Friday, November 28, 2008

SANG AMANAH (76)

(76)

Pikiran Edwin masih melayang-layang kemana-mana. Dia ingat ayahnya yang meninggal secara tiba-tiba saja. Ayahnya yang petugas Satpam itu. Ayah yang sangat menyayangi keluarganya itu. Ayah yang sangat baik dan jarang sekali marah itu. Tiba-tiba saja meninggal waktu mobil kantor yang sedang dikawalnya kembali dari bank mengalami kecelakaan. Karena para penjahat bermotor yang ingin merampok uang yang baru saja diambil dari bank menembak ban roda depan mobil Kijang itu. Akibatnya mobil itu kehilangan keseimbangan dan tiba-tiba menabrak pembatas jalan lalu berguling-guling. Ayahnya terlempar dari mobil yang pintunya terbuka, jatuh dengan kepalanya membentur pagar besi pembatas jalan dan meninggal langsung di tempat kejadian. Meskipun perampokan itu sendiri gagal, karena kebetulan ada polisi berada di dekat kejadian itu dan para perampok itu kabur melarikan diri.

Dia ingat penderitaan ibu. Wanita itu sekarang menanggung beban berat untuk mengurus mereka, anak-anaknya. Padahal ibu hanyalah seorang petugas kebersihan di kantor megah di tengah-tengah kota Jakarta. Sebagai ‘buruh kasar’ tukang bersih-bersih, tidak seberapa uang yang dapat dibawanya pulang. Dan hampir tidak ada penghasilan tambahan yang bisa diharapkannya. Kalaupun ada paling-paling sekedar uang tip seribu dua ribu rupiah, jika kebetulan dia disuruh pegawai-pegawai gagah berdasi di kantor itu membelikan nasi untuk makan siang mereka. Itupun hanya sekali-sekali terjadinya.

Dia ingat adik-adiknya. Edwirna remaja putri yang berada langsung di bawahnya dan sekarang sekolah di SMP. Lalu Edwar yang kelas lima SD. Dan Edwanto yang baru kelas dua SD. Bagaimana mereka akan bisa tetap bersekolah? Bagaimana mungkin ibunya akan sanggup membiayai mereka itu semua? Meskipun sekarang dia membantu ibu, berapa benar penghasilannya sebagai petugas pengisi bensin di pompa bensin itu?

Tiba-tiba saja muncul perasaan cemas dihatinya. Bagaimana kalau ibunya tidak kuat lagi menanggung semua beban berat itu? Bagaimana kalau dia suatu saat tidak diperlukan lagi di pompa bensin itu? Kalau dia di PHK? Keringat dinginnya bercucuran memikirkan semua itu. Tanpa disadarinya air matanya mengalir. Ingin rasanya dia menjerit. Tiba-tiba dia ingat Tuhan. Oh Tuhan…..., katanya di dalam hati. Alangkah ngerinya membayangkan andai semua itu terjadi.

Tiba-tiba terdengar azan subuh, sayup-sayup. Azan subuh bersahut-sahutan dari mesjid di sekitar tempat tinggalnya. Edwin memperhatikan setiap kalimat azan itu. Entah kenapa sekali ini hatinya bergetar. Selama ini dia bukanlah orang yang mengerjakan shalat secara teratur. Dia shalat hanya sekali-sekali. Di rumah ini hampir semua orang hanya shalat sekali-sekali. Waktu ayahnya masih hidup, ayah lebih rajin shalat, meskipun kayak-kayaknya tidak rutin-rutin amat juga. Edwin menyimak setiap bacaan azan itu. Sesudah suara azan itu selesai, dia bangun. Dia pergi keluar. Dia ingin mengambil air sembahyang. Dia ingin shalat.

Dan diluar didapatinya ibu sedang berada di dekat sumur pompa. Ibu sedang berwudhu. Ibunya sedang mengambil air sembahyang. Rupanya ibu juga ingin mengerjakan shalat pagi subuh ini. Ibupun kaget melihat Edwin terbangun dan akan ke kamar mandi. Tapi ibu belum tahu bahwa Edwin berniat akan shalat. Waktu kemudian dilihatnya Edwin shalat, ibu tercengang. Sama seperti Edwin yang juga tercengang ketika mengetahui ibu bangun shalat subuh-subuh begini. Tidak biasanya ini terjadi.

Sesudah shalat, yang dilakukan sendiri-sendiri, ibu dan anak itu kembali berbincang-bincang. Ibu dan anak itu tiba-tiba menyadari betapa sebenarnya mereka membutuhkan Allah tempat mereka minta pertolongan. Tempat mereka mengadukan beratnya beban yang sedang mereka hadapi. Tempat mereka menggantungkan harapan. Hal yang selama ini seperti mereka abaikan.


*****

Sesuai dengan permintaan kepala sekolah, rapat guru-guru SMU 369 di adakan siang hari itu. Materi utama yang akan dibahas dalam rapat itu adalah klarifikasi kepala sekolah mengenai desas-desus tentang diterimanya seorang murid baru pengguna narkoba. Rapat yang sama sudah terlebih dahulu dilakukan dengan pengurus OSIS hari sebelumnya. Justru pendapat bahwa perlu adanya rapat dengan staf pengajar seperti ini muncul pada waktu rapat dengan pengurus OSIS kemarin.

Pak Umar membuka rapat itu.

‘Bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang saya hormati. Assalamu’alaikum wr.wb., Saya mohon maaf karena menahan bapak-bapak dan ibu-ibu guru untuk tinggal menghadiri rapat siang hari ini. Saya harap rapat kita ini tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Saya langsung saja ke pokok masalah. Kemarin diadakan rapat dengan pengurus OSIS, karena mereka meminta klarifikasi apakah ada murid baru, yang punya kasus khusus, diterima bersekolah di sini. Pertanyaan OSIS ini muncul setelah adanya desas-desus di kalangan murid-murid tentang hal itu. Pada kesempatan ini saya ingin mengulangi ketegasan tentang masalah itu kembali, bahwa tidak ada murid baru yang diterima atau yang sedang dalam proses untuk diterima di sekolah ini pada saat ini. Namun kemarin, dengan pengurus OSIS diskusinya berkembang, setelah saya bertanya kepada mereka kenapa mereka perduli betul jika seandainya ada murid baru, dengan kasus penggunaan narkoba diterima. Jawab mereka kalau hal itu benar, maka berarti sekolah berlaku tidak adil karena murid-murid sekolah ini dulu dikeluarkan waktu mereka kedapatan menggunakan narkoba. Saya menjelaskan bahwa peraturan sekolah ini sangat jelas. Jangankan pengguna narkoba, pecandu rokokpun tidak kita izinkan untuk bersekolah di sini. Tapi kemudian diskusi dalam rapat itu berkembang. Bagaimana jika seandainya anak-anak yang dulu dikeluarkan itu sudah tidak lagi menggunakan narkoba, dan mereka masih ingin bersekolah, apakah bisa diterima kembali? Sebelumnya, saya tidak tahu persis apakah kasus seperti ini ada. Apakah ada di antara pengguna narkoba itu berhasil sembuh dari ketergantungan terhadap narkoba. Kalau seandainya ada, apakah mereka masih punya keinginan untuk bersekolah kembali. Namun, kalau memang ada, menurut pendapat saya pribadi anak yang seperti itu harus diberi kesempatan untuk kembali bersekolah. Nah, hal inilah yang ingin saya rembugkan dengan bapak-bapak dan ibu-ibu siang hari ini. Kemarin, waktu kami berdiskusi tentang hal ini dengan pengurus OSIS atas permintaan saya hadir juga pak Muslih dan pak Hardjono. Jadi silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu berikan tanggapan dan pendapat,’ ujar pak Umar mengakhiri pembukaan rapat.

‘Saya pak,’ pak Muslih langsung mengangkat tangan. Pak Umar menyilahkan pak Muslih berbicara.

‘Saya tidak setuju kalau mereka yang sudah dikeluarkan karena dulu kedapatan menggunakan obat-obat terlarang itu diterima kembali bersekolah. Alasan saya, karena hal itu beresiko tinggi. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa anak-anak seperti itu sudah benar-benar bisa melupakan narkoba. Kalau nanti mereka diterima terus sesudah itu kambuh lagi, hal seperti ini pasti akan mencemarkan nama baik sekolah. Di samping murid-murid lain tentu akan menilai. Ternyata larangan menggunakan narkoba di sekolah ini tidak benar-benar serius. Buktinya mereka yang sudah dikeluarkan bisa diterima kembali. Begitu pendapat saya.’

‘Maaf, pak. Apakah saya boleh menambahkan?’ tanya pak Sofyan.

‘Silahkan pak Sofyan!’ jawab pak Umar.

‘Sebelum bapak menanggapi yang disampaikan pak Muslih, saya ingin bertanya. Apakah sudah diinvetarisir, siapa-siapa saja di antara yang dulu dikeluarkan itu yang sudah tidak lagi menjadi pengguna narkoba. Kalau memang ada, berapa orang di antara mereka yang masih ingin bersekolah. Lebih jauh lagi yang masih ingin kembali bersekolah di sini. Itu saja pak,’ pak Sofyan menambahkan.

‘Mungkin langsung saya tanggapi dulu yang ditanyakan oleh pak Sofyan ini. Saya sudah mendapatkan informasi dari OSIS tentang keberadaan kelima orang yang dulu dikeluarkan itu. Ketua OSIS memberikan informasi yang mereka dapatkan dari laporan teman-teman mereka yang mengetahui keberadaan kelima anak itu. Saya menerimanya dari ketua OSIS persis sesudah jam pelajaran terakhir tadi. Menurut informasi tersebut keberadaan kelima anak-anak itu adalah sebagi berikut; Satu orang sudah pindah keluar daerah, tepatnya ke Medan. Satu orang masih dalam keadaan sakit berat dan sangat kritis sampai hari ini. Anak ini katanya masih terbaring di rumah sakit. Satu orang bekerja di pompa bensin di Tebet. Satu orang sudah sembuh setelah dirawat intensif di salah satu pesantren di Jawa Barat. Anak ini rencana orang tuanya akan di sekolahkan ke Australia. Yang terakhir juga di rehabilitasi di pesantren dan baru keluar dari sana sekitar dua minggu yang lalu. Kondisi mentalnya sekarang masih belum stabil. Demikian informasi yang saya dapatkan dari ketua OSIS siang ini,’ jawab pak Umar.

‘Kalau begitu, kan bisa disimpulkan, pak. Kelihatannya tidak ada yang masih mungkin bersekolah atau yang masih ingin kembali bersekolah di sini,’ pak Muslih menyimpulkan.

‘Belum tentu,’ jawab pak Umar. ‘Yang bisa kita anggap tidak mungkin diterima sementara ini, saya rasa hanya yang masih terbaring di rumah sakit. Sesudah itu mungkin yang sudah pindah ke Medan. Ditambah lagi yang kata informasi ini, yang baru keluar dari rehabilitasi dan mentalnya belum stabil. Dua yang lain masih mungkin untuk bersekolah kembali, bahkan yang satunya, yang katanya akan dikirim ke Australia sebenarnya sudah siap secara mentalitas untuk kembali bersekolah,’ jawab pak Umar.

‘Saya ingin menambahkan, pak,’ ujar pak Mursyid.

‘Silahkan pak Mursyid!’ kata pak Umar.

‘Saya juga mendapat informasi tambahan tentang anak yang sekarang bekerja di pompa bensin itu pak. Sebelumnya saya jelaskan latar belakang anak ini sampai dia dikeluarkan tempohari. Anak ini yang bernama Edwin. Saya masih ingat, waktu dia dikeluarkan bersama-sama dengan Parlin, saya rasa anak yang sudah pindah ke Medan itu. Pada hari mereka tertangkap dan dikeluarkan, yang benar-benar sedang ‘teler’ waktu itu adalah Parlin. Saya yang menangkap mereka waktu itu di kantin sekolah. Edwin ini tidak atau belum mengkonsumsi minuman berisi ekstasi, tapi minuman itu ada di dekatnya. Keputusan staf guru-guru waktu itu, kedua murid itu tetap dikeluarkan, karena pristiwa itu terjadi di saat sebenarnya mereka sedang menjalani skorsing setelah seminggu sebelumnya keduanya tertangkap sedang ‘teler’. Pengakuan Edwin bahwa dia ditraktir temannya dan tidak berniat meminum minuman itu tidak kita terima waktu itu sehingga dia dikeluarkan. Menurut informasi yang saya dapat anak ini stress berat sesudah itu dan sampai sakit typhus. Sampai masuk rumah sakit. Dua bulan kemudian ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Terakhir dia bekerja di pompa bensin untuk membantu ibunya dalam mendapatkan uang untuk biaya hidup keluarga dengan empat orang anak itu. Dan anak ini tidak lagi menggunakan obat terlarang,’ cerita pak Mursyid panjang lebar.

‘Dari mana pak Mursyid dapat cerita sampai rinci begitu?’ tanya ibu Purwati.

‘Dari teman-temannya yang cukup dekat dengannya. Murid-murid kelas tiga sekarang. Ada Arman, Gito, Bayu murid-murid kelas tiga IPA dua. Mereka menceritakannya kepada saya karena saya bertanya. Saya pernah melihat Edwin di pompa bensin tapi dia menghindar. Saya pikir mungkin karena dia merasa malu. Pada waktu pelajaran olah raga, salah satu dari anak-anak kelas tiga yang saya sebut tadi bercerita tentang kecelakaan lalu lintas yang dialami orang tua Edwin beberapa waktu sebelumnya. Saya tertarik dengan cerita itu. Saya bertanya bagaimana keadaan keluarga itu sesudah ayahnya meninggal dan mendapatkan informasi yang saya sampaikan barusan, ‘ jawab pak Mursyid.

‘Baik. Terima kasih pak Mursyid atas informasi ini. Saya sebenarnya sedang menunggu sambungan berita dari murid-murid melalui OSIS. Mudah-mudahan informasi ini nanti akan saling mendukung. Mungkin kita biarkan dulu kasus anak yang bernama Edwin ini. Apakah ada di antara bapak-bapak atau ibu-ibu yang punya data mengenai dua orang yang sudah keluar dari panti rehabilitasi?’ tanya pak Umar pula.

‘Saya pak,’ ucap ibu Hartini.

‘Silahkan, ibu Hartini!’ jawab pak Umar.

‘Edwin dan Wahyu itu dulu di kelas saya. Wahyu saya dengar sampai dua kali dimasukkan ke tempat rehabilitasi. Yang terakhir saya dengar juga dimasukkan ke pesantren…. apa begitu. Di Tasikmalaya, kalau tidak salah. Sekarang mungkin sudah sembuh, dan sudah dibawa pulang. Seminggu yang lalu saya kebetulan bertemu dengan ibunya. Saya bertanya bagaimana keadaan Wahyu. Kata ibunya anak itu sudah sembuh kembali. Dulu sudah pernah juga dimasukkan ke panti rehabilitasi untuk perawatan. Beberapa bulan di sana, sudah baikan. Lalu dibawa pulang. Rupanya kena lagi. Terakhir dimasukkan ke pesantren tadi itu dan tinggal di sana selama tiga bulan. Sekarang sudah baik kembali. Hanya anak ini menurut ibunya seperti trauma. Seperti ketakutan kalau-kalau dia bertemu lagi dengan sindikat narkoba itu. Dan takut kalau dia kena lagi. Ini barangkali yang dimaksudkan informasi pak Umar tadi bahwa dia belum stabil mentalnya. Orang tuanya sendiri masih ragu-ragu bagaimana membina pendidikan anak ini selanjutnya. Apakah akan memindahkannya ke daerah atau bagaimana. Itu informasi yang saya dapat mengenai Wahyu,’ ibu Hartini memberikan penjelasan panjang lebar.

‘Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu. Kalau demikian menurut pengamatan saya tiga orang anak-anak ini, Edwin dan Wahyu, serta yang satu lagi yang dipersiapkan orang tuanya untuk dikirim ke Australia, sebenarnya secara mental sudah siap untuk bersekolah kembali. Saya mengulangi pendapat saya, bahwa sekolah ini seyogianya bisa menerima mereka kembali, dengan catatan besar…. Saya ulangi dengan catatan besar. Dengan peringatan yang ditulis secara tegas. Bahwa mereka diizinkan untuk berada di sekolah ini, untuk mengikuti pelajaran, selama mereka bisa mempertahankan ketidakterlibatan mereka dengan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Dasar pemikirannya adalah kita berusaha membantu mereka kembali ke bangku pendidikan, karena itu adalah tugas dan kewajiban kita sebagai pendidik. Dan kita membantu mengawasi mereka dengan perhatian yang agak khusus dalam usaha antisipasi agar mereka tidak terjerumus kembali. Silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu tanggapi,’ ujar pak Umar dengan sangat gamblang.

Ruangan rapat sunyi beberapa saat. Masing-masing guru kelihatannya masih mencerna apa yang baru saja disampaikan pak Umar. Kedengarannya apa yang beliau sampaikan itu wajar-wajar saja. Dan guru-guru ini semakin terbiasa dengan cara berfikir pak Umar. Kalau dia mengemukakan sesuatu usulan, pak Umar biasanya tanpa pamrih. Dia bukan tipe orang yang suka mengada-ada. Bukan karena ada kepentingan apa-apa di belakang itu. Kali inipun sepertinya demikian. Kalau tadi beliau mengatakan tanggung jawab guru-guru untuk mendidik anak-anak itu kembali setelah mereka terbukti sudah bebas dari pengaruh narkoba, maka kelihatannya memang hanya itu saja alasannya. Rasa tanggung jawab atas pendidikan murid, yang mana sajapun.

‘Maaf, pak Umar. Saya masih ada yang ingin disampaikan,’ ujar pak Muslih memecah kesunyian beberapa puluh detik tadi.

No comments: