Friday, February 29, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.28)

28. Raun Terakhir

Sekarang mereka menuju ke mesjid raya, berjalan di hadapan deretan toko-toko. Sudah mendekati waktu shalat Jumat, sudah lebih jam setengah dua belas. Banyak orang yang juga sedang menuju ke arah mesjid. Terlihat dari pakaian yang mereka pakai. Ada yang berkain sarung dengan baju koko, ada yang memakai jas, ada yang memakai pakaian biasa tapi berkopiah dan menyandang sajadah di pundaknya. Mesjid raya terletak di pasar atas, dekat sekali dengan pasar dan toko-toko. Para pedagang yang laki-laki sudah bersiap untuk meninggalkan dagangannya, digantikan oleh istri atau adik perempuan mereka.

Mereka langsung ke tempat wudhu sesudah menitipkan sepatu dan kantong bawaan (oleh-oleh yang tadi di beli) di tempat penitipan. Menurut Pohan, barang-barang itu insya Allah aman di sana. Antri orang di tempat wudhu. Mereka harus menunggu sebentar sebelum dapat giliran berwudhu.

Di dalam mesjid sudah banyak jamaah. 5 saf di depan sudah hampir penuh. Mereka mengisi tempat yang masih kosong di saf kelima itu dan terpaksa duduk terpisah. Sesudah shalat tahyatul masjid dua rakaat mereka duduk menunggu. Ada orang yang sedang membaca al Quran. Jam dua belas lebih dua puluh khatib naik ke mimbar. Sesudah azan dikumandangkan, khatib berkhutbah. Tentang ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam. Tentang bagaimana membina kebersamaan dalam Islam dengan cara menegakkan jamaah, bukan hanya ketika shalat tapi dalam kehidupan nyata. Khutbah yang ringkas dan disampaikan dengan susunan kalimat yang mudah difahami. Lengkap dengan ayat-ayat al Quran dan contoh langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Dan merekapun shalat. Bacaan imamnya sama fasih dan bagusnya dengan imam tadi subuh. Tapi ayat yang dibaca tidak sepanjang waktu shalat subuh. Sangat menyejukkan menyimak bacaan imam seperti itu. Shalatpun terasa lebih khusyuk.

Sesudah selesai shalat dan zikir, ketika Aswin mau berdiri dia melihat enche orang Malaysia yang bertemu di Tabek Patah, duduk persis di belakangnya. Orang itu juga kebetulan melihat kepada Aswin, dan bangkit berdiri. Mereka bersalaman, lalu berjalan bersama-sama keluar mesjid.

’Masih lama lagi nak balek?’ tanya enche itu.

’Kembali ke tempat saya? Besok rencananya,’ jawab Aswin.

’Berapa lama bercuti? Sudah nak balek, je?’ tanyanya lagi.

’Ya, liburan singkat saja. Hanya sepuluh hari dengan perjalanan,’ jawab Aswin.

’Bapak, masih lama lagi di sini?’ tanya Pohan.

’Saya, petang ni balek. Sekarang nak ke hotel, terus check out, lah. Jam lima petang ni bertolak ke KL. Selamat jalan lah, bila-bila masa boleh kita jumpa lagi,’ katanya berpamitan.

‘Selamat jalan juga,’ jawab Aswin dan Pohan hampir bersamaan.

Mereka berpisah di depan mesjid.

Acara berikutnya sesuai dengan program adalah makan nasi Kapau di kedai nasi uni Lis. Letaknya hanya beberapa puluh langkah saja dari pekarangan mesjid. Ke sana mereka melangkah, melalui lapangan parkir. Kedai uni Lis sedang ramai dengan pengunjung, karena ini adalah jam makan siang. Dan terpaksa pula antri karena tempat duduk di kedai itu semua penuh.

’Sudah dua kali kita antri untuk makan, sesudah beberapa hari yang lalu antri ketika mau makan gulai itik,’ celetuk Pohan.

’Ya, tapi tidak ada masalah kan? Malahan lebih bagus. Kita belum terlalu lapar. Baru dua jam sesudah makan bubur kampiun,’ jawab Aswin.

’Ya, sih. Atau kamu mau kita jalan dulu?’ tanya Pohan memancing.

’Kalau kita pergi, dan kembali lagi nanti, mungkin nasi Kapaunya sudah habis. Lebih baik kita antri saja tenang-tenang,’ jawab Aswin pula.

Aswin lebih terlatih dengan budaya antri jadi tidak mempermasalahkannya sedikitpun. Mereka berbincang-bincang santai sambil menunggu. Ada kira-kira seperempat jam sebelum mereka dapat tempat.

Kedai nasi Kapau uni Lis masih seperti itu juga tatanannya. Dengan panci-panci besar berisi aneka macam gulai bersusun-susun, di letakkan di depan orang yang melayani. Gulai tunjang, gulai ikan tawes bertelur, gulai usus sapi, dan aneka gulai sayur, rendang daging, dendeng balado, goreng belut, goreng ayam. Setiap tamu ditanyai dengan apa mereka ingin makan, dan lauk pilihan mereka langsung di masukkan kedalam piring yang sudah berisi nasi ditambah dengan sayur-sayur dan samba lado dendeng. Jadi lauknya bukan dihidangkan dalam piring-piring kecil seperti di rumah makan umumnya.

Aswin melihat semua ini dengan terheran-heran. Melihat panci-panci berisi gulai bersusun-susun itu, yang disendokkan oleh penjual dengan menggunakan sendok bertangkai panjang. Waktu ditanya dengan apa dia ingin makan, Aswin jadi kebingungan melihat begitu banyak pilihan.

’Apa rekomendasimu?’ tanya Aswin kepada Pohan.

’Aku akan makan dengan gulai tunjang dan dendeng balado. Itu kesukaanku kalau makan nasi Kapau. Kalau kamu mau makan pakai ikan, itu juga ada ikan tawes yang ada telurnya. Ikan paweh batalua. Jadi terserah kamu. Atau kalau mau mencicipi rendang?’

‘Apa itu tunjang?’

‘Kikil. Kamu mengerti kikil nggak ya? Terdapatnya di kaki sapi,’ Pohan mencoba menerangkan.

‘Baik, aku tahu apa itu kikil. Aku tidak suka. Aku akan makan pakai ikan bertelur saja,’ kata Aswin.

’Hanya itu? Tidak ingin menambah dengan goreng belut misalnya?’

’Apa memang harus mengambil dua macam lauk? Tapi ya OK jugalah. Aku minta ikan dan goreng belut.’

Kepada mereka dihidangkan sepiring penuh nasi berikut gulai yang mereka pesan ditambah dengan sayur nangka dan rebung. Sama seperti sayur ‘bubua samba’ tadi pagi, tapi kali ini hanya sebagai tambahan. Porsi nasi itu agak berlebihan kelihatannya. Aswin cukup terperangah menyaksikan itu.

Lain pula enaknya nasi Kapau ini. Meski agak pedas. Kombinasi ikan tawes dan goreng belut sangat cocok. Disertai gulai cubadak dan rebung muda. Pedas, gurih dan enak sekali. Sampai keluar keringat mereka makan. Dan nasi yang porsinya banyak tadi itu, karena enaknya berhasil juga dihabiskan. Meski setelah itu, seperti biasa, Aswin mengeluh kekenyangan. Repotnya lagi, mereka tidak bisa santai karena di luar masih ada orang yang menunggu. Jadi begitu selesai makan, hanya beristirahat beberapa saat, mereka merasa tidak enak untuk terus duduk. Segera berdiri meninggalkan kedai uni Lis. Untunglah kedai itu tidak terlalu jauh dari tempat mobil mereka diparkir. Berjalan ke tempat parkir sedang perut kekenyangan sekali, memang sangat kurang nyaman.

Sudah selesai pula satu lagi acara. Beranjak ke acara berikut. Pergi meraun ke Sungai Janiah. Dari tempat parkir di depan mesjid raya mereka berputar ke bawah jam gadang. Terus ke Birugo ke Jambu Ayia. Pohan mengendarai mobil itu melalui Banuhampu, terus ke simpang Bukit Batabuah di kaki gunung Marapi. Terus ke timur ke Pasanehan. Di pinggir jalan di Pasanehan ini mereka berhenti sebentar. Menikmati pemandangan yang indah ke tempat kerendahan di sebelah utara dengan sawah bersusun-susun luas terbentang bagaikan permadani hijau. Disela oleh rimbunan pepohonan berkelompok di sana sini mengelilingi kampung dan nagari. Di sebelah selatan mereka adalah gunung Marapi, yang untuk melihatnya harus mendongak saking dekatnya.

Mereka teruskan lagi perjalanan ke arah timur. Ke Lasi, ke Candung lalu berbelok ke utara menuju Baso. Jalan yang dilalui itu semuanya berada di sepanjang kaki gunung Marapi.

Di Baso mereka seberangi jalan raya Bukit Tinggi – Paya Kumbuh, untuk terus ke utara. Itulah jalan ke Sungai Janiah. Sungai Janiah sebenarnya adalah tempat wisata kesukaan anak-anak. Ada sebuah kolam kira 20 kali 20 meter dan di dalamnya terdapat ikan yang tidak dimakan oleh masyarakat.

Ikan itu menurut legenda yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan berasal dari sepasang anak manusia yang jatuh ke kolam saat di kampung itu ada sebuah pesta besar dengan membunyikan alat musik gong, ’baralek baraguang’, dulu di jaman entah berantah. Dua orang kanak-kanak kakak beradik terlepas dari pengawasan ibunya, karena sang ibu asyik menonton pertunjukan di pesta itu, lalu ketika dia sadar, kedua anaknya sudah hilang. Dicari kemana-mana semalam itu tidak ditemukan. Si ibu akhirnya pulang dengan perasaan sedih. Dalam tidurnya dia bermimpi, didatangi seorang orang tua, yang menyuruhnya untuk datang ke pinggir kolam membawa sedikit nasi dan memanggil nama anak-anaknya. Waktu dia keesokan harinya melakukan seperti yang disuruh orang tua dalam mimpi, di dalam kolam itu ditemuinya dua ekor ikan, yang adalah penjelmaan dari anak-anaknya yang hilang kemarin. Begitu konon cerita legenda itu.

Yang mengherankan, meskipun cerita seperti itu sangat tidak masuk di akal, kenyataannya memang tidak ada penduduk kampung yang mau memakan ikan dari kolam itu. Ikan-ikan itu berwarna keputih-putihan berukuran sampai sekitar empat puluh senti panjangnya. Mungkin dengan berat sekitar dua sampai tiga kilo. Ada lagi cerita yang katanya, katanya, katanya, ada dua ekor ikan yang besarnya sebesar perut kuda dan hanya keluar menampakkan diri sekali setahun saat menjelang hari raya Qurban. Itulah ikan ’mula-mula’, yang berasal dari dua orang anak yang terjatuh di jaman entah berantah tadi. Begitulah cerita dongeng atau legenda beredar, tanpa sedikitpun menggunakan logika.

Dan ikan-ikan itu menjadi jinak karena setiap pengunjung memberinya makan. Ada sejenis pensi atau kerang kecil yang dijual di warung-warung di pinggir kolam untuk dilemparkan ke dalam kolam lalu diperebutkan ikan-ikan itu. Ada seseorang yang cukup kreatif di kampung itu dan berhasil melatih ikan-ikan itu untuk beratraksi. Ketika ’pawang’ ini meletakkan lingkaran rotan di atas air, ikan-ikan yang sebagian cukup besar melompati lingkaran rotan itu. Bahkan lebih seru, ketika lingkaran rotan itu dililit dengan perca kain lalu dibakar, ditempatkan di atas air masih ada ikan-ikan itu yang berani meloncatinya. Boleh jugalah atraksi itu. Entah bagaimana cara pawang ini melatih ikan-ikan tersebut.

Aswin membeli beberapa kantong pensi dan memberikannya kepada ikan-ikan itu. Bahkan ketika pensi itu ditaruhnya di tangan yang dimasukkan ke dalam air, ada ikan yang berani mengambilnya. Jadi lumayan juga sebagai hiburan.

Setelah puas bermain-main dengan ikan-ikan untuk beberapa saat mereka pergi berjalan-jalan di sekitar kolam itu. Naik ke bukit kapur di seberang kolam untuk melihat pemandangan di sekitar kampung Sungai Janiah. Bukit yang cukup terjal tapi mempunyai jalan berupa tangga dari batu kapur yang di pahat.

Azan asar berkumandang dari mesjid di dekat kolam itu. Karena Pohan tidak menjamak shalatnya, dia shalat dulu di mesjid itu, ikut berjamaah. Sesudah shalat asar mereka tinggalkan Sungai Janiah.

Mereka kembali ke Bukit Tinggi.

’Kemana kita sekarang?’ tanya Aswin.

’Ya, kemana kita bagusnya sekarang? Kamu tidak ada keperluan lagi di Bukit Tinggi? Tidak ada yang mau dibeli lagi?’

’Tidak ada. Kalau begitu kita pulang saja. Kita melihat-lihat pemandangan di kampung, melihat sawah,’ usul Aswin.

Dan mereka menuju kampung.


*****

No comments: