Thursday, October 30, 2008

SANG AMANAH (40)

(40)

Mereka kembali terdiam. Kali ini berpandang-pandangan. Kali ini keduanya tersenyum. Senyum kali ini sepertinya lebih dari sekedar senyuman.

‘Tapi…apakah mungkin.. bahwa kita…?’ tanya Darmaji lagi.

‘Bahwa kita saling…tertarik….begitu…?’

‘Bahwa kita mungkin sedang….saling….jatuh cinta…..?’

‘Saya merasa kok ya sudah terjadi…bukan hanya sekedar mungkin lagi…’ jawab Rita pula.

‘Apakah mungkin kita saling tertarik… dan baru sekarang…?’

‘Kenapa mas Darmaji sangat ragu-ragu?’

‘Karena datangnya begitu tiba-tiba. Karena saya ….?’

‘Sebenarnya…. saya rasa…. selama ini kita menyadari bahwa kita saling tertarik. Bahwa kita saling menyenangi. Tapi kita sama-sama menahan diri. Mungkin karena kita sama-sama menyadari perbedaan yang ada pada kita masing-masing. Mas Darmaji tentu mengerti maksud saya,’ jawab Rita menerangkan.

‘Ya. Mungkin karena kita menyadari bahwa kita berbeda agama. Jadi kita berusaha sama-sama menjaga jarak. Saya tidak tahu apakah kita sedang membuat suatu kekeliruan saat ini atau bukan?’

Rita tidak menjawab. Dia mempermainkan sebuah ‘ballpoint’ di tangannya. Memutar-mutar ‘ballpoint’ itu, sambil matanya mengamati Darmaji. Mereka berpandang-pandangan lagi beberapa saat.

‘Kira-kira….bagaimana pandangan mas Darmaji tentang pernikahan beda agama?’ tanya Rita pula.

Darmaji menatap tajam kepada Rita. Diamatinya wajah cantik yang kebingungan itu dengan seksama.

‘Saya tidak tahu. Saya mengenal beberapa orang yang menikah berbeda agama. Tapi yang sulit namun besar pengaruhnya adalah pendapat orang di sekitar mereka. Terutama pendapat orang tua. Dan saya tidak tahu bagaimana pendapat mereka,’ jawab Darmaji pula.

‘Ya… Saya sependapat. Katakan misalnya orang tua menyetujui, lalu bagaimana menurut hukum yang berlaku? Karena saya dengar ada masalahnya secara hukum,’ Rita menambahkan.

‘Setahu saya itu memang tidak diizinkan. Pemerintah melarangnya. Dulu kalau tidak salah pernikahan seperti itu bisa dilakukan dicatatan sipil. Tapi sekarang rasanya sudah tidak boleh,’ jawab Darmaji pula.

Mereka terdiam lagi untuk beberapa saat. Pembahasan ini memang kurang lancar karena mereka tidak banyak tahu dengan aturan-aturan yang berlaku.

‘Maksud saya seandainya…… saya hanya berandai-andai…. seandainya kita menjadi……..’ Rita tidak melanjutkan kata-katanya.

‘Kalau menurut kamu bagaimana Rit?’

‘Kalau menurut saya pribadi…mungkin karena… saya tidak terlalu dalam memahami agama…saya sepertinya mau menerima perbedaan itu…’

‘Maksud kamu…. seandainya secara hukum dibenarkan, kamu mau menikah meskipun agama kita berbeda?’ tanya Darmaji lebih jelas.

‘Ya..saya pribadi mau dan bersedia….’ jawab Rita tegas.

‘Maksud kamu lagi, kamu mau jadi istri saya?’

‘Seandainya mas Darmaji mau juga tentu saja….. Seandainya memungkinkan menurut hukum, dan mas Darmaji mau menikah dengan saya..dan masalah agama kita pertahankan keyakinan kita masing-masing…saya bersedia.’

‘Tapi mungkinkah?…. Mungkinkah orang tua kita akan menyetujuinya…?’ tanya Darmaji.

Mereka terdiam. Rita tidak yakin orang tuanya akan mengizinkan hal itu. Ayahnya terutama. Ayahnya tidak akan mungkin mengizinkan dirinya dipersunting orang yang berbeda agama. Dia sudah mengalaminya. Dia pernah akrab sebelum ini dengan seorang pria yang beragama Islam juga. Dan ayahnya sangat tegas mem’veto’. Pokoknya kalau berbeda keyakinan tidak ada cerita. Meskipun akan bertahan dengan agama masing-masing. Pasti tidak boleh. Tapi entah kenapa dia lagi-lagi tertarik dengan seorang pria Islam. Dengan Darmaji agak berbeda, karena selama berkenalan lebih satu tahun mereka sama-sama menanam rasa hormat, rasa ‘suka’ satu sama lain, yang mereka pelihara di dalam hati. Dan selama itu pula diam-diam dia sangat memuja Darmaji yang menurut penilaiannya mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Darmaji terbuka, tidak egois, bisa menerima kritik, meski juga sangat kritis, wajar dalam bergaul, tidak memaksakan kehendak, percaya diri, toleransi dan sebagainya. Dan bukankah dia juga tampan? Bukankah dia juga sangat simpatik?

Begitu pula Darmaji menghitung dalam kepalanya. Bagaimana mungkin orang tua mereka akan menyetujui? Terutama orang tuanya sendiri. Ibunya tidak akan mungkin bisa menerima dia menikah dengan seorang Kristen. Meskipun dia sendiri bukanlah seorang yang taat beragama, dia juga sangat ragu selama ini, bahkan cenderung menghindar untuk menghadapi kenyataan seperti sekarang. Hanya saja dia sangat menyukai Rita. Dalam setiap diskusi, dalam setiap bertukar fikiran, apapun yang mereka bahas, kelihatan sekali kecocokan di antara mereka. Tidak pernah mereka terlibat dalam pertengkaran. Masing-masing bisa menghormati pendapat yang lain meskipun itu berbeda dengan pendapat mereka. Mereka saling menghargai, saling menghormati, saling menyenangi kepribadian masing-masing. Dan mereka merasa kehilangan kalau tidak berjumpa beberapa hari pada saat liburan sekolah misalnya.

*****

Dan hubungan mereka berlanjut. Kisah kasih mereka berlanjut meski mereka sangat pandai menyembunyikannya. Mereka sembunyikan dalam bentuk diskusi yang tetap seperti biasa-biasa. Ruangan perpustakaan jadi saksi bisu selama berbulan-bulan, tempat mereka memadu kasih, dengan penuh keberhati-hatian. Mereka bukanlah petualang cinta. Mereka tidak mengumbar nafsu lebih dari saling menunjukkan perhatian satu sama lain. Tidak ada hal-hal mesum yang mereka lakukan. Dalam cinta ada diskusi. Dalam diskusi ada saling mencari pemecahan masalah. Mereka sudah mencoba menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang paling ekstrim, seperti bagaimana cara meminta izin kepada orang tua dan bagaimana kalau orang tua kedua belah pihak menentangnya. Mereka telah menguji setiap kemungkinan sejauh mana mereka mau bergerak. Dan masing-masing menyimpan kemungkinan dalam diri mereka, bahwa hubungan ini terpaksa harus dihentikan seandainya memang tidak direstui dan tidak bisa dilanjutkan. Begitu pada awal-awalnya.

Dan lalu mereka coba setiap kemungkinan yang harus dicoba melaluinya itu. Yang pertama adalah pendekatan Darmaji kepada orang tua Rita. Darmaji datang berkunjung untuk berkenalan dengan mereka. Beberapa kali dia datang sesudah itu untuk menunjukkan kesungguh-sungguhannya sebelum rencana ‘melamar’ Rita. Sambutannya sudah tidak hangat sejak awal. Karena ada faktor status sosial. Biarpun Darmaji sangat percaya diri, tapi datang dengan sepeda motor ke rumah orang tua Rita yang megah itu, rumah seorang pejabat yang sukses itu, sudah menjatuhkan ‘nilai tawarnya’. Tapi tetap dia coba. Mereka berdua mencoba. Rita bahkan yang mula-mula minta penilaian papanya tentang Darmaji. Seperti sudah diduga, papanya tidak tertarik. Bahkan waktu mengetahui bahwa Darmaji seorang Islam dia langsung tidak setuju. Dan Darmaji tidak langsung ciut. Dia kumpulkan segenap keberanian yang dipunyainya untuk datang menghadap ayah Rita. Dan diutarakannya keinginannya. Diutarakannya bahwa mereka saling menyukai, bahwa mereka saling menghormati satu sama lain, bahwa dia ingin menjadikan Rita istrinya. Papa Rita tentu saja bagai mendengar petir di siang bolong. Dia tidak perlu berbasa-basi. Meskipun dia juga tidak menghina Darmaji, dia cukup mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mengizinkan anaknya menjadi istri orang yang tidak seagama dengan mereka. Jadi, harap maklum. Harap jangan bercita-cita yang aneh-aneh, jangan berencana yang jauh-jauh, jangan bermimpi yang muluk-muluk. Sebaiknya realistis saja. Sebaiknya segera saja saling melupakan mimpi-mimpi yang tidak masuk akal itu. Papa Rita menyampaikan semua itu dengan ekspresi datar. Dengan wajar. Tanpa bermaksud melecehkan. Waktu itu Darmaji terpancing. Dia menanyakan bagaimana kalau mereka, karena sudah sama-sama suka, sama-sama merasa cocok, tetap ingin melanjutkan juga hubungan mereka. Papa Rita menanyakan apa maksudnya. Apakah maksudnya akan nekad menikah tanpa izin? Kalau begitu, urusannya akan jadi urusan polisi. Papa Rita akan mengadukan kepada polisi dan akan berusaha keras menjadikan kenyataan memasukkan Darmaji ke penjara. Jadi harap dicatat itu, katanya. Jadi, janganlah coba-coba. Baru Darmaji terdiam. Dan sejak itu dia tidak mau lagi berkunjung ke rumah Rita.

Tapi di sekolah mereka tiap hari bertemu. Tapi di sekolah mereka tiap hari berbagi cerita. Mereka membahas kendala demi kendala yang mereka hadapi. Mereka tetap berdiskusi. Dan tentu saja mereka tetap memadu kasih, sesuatu yang memang sulit dihentikan sejak dimulai dulu. Kadang-kadang mereka takut. Kadang-kadang mereka jadi frustrasi. Tapi mereka selalu berdua-dua untuk membahasnya. Berminggu-minggu, berbulan-bulan. Diskusi mereka berjalan terus. Bahkan pernah mereka merasa perlu mencari pemecahan dalam agama masing-masing. Tidak langsung ada jawaban. Agama sepertinya tidak terlalu mereka pahami. Mereka coba untuk mempelajari bagaimana ketentuan dalam agama pasangan masing-masing. Sekedar mencari tahu. Sekedar menjadi bahan diskusi. Rita pernah melibatkan guru agama Islam, pak Darmawan, dalam berdiskusi. Dia menanyakan bagaimana hukumnya dalam Islam pernikahan beda agama. Dan dia terheran-heran mendengar penjelasan pak Darmawan yang mengatakan bahwa ada pendapat ulama yang mengatakan boleh seorang laki-laki Muslim menikahi seorang wanita Kristen. Pak Darmawan menjelaskan hal itu dengan penafsiran dari ayat Al Quran. Rita penasaran. Dia minta izin membacanya sendiri dari tafsir Al Quran itu. Dan dia membacanya. Dan dia berkenalan dengan kitab suci agama Islam itu.

Darmaji juga pernah bertanya kepada pak Situmorang bagaimana pandangan agama Kristen tentang pernikahan antara orang yang berbeda agama. Bagaimana hukumnya menurut agama Kristen seandainya seorang Kristen menikah dengan seorang yang bukan Kristen. Menurut pak Situmorang, sejauh yang diketahuinya, meski dia bukan seorang pendeta, hal itu adalah tidak mungkin. Hal itu tidak dibenarkan. Jadi kedua calon mempelai harus mempunyai keyakinan yang sama. Seorang Kristen Katholik tidak boleh dinikahkan dengan seorang Kristen Protestan kalau keduanya masih berpegang dalam agama mereka masing-masing. Jadi memang tidak mungkin menurut kepercayaan Kristen. Berarti papanya Rita tidak mengada-ada. Dia hanya sangat berpegang teguh dengan kepercayaannya.

Dalam serba terkepung itu pernah Rita mengatakan, kelihatannya agama Islam lebih bertoleransi. Kelihatannya dalam Islam masih dibuka kesempatan untuk pernikahan mereka seandainya papanya mengizinkan. Dan seandainya papanya mengizinkan, meskipun itu kelihatannya juga tidak akan mungkin, maka mereka masih mungkin menikah menurut aturan agama Islam. Menurut Al Quran, menurut kitab sucinya orang Islam. Tapi bagaimana mungkin papanya akan mengizinkan dia menikah secara Islam, biarpun dia tidak masuk Islam? Mana mungkin papanya bisa diajak kompromi dalam hal seperti itu?

Sebenarnya Rita sudah sering mencoba berbicara dengan baik-baik dengan papanya. Dia berikan segala argumentasi kenapa dia tertarik dengan Darmaji. Dia ceritakan secara rinci betapa pergaulan mereka selama ini didasari saling menghormati, saling menghargai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang Darmaji. Mereka bisa saling menghormati keyakinan masing-masing. Jadi kenapa dong papanya tidak mengizinkan? Tapi jawabannya seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Sekali tidak, akan senantiasa tidak diizinkan.


*****

No comments: