Thursday, January 17, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (14)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (14)

14. KULIAH

‘Aku sangat bahagia karena diterima di ITS. Ini benar-benar di luar dugaan. Waktu masih di SMP dulu cita-citaku sangat sederhana. Aku tahu bahwa otakku tidak pintar. Kemampuanku hanya rata-rata. Jadi tidak pernah terlintas di otakku untuk bersekolah tinggi. Tamat SMP aku ingin masuk STM. Sesudah itu mencari kerja. Ada orang kampungku bekerja di Caltex di Pekan Baru. Kelihatan hidupnya sangat berkecukupan. Itulah idolaku. Aku ingin nanti bisa bekerja seperti orang itu kalau aku besar.

Musibah yang menimpa ayahku ternyata membawa hikmah tersendiri. Sejak ikut dengan pak etek, cara pandangku berubah. Pertolongan pak etekku sungguh sangat luar biasa artinya dalam kehidupanku. Beliau mendorong agar aku rajin dan nanti bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Beliau mendapat amanah dari ayahku seperti itu dan itu beliau jaga. Di SMA di Surabaya, teman-temanku punya cita-cita. Punya keinginan untuk bersekolah tinggi. Mereka punya target ingin masuk ke perguruan tinggi tertentu. Aku ikut kena imbas. Mereka bersaing dan bekerja keras. Aku juga ikut-ikutan bersaing. Aku sadar bahwa aku menumpang di rumah pak etek, dan aku harus berusaha jangan sampai mengecewakan. Hal ini merupakan pemicu tersendiri. Aku bekerja keras dan ternyata aku juga bisa. Bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Dan puncaknya adalah ketika ternyata aku diterima di ITS.

Ayah dan ibuku sangat bahagia mendengar berita ini. Pak etek senang. Dan aku bertekad untuk mengikuti kuliah ini dengan sungguh-sungguh. Aku ingin berhasil jadi seorang insinyur. Wah, alangkah tingginya cita-cita itu. Aku akan menjadi seorang insinyur? Di kampungku baru satu orang yang sudah menjadi insinyur.

Akupun mulai kuliah. Cakrawalaku bertambah luas. Kawan sekuliah datang dari lingkungan masyarakat yang lebih majemuk. Ada anak orang kaya, ada anak orang miskin. Dan di tempat kuliah nuansanya tidak melulu Jawa Timuran seperti di SMA. Banyak mahasiswa yang datang dari daerah lain di luar Jawa Timur, bahkan dari luar Jawa. Bahkan ada yang dari SMA Padang.

Kunikmati susana di kampus dengan segala macam kegiatannya. Yang berhubungan dengan kuliah ataupun yang ekstra kurikuler. Semuanya indah dan aku menyukainya. Ada teman yang mengajakku ikut organisasi HMI dan akupun ikut. Berorganisasi ini juga merupakan suatu hal yang menyenangkan bagiku terlebih-lebih setelah adanya pengalaman di PII. Yang agak berkurang adalah kegiatan olah raga. Meski sekali-sekali aku masih ikut main bola, tapi tidak sama seperti ketika masih di SMA.

Waktu aku sedang menghadapi ujian akhir semester pertama, aku mendapat surat dari ibuku. Beliau bercerita bahwa keadaan ayahku bertambah parah. Aku sedih sekali memikirkan hal itu. Aku sangat rindu, ingin melihat beliau. Aku perlihatkan surat itu ke pak etek. Beliau menyuruhku pulang. Begitu selesai ujian, aku berangkat ke kampung. Dengan keretapi ke Jakarta dan dengan kapal laut ke Padang.

Aku sampai di kampung. Ayahku terbaring sakit. Badan beliau benar-benar sudah habis, tapi beliau masih sadar. Nafasnya tersengal-sengal. Kedatanganku menambah semangat hidup beliau kelihatannya. Selama seminggu aku di kampung, sepertinya beliau berangsur agak membaik. Beliau mau makan, yang sebelumnya sangat susah. Muka beliau berubah jadi agak berseri. Dan beliau banyak menasihatiku. Dengan suara bisikan parau. Aku menangis mendengar nasihat-nasihat beliau. Seperti yang aku ceritakan, yang sangat benar beliau tekankan agar aku jangan ikut-ikutan berpolitik.

Satu hal lagi yang aku catat bahwa beliau sangat taat. Dalam keadaan sakit parah itu, beliau tidak meninggalkan shalat. Aku percaya ini berkat bimbingan ibuku yang dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan beliau untuk senantiasa berzikir mengigat Tuhan. Dan beliau melakukannya. Beliau sangat senang mendengar kalau ada yang mengaji. Dan kami bergantian mengaji disisi tempat tidur beliau.

Minggu kedua aku di kampung, kesehatan beliau menurun lagi. Dua hari terakhir beliau tidak sadar. Kami menjagai beliau bergantian siang dan malam. Ibuku, aku dan adik-adikku. Dan akhirnya, tanggal 5 Juli 1970, jam 7 pagi beliau berpulang kerahmatullah,’ Marwan terdiam sesudah itu.

‘Meninggal di rumah sakit?’ tanyaku.

‘Tidak. Di rumah. Pernah beliau dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tapi karena tidak ada angsuran kesehatannya, beliau merasa hal itu hanya membuang-buang biaya saja, beliau minta dibawa pulang.’

‘Berapa usia ayahmu ketika meninggal?’ tanyaku.

‘42 tahun.’

‘Masih muda sebenarnya,’ kata Desi.

‘Ya, masih muda. Pak tangah meninggal lebih muda lagi. Umur 31 tahun,’ jawab Marwan.

‘Pak etekmu tidak pulang ke kampung ketika itu?’

‘Pulang. Tapi sepuluh hari sesudah ayahku meninggal. Beliau menerima telegram tentang kematian ayah keesokan harinya. Waktu itu perjalanan pulang kampung hanya dengan kapal laut dan keretapi. Pesawat masih sangat mahal. Beliau tinggal di kampung sekitar sepuluh hari dan kembali ke Surabaya bersama-sama denganku.’

‘Berapa orang ayahmu bersaudara?’

‘Berlima. Ada dua orang saudara perempuan beliau. Mak tuo, yang paling tua, ayah dan pak tangah, ada etek satu orang lagi dan terakhir pak etekku.’

‘Saudara perempuan beliau semua di kampung?’

‘Ya. Keduanya masih ada di kampung sampai sekarang.’

‘Lalu, sesudah itu kau segera balik ke Surabaya, kembali lagi melanjutkan kuliah? Tidak terlambat?

‘Aku masih di kampung sekitar tiga minggu sesudah itu, karena masih dalam masa liburan semester. Dan kembali ke Surabaya bersama-sama pak etek. Tidak terlambat untuk memulai kuliah semester kedua. Aku kembali lagi mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus. Ikut lagi kegiatan HMI. Aku cepat melupakan kehilangan ayah karena kesibukan. Aku selalu sibuk. Termasuk sibuk membantu pak etek di toko.

Dalam mengurus toko aku sudah sangat dipercaya. Aku sering disuruh beliau mengurus pembelian buku-buku ke penerbit, melakukan pengaduan ketika kami menerima buku yang kurang baik kualitas penjilidannya dan minta diganti.

Ketika etek sakit dan pak etek harus banyak mengurus beliau di rumah sakit, kendali pengurusan toko buku beliau percayakan kepadaku. Lalu beberapa bulan kemudian, beliau sendiri jatuh sakit, aku kembali disuruh mengurus toko. Aku selalu mengerjakannya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab. Setiap malam aku berikan laporan keuangan toko yang aku bukukan dengan rapi. Pak etek sangat senang dengan pekerjaanku. Sayang kuliahku agak tersendat pada tahun-tahun berikutnya karena kegiatan-kegiatan di toko. Tahun 73 pak etek pergi melaksanakan ibadah haji selama tiga bulan lebih. Dan selama itu aku hampir tidak pernah bisa kuliah. Di toko aku banyak waktu untuk membaca dan belajar tapi aku tidak mungkin meninggalkan toko untuk menghadiri kuliah. Aku dipinjami catatan-catatan kuliah oleh teman-teman. Di beberapa mata kuliah aku lulus tapi lebih separuhnya aku gagal. Karena dosen-dosen juga memperhitungkan kehadiran diruang kuliah.

Pak etek menyadari bahwa kuliahku terganggu karena keterlibatanku dalam mengurus toko. Sepulang dari ibadah haji, beliau lebih berkonsentrasi mengurus toko dan menyuruhku agar lebih bersungguh-sungguh menghadapi kuliah.’

‘Jadi kau tidak pernah dapat masalah selama itu ? Selama mengurus toko?’

‘Masalah karena tidak bisa hadir di kuliah. Dan akibatnya tidak lulus ujian. Untungnya sistim kuliah masih santai. Tidak lulus ambil lagi tahun berikutnya. Yang mengulang seperti itu cukup banyak dikalangan mahasiswa. Jadi tidak terasa berat.

Dalam mengelola toko hampir tidak pernah aku menghadapi kesulitan. Ada masalah, tapi dapat kuatasi sendiri. Misalnya ketika pak etek dan etek pergi naik haji. Sebulan sesudah mereka berangkat, datang adik etek dari Jakarta. Aku memanggilnya mak etek. Aku pernah mendengar bahwa dia kurang cocok dengan kakaknya. Maksudnya dengan etek. Hubungan kakak beradik ini kurang harmonis. Tapi itukan bukan urusanku. Di rumah ada ibunya, yang mengawasi anak-anak. Mak etek itu tidak mengatakan apa-apa. Besoknya dia datang ke toko dan bilang dia datang untuk meminjam uang. Cukup besar jumlah uang yang ingin dipinjamnya. Katanya akan dikembalikannya dalam tempo sebulan. Sebelum pak etek dan etek kembali uang itu sudah dibayarnya. Aku agak bingung. Menolak susah, menyerahkan aku tidak pula berani. Tapi akhirnya aku dapat akal. Aku perlihatkan buku besar berisi semua catatan jual beli toko. Lalu aku bilang, boleh dia meminjam uang tapi aku minta dia menanda tangani pernyataan bahwa dia berhutang di atas kertas meterai, yang nanti akan aku tulis di dalam buku besar. Dia marah kepadaku. Keluar kata-kata kasar. Dia mengatakan bahwa aku telah bertindak dibawah kepatutan karena tidak percaya kepadanya, adik istri pak etek. Aku jawab sesopan mungkin bahwa aku ini bukan siapa-siapa dan hanya menjalankan amanah. Aku tidak akan bisa nanti mempertanggungjawabkan peminjaman uang sebesar yang dia minta kalau tidak ada bukti hitam di atas putih. Dia pergi dalam kemarahannya, langsung kembali ke Jakarta.

Sore harinya aku ditanyai nenek, apakah benar adik etek itu tadi datang meminjam uang. Aku jawab, benar. Nenek itu menanyakan lagi, apakah aku berikan. Aku jawab, apa adanya, bahwa aku meminta beliau menandatangani surat pernyataan berhutang kalau memang beliau mau meminjam. Tapi beliau malah marah.

Jadi belum kau berikan, tanya nenek kepadaku. Aku jawab, belum. Syukurlah kalau begitu. Jangan kau berikan. Jadi masalah nanti, begitu kata nenek. Mak etek itu segera kembali ke Jakarta, tidak pernah bertemu denganku lagi. Waktu pak etek dan etek pulang, nenek yang menceritakan kejadian itu. Pak etek tersenyum saja kepadaku tanpa berkata-kata.’

‘Hebat. Jadi kuncinya adalah sifat amanah. Dan kau berhasil memegang teguh sifat itu,’ aku berkomentar.

‘Ya, alhamdulillah. Ditambah rasa hormat dan terima kasihku kepada pak etek yang sangat baik serta besar jasanya. Aku tidak berani mengkhianatinya. Apapun tugas yang diberikannya aku berusaha melaksanakan dengan hati-hati.’

‘Bagaimana hubunganmu dengan istri pak etekmu itu?’

‘Sangat baik. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat taat kepada suami. Tidak banyak bicara, tapi penuh perhatian. Aku dianggapnya seperti anaknya sendiri. Dan akupun menghormatinya seperti menghormati ibuku sendiri.’

‘Ibunya yang kau panggil nenek, selalu tinggal bersama di Surabaya?’

‘Tidak. Orang tua itu, yang juga sangat baik, sering berkeliling menemui anak-anaknya. Anak-anaknya ada di kampung, di Pekan Baru, di Jakarta dan di Surabaya. Tapi biasanya dia lebih banyak tinggal di kampung dengan anaknya.’

‘Tahun berapa kau selesai kuliah?’

‘Tahun 77, sesudah kuliah selama hampir delapan tahun.’

‘Langsung bekerja sesudah itu?’

‘Ya. Aku melamar ke beberapa perusahaan. Dan aku diterima di sebuah perusahaan eksplorasi minyak bumi milik Amerika. Aku mulai bekerja awal tahun 78 di perusahaan itu. Kantor pusatnya di Jakarta. Daerah operasinya di Irian. Aku sering pergi ke lapangan ke Irian ketika itu.’

‘Dan menikah tahun 79?’

‘Ya, kami menikah tahun 79. Di Malang. ’

‘Dimana kau berkenalan dengan calon istrimu?’

‘Dia kuliah di Universitas Airlangga. Aktif di HMI juga. Kami berkenalan di HMI sejak tahun 74. Dia 4 tahun lebih muda dariku. Ternyata dia keturunan orang awak. Ayah dan ibunya tinggal di Malang. Ayahnya seorang dokter.’

‘Sempat berpomle-pomle juga dong?’

‘Berpomle ala HMI. Ada jugalah.’


*****

No comments: