuju jika mantan murid bermasalah yang sudah insaf diterima lagi. Tiga orang tidak berpendapat dan tidak ada yang tidak setuju,’ kata pak Umar sambil memukul meja tiga kali.

‘Selanjutnya sesuai dengan usulan pak Mursyid yang nomor dua tadi, kita akan tanyakan kepada mantan murid yang bersangkutan. Sementara ini yang sudah kita dengarkan paling siap untuk kembali bersekolah berdasarkan informasi yang ada adalah tiga orang, masing-masing Wahyu, Edwin dan Danta. Karena OSIS sudah diminta juga untuk meneliti lebih lanjut keberadaan serta keadaan mereka, informasi itu tetap kita tunggu. Saya berharap hasilnya tidak akan berubah dari apa yang tadi sudah kita dengar. Kalau informasi dari OSIS ini sudah masuk dan ternyata cocok dengan informasi yang sudah kita punyai, saya akan menghubungi orang tua ketiga murid tadi untuk menanyakan apakah mereka berminat menyekolahkan anak mereka kembali di sekolah ini. Saya akan menelpon mereka atau bila perlu mendatangi mereka. Tapi hanya sekedar menanyakan. Jadi saya tidak akan mempengaruhi mereka untuk menyekolahkan anak mereka kembali ke sini. Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu setuju dengan usulan ini?’ tanya pak Umar lagi.

‘Pak Umar sendiri yang akan mengambil inisiatif untuk menanyakan hal itu kepada orang tua mereka?’ tanya pak Mursyid.

‘Ya. Kenapa tidak? Harus ada yang memulai dari fihak sekolah. Kalau tidak orang tua mereka tidak akan pernah tahu dengan apa yang kita rencanakan sekarang ini,’ jawab pak Umar.

‘Ya. Tapi apa tidak sebaiknya jangan pak Umar sebagai kepala sekolah langsung yang menanyakan. Mungkin bisa juga salah satu dari guru-guru yang menjajaki. Kalau memang ada respon kita atur agar orang tua mereka itu datang bertemu dengan pak Umar di sekolah ini,’ usul pak Mursyid pula.

‘Maaf pak,’ pak Muslih mengangkat tangan.

‘Silahkan pak Muslih!’ kata pak Umar.

‘Saya sependapat dengan usul pak Mursyid. Itu lebih elegan bagi sekolah. Biar salah satu dari guru-guru, atau dua tiga orang dari guru-guru yang ditugasi untuk meninjau kepada orang tua dari ketiga anak tadi itu. Berapa orang tadi? Tiga, kan tadi yang sudah dianggap pantas untuk di sekolahkan kembali? Bagaimana tanggapan orang tua mereka, jika positip, baru diatur agar orang tua yang bersangkutan datang ke sekolah untuk membicarakan lebih tuntas,’ usul pak Muslih.

‘Apakah ada komentar dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain?’ tanya pak Umar.

‘Saya juga setuju dengan gagasan itu pak,’ pak Hardjono menambahkan.

‘Ada yang tidak setuju bapak-bapak dan ibu-ibu?’

Ternyata tidak ada. Semua setuju agar ditunjuk guru-guru untuk menjajaki hal itu ke orang tua murid yang bersangkutan. Akhirnya di tetapkan mantan guru kelasnya yang akan menghubungi. Jadi tugas ini akan dipikul oleh ibu Hartini dan ibu Sofni, mantan guru kelas dua A dan dua C tahun lalu.

Rapat guru-guru itupun berakhir.


*****

Friday, November 28, 2008

SANG AMANAH (76)

(76)

Pikiran Edwin masih melayang-layang kemana-mana. Dia ingat ayahnya yang meninggal secara tiba-tiba saja. Ayahnya yang petugas Satpam itu. Ayah yang sangat menyayangi keluarganya itu. Ayah yang sangat baik dan jarang sekali marah itu. Tiba-tiba saja meninggal waktu mobil kantor yang sedang dikawalnya kembali dari bank mengalami kecelakaan. Karena para penjahat bermotor yang ingin merampok uang yang baru saja diambil dari bank menembak ban roda depan mobil Kijang itu. Akibatnya mobil itu kehilangan keseimbangan dan tiba-tiba menabrak pembatas jalan lalu berguling-guling. Ayahnya terlempar dari mobil yang pintunya terbuka, jatuh dengan kepalanya membentur pagar besi pembatas jalan dan meninggal langsung di tempat kejadian. Meskipun perampokan itu sendiri gagal, karena kebetulan ada polisi berada di dekat kejadian itu dan para perampok itu kabur melarikan diri.

Dia ingat penderitaan ibu. Wanita itu sekarang menanggung beban berat untuk mengurus mereka, anak-anaknya. Padahal ibu hanyalah seorang petugas kebersihan di kantor megah di tengah-tengah kota Jakarta. Sebagai ‘buruh kasar’ tukang bersih-bersih, tidak seberapa uang yang dapat dibawanya pulang. Dan hampir tidak ada penghasilan tambahan yang bisa diharapkannya. Kalaupun ada paling-paling sekedar uang tip seribu dua ribu rupiah, jika kebetulan dia disuruh pegawai-pegawai gagah berdasi di kantor itu membelikan nasi untuk makan siang mereka. Itupun hanya sekali-sekali terjadinya.

Dia ingat adik-adiknya. Edwirna remaja putri yang berada langsung di bawahnya dan sekarang sekolah di SMP. Lalu Edwar yang kelas lima SD. Dan Edwanto yang baru kelas dua SD. Bagaimana mereka akan bisa tetap bersekolah? Bagaimana mungkin ibunya akan sanggup membiayai mereka itu semua? Meskipun sekarang dia membantu ibu, berapa benar penghasilannya sebagai petugas pengisi bensin di pompa bensin itu?

Tiba-tiba saja muncul perasaan cemas dihatinya. Bagaimana kalau ibunya tidak kuat lagi menanggung semua beban berat itu? Bagaimana kalau dia suatu saat tidak diperlukan lagi di pompa bensin itu? Kalau dia di PHK? Keringat dinginnya bercucuran memikirkan semua itu. Tanpa disadarinya air matanya mengalir. Ingin rasanya dia menjerit. Tiba-tiba dia ingat Tuhan. Oh Tuhan…..., katanya di dalam hati. Alangkah ngerinya membayangkan andai semua itu terjadi.

Tiba-tiba terdengar azan subuh, sayup-sayup. Azan subuh bersahut-sahutan dari mesjid di sekitar tempat tinggalnya. Edwin memperhatikan setiap kalimat azan itu. Entah kenapa sekali ini hatinya bergetar. Selama ini dia bukanlah orang yang mengerjakan shalat secara teratur. Dia shalat hanya sekali-sekali. Di rumah ini hampir semua orang hanya shalat sekali-sekali. Waktu ayahnya masih hidup, ayah lebih rajin shalat, meskipun kayak-kayaknya tidak rutin-rutin amat juga. Edwin menyimak setiap bacaan azan itu. Sesudah suara azan itu selesai, dia bangun. Dia pergi keluar. Dia ingin mengambil air sembahyang. Dia ingin shalat.

Dan diluar didapatinya ibu sedang berada di dekat sumur pompa. Ibu sedang berwudhu. Ibunya sedang mengambil air sembahyang. Rupanya ibu juga ingin mengerjakan shalat pagi subuh ini. Ibupun kaget melihat Edwin terbangun dan akan ke kamar mandi. Tapi ibu belum tahu bahwa Edwin berniat akan shalat. Waktu kemudian dilihatnya Edwin shalat, ibu tercengang. Sama seperti Edwin yang juga tercengang ketika mengetahui ibu bangun shalat subuh-subuh begini. Tidak biasanya ini terjadi.

Sesudah shalat, yang dilakukan sendiri-sendiri, ibu dan anak itu kembali berbincang-bincang. Ibu dan anak itu tiba-tiba menyadari betapa sebenarnya mereka membutuhkan Allah tempat mereka minta pertolongan. Tempat mereka mengadukan beratnya beban yang sedang mereka hadapi. Tempat mereka menggantungkan harapan. Hal yang selama ini seperti mereka abaikan.


*****

Sesuai dengan permintaan kepala sekolah, rapat guru-guru SMU 369 di adakan siang hari itu. Materi utama yang akan dibahas dalam rapat itu adalah klarifikasi kepala sekolah mengenai desas-desus tentang diterimanya seorang murid baru pengguna narkoba. Rapat yang sama sudah terlebih dahulu dilakukan dengan pengurus OSIS hari sebelumnya. Justru pendapat bahwa perlu adanya rapat dengan staf pengajar seperti ini muncul pada waktu rapat dengan pengurus OSIS kemarin.

Pak Umar membuka rapat itu.

‘Bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang saya hormati. Assalamu’alaikum wr.wb., Saya mohon maaf karena menahan bapak-bapak dan ibu-ibu guru untuk tinggal menghadiri rapat siang hari ini. Saya harap rapat kita ini tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Saya langsung saja ke pokok masalah. Kemarin diadakan rapat dengan pengurus OSIS, karena mereka meminta klarifikasi apakah ada murid baru, yang punya kasus khusus, diterima bersekolah di sini. Pertanyaan OSIS ini muncul setelah adanya desas-desus di kalangan murid-murid tentang hal itu. Pada kesempatan ini saya ingin mengulangi ketegasan tentang masalah itu kembali, bahwa tidak ada murid baru yang diterima atau yang sedang dalam proses untuk diterima di sekolah ini pada saat ini. Namun kemarin, dengan pengurus OSIS diskusinya berkembang, setelah saya bertanya kepada mereka kenapa mereka perduli betul jika seandainya ada murid baru, dengan kasus penggunaan narkoba diterima. Jawab mereka kalau hal itu benar, maka berarti sekolah berlaku tidak adil karena murid-murid sekolah ini dulu dikeluarkan waktu mereka kedapatan menggunakan narkoba. Saya menjelaskan bahwa peraturan sekolah ini sangat jelas. Jangankan pengguna narkoba, pecandu rokokpun tidak kita izinkan untuk bersekolah di sini. Tapi kemudian diskusi dalam rapat itu berkembang. Bagaimana jika seandainya anak-anak yang dulu dikeluarkan itu sudah tidak lagi menggunakan narkoba, dan mereka masih ingin bersekolah, apakah bisa diterima kembali? Sebelumnya, saya tidak tahu persis apakah kasus seperti ini ada. Apakah ada di antara pengguna narkoba itu berhasil sembuh dari ketergantungan terhadap narkoba. Kalau seandainya ada, apakah mereka masih punya keinginan untuk bersekolah kembali. Namun, kalau memang ada, menurut pendapat saya pribadi anak yang seperti itu harus diberi kesempatan untuk kembali bersekolah. Nah, hal inilah yang ingin saya rembugkan dengan bapak-bapak dan ibu-ibu siang hari ini. Kemarin, waktu kami berdiskusi tentang hal ini dengan pengurus OSIS atas permintaan saya hadir juga pak Muslih dan pak Hardjono. Jadi silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu berikan tanggapan dan pendapat,’ ujar pak Umar mengakhiri pembukaan rapat.

‘Saya pak,’ pak Muslih langsung mengangkat tangan. Pak Umar menyilahkan pak Muslih berbicara.

‘Saya tidak setuju kalau mereka yang sudah dikeluarkan karena dulu kedapatan menggunakan obat-obat terlarang itu diterima kembali bersekolah. Alasan saya, karena hal itu beresiko tinggi. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa anak-anak seperti itu sudah benar-benar bisa melupakan narkoba. Kalau nanti mereka diterima terus sesudah itu kambuh lagi, hal seperti ini pasti akan mencemarkan nama baik sekolah. Di samping murid-murid lain tentu akan menilai. Ternyata larangan menggunakan narkoba di sekolah ini tidak benar-benar serius. Buktinya mereka yang sudah dikeluarkan bisa diterima kembali. Begitu pendapat saya.’

‘Maaf, pak. Apakah saya boleh menambahkan?’ tanya pak Sofyan.

‘Silahkan pak Sofyan!’ jawab pak Umar.

‘Sebelum bapak menanggapi yang disampaikan pak Muslih, saya ingin bertanya. Apakah sudah diinvetarisir, siapa-siapa saja di antara yang dulu dikeluarkan itu yang sudah tidak lagi menjadi pengguna narkoba. Kalau memang ada, berapa orang di antara mereka yang masih ingin bersekolah. Lebih jauh lagi yang masih ingin kembali bersekolah di sini. Itu saja pak,’ pak Sofyan menambahkan.

‘Mungkin langsung saya tanggapi dulu yang ditanyakan oleh pak Sofyan ini. Saya sudah mendapatkan informasi dari OSIS tentang keberadaan kelima orang yang dulu dikeluarkan itu. Ketua OSIS memberikan informasi yang mereka dapatkan dari laporan teman-teman mereka yang mengetahui keberadaan kelima anak itu. Saya menerimanya dari ketua OSIS persis sesudah jam pelajaran terakhir tadi. Menurut informasi tersebut keberadaan kelima anak-anak itu adalah sebagi berikut; Satu orang sudah pindah keluar daerah, tepatnya ke Medan. Satu orang masih dalam keadaan sakit berat dan sangat kritis sampai hari ini. Anak ini katanya masih terbaring di rumah sakit. Satu orang bekerja di pompa bensin di Tebet. Satu orang sudah sembuh setelah dirawat intensif di salah satu pesantren di Jawa Barat. Anak ini rencana orang tuanya akan di sekolahkan ke Australia. Yang terakhir juga di rehabilitasi di pesantren dan baru keluar dari sana sekitar dua minggu yang lalu. Kondisi mentalnya sekarang masih belum stabil. Demikian informasi yang saya dapatkan dari ketua OSIS siang ini,’ jawab pak Umar.

‘Kalau begitu, kan bisa disimpulkan, pak. Kelihatannya tidak ada yang masih mungkin bersekolah atau yang masih ingin kembali bersekolah di sini,’ pak Muslih menyimpulkan.

‘Belum tentu,’ jawab pak Umar. ‘Yang bisa kita anggap tidak mungkin diterima sementara ini, saya rasa hanya yang masih terbaring di rumah sakit. Sesudah itu mungkin yang sudah pindah ke Medan. Ditambah lagi yang kata informasi ini, yang baru keluar dari rehabilitasi dan mentalnya belum stabil. Dua yang lain masih mungkin untuk bersekolah kembali, bahkan yang satunya, yang katanya akan dikirim ke Australia sebenarnya sudah siap secara mentalitas untuk kembali bersekolah,’ jawab pak Umar.

‘Saya ingin menambahkan, pak,’ ujar pak Mursyid.

‘Silahkan pak Mursyid!’ kata pak Umar.

‘Saya juga mendapat informasi tambahan tentang anak yang sekarang bekerja di pompa bensin itu pak. Sebelumnya saya jelaskan latar belakang anak ini sampai dia dikeluarkan tempohari. Anak ini yang bernama Edwin. Saya masih ingat, waktu dia dikeluarkan bersama-sama dengan Parlin, saya rasa anak yang sudah pindah ke Medan itu. Pada hari mereka tertangkap dan dikeluarkan, yang benar-benar sedang ‘teler’ waktu itu adalah Parlin. Saya yang menangkap mereka waktu itu di kantin sekolah. Edwin ini tidak atau belum mengkonsumsi minuman berisi ekstasi, tapi minuman itu ada di dekatnya. Keputusan staf guru-guru waktu itu, kedua murid itu tetap dikeluarkan, karena pristiwa itu terjadi di saat sebenarnya mereka sedang menjalani skorsing setelah seminggu sebelumnya keduanya tertangkap sedang ‘teler’. Pengakuan Edwin bahwa dia ditraktir temannya dan tidak berniat meminum minuman itu tidak kita terima waktu itu sehingga dia dikeluarkan. Menurut informasi yang saya dapat anak ini stress berat sesudah itu dan sampai sakit typhus. Sampai masuk rumah sakit. Dua bulan kemudian ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Terakhir dia bekerja di pompa bensin untuk membantu ibunya dalam mendapatkan uang untuk biaya hidup keluarga dengan empat orang anak itu. Dan anak ini tidak lagi menggunakan obat terlarang,’ cerita pak Mursyid panjang lebar.

‘Dari mana pak Mursyid dapat cerita sampai rinci begitu?’ tanya ibu Purwati.

‘Dari teman-temannya yang cukup dekat dengannya. Murid-murid kelas tiga sekarang. Ada Arman, Gito, Bayu murid-murid kelas tiga IPA dua. Mereka menceritakannya kepada saya karena saya bertanya. Saya pernah melihat Edwin di pompa bensin tapi dia menghindar. Saya pikir mungkin karena dia merasa malu. Pada waktu pelajaran olah raga, salah satu dari anak-anak kelas tiga yang saya sebut tadi bercerita tentang kecelakaan lalu lintas yang dialami orang tua Edwin beberapa waktu sebelumnya. Saya tertarik dengan cerita itu. Saya bertanya bagaimana keadaan keluarga itu sesudah ayahnya meninggal dan mendapatkan informasi yang saya sampaikan barusan, ‘ jawab pak Mursyid.

‘Baik. Terima kasih pak Mursyid atas informasi ini. Saya sebenarnya sedang menunggu sambungan berita dari murid-murid melalui OSIS. Mudah-mudahan informasi ini nanti akan saling mendukung. Mungkin kita biarkan dulu kasus anak yang bernama Edwin ini. Apakah ada di antara bapak-bapak atau ibu-ibu yang punya data mengenai dua orang yang sudah keluar dari panti rehabilitasi?’ tanya pak Umar pula.

‘Saya pak,’ ucap ibu Hartini.

‘Silahkan, ibu Hartini!’ jawab pak Umar.

‘Edwin dan Wahyu itu dulu di kelas saya. Wahyu saya dengar sampai dua kali dimasukkan ke tempat rehabilitasi. Yang terakhir saya dengar juga dimasukkan ke pesantren…. apa begitu. Di Tasikmalaya, kalau tidak salah. Sekarang mungkin sudah sembuh, dan sudah dibawa pulang. Seminggu yang lalu saya kebetulan bertemu dengan ibunya. Saya bertanya bagaimana keadaan Wahyu. Kata ibunya anak itu sudah sembuh kembali. Dulu sudah pernah juga dimasukkan ke panti rehabilitasi untuk perawatan. Beberapa bulan di sana, sudah baikan. Lalu dibawa pulang. Rupanya kena lagi. Terakhir dimasukkan ke pesantren tadi itu dan tinggal di sana selama tiga bulan. Sekarang sudah baik kembali. Hanya anak ini menurut ibunya seperti trauma. Seperti ketakutan kalau-kalau dia bertemu lagi dengan sindikat narkoba itu. Dan takut kalau dia kena lagi. Ini barangkali yang dimaksudkan informasi pak Umar tadi bahwa dia belum stabil mentalnya. Orang tuanya sendiri masih ragu-ragu bagaimana membina pendidikan anak ini selanjutnya. Apakah akan memindahkannya ke daerah atau bagaimana. Itu informasi yang saya dapat mengenai Wahyu,’ ibu Hartini memberikan penjelasan panjang lebar.

‘Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu. Kalau demikian menurut pengamatan saya tiga orang anak-anak ini, Edwin dan Wahyu, serta yang satu lagi yang dipersiapkan orang tuanya untuk dikirim ke Australia, sebenarnya secara mental sudah siap untuk bersekolah kembali. Saya mengulangi pendapat saya, bahwa sekolah ini seyogianya bisa menerima mereka kembali, dengan catatan besar…. Saya ulangi dengan catatan besar. Dengan peringatan yang ditulis secara tegas. Bahwa mereka diizinkan untuk berada di sekolah ini, untuk mengikuti pelajaran, selama mereka bisa mempertahankan ketidakterlibatan mereka dengan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Dasar pemikirannya adalah kita berusaha membantu mereka kembali ke bangku pendidikan, karena itu adalah tugas dan kewajiban kita sebagai pendidik. Dan kita membantu mengawasi mereka dengan perhatian yang agak khusus dalam usaha antisipasi agar mereka tidak terjerumus kembali. Silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu tanggapi,’ ujar pak Umar dengan sangat gamblang.

Ruangan rapat sunyi beberapa saat. Masing-masing guru kelihatannya masih mencerna apa yang baru saja disampaikan pak Umar. Kedengarannya apa yang beliau sampaikan itu wajar-wajar saja. Dan guru-guru ini semakin terbiasa dengan cara berfikir pak Umar. Kalau dia mengemukakan sesuatu usulan, pak Umar biasanya tanpa pamrih. Dia bukan tipe orang yang suka mengada-ada. Bukan karena ada kepentingan apa-apa di belakang itu. Kali inipun sepertinya demikian. Kalau tadi beliau mengatakan tanggung jawab guru-guru untuk mendidik anak-anak itu kembali setelah mereka terbukti sudah bebas dari pengaruh narkoba, maka kelihatannya memang hanya itu saja alasannya. Rasa tanggung jawab atas pendidikan murid, yang mana sajapun.

‘Maaf, pak Umar. Saya masih ada yang ingin disampaikan,’ ujar pak Muslih memecah kesunyian beberapa puluh detik tadi.

Thursday, November 27, 2008

SANG AMANAH (75)

(75)

Amran Harahap menawarkan untuk mengantarkan Edwin pulang karena dia akan melalui jalan raya Kali Malang untuk pulang ke Bekasi. Tawaran itu diterima Edwin dengan senang hati. Di dalam taksi mereka masih ngobrol membahas kecelakaan tadi. Amran bercerita tentang bermacam-macam pengalaman yang dijumpainya di jalan raya. Edwin mendengar semua itu di sela-sela rasa kantuk yang menderanya. Tidak terasa hari sudah lewat dari jam dua belas malam. Edwin turun di dekat lampu merah di persimpangan jalan DI Panjaitan dan jalan raya Kali Malang, setelah mengucapkan terima kasih kepada Amran. Dari sana dia berjalan kaki ke rumahnya.

Didapatinya ibunya belum tidur. Ibu sedang menjahit baju seragam sekolah adiknya Edwanto. Mengecilkan ukuran baju seragam lungsuran kakaknya Edwar yang masih kebesaran untuk Edwanto. Sebenarnya lebih tepat lagi bahwa ibu menunggu Edwin sampai larut tengah malam itu.

‘Kok terlambat betul kamu pulangnya, Win? Tidak ada angkot lagi?’ tanya ibu.

‘Iya, bu. Dan tadi saya menolong orang kecelakaan. Mengantarnya ke rumah sakit?’ jawab Edwin.

‘Kecelakaan dimana? Dan kamu antar ke rumah sakit mana?’ tanya ibu sambil menghentikan jahitannya.

‘Dekat pompa bensin. Mobilnya tabrakan dan terguling. Pengendaranya luka parah sedang satu orang lain di mobil itu, seorang wanita, meninggal. Saya dengan seorang sopir taksi mengantarkan yang luka parah itu ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara. Habis itu saya diantar sopir taksi itu sampai di depan sini,’ jawab Edwin.

‘Ya Allah. Ada yang meninggal? Ada orang wanita yang meninggal di mobil itu?’ tanya ibu lagi.

Ibu tiba-tiba saja menggigil mendengar cerita itu. Mungkin ibu langsung teringat ayah yang meninggal pada sebuah kecelakaan lalu lintas beberapa bulan yang lalu.

‘Namanya juga musibah, bu. Jangan ibu pikirkan. Nanti ibu kumat lagi,’ Edwin membujuk ibu sambil memijit-mijit kaki ibu yang keletihan itu.

Ibu dan anak itu terdiam beberapa saat. Edwin masih memijit-mijit kaki ibunya. Ibu tampak lebih kurus sekarang. Mungkin di samping capek bekerja juga karena pengaruh pikiran. Ibu sangat terpukul semenjak ayah meninggal. Siapa yang tidak akan terpukul ditinggal mati suami. Lebih-lebih lagi karena selama ayah masih hidup dulu, biaya keperluan hidup mereka lebih separohnya dihasilkan ayah. Setelah ayah meninggal, beliau tidak meninggalkan pensiun. Hanya ada uang duka cita serta beberapa bulan gaji yang diberikan oleh perusahaan tempat ayah bekerja, dan uang itu sebentar saja sudah habis terpakai. Penghasilan ibu tidak bertambah. Gajinya masih tetap seperti dulu. Dan itu sangat pas-pasan untuk biaya makan mereka anak beranak. Kalau saja Edwin tidak dapat pekerjaan di pompa bensin itu, sudah pasti adik-adiknya tidak akan bisa lagi meneruskan sekolah.

‘Kamu kan belum makan, Win? Pergilah makan. Nanti kamu masuk angin,’ ibu mengingatkan Edwin, setelah mereka terdiam beberapa saat.

‘Iya, bu. Sebentar lagi saya makan. Ibu belum ngantuk? Sebaiknya ibu tidur. Sudah jam setengah satu lebih,’ Edwin mengingatkan ibunya.

‘Pergilah kamu makan. Baru ibu tidur,’ kata ibu pula. Ibu yang sangat sayang kepada anak-anaknya.

Edwin bangkit berdiri dan melangkah ke dapur mau mengambil makanan. Perutnya memang sudah sangat lapar. Tapi dia ingat bahwa tangannya tentu sangat kotor. Dia keluar pergi mencuci tangan dan mukanya. Baru dia sadar bahwa di bajunya ada bercak-bercak darah. Tentu darah orang yang ditolongnya tadi itu. Edwin sekalian saja mandi. Dan menukar pakaiannya. Setelah itu baru dia kembali mengambil makanan ke dapur.

Ibu masih menunggui Edwin makan di tengah malam itu. Dia ingat tadi ada teman anaknya itu datang menanyakan Edwin.

‘Tadi ada teman sekolahmu dulu, si Samsul datang ke sini,’ ibu memberi tahu.

‘Kok tumben dia datang. Ada apa bu?’ tanya Edwin.

‘Ibu juga heran. Dia bertanya bagaimana keadaan kamu sekarang. Sepertinya anak itu menyelidik-nyelidik dan agak aneh ibu lihat,’ jawab ibu.

‘Menyelidik-nyelidik bagaimana maksud ibu? Apa yang diselidikinya?’ tanya Edwin pula.

‘Mula-mula dia menanyakan kamu. Ibu bilang kalau kamu sekarang bekerja di pompa bensin saudaranya si Amir. Terus dia bertanya, kamu sekarang bergaul dengan siapa saja. Ibu heran. Ibu tanya, apa maksud dia? Terus dia bilang, apakah kamu sudah insap, sudah jadi orang baik-baik sekarang. Ibu bilang ke dia, Edwin itu dari dulu sebenarnya anak baik-baik. Kenapa kamu bertanya seperti itu? Dia malahan nanya lagi, kalau mau ketemu kamu bagaimana caranya. Ibu bilang bahwa kamu biasanya pulang sudah hampir tengah malam. Dan berangkatnya agak siangan, begitu tiap hari. Terus ibu bilang kalau mau ketemu datang saja hari Minggu pagi,’ cerita ibu panjang sekali.

‘Biarin ajalah, bu. Mungkin dia itu ada keperluannya barangkali. Kalau dia perlu bertemu saya paling nanti dia kembali lagi,’ jawab Edwin.

‘Tapi, Win…….. Kamu sudah tidak pernah berurusan dengan anak-anak bergajul dulu itu lagi kan?’ tanya ibu hati-hati.

‘Nggak, bu. Nggak pernah. Dan nggak bakalan. Ibu percaya deh. Saya tidak akan mau lagi berurusan dengan mereka. Saya kapok. Gara-gara mereka saya keluar dari sekolah,’ jawab Edwin.

‘Ibu percaya, Win. Ibu percaya dengan kamu. Barangkali memang sudah takdirnya begitu. Kamu berhenti sekolah dan membantu ibu dengan bekerja mencari uang,’ ibu tiba-tiba sesengukan, menangis.

‘Sudahlah, bu. Nggak usah ibu pikirkan lagi hal-hal kayak gitu. Nanti ibu sakit lagi. Bu, sudah terlalu malam. Ibu tidurlah. Ibu pasti sudah terlalu capek. Kan besok ibu harus pergi bekerja lagi. Pergilah tidur, bu. Saya juga akan pergi tidur sebentar lagi,’ Edwin berusaha menghibur ibu.

‘Ya. Baiklah. Ibu akan tidur dulu. Jam berapa kamu mau berangkat ke tempat kerjamu besok?’ tanya ibu pula.

‘Seperti biasa saja bu. Jam sebelas. Saya akan menunggu sampai Wanto pulang sekolah. Sekarang ibu pergilah tidur.’

Dan ibu akhirnya pergi tidur. Dan Edwin tidak lama kemudian juga menyusul pergi tidur. Mereka sudah terlalu lelah hari ini.

Edwin hanya tertidur beberapa jam. Kira-kira jam setengah empat dia terbangun dan sesudah itu matanya tidak bisa terpejam lagi. Entah kenapa, cerita ibu tentang Samsul datang mencarinya tadi muncul dalam ingatannya. Ada keperluan apa anak itu datang ke sini? Pikirannya melayang lebih jauh. Ke saat dia masih sekolah tempohari. Kira-kira setahun yang lalu.


*****

Edwin duduk di kelas dua di SMU 369. Meskipun dia tidak pernah menjadi juara kelas, prestasinya di sekolah lumayan baik. Dan dia pandai bergaul. Temannya banyak. Tidak saja di sekolah tapi juga di luar sekolah. Anak gaul seperti dia kadang-kadang bisa jadi agak norak. Jadi sok berani. Jadi suka aneh-aneh. Sebenarnya dia itu bukan tipe anak bergajulan yang suka cabut dari sekolah dan suka nongkrong di warung-warung pinggir jalan. Tapi mungkin juga waktu itu karena pengaruh masa pancaroba sehingga Edwin kadang-kadang suka agak nekad dalam ke-norak-annya.

Kenekadan itu berawal waktu dia mencoba-coba merokok. Tentu saja sebagai anak gaul banyak teman yang menawarinya rokok. Mula-mula coba-coba. Sebenarnya sejak semula dia tidak bisa menikmati rokok. Pasti terbatuk-batuk. Tapi tentu tidak boleh ‘sampai memalukan kayak begitu’ dan dia harus tetap berpura-pura bahwa dia juga bisa merokok. Tidak pernah dia membelinya. Selalu saja ada teman yang men-suplai.

Lalu meningkat. Rokok yang dibumbui ganja kering. Juga dikasih teman. Karena dia tidak ‘menghisap’nya, hanya di ‘kepas-kepus’ saja, jadi tidak ada pengaruhnya apa-apa. Pada waktu teman-teman gaul ‘ngeganjanya’ pada ‘fly’ dia biasa-biasa saja. Sebagian teman-temannya penasaran. Kok anak ini tidak terpengaruh apa-apa oleh ganja. Waktu ada teman-teman yang semakin nekad-nekad itu mengajaknya main alat suntik dia nggak berani. Bukan apa-apa, Edwin memang paling tidak berani disuntik.

Sampai suatu hari dia ditawari minuman ‘Sprite’ oleh temannya. Edwin tidak menyangka kalau ‘Sprite’ itu ada isinya, pil ekstasi yang sudah dihancurkan dan dilarutkan di dalam minuman itu. Kali ini kontan ada hasilnya. Dia pun ikut-ikutan ‘sakau’. Dia tidak sadarkan diri seperti teman-teman lain yang hanyut di bawah pengaruh pil durjana itu. Ekstasi yang dikonsumsinya secara tidak sengaja itu tidaklah berpengaruh berat juga kepada Edwin, tapi dia memang merasakan sesuatu yang lain dikala sedang ‘sakau’ itu. Ketika teman-temannya memberi tahu bahwa dia sudah menggunakan ‘pil ajaib’ itu, dia cuek-cuek saja. Tidak ketagihan, tapi kalau ada lagi yang mengasih dia tidak keberatan.

Semua ini jadi omongan di sekolah. Tapi hanya di kalangan teman-teman ‘gaul’ terbatas. Tidak semua anak juga suka dengan cerita hebat-hebat seperti itu. Kejadian pada hari dia tertangkap basah sedang dalam keadaan ‘trans’ atau ‘sakau’ di sekolah, diawali dengan tantangan temannya Parlin yang menanyakan, apakah dia mau minum ‘Sprite’ seperti yang pernah diminumnya beberapa hari sebelumnya. Edwin yang nekad, yang sok jagoan, yang tidak sadar apa yang diperbuatnya disaat dia ‘sakau’, menerima tantangan itu. Dan kedua anak-anak itu minum ‘Sprite’ plus yang dibelikan Parlin. Dan tidak berapa lama kemudian kedua anak itu langsung ‘melayang-layang’. Edwin tertangkap basah. Ayahnya dipanggil ke sekolah bersama-sama orang tuanya Parlin. Dan mereka berdua diskors dari sekolah.

Ayahnya sempat marah-marah ketika itu. Tapi Edwin mengatakan bahwa dia itu dibohongi temannya, diberi minuman yang mengandung obat yang membuat dia mabok. Ayah yang baik itu percaya dengan keterangan Edwin. Dan dia tidak percaya bahwa anaknya itu nakal. Lagipula darimana anak itu dapat uang untuk membeli obat-obat terlarang yang pasti harganya mahal.

Mungkin nasibnya lagi sangat tidak beruntung. Meskipun sedang diskors tidak boleh masuk sekolah, Edwin masih berusaha hadir di sekolah tiap hari. Hanya dia tidak dibenarkan masuk kelas mengikuti pelajaran. Tahu bahwa Edwin selalu datang ke sekolah, Parlin juga ikut-ikutan datang. Hari mereka dikeluarkan dari sekolah, Parlin kembali mentraktirnya ‘Sprite’. Parlin sudah lebih dahulu meminumnya. Edwin hanya memegang botol ‘Sprite’ itu tapi tidak berniat meminumnya. Paling tidak dia tidak meminumnya waktu itu dan tidak ikut-ikutan ‘sakau’. Edwin malahan ingin sekali melihat bagaimana reaksi ‘Sprite’ plus itu bagi yang meminumnya. Dia ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan Parlin. Bagaimana sih orang yang sedang ‘sakau’ itu? Karena waktu mengalami sendiri dia merasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Waktu beberapa menit kemudian Parlin sudah mulai mabok, pak Mursyid kebetulan mampir di kantin dan mendapatkan Parlin yang sedang mabok dan berlaku seperti orang gila. Edwin sedang duduk dengan sebotol ‘Sprite’ di dekatnya. Parlin yang sedang mabok berat itu, beserta Edwin berikut kedua botol ‘Sprite’ yang satu sudah kosong dan yang lain masih penuh dibawa ke kantor guru. Untuk kasus Parlin sudah pasti hukumannya. Anak ini dalam keadaan mabok berat dan karenanya tidak ada ampun. Parlin dikeluarkan. Edwin agak berbeda. Dia tidak dalam keadaan mabok. Tapi ada sebotol ‘Sprite’ yang sudah berisi ‘bahan haram’ di tangannya. Meskipun tidak dalam keadaan mabok, tapi dia sudah dalam proses ke arah itu. Guru-guru berunding untuk menjatuhkan hukuman bagi Edwlin. Bagaimanapun, anak ini berada di sekolah dalam masa skorsing, tertangkap basah sedang memiliki ‘Sprite’ mengandung ekstasi, di samping temannya yang sudah lebih dahulu mengkonsumsi minuman yang sama. Jadi kalau Parlin dikeluarkan maka Edwin juga harus dikeluarkan.

Percuma saja Edwin memberikan alasan bahwa dia diberi Parlin minuman itu dan tidak berniat meminumnya. Bukankah seminggu yang lalu mereka berdua kedapatan dalam keadaan mabuk sesudah minum ‘Sprite’ yang mengakibatkan mereka diskors? Pernyataan Edwin bahwa dia hanya ingin melihat bagaimana prilaku orang yang sedang ‘sakau’ dianggap guru-guru sebagai alasan yang dibuat-buat dan tidak bisa dipercaya. Tidak satupun hal yang bisa meringankan tuduhan terhadap Edwin. Begitulah kejadiannya waktu. Dan dia dikeluarkan dari sekolah bersama-sama Parlin.

Ayahnya benar-benar marah dan bahkan sampai menempelengnya. Ayah yang selama ini begitu baik, menempelengnya. Percuma dia memberi alasan, karena ayahnya juga tidak percaya. Edwin frustrasi. Dalam frustrasi itu dia jatuh sakit. Penyakit gejala typhus sehingga dia sempat dirawat di rumah sakit Cipto. Setelah sembuh dia tidak punya kegiatan apa-apa. Ayahnya tidak mungkin memindahkannya ke sekolah lain karena pasti harus membayar ekstra uang pindah. Ayahnya hanya berniat untuk memindahkan sekolahnya nanti di awal tahun ajaran, kalau dia sudah punya uang untuk biaya pindah sekolah itu.

Edwin tetap bukan tipe remaja yang suka nongkrong. Dia masih bergaul dengan teman-temannya dulu, tapi sekarang dia sangat berhati-hati untuk tidak kena pengaruh jenis narkoba lagi. Meskipun tidak lagi bersekolah dia menunjukkan kepada kedua orang tuanya bahwa dia tidaklah anak yang bergajul. Sampai saat ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa bulan yang lalu dia berusaha menjadi anak yang baik di rumah. Tapi semenjak ayah meninggal, dan dia melihat penderitaan ibu memikul tanggung jawab untuk mengurus dirinya beserta ketiga orang adiknya, memacu Edwin untuk berusaha mendapatkan pekerjaan. Syukurlah, temannya Amir memperkenalkannya dengan mas Hendro sampai dia diterima bekerja di pompa bensin.


*****

Wednesday, November 26, 2008

SANG AMANAH (74)

(74)

17. Harapan Kembali (1)


Hari sudah hampir jam setengah sebelas malam. Langit mendung dan hujan rintik-rintik masih turun. Sore tadi hujan lebat sempat turun sebentar. Jalanan masih basah dan di sana-sini air tergenang. Edwin berjalan tergesa-gesa menuju halte bus di pinggir jalan Prof. Dr. Saharjo, tidak jauh dari pompa bensin tempatnya bekerja. Memakai topi dan jaket penahan hujan rintik-rintik yang terasa dingin menerpa muka. Dia baru selesai bertugas jaga di pompa bensin di dekat itu, pekerjaan yang ditekuninya sejak empat bulan terakhir. Setiap hari dia bekerja di sini dari jam dua belas siang sampai jam sepuluh malam. Tidak ada penjelasan kenapa jam kerjanya seperti itu dan tidak berubah-ubah. Tidak ada sistim rotasi. Pokoknya, sejak dia diterima mas Hendro bekerja di sini, peraturannya ya seperti itu. Mas Hendro adalah mandor para pegawai di pompa bensin itu. Dia itu saudara sepupu Amir, teman sekolah Edwin dulu dan yang memperkenalkannya kepada mas Hendro. Pada waktu pulang, kadang-kadang dia ditawari boncengan sepeda motor oleh mas Hendro, sampai ke Kampung Melayu. Tapi hari ini, karena hari hujan, mas Hendro pulang lebih awal. Katanya, karena di daerah dekat tempat tinggalnya kebanjiran.

Lalu lintas di jalanan sudah mulai sepi. Edwin sedang menunggu angkot ke jurusan Kampung Melayu dan dari sana dia harus naik angkot lain ke jurusan Bekasi. Dia sudah menunggu kira-kira sepuluh menit. Belum ada angkot yang arah ke Kampung Melayu datang. Beberapa tukang ojek menghampirinya, tapi Edwin menolak. Ongkos ojek ke Kampung Melayu paling kurang tiga ribu rupiah. Dan kalau sampai ke rumahnya di perapatan Halim bisa enam ribu rupiah. Itu sama dengan uang makannya satu hari. Kalau naik angkot dia akan membayar dua ribu lima ratus sampai ke rumah. Jadi lebih baik menunggu.

Edwin faham betul arti uang seribu dua ribu rupiah yang harus diperhitungkan pengeluarannya. Dia bahkan sangat sadar bahwa dia harus bekerja. Dia harus membantu ibu mendapatkan uang untuk menunjang kehidupan keluarganya. Semenjak ayahnya, yang bekerja sebagai petugas Satpam di sebuah gedung bertingkat di Jakarta Pusat, meninggal karena kecelakaan lalu lintas setengah tahun yang lalu, kehidupan mereka semakin berat. Ibunya juga bekerja sebagai petugas kebersihan, atau ‘cleaning service’ di bangunan yang sama. Penghasilannya jelas sangat minim dan tidak cukup untuk menunjang kehidupan mereka berlima. Waktu ayahnya masih hidup, dengan penghasilan ayah dan ibu berdua kehidupan mereka masih lumayan. Tapi semenjak ayahnya meninggal, beban ibunya menjadi bertambah berat. Edwin adalah anak paling tua. Adik-adiknya masing-masing bersekolah di SMP kelas dua, SD kelas lima dan kelas dua. Mereka beruntung, karena dengan penghasilan Edwin sebagai pegawai pompa bensin, adik-adiknya masih tetap dapat bersekolah.

Sambil berteduh di halte bus yang sepi itu, Edwin mengamati jalan raya, menunggu-nunggu kedatangan angkot. Matanya mengamati sebuah taksi yang sedang berbelok di putaran berbentuk huruf U. Bahagian depan taksi itu sudah berada di sisi jalan sebelah ke dekat halte, tapi tiba-tiba taksi itu berhenti. Karena dari arah barat tiba-tiba pula datang sebuah mobil sedan dengan kecepatan tinggi. Suara kenalpot sedan itu sangat keras memekakkan telinga. Meskipun bagian depan taksi yang akan berputar arah itu menjorok ke jalan yang akan dilaluinya, sedan yang sedang ngebut itu seharusnya bisa berlalu dengan aman. Masih cukup lebar jalan untuk dilaluinya tanpa mengganggu taksi itu. Tapi mungkin karena gugup dengan posisi taksi seperti itu, sedan ngebut ini membanting setirnya ke kiri. Di depan, ada sebuah mobil lain yang baru keluar dari pompa bensin, sedang berhenti menunggu kesempatan untuk berbelok ke kiri ke jalan besar. Sedan ngebut yang kehilangan kendali itu menghantam mobil yang sedang berdiri ini di bahagian depan dan seterusnya terguling dan akhirnya menghantam tiang listrik di tengah jalan dalam posisi terbalik. Kaca-kacanya hancur dan bagian atap sedan itu penyok tertekan, menyebabkan pengemudi dan seorang penumpang di dalam terjepit. Sedan yang baru keluar dari pompa bensin ringsek di bagian depannya, dengan posisi bergeser empat puluh lima derajat dari semula akibat hantaman.

Edwin hampir tidak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya. Beberapa detik dia hanya ternganga menyaksikan kecelakan dahsyat itu. Setelah sadar dia berlari menghampiri mobil yang terbalik. Dari arah pompa bensin, Mansur, temannya sesama pegawai pompa bensin, juga berlari mendekati mobil nahas itu. Dari mobil yang tertabrak keluar seorang bapak-bapak dengan tubuh menggigil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Bapak itu pasti sangat terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya. Taksi yang akan berputar tadi, berhenti dekat mobil yang kena tabrak dan sopirnya keluar menghampiri mobil yang terbalik itu. Sopir taksi itu memeriksa denyut nadi kedua orang di dalam mobil ringsek itu. Yang laki-laki rupanya hanya pingsan dengan muka berlumuran darah. Edwin, Mansur dan sopir taksi mengeluarkannya dengan hati-hati. Penumpang di sebelah kirinya, seorang wanita muda, kelihatannya sudah tidak bernyawa. Tidak ada lagi denyut nadinya dan kepalanya mengeluarkan darah jauh lebih banyak.

Sopir taksi mengajak Edwin dan Mansur menggotong laki-laki malang itu, yang ternyata adalah seorang anak muda, ke taksinya untuk diantarkan ke rumah sakit. Orang itu dibaringkan di jok belakang dengan kaki ditekuk. Kemungkinan kakinya patah. Dia merintih waktu kakinya ditekuk. Sopir taksi meminta agar salah satu di antara Edwin dan Mansur menemaninya mengantar ke rumah sakit. Mansur menyuruh Edwin saja yang pergi sementara dia akan menelpon polisi dan ambulan. Sopir taksi memberi tahu Mansur bahwa dia akan membawa anak muda itu ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara, seandainya nanti ada yang perlu diberi tahu.

Dengan diantar oleh Edwin, anak muda yang luka-luka itu dibawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara. Waktu mereka sudah hampir sampai di rumah sakit, HP di kantong laki-laki malang itu berbunyi. Sopir taksi menyuruh Edwin mengambil HP itu sekalian menjawabnya. Edwin mengeluarkan HP dari kantong jaket laki-laki itu dan menjawab panggilannya. Terdengar suara seorang laki-laki dari ujung sana.

‘Udah nyampe dimana lo Tom?’

‘Hallo, ini bukan Tom. Dengan siapa ini?’ Tanya Edwin.

‘Hah! Siapa lo? Mana Tomi?’

‘Mas. Yang punya HP ini mengalami kecelakaan. Mobilnya menabrak mobil lain dan terbalik. Mobil itu rusak berat. Orang ini sedang pingsan dan luka-luka waktu kami keluarkan dari mobil itu. Saat ini sedang kami bawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara. Kami sudah hampir sampai di rumah sakit ini sekarang,’ jawab Edwin.

‘Apa kamu bilang? Kamu ini siapa?’ suara dari sebelah sana.

‘Saya yang menolong orang itu. Nama saya Edwin. Saya sedang berada di halte bus dekat tempat itu waktu kecelakaan terjadi’, jawab Edwin.

‘Dimana kejadiannya? Dan kamu dimana sekarang?’ tanya orang itu lagi.

‘Kejadiannya di jalan Prof. Dr. Saharjo di Tebet. Dekat pompa bensin. Di sebelah kiri jalan kalau dari arah Pancoran. Saya membawa orang yang luka-luka ini ke rumah sakit bersama seorang sopir taksi,’ jawab Edwin lagi.

‘Terus Henni bagaimana?’ tanya orang itu lagi.

‘Ada seorang wanita di mobil itu. Dia tidak tertolong. Dan waktu kami membawa laki-laki ini, wanita itu masih belum dikeluarkan dari mobil yang terbalik itu,’ jawab Edwin.

Terdengar suara laki-laki di ujung telpon genggam itu berteriak histeris. Edwin mencoba memanggil-manggil, tapi tidak dijawabnya lagi.

Sampai di rumah sakit mereka langsung membawa anak muda itu ke unit gawat darurat. Dia masih pingsan. Dokter jaga segera merawatnya dibantu dua orang juru rawat. Menurut dokter kedua kaki orang itu memang patah, kepalanya sobek di keningnya dan mengeluarkan banyak sekali darah. Masih ada luka lain di tangannya yang tidak terlalu parah. Dokter menjahit luka di kepala itu sementara kaki yang patah mungkin harus dioperasi.

Sopir taksi yang baik itu mengajak Edwin untuk menunggu sampai salah seseorang dari keluarga anak muda itu datang ke rumah sakit. Edwin setuju saja. Dengan menggunakan HP anak muda itu mereka coba mencari alamat nya. Mereka berhasil mendapatkan alamat dan nomor telpon orang tua Tomi di Kebayoran Baru setelah terlebih dahulu menelpon salah satu nama yang ada di daftar nama-nama di HP itu. Kepada orang tua itu dijelaskan apa yang terjadi dengan anaknya. Tentu saja berikut mengenai korban wanita di mobil yang mengalami kecelakaan itu, yang masih mereka tinggalkan di mobil itu, karena dia sudah meninggal. Ayah Tomi yang menerima telpon, kaget dan histeris mendengar kabar itu. Dia memberi tahu bahwa dia sendiri akan segera menyusul ke rumah sakit.

Sambil menunggu, Edwin berbincang-bincang dengan sopir taksi yang baik itu, yang bernama Amran Harahap. Katanya, tadi itu dia sudah mau pulang ke Bekasi sesudah mengantar penumpangnya ke Tebet Timur, namun sebelum pulang ingin mengisi bensin dulu. Waktu kecelakaan itu terjadi dia mau berputar menuju ke pompa bensin.

Lebih kurang setengah jam kemudian orang tua dari anak muda yang mengalami kecelakaan itu datang. Pak Suminta datang ditemani seorang anak laki-laki yang lebih muda, mungkin adik Tomi. Pak Suminta tidak dapat menyembunyikan kesedihan hatinya. Air matanya bercucuran waktu melihat keadaan anaknya. Edwin menceritakan bagaimana terjadinya kecelakaan tadi secara ringkas. Pak Suminta mendengarkan cerita itu sambil sesenggukan menahan tangis, sambil dia tak henti-hentinya memandangi dan memegang tubuh Tomi yang terbaring lemah.

Sesudah selesai dengan cerita ringkas itu, Edwin dan sopir taksi mohon diri setelah terlebih dahulu menyerahkan HP Tomi kepada ayahnya. Pak Suminta mengucapkan terima kasih banyak atas pertolongan mereka berdua. Waktu Edwin ditanya dimana alamatnya, dia hanya memberitahu bahwa dia bekerja di pompa bensin dekat tempat terjadinya kecelakaan tadi. Anak laki-laki yang bersama pak Suminta itu mencatat informasi yang diberikan Edwin dan Amran Harahap, berikut nomor taksinya.


*****

Tuesday, November 25, 2008

SANG AMANAH (73)

(73)


Hasil rapat antara pengurus OSIS dengan kepala sekolah kemarin menjadi bahan gossip baru yang lebih seru. Sebenarnya bukan gossip, karena yang berbicara adalah anak-anak pengurus OSIS. Berita itu menjalar dengan sistim ketok tular, dari mulut ke mulut. Sebahagian besar murid-murid tidak terlalu perduli dengan urusan itu, alias cuek saja.

Dikalangan guru-gurupun hal itu jadi bahan obrolan yang tidak kalah seru. Tentu saja dengan pro dan kontra. Kalau biasanya ibu Purwati hampir selalu menjadi pimpinan oposisi terhadap pemikiran-pemikiran pak Umar, kali ini dia tidak bisa berlaku demikian karena pencetus masalah yang tengah terjadi melibatkan dirinya. Tepatnya menyangkut anak dari saudara sepupunya. Yang tampil sebagai ‘pimpinan’ oposisi kali ini adalah pak Muslih.

Hari jam tujuh kurang delapan menit. Di ruangan guru sudah hadir 12 orang guru yang akan mengajar pada jam pertama pagi ini, termasuk ibu Purwati. Pak Umar sedang berkeliling melakukan pemeriksaan seperti yang selalu dilakukannya setiap pagi. Pak Muslih sudah memberitahukan rencana rapat guru-guru yang akan diadakan siang ini, untuk membahas usulan pak Umar mencari murid-murid yang dulu dikeluarkan karena terlibat kasus narkoba dan kalau mereka sudah tidak pencandu narkoba, akan diterima kembali bersekolah.

Waktu pak Mursyid datang jam tujuh kurang lima, pak Muslih langsung memberitahunya tentang rencana rapat yang akan diadakan siang nanti.

‘Pak Mursyid, nanti siang kita akan rapat dengan pak kepala sekolah,’ ujar pak Muslih mengawali pembicaraan.

‘Masalah apalagi pak?’ tanya pak Mursyid.

‘Kali ini menyangkut masalah besar. Masalah rencana pak kepala sekolah mau menerima kembali mantan murid yang dikeluarkan karena kasus narkoba,’ pak Muslih menjelaskan.

‘Meskipun mereka masih tetap pengguna narkoba, begitu?’ tanya pak Mursyid.

‘Ya nggak. Syaratnya, kata pak Umar, asal mereka sudah tidak lagi pengguna narkoba. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau anak-anak yang sudah pernah ketagihan itu tidak akan balik lagi jadi pengguna?’ kata pak Muslih.

‘Wah, bagus itu. Saya setuju sekali dengan pemikiran itu,’ jawab pak Mursyid.

Jawaban pak Mursyid kali ini mengagetkan guru-guru yang berada di ruangan itu. Sebab biasanya pak Mursyid hampir selalu termasuk kelompok oposisi. Atau…., apa karena ada kasus ibu Purwati kemarin? Karena biasanya lagi, pak Mursyid adalah pendukung setia ibu Purwati.

‘Sampeyan serius nih, setuju dengan ide itu?’ tanya pak Muslih penasaran.

‘Serius. Kenapa tidak? Kalau anak-anak itu sudah tidak pemadat lagi, saya setuju mereka diterima sekolah kembali. Tapi masalahnya, ada yang tahu nggak kalau anak-anak itu sudah tidak pemadat lagi?’ tanya pak Mursyid.

‘Pak Umar menyuruh OSIS menyelidiki hal itu,’ pak Hardjono ikut berbicara.

‘Wah bagus itu. Benar, saya sangat setuju dengan gagasan itu,’ pak Mursyid bersemangat.

‘Kenapa?’ tanya pak Muslih benar-benar penasaran. Pak Muslih juga cemas karena sepertinya akan berat kalau pak Mursyid tidak masuk kelompok oposisi.

‘Ya, iyalah pak. Mereka itu kan murid-murid kita dulu. Karena ‘kecelakaan’ saja mereka itu terperosok kasus narkoba. Ingat nggak bapak, waktu preman-preman pengedar narkoba menyatroni sekolah ini tiap hari. Saya yakin mereka kenanya waktu itu. Artinya masih di lingkungan sekolah. Dan waktu itu kita tidak sanggup menangkalnya. Seingat saya anak-anak yang kena kasus itu tidak ada yang berbakat bandel. Tapi karena nasib apes saja mereka kena. Nah, kalau saja mereka sekarang sudah baikan, dan ternyata tidak sekolah, saya setuju mereka itu di sekolahkan kembali. Saya sering melihat satu di antara anak-anak itu, Edwin, kalau nggak salah, sekarang bekerja di pompa bensin. Anak itu selalu malu dan menghindar kalau saya mampir mengisi bensin di pompa bensin itu,’ pak Mursyid bercerita panjang.

‘Pak Mursyid nggak khawatir anak-anak seperti itu nanti bisa kambuh lagi? Jadi pemadat lagi? Di sekolah ini. Apa nggak memalukan sekolah kalau sampai terjadi hal seperti itu?’ tanya pak Muslih makin penasaran.

‘Ya, kita usahakan mencegahnya tho!? Sebelum mereka diterima kembali, kita buat dulu perjanjian dengan anak-anak itu di hadapan orang tuanya, bahwa mereka tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Dan di sekolah kita awasi. Paling tidak, razia tas anak-anak diintensipkan lagi,’ jawab pak Mursyid.

‘Wah, itu dia. Pasti anak-anak akan protes. Gara-gara anak mantan narkoba itu diterima kembali mereka jadi tidak nyaman,’ kata pak Muslih.

‘Kita beri pengertian, dong. Meriksanya jangan galak-galak. Tapi serius,’ pak Mursyid mempertahankan pendapatnya.

‘Jadi pak Mursyid benar-benar setuju kalau anak-anak itu dibiarkan sekolah di sini kembali?’ tanya ibu Lastri ikut penasaran.

‘Begini aja deh. Kalau memang akan ada rapat nanti siang, mendingan kita bahas di dalam rapat nanti saja,’ pak Mursyid ingin menghentikan diskusi itu.

‘Ya, sudah. Kalau begitu kita bahas lagi di rapat saja nanti,’ sambut pak Muslih yang kelihatannya ‘mati langkah’.

‘Jam berapa rapatnya, pak?’ tanya pak Mursyid.

‘Kata pak Umar, siang. Tentu sesudah berakhir jam pelajaran nanti,’ jawab pak Muslih.


*****

Dengan menanyakan ke anak-anak kelas tiga, pengurus OSIS segera berhasil mendapat berita tentang keberadaan teman-teman mereka yang dulu di keluarkan dari SMU 369 karena kasus narkoba. Mereka adalah;

Yang pertama, Edwin yang bekerja di pompa bensin. Anak ini tadinya terpengaruh bergaul dengan preman-preman. Pernah dicekoki oleh preman dengan pil ekstasi, sehingga beberapa kali sakau. Akan dijadikan pengedar oleh preman-preman tapi karena tidak berduit dan tidak mau serta keburu dikeluarkan dari sekolah, akhirnya ditinggalkan. Sempat jatuh sakit gejala typhus selama sebulan. Sesudah sembuh dan beberapa lama nongkrong, akhirnya dapat pekerjaan di pompa bensin. Anak ini sudah tidak lagi menggunakan obat, tapi mungkin perokok sekarang.

Yang kedua, Danta, eks kelas dua C. Anak ini adalah yang keluar sendiri karena tertangkap polisi sesudah kedapatan mengantongi bubuk morfin. Sesudah sempat ditahan polisi, akhirnya oleh orang tuanya dibebaskan dengan uang jaminan dan di masukkan ke sebuah pondok pesantren tempat rehabilitasi pengguna obat terlarang. Dia tinggal di pesantren itu sampai lima bulan. Waktu sudah dinyatakan sembuh sesudah tiga bulan di sana oleh orang tuanya disuruh tinggal lebih lama. Saat ini anak ini ikut les bahasa Inggeris dan rencananya akan dikirim ke Australia oleh orang tuanya.

Wahyu, eks kelas dua A. Sudah dua kali keluar masuk panti rehabilitasi. Yang pertama selama dua bulan, dikira orang tuanya sudah sembuh, lalu dibawa pulang. Baru sebulan di rumah, ternyata kambuh lagi, karena bertemu lagi dengan pengedar morfin. Pengedarnya adalah yang tertangkap waktu menyerang pak Umar dan pak Arif tempohari. Yang kedua kali oleh orang tuanya diantarkan ke pesantren tempat Danta, temannya, dirawat. Baru keluar dari sana dua minggu yang lalu. Kondisi mentalnya sekarang masih agak labil. Selalu seperti orang ketakutan. Tapi rajin shalat, mungkin karena latihan di pesantren.

Berikutnya, Parlin. Eks anak kelas dua C juga. Anak ini yang kedapatan mabuk di sekolah meski dalam masa skorsing. Pemakai pil ekstasi. Dia dibawa pindah oleh orang tuanya ke Medan. Tadinya juga dimasukkan ke Panti rehabilitasi oleh orang tuanya dan tinggal di sana selama tiga bulan. Sebelum pindah ke Medan sudah bergaul lagi dengan anak-anak yang suka mengkonsumsi obat, tapi belum sempat terpengaruh kembali.

Terakhir Wanto. Anak kelas dua D. Anak ini yang mengenaskan nasibnya. Orang tuanya bercerai. Wanto terlibat penggunaan bubuk morfin sebagai pelarian dari kekalutan suasana di rumah. Sudah berbulan-bulan di rumah sakit. Saat ini masih dirawat dengan badan kurus kering dan seperti tidak ingat apa-apa lagi.

Itulah keterangan yang berhasil didapatkan dan dihimpun oleh Ketua pengurus OSIS. Informasi pertama itu mereka serahkan langsung ke pak Umar dan mereka masih akan berusaha mengamati lebih dekat kondisi masing-masing anak itu tadi.

Pak Umar mencari data-data mantan murid itu di Tata Usaha. Terutama tiga orang, Edwin, Danta dan Wahyu yang mungkin bisa diselamatkan. Pak Umar ingin mendatangi orang tua mereka atau paling tidak menelponnya untuk mengetahui keabsahan informasi yang dia dapatkan.


*****

Monday, November 24, 2008

SANG AMANAH (72)

(72)


Pada jam istirahat pertama, tiga orang pengurus OSIS dipimpin ketuanya Syamsurijal, datang menghadap pak Umar. Anto termasuk di antara ketiga orang itu. Pak Umar mempersilahkan mereka masuk ke kantornya. Mereka terlibat dalam diskusi singkat dengan pak Umar.

‘Maaf, pak. Kami datang untuk meminta kesediaan bapak memberi penjelasan kepada kami, pengurus OSIS, sehubungan dengan desas-desus yang beredar di antara kawan-kawan tentang calon murid baru, keponakan ibu Purwati, yang kabarnya terlibat kasus…..,’ kata ketua OSIS mengawali pembicaraan, walaupun kalimatnya terputus.

‘Maksudnya memberi penjelasan kepada kalian bertiga ini?’ tanya pak Umar.

‘Kalau bapak tidak berkeberatan, kepada semua pengurus OSIS saja pak. Kami semua anggota pengurus ada dua belas orang. Dan kalau bapak tidak berkeberatan, kami siap mengadakan pertemuan itu nanti siang sehabis jam pelajaran terakhir,’ jawab ketua OSIS.

‘Kenapa berita desas-desus seperti itu penting sekali buat kalian?’ tanya pak Umar lagi.

‘Karena, kalau kami boleh mengeluarkan pendapat, kami tidak setuju ada murid baru pengguna narkoba di sekolah ini, pak. Sebab teman-teman kami dulu dikeluarkan waktu mereka kedapatan menggunakan obat terlarang itu,’ jawab ketua OSIS mantap.

‘Baik. Kalau begitu saya setuju mengadakan pertemuan dengan kalian nanti siang. Kita adakan pertemuan itu di ruang serba guna di atas. Saya akan mengajak pak Muslih dan pak Wayan untuk hadir pada pertemuan itu nanti. Dan juga pak Hardjono,’ usul pak Umar.

‘Terima kasih pak. Kalau begitu kami mohon izin dulu pak,’ ucap ketua OSIS.

Pak Umar tersenyum dan mengangguk. Anto mengucapkan salam.

‘Assalamu’alaikum, pak.’

Pak Umar menjawab salam itu dengan utuh.


*****


Jam dua kurang seperempat rapat kepala sekolah dengan pengurus OSIS digelar di ruang serba guna di lantai atas SMU 369. Di samping pak kepala sekolah, hadir pak Hardjono dan pak Muslih. Pak Wayan tidak bisa ikut hadir. Pengurus OSIS hadir dua belas orang seperti yang dijanjikan ketua OSIS tadi pagi. Pak Muslih tidak habis pikir, apa perlunya rapat seperti itu diadakan. Tapi karena diminta pak Umar untuk ikut dia terpaksa hadir juga. Pak Umar membuka rapat itu.

‘Assalamu’alaikum wr.wb.,
Baiklah, terima kasih pak Muslih, pak Hardjono serta anak-anak pengurus OSIS. Ini bukan rapat yang resmi-resmi benar. Jadi kita santai saja. Menurut ketua OSIS, ada yang ingin kalian tanyakan, sehubungan dengan desas-desus yang beredar di antara kalian bahwa ada murid yang baru diterima padahal anak tersebut pengguna narkoba. Apa benar demikian saudara ketua OSIS?’ tanya pak Umar mengawali rapat siang itu.

‘Benar, pak. Dan menurut berita yang beredar di kalangan teman-teman, anak itu keponakan ibu Purwati, sudah diterima sebagai murid baru di sini, tapi anak tersebut jatuh pingsan, kemungkinan karena pengaruh narkoba yang dikonsumsinya, jadi belum sempat masuk kelas. Kami ingin mendapat kepastian apakah berita itu benar?’ tanya ketua OSIS.

‘Kalau itu pertanyaannya, langsung saja saya jawab, tidak benar. Berita itu tidak benar sama sekali. Tidak ada murid yang baru diterima di sekolah ini. Apalagi pengguna narkoba seperti yang kalian gossipkan,’ jawab pak Umar.

‘Tapi kemarin ada keponakan ibu Purwati yang diantar ayahnya, seorang tentara datang ke sekolah ini. Anak itu dibawa lagi karena jatuh pingsan di sini. Begitu kami dengar ceritanya pak,’ tambah ketua OSIS.

‘Benar bahwa kemarin ada seorang anak datang dengan orang tuanya kesekolah ini. Benar juga bahwa anak itu keponakan ibu Purwati. Tadinya, oleh orang tuanya anak itu ingin dimasukkan atau tepatnya dipindahkan ke sekolah ini. Tapi orang tuanya belum sempat bertemu dengan saya. Dia belum mengajukan permohonan untuk memasukkan anaknya itu di sini. Jadi jelas belum diterima,’ jawab pak Umar, tersenyum.

‘Tapi, apakah ada rencana bapak untuk menerimanya?’ tanya salah satu anggota rapat.

‘Kalau dia pengguna narkoba jelas tidak akan diterima. Seorang pencandu rokok saja tidak akan diterima di sini,’ jawab pak Umar tegas.

‘Kalau begitu sudah jelas pak. Kami akan memberi tahu teman-teman yang bapak sampaikan ini,’ kata ketua OSIS.

‘Sekarang saya yang bertanya. Kenapa kalian menanyakan hal ini? Apakah anak tadi itu akan diterima atau tidak? Apa perlunya kalian menanyakan hal itu?’ tanya pak Umar.

‘Hanya ingin mendapat kepastian saja pak,’ jawab seorang peserta.

‘Bagaimana kalau seandainya saya jawab bahwa anak itu benar diterima bersekolah di sini. Apakah kalian akan berdemonstrasi menentangnya?’ tanya pak Umar lagi.

‘Kami akan protes pak. Karena dulu teman kami dikeluarkan dari sekolah karena menggunakan obat-obat terlarang itu. Jadi sangat tidak adil kalau anak ini, hanya karena dia keponakan ibu Purwati, diterima bersekolah di sini,’ jawab ketua OSIS.

‘Apakah ada di antara kalian yang mengetahui dimana keberadaan teman-teman kalian yang dikeluarkan dulu itu?’ tanya pak Umar.

Anak-anak itu berpandang-pandangan. Mereka tidak mengerti kenapa pak Umar menanyakan hal itu.

‘Saya mengetahui keberadaan Edwin, karena dia tinggal dekat tempat saya tinggal pak. Dia sekarang bekerja di pompa bensin di Tebet. Yang lainnya saya tidak tahu pak,’ Samsul, salah satu anggota OSIS itu berbicara.

‘Apakah kamu sering bertemu dengannya? Apakah dia masih tetap pemakai narkoba sampai sekarang?’ tanya pak Umar.

‘Saya pernah bertemu dengannya tapi tidak sering. Saya tidak tahu apakah dia itu masih tetap menggunakan narkoba atau sudah tidak lagi, pak,’ jawab Samsul.

‘Bisakah kamu menyelidikinya?’ tanya pak Umar.

‘Saya rasa bisa pak. Maksud saya, kalau hanya mencari informasi apakah dia masih pemakai atau sudah tidak, saya bisa mencari beritanya,’ Samsul menjelaskan.

‘Bagaimana dengan yang lain? Tidak ada yang tahu?’ tanya pak Umar kembali.

‘Maaf, kenapa bapak menanyakan keadaan mereka? Apa maksud bapak?’ kali ini pak Muslih yang bertanya.

‘Baik. Seandainya teman-teman kalian itu sudah tidak lagi pencandu narkoba, bisa dibuktikan dengan keterangan dokter, dan seandainya mereka masih ingin bersekolah, mereka akan kita terima kembali di sini,’ jawab pak Umar.

Pak Muslih, pak Hardjono serta segenap anggota pengurus OSIS peserta rapat itu tersentak kaget mendengar penjelasan pak Umar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Tidak seorangpun yang bersuara. Mereka berpandang-pandangan satu sama lain dengan mimik penuh keheranan.

‘Apa alasan bapak menerima mereka kembali? Bukankah mereka sudah dikeluarkan dari sekolah ini?’ tanya pak Muslih beberapa saat kemudian.

‘Karena mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Mereka juga berhak untuk meneruskan sekolah mereka di sini. Tapi dengan syarat, mereka sudah sembuh dari kecanduan narkoba. Dan mau berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan mereka menggunakan narkoba. Perjanjian yang kita buat di atas kertas bermeterai jika perlu,’ jawab pak Umar.

‘Tapi ini bisa berakibat buruk, pak. Reputasi sekolah ini bisa hancur kalau pencandu narkoba yang sudah pernah dikeluarkan, diterima kembali bersekolah. Apakah pak Umar tidak memikirkan itu? Hal ini akan jadi cemoohan sekolah-sekolah lain. Padahal bapak sedang menyiapkan sekolah ini untuk menjadi sekolah unggulan,’ kata pak Muslih pula.

‘Tentu saja sudah saya pikirkan, pak Muslih. Makanya saya katakan, dengan syarat mereka sudah tidak pengguna narkoba lagi. Keterangan bahwa mereka sudah tidak pengguna ini harus dikeluarkan oleh dokter. Kalau anak-anak itu benar-benar sudah bebas dari keterikatan pada narkoba, baru kita terima kembali. Mengenai penilaian sekolah lain, tidak usah terlalu kita hiraukan. Yang ingin kita lakukan adalah suatu kebaikan, menyelamatkan generasi muda yang pernah rusak tapi sudah memperbaiki diri mereka kembali,’ jawab pak Umar lagi.

Pak Muslih terdiam. Anak-anak pengurus OSIS masih pada melongo. Selama beberapa detik ruang rapat itu sunyi. Tidak ada satupun yang membuka suara. Sampai akhirnya pak Hardjono kembali bertanya.

‘Apakah rencana pak Umar untuk menerima murid-murid yang pernah dikeluarkan itu merupakan gagasan tiba-tiba saja atau sudah ada dasar pemikirannya yang lain pak?’ tanyanya.

‘Saya prihatin, pak. Melihat anak dari saudara ibu Purwati kemarin saya prihatin. Mendengar tentang murid sekolah ini yang dikeluarkan seperti cerita pak Muslih dan pak Wayan tadi pagi, saya prihatin. Anak-anak itu adalah generasi muda yang akan mengurus negara ini nanti. Ini bukan cerita muluk-muluk, dan saya bukan mengada-ada, tapi hal ini adalah kenyataan. Maka saya berpikir, mereka harus diselamatkan kalau itu masih mungkin dilakukan. Tadi diceritakan oleh….. siapa nama kamu?’ tanya pak Umar, yang langsung dijawab oleh Samsul. ‘Tadi diceritakan oleh Samsul, salah satu anak itu sekarang bekerja sebagai pegawai pompa bensin. Nah, kalau anak itu sudah sadar, tidak lagi terlibat penggunaan narkoba, dan dia masih mau melanjutkan sekolahnya, kenapa tidak kita beri kesempatan?’ ujar pak Umar.

‘Tapi kalau mereka sekarang sudah tidak pemakai, tapi karena mereka sudah pernah kenal dengan benda-benda itu, lalu nanti kambuh lagi padahal sudah diterima kembali di sekolah, terus bagaimana pak?’ pak Hardjono melanjutkan pertanyaan dalam keragu-raguannya.

‘Kita bersama-sama harus berusaha bersungguh-sungguh membantu mereka. Sebelumnya kita ingatkan betul mereka bahwa yang kita lakukan adalah untuk kepentingan mereka. Jadi merekapun harus berusaha pula agar tidak jatuh di lobang yang sama untuk kedua kalinya. Sekali lagi ini adalah usaha. Mari kita niatkan usaha ini dengan ikhlas, semata-mata karena Allah. Kita ingin menolong sesama manusia. Dan setelah itu kita iringi dengan berdoa kepada Allah,’ jawab pak Umar.

Pak Hardjono terdiam. Dalam hatinya dia memahami niat baik pak Umar. Dan rasanya apa yang disampaikan pak Umar itu tidaklah mengada-ada. Kalau sekiranya memang anak-anak itu masih bisa ditolong, apa salahnya diusahakan menolongnya? Suasana kembali diam di ruang rapat itu. Masing-masing masih mencoba mencerna apa yang disampaikan pak Umar.

‘Maaf, pak. Kalau diizinkan, kami akan berusaha mencari keterangan tentang teman-teman yang dulu dikeluarkan itu. Tapi setahu saya, satu orang dari mereka sudah pindah ke kampungnya,’ ketua OSIS mengajukan usul.

‘Saya rasa usulan itu baik sekali. Tolong kalian cari sampai dapat informasi yang benar tentang anak-anak itu. Kalau sudah kalian dapat, segera beritahukan kepada saya!’ kata pak Umar.

‘Kalau kami bertemu mereka, dan mereka sudah tidak lagi pemakai narkoba, apakah kami bisa langsung memberi tahu bahwa mereka akan diterima kembali di sekolah ini jika mereka mau bersekolah kembali, pak?’ tanya Samsul.

‘Boleh saja, asal kalian beritahukan persyaratannya tadi,’ jawab pak Umar.

‘Apakah hal ini akan dirapatkan juga dengan guru-guru lain pak?’ tanya pak Muslih kembali.

‘Boleh saja. Besok siang kita adakan rapat dengan staf guru-guru. Saya akan memberitahukan apa yang kita bicarakan ini kepada semua guru-guru,’ jawab pak Umar.

‘Hanya sebagai sebuah pemberitahuan saja?’ tanya pak Muslih lagi.

‘Saya siap untuk berdiskusi,’ jawab pak Umar.

Karena tidak ada lagi pertanyaan, rapat itu ditutup. Pak Muslih tetap merasa aneh dengan gagasan pak kepala sekolah yang mau menerima kembali anak-anak yang dulu sudah pernah dikeluarkan. Apa benar anak-anak itu masih perlu dibela? Anak-anak yang sudah pernah mencemarkan nama sekolah?


*****

Sunday, November 23, 2008

SANG AMANAH (71)

(71)

‘To, lo kok diam aja sih? Lo ngikutin nggak yang kita omongin dari tadi? Atau lo emang baru datang ?’ tanya Rano.

‘Iya, gue udah dengar dari tadi. Gue ngikutin sebagian. Tapi gue nggak ‘dong’ bener nih. Emang siapa sih yang katanya tukang ngeboat yang mau masuk sekolah di sini?’ Anto bertanya.

‘Itu dia. Katanya sih, keponakannya ibu Purwati. Anak serdadu. Pangkatnya kolonel. Gimana menurut lo?’ tanya Rinto.

‘Ah…., kalau menurut gue sih……. tunggu aja. Itu berita bener apa kagak? Kalau memang iya, baru kita bereaksi. Mau protes kek, mau demo kek, mau apa kek. Tapi kalau cuman gossip, terus lo udah pada sibuk, terus nanti jawabnya pak kepsek ternyata enggak, kita kan jadi malu-maluin,’ jawab Anto.

‘Benar juga. Jalan pikiran lo selalu mantap deh,’ sambut Ames, sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.

‘Wuuuuu…. Kalau Anto yang ngomong aja….. langsung deh lo berubah. Tadi lo yang ngotot mau nyuruh OSIS nanya ke pak Umar. Emang dasar lo!’ Dewi ngeledek Ames.

‘Yey… bolehnye. Kok lo yang sewot sih? Biarin aja. Kalau memang omongan dia lebih bijaksana ya wajar dong gue setuju? Ngapain lo yang sirik?’ Ames melayani dengan ketus.

‘Siapa yang sirik? Emang dasar lo aja……..,’ jawab Dewi cemberut.

‘Dasar apaan?’ Ames masih napsu.

‘Dasar emang lo cari muka ke Anto.. Ah lo, belagak nggak ngaku lagi, he..he..he,’ Rano pura-pura membela Dewi.

‘Ah….. udah! Pada berisik aja sih lo-lo semua,’ Rinto menengahi. ‘ Begini aja, kita lihat aja dulu, kalau dalam sehari dua ini anak itu nggak diantarin lagi ke sini berarti memang dia belum terdaftar di sini. Ntar juga gossipnya bakal hilang sendiri. Tapi kalau emang dia datang lagi, kita langsung demo aja.’

Rinto tidak sadar kalau di belakangnya sudah berdiri pak Umar. Anto sudah memberi kode dengan kedipan mata, tapi Rinto tidak mengerti maksudnya. Kata-katanya yang terakhir persis kedengaran oleh pak Umar. Tapi pak Umar tidak marah. Beliau hanya bertanya dengan nada suara biasa-biasa saja.

‘Kenapa mesti demo?’ tanya pak Umar pendek.

Rinto kaget bukan main. Anak-anak lain juga tidak kalah kaget. Mereka berpandangan satu sama lain, tapi tidak ada yang bersuara.

‘Apa yang sedang kalian diskusikan?’ tanya pak Umar pula datar.

‘Anu…pak. Itu… kami…kami lagi ngobrol tentang…..,’ Rinto tergagap-gagap.

‘Tentang apa?’ tanya pak Umar lagi, sambil tersenyum.

‘Tentang….. anak…. Anak yang kemarin pingsan itu pak,’ Ames mencoba menjelaskan, sambil berusaha tenang.

‘Kalian kenal anak itu?’ tanya pak Umar lagi.

‘Tidak, pak. Kami hanya mendengar omongan teman-teman tapi tidak tahu dari mana sumber yang sebenarnya. Dan kami dengar anak itu masih saudara ibu Purwati. Dan ada teman-teman yang bilang bahwa anak itu sudah diterima sebagai murid baru di sini,’ Rinto sudah lebih berani berbicara.

‘Terus, tadi kamu berencana mau demo itu kenapa?’

Rinto kembali gugup. Dia tidak berani melihat ke arah pak Umar.

‘Maaf, pak. Apa saya boleh bertanya? Maksud saya…. apakah anak itu benar-benar sudah diterima bersekolah di sini pak?’ tanya Anto hati-hati.

‘Belum, karena dia juga belum mendaftar ,’ jawab pak Umar.

‘Maksud bapak, kalau dia mendaftar… dia akan diterima bersekolah di sini?’ tanya Anto lagi.

‘Saya tidak mengatakan begitu,’ jawab pak Umar pula.

‘Maaf pak. Maksud teman-teman tadi, kalau benar anak yang bermasalah itu diterima sebagai murid baru, tentu kami bisa memohon agar teman-teman yang dulu pernah dikeluarkan dari sini, dapat pula diterima kembali,’ kata Anto.

‘Dan permohonan itu kalian lakukan dengan berdemonstrasi, begitu?’ tanya pak Umar selanjutnya.

‘Maksudnya bukan demonstrasi beneran, pak. Tapi ya sekedar bertanya begitu,’ jawab Ames.

‘Baiklah, saya ingin menjelaskan tentang hal ini, tapi tidak kepada kalian secara perorangan seperti ini. Silahkan kalian minta OSIS untuk mengatur pertemuan dengan saya, kapan saja kalian mau. Sekarang sudah hampir jam tujuh. Kalian harus segera masuk kelas,’ perintah pak Umar.

Bel masuk berbunyi. Anak-anak itu membubarkan diri, menuju ke kelasnya masing-masing.


*****


Guru-guru sudah menuju ke kelas mereka masing-masing. Di ruang guru masih tinggal pak Muslih, pak Wayan dan ibu Hartini. Pak Muslih dan ibu Hartini baru akan mengajar pada jam pelajaran berikutnya. Pak Wayan malahan baru akan bertugas lebih siang lagi, tapi dia sengaja datang pagi-pagi karena mau memindahkan nilai ujian ke buku catatan nilai murid-murid. Ketiga guru itu berbincang-bincang ngalor-ngidul dan akhirnya kembali membahas kasus narkoba.

‘Peredaran narkoba ini betul-betul sudah keterlaluan. Harusnya pemerintah lebih tegas menindak mereka-mereka yang terlibat sebagai pengedar dengan hukuman seberat mungkin. Bila perlu dengan hukuman mati seperti di Singapura dan di Malaysia itu,’ ujar pak Muslih dalam diskusi itu.

‘Ya, itulah pak. Entah kenapa pemerintah kita kok sampai kedodoran mengurusi masalah ini sehingga dari sehari ke sehari semakin parah keadaannya. Saya masih ingat si Danta yang dikeluarkan tempohari. Anak itu padahal pintar. Entah bagaimana caranya sampai terlibat penggunaan obat terlarang begitu,’ pak Wayan menambahkan.

‘Sebenarnya hukuman berat itu juga dikenal dalam sistim pengadilan kita, pak. Hanya saja antara aturan dalam kitab-kitab hukum dengan pelaksanaan hukuman seringkali tidak sejalan di negara kita ini. Hukum di sini sedang sakit parah. Kalau kita ikuti berita di masmedia tentang pelaksanaan atau penegakan hukum, pasti kita sedih melihatnya. Keputusan hakim seringkali terbalik-balik dan susah difahami. Koruptor besar, yang terbukti sudah menyelewengkan uang negara, memiliki kekayaan dalam jumlah yang tidak masuk akal, berurusan dengan hukum akhirnya divonis dengan hukuman ringan. Sementara maling ayam, dihakimi oleh masa sampai babak belur sesudah itu dimasukkan ke penjara untuk waktu yang lama. Itulah cermin keadilan yang sangat memprihatinkan di negeri ini. Kasus narkoba, semua kita faham, mengerti bagaimana tragisnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan narkoba itu. Tapi belum pernah terdengar pengedarnya yang tertangkap dijatuhi hukuman berat. Lebih gawat lagi, di lingkungan penjarapun peredaran narkoba itu berjalan, sementara aparat penjaga seolah-olah buta dan tuli,’ ibu Hartini menambahkan panjang lebar.

Pak Umar yang mendengar diskusi itu keluar dari kantornya.

‘Saya dengar bapak-bapak dan ibu sedang membahas masalah besar. Saya jadi ingin ikutan jadi pendengar nih,’ kata pak Umar menyapa.

‘Wah! Kedengaran ke dalam toh pak?’ tanya pak Muslih.

‘Iya terdengar dong pak. Dan saya jadi tertarik mendengar uraian bapak-bapak dan ibu barusan,’ ujar pak Umar pula.

‘Kita prihatin dengan kasus yang menimpa anak-anak yang jadi korban narkoba itu lho, pak,’ pak Muslih menjelaskan. ‘Murid kita di sini sudah ada lima orang yang dikeluarkan sampai tahun yang lalu. Waktu itu suasananya memang sangat memprihatinkan. Anak-anak itu, yang sebelumnya dikenal anak baik-baik, pintar, tahu-tahu kedapatan nyuntik. Di sekolah. Di sini. Apa nggak sinting itu namanya. Kita, guru-guru waktu itu mendesak pak Suprapto supaya mengambil keputusan tegas dan cepat. Kalau tidak segera diambil tindakan suasana di kalangan murid-murid akan semakin kacau. Sayang sekali memang, harus mengusir anak-anak itu dari sekolah. Tapi tidak ada jalan lain. Kalau tidak ditindak tegas begitu dikhawatirkan korbannya akan semakin bertambah.’

‘Apa kelima murid itu dikeluarkan bersamaan, pak Muslih?’ tanya pak Umar.

‘Oh nggak pak. Ada tiga kali kasus dalam waktu yang berdekatan. Mula-mula seorang anak kedapatan mabok. Istilah anak-anak, ‘sakau’. Digeledah, di tasnya ditemukan bubuk-bubuk morfin. Anak itu tidak dikeluarkan, tapi diciduk polisi karena ada yang melaporkan bahwa dia menyimpan bubuk morfin itu dan rupanya sudah jadi incaran polisi juga. Anak itu ditahan polisi sebentar, tapi nggak lama kemudian bebas. Hanya sudah nggak berani datang ke sekolah. Habis itu ada dua anak bersamaan mabok akibat pil ekstasi yang dikonsumsi di sekolah. Kedua anak itu jadi seperti orang gila. Orang tua kedua anak ini langsung dipanggil untuk datang ke sekolah. Mereka diberi peringatan keras. Masih diberi kesempatan sekolah. Nggak taunya, seminggu kemudian mengulangi lagi perbuatannya. Masih mereka berdua itu. Keduanya lalu diskors satu bulan. Setelah sebulan, masuk lagi tapi sudah makin tidak benar. Sudah kurus. Pokoknya kelihatan seperti anak morfinis beneran. Nggak sampai sebulan bersekolah sudah kedapatan lagi menggunakan jarum suntik. Ya sudah, waktu itu kita para guru-guru mendesak pak Suprapto agar anak yang dua itu dikeluarkan. Beberapa minggu sesudah itu muncul lagi kasus baru. Ada lagi tiga anak yang ‘sakau’, karena pil lagi. Kita, guru-guru jadi bingung. Ada apa ini. Sejak itu penggeledahan terhadap tas murid-murid lebih diintensifkan. Ketiga anak itu diskors lagi seminggu. Dua dari ketiga anak itu, masih dalam waktu skorsing itu datang ke sekolah, ‘sakau’ lagi di sekolah. Benar-benar edan mereka itu. Keduanya langsung dikeluarkan juga. Salah satunya akhirnya dipindahkan orang tuanya ke daerah,’ cerita pak Muslih dengan rinci.

‘Dengan cara bagaimana mereka-mereka itu sampai terpengaruh seperti itu, ya?’ tanya pak Umar.

‘Waktu itu sekolah ini didatangi para pengedar, pak. Tidak masuk ke pekarangan sekolah sih, tapi di jalan, di luar sana. Pak Hardjono waktu itu yang mengamat-amati. Kalau menjelang bubar sekolah selalu ada preman hilir-mudik di jalan masuk di luar sana. Banyak murid-murid yang diteror. Dan mereka sepertinya tidak menganggap kita, para guru-guru. Pak Hardjono bahkan diancam-ancam. Akhirnya kita laporkan ke polisi. Sekolah ini dijaga polisi untuk beberapa minggu. Untunglah, sejak itu sudah lebih aman,’ giliran pak Wayan bercerita.

‘Kapan kejadian itu pak Wayan?’ tanya pak Umar lagi.

‘Sekitar setahun yang lalu, ya kan pak Muslih?’

‘Belum setahun, pak. Sekitar sembilan sampai sepuluh bulan yang lalu,’ jawab pak Muslih

‘Murid-murid kelas berapa mereka?’

‘Semua anak kelas dua waktu itu, tapi bukan dari kelas yang sama. Dua orang dari kelas dua A, murid-murid saya. Saya wali kelasnya. Namanya Edwin dan Wahyu. Edwin itu anak pegawai Swasta biasa. Kalau tidak salah ayahnya petugas Satpam. Anak itu tadinya baik, kalm, tidak banyak tingkah, tapi entah bagaimana caranya sampai bisa bergaul dengan preman-preman itu. Wahyu anak pengusaha kaya, mungkin karena selalu banyak uang, jadi sasaran para preman itu. Terus ada dua orang dari kelas dua C, Danta dan Parlin,’ jawab ibu Hartini.

‘Sayang sekali. Kasihan sekali mereka itu. Jangan-jangan anak-anak itu kena pengaruh obat terlarang gara-gara dipengaruhi preman-preman yang suka berseliweran di jalan di depan itu?’ tanya pak Umar pula.

‘Susah untuk dibuktikan, pak. Tapi ada kemungkinan memang begitu. Memang ada di antara anak-anak itu yang dari keluarga ‘broken home’. Ini tentu faktor yang berpengaruh pula. Ada satu orang yang kasihan, karena dia dari keluarga sederhana sebenarnya. Dan anak itu pintar. Tapi kena juga. Itu yang akhirnya dipindah keluar daerah tadi,’ jawab pak Muslih.

‘Kasihan sekali. Sedih saya mendengarnya,’ komentar pak Umar pendek.

‘Betul, pak. Memang kasihan. Saya rasa anak-anak yang dikeluarkan itu hanya karena kena pengaruh sesaat waktu itu saja. Waktu masih kelas satu mereka itu tidak ada yang bermasalah,’ kata ibu Hartini.

‘Masalah sebelumnya paling urusan kebiasaan merokok. Saya kenal salah satu yang terlibat itu memang perokok sejak di kelas satu,’ pak Muslih menambahkan.

‘Yaa begitulah, pak. Mudah-mudahan jangan kejadian lagi deh yang begitu itu,’ kata pak Wayan.

‘Mudah-mudahan pak Wayan. Kita harus selalu waspada mengawasi anak-anak dari pengaruh jahat seperti narkoba itu,’ tambah pak Umar.

Pembicaraan guru-guru itu berakhir waktu jam pelajaran kedua hampir dimulai.


*****