Wednesday, March 2, 2011

BOK

BOK

Ada perintah baru dari komandan tentara pusat. Wanita-wanita itu sekarang harus jadi penghuni asrama di malam hari. Penghuni rumah yang sudah disiapkan untuk mereka di sebelah rumah komandan buterpra. Diapit oleh rumah yang dijadikan asrama tentara pusat. Orang kampung kemudian hari menyebut nama asrama para istri itu sebagai bok. Entah kenapa demikian. Mereka harus datang sore-sore dan boleh pulang pagi-pagi. Seperti itu tiap hari tanpa kecuali. Begitu bunyi perintah untuk wanita-wanita malang itu. Wanita-wanita para istri tentara PRRI. Entah dari mana datangnya perintah seperti itu. Alasannya, konon karena menurut informasi dari tukang tunjuk, ada saja tentara PRRI yang pulang menemui istrinya lewat tengah malam. Tapi sayangnya, berkali-kali diintai oleh tentara pusat tidak pernah ada satu juga yang tertangkap.

Wanita-wanita itu tidak punya pilihan selain patuh. Melawan? Besar sekali resikonya. Meski mereka sangat khawatir. Khawatir kalau-kalau diperlakukan jahat oleh tentara pusat itu di malam hari. Tapi apa hendak dikata. Sekedar usaha, mereka sepakat untuk datang ke bok dalam kondisi seselebor mungkin. Tidak usah mandi Bahkan ada yang datang dengan memakai kodek di luar. Baju daster atau baju tidur kumal ditambah dengan kain panjang atau kodek yang dipakaikan menutupi bagian bawah daster.

Sesudah sembahyang isya berjamaah pintu rumah mereka kunci dan pasak dari dalam. Sekedar usaha menyelamatkan diri ala kadarnya. Agar tidak ada yang masuk ke asrama mereka itu. Di bok semua tidur di ruang tengah rumah. Berjejer-jejer, bersaf-saf. Sebuah kamar dijadikan kamar kecil. Di dalamnya disediakan dua buah pispot dan sebuah ember berisi air. Kalau ada yang ingin melepas hajat tengah malam, silahkan menggunakan kamar kecil tersebut.

**

Mansur anggota kompi Udin Pitok bukan main masygul. Siapa yang akan menjamin bahwa istrinya tidak akan dijahili? Tidak akan dicabuli oleh tentara-tentara pusat itu? Kemasygulannya disampaikannya kepada komandannya. Komandan Udin tidak melihat jalan keluar. Tidak melihat cara mengatasi masalah musykil itu. Kekhawatiran Mansur sangat beralasan. Istrinya itu cantik. Wanita muda berumur dua puluh lima tahun beranak satu. Tapi Mansur tidak akan menyerahkan diri karena itu. Dia berserah diri kepada Allah. Senantiasa berdoa agar istrinya dilindungi dan dipelihara Allah dari kedurjanaan.

Meski sudah berdoa, sudah berserah diri, tidaklah semudah itu untuk terbebas dari ketidaktenangan. Pernah pula diusulkannya agar pos tentara pusat di Biaro itu diserang saja. Komandan Udin tahu berapa kekuatan tentara di sana. Tidak lebih dari dua puluh orang. Di atas kertas mereka sanggup menyerangnya. Sanggup?

‘Sanggup,’ kata komandan Udin bersemangat. ‘Tapi tidak akan menyelesaikan masalah. Resiko nomor satu, jika serangan itu berhasil, tentara-tentara bantuan sesudah itu akan membakar kampung Biaro seperti biasa mereka lakukan. Resiko kedua, siapa yang akan menjamin bahwa wanita-wanita yang diasramakan itu akan terselamatkan? Kalau iyapun, apakah mereka sesudah itu akan dibawa masuk hutan? Meninggalkannya di kampung? Wah! Itu resiko yang lebih berat. Mereka pasti akan dapat perlakuan lebih dahsyat lagi.’

Mansur dan beberapa anggota pasukan Udin Pitok terdiam sambil melongo. Yang dikatakan komandan itu benar. Jadi bukan masalah sanggup atau tidak sanggup menyerang pos tentara berkekuatan dua puluh orang itu. Dengan berhati-hati dan melakukan serangan di subuh buta, kemungkinan berhasil sangat besar. Tapi ya itu tadi. Terlalu besar akibat yang akan ditanggung sesudah itu. Tapi membiarkan istri diasramakan setiap malam di bok itu? Masya Allah…….

**

‘Aku ada usul,’ kata Karimuddin dengan suara setengah berbisik.

Mata komandan Udin terbelalak. Dia tahu, Karimuddin adalah anggotanya yang agak spesial. Karimuddin ini berisi.

‘Apa usul kau Karim?’ tanya komandan Udin.

‘Kita ingatkan komandan buter itu agar jangan sampai terjadi yang bukan-bukan dengan istri-istri kita di bok di Biaro itu.’

‘Diingatkan? Bagaimana caranya?’

‘Kita datangi dia. Aku akan menyampaikan peringatan itu kepadanya….’

Anggota pasukan yang lain terdiam. Karimuddin bukanlah orang yang suka bergurau. Dia hanya berbicara seperlunya saja. Kebetulan istrinya memang termasuk dalam penghuni asrama bok itu.

‘Bagaimana caranya?’ komandan Udin tetap belum faham.

‘Aku hanya memerlukan dua atau tiga orang untuk jadi kawan ke sana,’ kata Karimuddin.

**

Jam dua belas malam mereka berangkat dari markas mereka di lereng gunung Marapi. Empat orang. Termasuk komandan Udin Pitok dan Mansur. Sampai berangkat Karimuddin tetap tidak menceritakan bagaimana caranya dia akan melaksanakan niatnya. Dia hanya mengajak pergi dan menyuruh lihat saja hasilnya nanti. Komandan Udin yakin bahwa Karimuddin tahu betul apa yang direncanakannya dan tahu pula bagaimana melakukannya, meski dia sendiri belum tahu. Dia tidak mau memaksa menanyakannya lagi.

Jam setengah dua mereka sudah berada pada jarak lima ratus meter dari Biaro Malam itu sangat gelap. Mereka berhenti sebentar di bawah sebuah pohon. Karimuddin memberitahukan rencana kerjanya.

‘Aku akan menyirap tentara-tentara itu,’ bisiknya. ‘Dan yang pertama-tama harus kutertibkan adalah anjing-anjing yang berkeliaran.’

Barulah rombongan itu mengerti sekarang. Dan mereka yakin, Karimuddin memiliki ilmu itu. Ilmu untuk menyirap.

‘Satu saja syaratnya yang tidak boleh dilanggar. Jangan sampai ada darah yang tertumpah. Tidak darah seekor tikus atau katak loncek sekalipun. Apa lagi darah manusia. Kita akan mendekati rumah itu sampai jarak seratus lima puluh meter. Sesudah itu tidak ada lagi yang boleh melangkah dalam berjalan. Kita harus menyelosohkan kaki agar tidak ada katak yang terinjak. Semua nanti menantiku pada jarak dua puluh lima meter dari rumah itu. Nanti akan aku beri kode untuk mendekat. Karena nanti kita akan mengambil sedikit oleh-oleh dari mereka.’

Semua mengangguk tanda mengerti.

Mereka dekati rumah sasaran sesuai petunjuk. Di depan rumah komandan buter itu ada sebuah gardu monyet dijaga oleh seorang tentara. Di beranda asrama ada lima orang tentara piket. Mereka terlihat terkantuk-kantuk. Semua itu jelas terlihat dari tempat ke empat tentara PRRI itu berada di kegelapan.

Karimuddin berkomat-kamit lalu meniup ke arah markas tentara itu. Ketiga anggota rombongannya menyaksikan bagaimana tentara di gardu monyet terjelepok seperti tapai jatuh. Begitu pula kelima tentara piket. Mereka mendekat ke jarak dua puluh lima meter seperti dijelaskan Karimuddin sebelumnya.

Karimuddin melenggang ke arah rumah di sebelah kiri. Mukanya ditutupi kopiah sebo. Itu adalah kediaman komandan buter. Sebelum naik kerumah itu Karimuddin kembali berkomat-kamit. Setelah itu dia masuk ke dalam rumah. Ada empat orang tentara di ruang tengah yang tertidur bergelimpangan. Dia langsung masuk ke kamar sang komandan. Kamar yang terdengar sangat riuh oleh suara dengkur.

Karimuddin mengangkat kepala komandan tentara itu lalu ditiupnya mukanya. Komandan itu terbangun dengan mata melotot karena kaget. Dia mencoba berteriak tapi mulutnya telah terlebih dahulu disodori ujung bedil Karimuddin.

‘Dengar!’ kata Karimuddin berwibawa. ‘Aku bisa membunuhmu sekarang. Aku bisa membunuh semua anak buahmu di luar. Anak buahku ada tiga puluh orang di luar sana. Aku tidak melakukannya. Kami bukan tentara biadab seperti kalian. Aku hanya ingin mengingatkan kau. Jangan sekali-kali kalian, kau dan anak buahmu berani mengganggu dan merusak istri-istri kami yang kalian kumpulkan di sini. Kalau sampai aku mendapat kabar ada dari istri-istri kami yang kalian ganggu, aku akan kembali lagi menguliti kepala kalian dalam tidur kalian. Faham kau?’

Keringat komandan tentara itu bercucuran. Dia mengangguk.

‘Baik….. Pesanku sangat jelas. Sekarang kau boleh tidur kembali, Sebelum kau tidur, biar kau tidak menyangka kau bermimpi, aku akan mengambil beberapa pucuk senjata anak buahmu di luar. Dan juga pistolmu ini,’ kata Karimuddin yang sudah mengambil dan mengantongi pistol sang komandan. Muka komandan tentara itu diusapnya. Dia langsung tertidur kembali.

Karimuddin keluar dari rumah itu menuju ke markas tentara di paling kanan. Dari serambi, di tempat kelima tentara piket tertidur bergelimpangan, diberinya isyarat ke arah teman-temannya. Ketiga orang itu datang mendekat. Mereka mengambil empat pucuk senjata tentara piket itu lengkap dengan magazine pelurunya. Lalu berlalu dari sana.

**

Gempar keesokan harinya. Komandan buter mendapat laporan bahwa empat pucuk senjata hilang. Tapi anehnya, komandan tidak marah. Petugas piket malam itu hanya dihukum ringan dengan empat puluh kali push up. Anggota tentara yang lain terheran-heran. Apa sebenarnya yang terjadi?

**

Sekali sepuluh hari biasanya Mansur tetap pulang ke rumah. Seperti anggota tentara yang lain. Mereka umumnya menyempatkan untuk di rumah sehari dua hari. Dengan senyap-senyap. Datang lewat tengah malam. Mansur gembira mendengar bahwa istrinya tidak pernah diganggu tentara-tentara pusat itu. Bahkan ada seorang tentara yang pernah mencoba usil, kedapatan oleh komandannya, langsung dihukum, begitu cerita istri Mansur. Dia semakin yakin bahwa upaya Karimuddin ternyata cukup berhasil.

*****

No comments: