Monday, November 3, 2008

SANG AMANAH (44)

(44)

Pada kesempatan lain, pak Umar mengamati sebuah kelas yang murid-muridnya sedang mengerjakan tugas. Suasana kelas itu tenang dari suara. Tidak terdengar suara guru mengajar. Sebagian besar murid-murid sibuk bekerja, menulis di buku mereka masing-masing. Tapi di bagian belakang kelas ada sepasang murid yang tidak mengerjakan tugas, sedang asyik pula berduaan. Mereka duduk di bangku yang sama, berangkulan, bermesra-mesraan bagaikan sedang bermain sinetron. Dan di dalam kelas. Teman di kiri kanan mereka seolah-olah tidak perduli sama sekali. Entah karena teman-teman itu tidak sadar saking asyiknya bekerja, entah karena hal seperti itu sudah merupakan kejadian sehari-hari susah untuk diketahui. Dimana guru yang bertugas di kelas ini? Ternyata guru itu, yang tidak etis untuk disebutkan namanya, sedang berdiri di samping seorang murid perempuan yang duduk di pojok kanan belakang kelas, sedang memegang-megang dan membelai-belai murid perempuan itu. Murid perempuan itu kelihatannya tidak pula keberatan dipegang-pegang.

Semua begitu asyik dengan urusan mereka masing-masing. Tidak seorangpun yang sadar bahwa pak Umar sudah berdiri di pintu kelas itu sejak beberapa menit. Pak Umar beristighfar dalam hatinya. Dan berdehem. Semua kaget. Dan yang paling kaget adalah pak guru serta dua sejoli yang duduk di sebelah kiri di belakang. Pak guru berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan melangkah ke arah pak Umar. Beliau memberi tahu bahwa anak-anak sedang mengerjakan tugas. Pak Umar mengatakan dia sudah mengetahui, karena dia sudah berdiri di pintu itu sejak dua menit yang lalu mengamati seisi kelas. Pak guru itu merah padam mukanya. Tentu pak Umar telah menyaksikan perbuatannya tadi, pikirnya. Pak Umar melangkah masuk ke arah belakang kiri, tempat sepasang remaja yang tadi bermesraan. Hanya mereka yang duduk berpasangan sedangkan teman-teman mereka yang lain duduk terpisah antara laki-laki dan perempuan. Dua bangku di depan mereka di sebelah kanan kelas, duduk seorang anak laki-laki. Harusnya tempat duduk anak laki-laki yang di belakang ini berdua dengan yang sekarang duduk sendiri itu.

Pak Umar menatap kedua anak remaja itu bergantian tanpa berkata apa-apa. Anak laki-laki itu kelihatannya mulai ketakutan. Begitu juga yang perempuan, semakin salah tingkah. Dia tidak bisa pindah, karena di tempat duduknya di depan duduk anak laki-laki yang sendirian itu. Rupanya si anak laki-laki yang duduk sendiri ini sengaja bertukar tempat dengan anak perempuan itu.

Pak Umar akhirnya bertanya.

‘Siapa yang seharusnya duduk di sini?’ tanyanya.

Mereka tidak menjawab.

‘Kalau begitu kalian berdua maju ke depan kelas dan berdiri di sana!’ perintah pak Umar.

Keduanya bangkit dan melangkah ke depan kelas.

‘Ada satu orang lagi yang juga seharusnya maju ke depan kelas. Saya sudah mengamati isi kelas ini sejak lama dari tadi. Coba berlaku jujur!’ kata pak Umar lagi berwibawa.

Murid-murid di kelas itu saling menoleh ke kiri dan ke kanan mereka. Siapa yang dimaksud pak kepala sekolah ini? Anak perempuan yang tadi dibelai-belai pak guru menunduk malu. Dia berdebar-debar. Apakah dirinya yang tadi diamati pak Umar? Tapi beruntung baginya, si anak laki-laki yang duduk sendirian, spontan maju ke depan. Dia merasa dirinya yang dimaksud pak Umar karena telah pindah dari bangkunya sendiri.

Pak Umar lalu menasihati mereka semua. Mengingatkan bahwa sekolah bukanlah arena tempat memadu kasih. Bukan tempat berpacaran. Bukan tempat berlaku tidak sopan. Pak Umar meminta agar setiap ‘kita’ berusaha memupuk rasa malu. Didik dan latih diri ‘kita’ masing-masing untuk malu melakukan pebuatan yang tidak terpuji, yang tidak pantas, apalagi untuk dilakukan di tempat umum. Walaupun yang nyata-nyata bersalah, yang tadi kedapatan dan terlihat oleh pak Umar hanya beberapa gelintir tapi peringatan itu ditujukannya kepada semua murid di kelas itu. Dan tidak ada yang berani protes diomeli seperti itu. Kelihatannya mereka sadar bahwa pak Umar menyampaikan yang benar.

Murid-murid di kelas itu bukannya tidak tahu prilaku pak guru yang satu ini, yang suka memegang-megang murid wanita tanpa merasa malu sedikitpun. Mereka bukan tidak tahu pula perangai teman-teman mereka yang suka berbuat sembarangan di dalam kelas. Hari ini yang tertangkap mata pak Umar hanya sepasang yang disuruh maju ke depan kelas. Biasanya ada beberapa pasang lagi yang suka bermain ‘sinetron’ seperti itu dalam kelas kalau suasana memungkinkan. Karena memang tergantung dari guru yang sedang mengajar, mereka menyesuaikan tingkah laku mereka. Kadang-kadang dengan berbuat usil atau sekedar ngerumpi atau yang lebih hebat lagi berpacaran di dalam kelas tanpa malu-malu.

Pak guru yang bertugas itu hanya diam saja. Mungkin dia merasakan sindiran tadi. Bahwa dia seorang guru, seorang pendidik, seorang yang seyogianya jadi panutan bagi murid-murid. Apalagi dia sudah berkeluarga. Tapi masih suka berlaku usil kepada puteri remaja, murid-muridnya sendiri. Dia memang sepertinya tidak mempunyai rasa malu yang cukup. Sebenarnya banyak murid-murid bahkan ada sebagian guru-guru yang tahu ke’ramah’an pak guru yang satu ini, tapi selama ini belum ada yang berani menegor. Sehingga penyakitnya tidak pernah sembuh. Dan diapun pandai memilih murid wanita yang memang agak ‘berani’, yang seolah-olah menantang untuk dijahili.

Makin bertambah perbendaharaan pengetahuan pak Umar tentang SMU 369. Rupanya memang demikianlah adanya. Pak Umar sedikit demi sedikit menemukan gambaran utuh suasana di sekolah ini. Semakin kenal dia dengan pribadi guru-guru yang bertugas mendidik. Semakin kenal pula dia tingkah laku anak-anak didik yang dititipkan orang tua mereka. Tentu saja tidak tepat untuk menganggap seolah-olah mereka merupakan kumpulan para malaikat yang suci. Mereka semua, baik guru-guru maupun murid-murid adalah kumpulan manusia biasa. Jadi wajar kalau ada yang salah, yang sumbang, yang aneh, yang nakal, yang bergajul. Justru itulah tantangan bagi pak Umar.


*****


Hari Sabtu. Hari ini murid-murid diperbolehkan pulang sejak jam istirahat yang pertama. Guru-guru akan mengadakan rapat pleno. Semua guru sudah diberi tahukan agar menghadiri rapat yang akan dimulai jam sepuluh pagi di ruang serba guna di lantai dua. Dan hampir semua guru hadir.

Jam sepuluh tepat pak Umar membuka rapat.

‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaratuh.

Bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang saya hormati.
Pertama sekali saya ucapkan terima kasih atas kehadiran bapak-bapak dan ibu-ibu memenuhi undangan rapat pada pagi hari ini. Rapat ini maksudnya adalah untuk menyamakan persepsi kita bersama tentang penyelenggaraan pendidikan di sekolah ini. Setelah beberapa minggu berada di sini saya mengamati hal-hal yang menurut saya bisa kita perbaiki. Ada yang bisa kita lakukan bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah ini. Sedang meningkatkan mutu pendidikan tersebut merupakan tugas kita bersama sebagai guru-guru. Merupakan amanah yang kita pikul bersama dan harus kita kerjakan bersama-sama pula. Saya mengharapkan sekali kekompakan kita dalam mengemban amanah tersebut. Untuk itu saya akan menyampaikan beberapa buah bahan pemikiran yang nanti bisa kita diskusikan bersama.

Pertama adalah, guru sebagai pemberi contoh. Ini perlu benar kita sadari. Dan ini tidak terbatas hanya sekedar memberi contoh tidak merokok di hadapan murid tapi termasuk juga dengan tata krama kita baik dengan sesama guru maupun dengan murid. Secara diam-diam saya sudah mengamati pribadi-pribadi bapak-bapak dan ibu-ibu, meskipun yang saya ketahui mungkin belum seberapa. Saya mohon maaf mengatakan, bahwa saya menyaksikan ada di antara kita yang tidak memberi contoh yang baik. Yang kebalikannya justru memberi contoh yang tidak pantas. Saya tidak akan menyebut nama tapi mohon kepada yang merasa apa yang saya katakan ini untuk memperbaiki sopan santun dan tata kramanya.

Yang kedua tanggung jawab kita sebagai pengajar. Saya memintakan dengan sangat hormat agar kiranya setiap guru melaksanakan tugas mengajar dengan penuh rasa tanggung jawab. Tanggung jawab untuk mengajar dan tanggung jawab untuk mengevaluasi apakah yang diajarkan itu sudah mencapai sasaran.

Yang ketiga, keberadaan kita sebagai pendidik. Kita dituntut agar mendidik anak-anak di sekolah ini untuk menjadi murid-murid yang berakhlak atau bermoral yang terpuji. Saya mengamati kebiasaan mencontek murid-murid di beberapa kelas. Dan saya menyesalkan bahwa guru di kelas tersebut seolah-olah membiarkan anak-anak itu mencontek. Ini tentu saja bukan cara pendidikan yang benar. Kalau anak-anak itu mendapat nilai baik dari hasil contekan maka kita tidak akan pernah tahu sudah sampai dimana mereka mengerti yang diajarkan. Dan yang lebih parahnya lagi, kita ikut andil menjadikan mereka manusia yang tidak jujur.

Yang keempat masalah disiplin. Bukan hanya sekedar disiplin datang tepat waktu tapi termasuk juga disiplin menyiapkan materi yang akan diajarkan. Disiplin dalam menyampaikan pelajaran yang jadi tanggung jawab masing-masing kita. Jangan hanya mengajar dengan rapi pada bab-bab awal tapi berantakan pada bagian tengah maupun bab-bab terakhir. Begitu juga jangan hanya sekedar memenuhi terisinya jam pelajaran, tapi hampir tidak ada yang dapat diserap murid-murid dari yang dibahas.

Yang kelima masalah keadilan terhadap semua murid-murid. Kita harus memperlakukan setiap murid itu secara adil. Berlaku adil berarti juga mau memberi hukuman kepada yang curang. Kepada yang suka mencontek. Saya kembali mengulang masalah mencontek ini. Kebiasaan ini harus bisa dihapuskan seperti kita berusaha menghapuskan kebiasaan merokok di sekolah. Silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu menjatuhkan hukuman yang berat, tapi adil, kepada para penyontek. Namun konsekwensinya kita harus berusaha keras dalam mengajar agar murid-murid mengerti yang kita ajarkan sehingga mereka tidak merasa perlu lagi untuk mencontek.

Baiklah. Itulah lima pokok masalah penting yang saya himbau setiap guru untuk memperhatikannya. Saya mengajak anda-anda semua untuk mempersiapkan diri masing-masing ke arah suatu perubahan mendasar. Perubahan ke arah perbaikan mutu sekolah ini, dengan meningkatkan usaha dan kesungguh-sungguhan kita semua. Itulah tema yang akan kita ambil bagi hari esok sekolah tempat kita mengabdi ini. Sekarang giliran bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memberikan masukan, saran, kritikan dan sebagainya. Saya persilahkan!’ pak Umar mengakhiri pengarahannya.

Ibu Sarah yang pertama sekali mengangkat tangan. Pak Umar mempersilahkannya untuk berbicara.

‘Terima kasih atas waktu yang diberikan. Saya ingin menanyakan untuk point-point yang bapak sampaikan tadi. Apakah semua itu hanya berupa himbauan atau merupakan suatu peringatan? Katakan misalnya mengenai masalah tata krama, masalah moral. Apakah ada sangsi bagi yang melanggar? Itu saja pertanyaannya pak,’ kata ibu Sarah.

‘Sangsi akan kita jatuhkan sesuai dengan bentuk kesalahan. Kesalahan yang menyangkut moral seorang pendidik saya tempatkan pada prioritas pertama. Dan sangsi akan diberikan secara bertahap. Pertama sekali saya cukup menegor secara umum dan tanpa menyebutkan nama seperti sekarang ini. Saya akan menyimpan rahasia anda-anda yang saya ketahui untuk diri saya sendiri. Tapi kalau setelah hari ini saya mendapatkan hal yang sama, saya akan menegor anda di depan umum. Nama anda akan saya sebutkan sehingga orang banyak akan tahu. Kalau yang kedua ini masih dilanggar, saya akan menulis surat kepada Dirjen Pendidikan untuk memutasikan yang bersangkutan dengan mencantumkan kesalahan yang diperbuatnya.’

‘Maaf, mungkin yang bapak maksud hanya menyangkut kesalahan guru-guru. Bagaimana kalau yang menunjukkan gejala tidak sopan itu, seperti bergaul bebas, atau berpacaran, berdua-duaan dan sebagainya itu adalah murid-murid sendiri? Dan siapa saja yang dapat memberikan tegoran, atau sangsi, atau hukuman? Apakah semua guru-guru?’ tanya ibu Sarah lebih lanjut.

‘Tentu saja sebagai guru tugas kita termasuk mengawasi tingkah laku murid-murid. Kita wajib menegor mereka kalau mereka berlaku tidak sopan. Itu pula sebabnya sebagai guru kita hendaknya memberi contoh yang baik. Jadi jangan malahan memberi kesempatan kepada mereka untuk bergaul bebas, untuk berlaku tidak pantas dan sebagainya itu. Jadi ringkasnya, untuk perbaikan akhlak murid-murid merupakan kewajiban kita, semua guru-guru.’

Berikutnya pak Muslih yang bertanya.

‘Apa yang bapak maksud dengan tanggung jawab dalam mengajar? Saya punya buku pegangan. Saya mengajarkan apa yang ada dalam buku pegangan itu. Apa ini sudah memenuhi tanggung jawab saya atau belum?’ tanya pak Muslih.

‘Yang saya maksud dengan bertanggung jawab dalam mengajar adalah bagaimana caranya agar kita yakin bahwa pelajaran yang disampaikan itu dimengerti oleh murid-murid. Dan modul yang ada dapat diselesaikan pada waktunya. Ini bisa dibuktikan nanti waktu diadakan evaluasi dalam bentuk ujian. Kalau seandainya semua murid hasil ujiannya buruk, barangkali perlu dipertanyakan apakah cara mengajarnya sudah benar. Tentu saja ujian yang dilakukan tanpa memberi kesempatan murid-murid berlaku curang,’ jawab pak Umar pula.

‘Kalau ternyata untuk menjadikan mereka mengerti sungguh-sungguh itu waktunya tidak mencukupi? Nah terus bagaimana?’ tanya pak Muslih pula.

‘Di sini perlunya perencanaan yang baik pak. Perlunya disiplin dari fihak guru untuk memenuhi target yang sudah ditetapkan sendiri setiap awal tahun. Sesuai dengan buku petunjuk atau buku pegangan guru. Di samping itu setiap guru diminta supaya efisien dalam menggunakan waktu. Artinya kita harus menguasai benar bahan yang kita sampaikan. Lebih tepatnya, kita harus punya persiapan sebelum mengajar, meskipun yang diajarkan itu adalah sesuatu yang sudah kita kenal,’ jawab pak Umar.

No comments: