Thursday, March 13, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (7)

7. Renungan Di Mesjid Nabawi


Kadang-kadang timbul pertanyaan dalam hati saya, berapa orang kira-kira yang ikut berjamaah setiap kali waktu shalat fardu di mesjid nabi ini? Pernah saya coba menghitung secara bodoh-bodohan. Panjang mesjid ini dari kiri ke kanan (barat ke timur) saya perkirakan sekitar 600m. Lebar utara selatan paling kurang 150m. Untuk panjangnya, seandainya di setiap meter diisi dua orang maka satu shaf dari barat ke timur (dengan mengabaikan tonggak-tonggak mesjid) tentulah diisi oleh 1200 orang. Kalau satu shaf lebarnya satu meter maka dari muka ke belakang ada 150 shaf. Jadi pada saat mesjid terisi penuh, dengan hitungan bodoh-bodohan saya ada 180,000 jamaah. Bolehlah kita kurangi 10% tempat berdirinya tonggak-tonggak besar dalam mesjid, berarti masih ada lebih dari 160,000 orang yang shalat berjamaah. Dan kalau ditambah dengan yang shalat di pekarangan mesjid (pada waktu shalat Jumat misalnya) jumlah itu bisa jadi dua kali lipat. Jelas tidak sebanding dengan mesjid di kompleks tempat saya tinggal yang paling banyak mampu menampung sekitar lima ratus orang kalau diisi sampai bagian luar.

Dengan jumlah jamaah sebanyak itu, seandainya setiap jamaah memberikan manfaat/pahala ‘salam’ kepada jamaah yang lain, ketika dia menyudahi shalatnya dengan ucapan Assalamu’alaikum warahmatullah, maka..... subhanallah, betapa besarnya manfaat/pahala itu. Barangkali inilah ma’na sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa shalat di mesjid ini lebih utama dari shalat di mesjid lain 1000 kali.

Kadang-kadang, terutama pada saat menjelang shalat subuh, saya suka memperhatikan jamaah yang hadir dari segenap penjuru bumi ini. Bermacam-macam warna kulit, bermacam-macam cara berpakaian, bermacam-macam keperibadian. Tentu bermacam-macam pula status sosial mereka. Tentu bermacam-macam pula tinggi rendahnya pangkat, kekayaan, kecerdasan. Ada yang terlihat dengan pakaian rapih dan bersih, tapi ada yang terlihat dengan pakaian sederhana dan kusam. Ada yang mengenakan gamis, ada yang memakai stelan lengkap berjas dan berdasi, di subuh-subuh begini. Ada yang bersorban besar, ada yang berkopiah hitam. Ada yang tinggi besar ada yang rendah dan kecil badannya. Namun saya menduga tentang satu hal, mudah-mudahan mereka semua mempunyai tingkat keimanan yang tidak jauh berbeda, paling tidak pada waktu menjelang shalat subuh seperti ini. Saya menduga demikian karena mereka mau datang subuh-subuh ke mesjid ini, tentulah karena dorongan iman semata. Kalau bukan karena iman mungkin mereka lebih memilih tidur di penginapannya. Apalagi cuaca lumayan dingin.

Disini, di dalam mesjid yang mulia ini, luluh segala macam perbedaan tadi. Semua duduk dengan takzim dan sabar. Semua larut dalam zikir, atau dalam qiraah/bacaan al Quran. Hampir tidak ada yang mengisi waktu dengan ngobrol. Kalaupun sekali-sekali ada yang bersuara, mereka menahan suara itu agar tidak mengganggu ke kiri dan ke kanan. Disini kita semua bersaudara. Innamal mukminuuna ikhwah, sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Tidak kira dia hitam atau putih. Tidak kira dia parlente atau lusuh. Tidak kira dia bersorban atau berkopiah. Maka tidak terlihat sekali jugapun pertengkaran di dalam mesjid ini. Tidak terlihat sekalipun ketersinggungan yang satu terhadap yang lain. Karena mereka semua menahan diri. Padahal seandainya mau, banyak alasan untuk protes. Banyak alasan untuk marah. Banyak alasan untuk berlaku kasar atau mengajak bertengkar. Seperti ketika yang satu melintas ‘seenaknya’ dihadapan kita shalat. Seperti ketika yang satu bertelekan ke kepala kita ketika dia mau melintas mencari tempat duduk. Atau ketika yang lain tiba-tiba ‘memaksakan’ ikut duduk di depan kita yang padahal sudah sempit. Tidak ada yang marah. Tidak ada yang protes. Mungkin inilah buktinya hadits Rasulullah SAW yang lain yang mengatakan iman itu berkumpul ke Madinah (Sesungguhnya iman itu pergi berhimpun ke kota Madinah seperti berhimpunnya ular-ular yang berkumpul ke sarangnya. H.R. Bukhari).

Waktu mereka masing-masing shalat sunah (qabliyah, tahiyatul masjid dsb) agak berbeda rithme shalat mereka yang satu dengan yang lain. Tapi semua itu kemudian dipersatukan oleh kebersamaan berjamaah dibawah komando seorang imam. Dan tidak ada yang protes kepada imam karena rithme shalat mereka berbeda dengan imam. Tidak ada yang menyangkal terhadap komando imam. Artinya mereka tunduk patuh atas kepemimpinan imam shalat.

Oh, ya. Dari bermacam-macam rithme atau kecepatan orang shalat, saya merasa sangat bahagia karena rithme saya hampir sama dengan rithme imam mesjid ini. Ini tercirikan dengan mudah pada saat shalat ‘sirr’ seperti shalat zuhur dan ashar. Hampir tidak berbeda waktu yang digunakan imam dengan yang saya gunakan untuk setiap bagian shalat. Berdirinya, rukuknya, i’tidalnya, sujudnya, duduk antara dua sujudnya, tasyahudnya. Kok ya hampir-hampir pas saja. Tidak berlebih-lebihan dan tidak tergesa-gesa. Bahkan saya sudah lama meniru melamakan dan memanjangkan bacaan waktu i’tidal rakaat kedua di shalat subuh seperti imam di mesjid Nabawi ini, untuk memberi kesempatan mereka yang ingin membaca doa qunut. Dan di mesjid di kompleks tempat saya tinggal dengan demikian terpersatukan yang suka dan yang tida suka dengan qunut.

Kembali ke soal kebersamaan dalam jamaah. Seandainya kebersamaan seperti ini bisa terpelihara di luar shalat, masya Allah..... Seandainya persatuan seperti ini bisa terpelihara di luar shalat berjamaah. Sayang, ini hanya sekedar angan-angan.

Waktu keluar dari mesjid, ketika berjalan beriringan dengan rombongan demi rombongan, atau berpapasan dengan rombongan yang lain, terdengarlah sayup-sayup macam-macam bahasa. Saya kenali mereka yang berbahasa Bugis, berbahasa Sunda, berbahasa Jawa, berbahasa Minang. Saya kenali mereka yang berbahasa Malaysia, berbahasa Turki (karena yang berbicara orang-orang Turki), yang berbahasa Hindustan, yang berbahasa Xin Jiang, yang berbahasa Inggeris, yang berbahasa Perancis. Mereka benar-benar datang dari segala penjuru bumi. Dan dari tulisan di punggungnya saya kenali jemaah dari Kazakhstan, dari Tajikistan, bahkan dari Bulgaria (jadi tidak hanya Kosovo). Melihat umat dari segala bangsa yang bertaburan keluar dari mesjid ini, entah kenapa menguraikan pula air mata saya. Maha Besar Engkau ya Allah yang menggerakkan hati-hati umatMu untuk berkumpul disini.




*****

No comments: