Saturday, November 8, 2008

SANG AMANAH (52)

(52)

Pulang sekolah, Arif tidak sabaran ingin segera sampai di rumah. Dia sangat khawatir kalau-kalau sesuatu tejadi dengan adiknya Budi. Arif naik angkot dari jalan Kali Malang sampai ke jalan Pondok Bambu Batas. Sesudah itu berjalan kaki kira-kira lima ratus meter ke rumah. Di sepanjang jalan dia mengamati orang-orang yang berpapasan, mencari kalau ada anak muda gondrong yang datang ke warungnya kemarin. Tidak ada kelihatan.

Arif sampai di rumah. Alhamdulillah. Dilihatnya mak tenag-tenang saja di warung. Arif mengucapkan salam. Arif langsung masuk ke rumah. Didapatinya Budi sedang duduk menonton TV. Mak menyuruhnya makan karena mak dan Budi sudah lebih dulu makan siang. Arif meletakkan tasnya di tempatnya dan berganti pakaian. Baru sesudah itu dia mengambil makanan. Dia makan dekat pintu warung ke ruangan dalam, dekat tempat mak duduk menjaga warung.

‘Tadi mak lihat lagi nggak orang-orang itu, mak?’ tanya Arif sambil menghadapi makanannya.

‘Belum ada. Tapi tadi pagi ada polisi datang ke sini dua orang. Mak pikir ada keperluan apa. Rupanya hanya membeli rokok saja. Polisi itu memang bertanya kalau-kalau di sekitar sini ada kasus anak-anak terlibat obat-obat terlarang. Mak bilang, setahu mak tidak ada. Terus mereka menanyakan rumah ketua RW di sini dan mak beri tahu. Setelah itu mereka pergi,’ mak bercerita.

‘Jangan-jangan jaringan orang-orang itu sudah tercium sama polisi. Kita harus cepat-cepat mengembalikan barang itu ke mereka,’ kata Arif pula.

‘Mudah-mudahan mereka segera kembali ke sini. Kalau mereka datang langsung kita serahkan. Mak khawatir juga nih,’ kata mak pula.

‘Kita berzikir saja mak. Minta tolong kepada Allah. Mudah-mudahan Allah memelihara kita dari hal-hal yang tidak baik,’ kata Arif bijaksana.

Sehabis makan Arif membersihkan dan mencuci piring dan alat-alat dapur. Ini memang tugasnya. Sesudah itu dia duduk dekat adiknya Budi, ikut menonton TV. Arif biasanya santai-santai sampai waktu azan shalat asar. Setelah itu dia pergi ke mesjid pergi shalat asar. Dan sehabis shalat dia akan bertugas menjaga warung, sementara mak akan menyelesaikan pekerjaan di rumah, menyeterika dan menyiapkan makanan untuk malam. Kadang-kadang mak beristirahat sebentar. Atau kadang-kadang mak harus pergi ke pasar Jatinegara. Begitulah biasanya pembagian tugas di sore hari. Sekali-sekali benar, Budi juga ikut menjaga warung.

Atas saran Arif, sore itu Budi yang menjaga warung sementara Arif akan duduk di dalam rumah. Arif tidak kelihatan dari luar warung tapi dia bisa mendengarkan kalau ada orang datang berbelanja.

Sore itu mak pergi melapor ke rumah pak RT. Pak RT menasihatkan seperti yang sudah mereka rencanakan yaitu mengembalikan saja barang terlarang itu kalau pemiliknya datang. Beliau akan mewanti-wanti warga lain untuk berhati-hati dengan modus operandi seperti ini, memaksa melibatkan anak-anak kecil masuk ke dalam jaringan pengedaran obat terlarang. Dan pak RT akan memintakan ke ketua RW agar penjagaan satpam swadaya masyarakat di lingkungan mereka lebih ditingkatkan.

Ternyata sore hari itu tidak ada yang datang dari kelompok pemilik barang terlarang itu. Sampai waktu maghrib saat warung itu ditutup tidak ada orang yang mencurigakan mampir ke warung. Sore itu Arif shalat maghrib di mesjid seperti biasa. Pak RT dan pak RW hadir shalat maghrib berjamaah. Sesudah shalat, pak RW minta waktu untuk menyampaikan sebuah pengumuman. Isinya meminta setiap warga meningkatkan kewaspadaan terhadap kegiatan pengedar narkoba yang menjadikan anak-anak kecil sebagai target untuk menjadi kaki tangan. Beliau meminta agar warga masyarakat meningkatkan pengamanan lingkungan dan mewaspadai setiap orang asing yang berprilaku mencurigakan. Untunglah pak RW tidak secara langsung menceritakan kasus yang tengah menimpa Budi. Karena khawatir nanti pemilik barang itu tidak kembali sementara barangnya masih disimpan di rumah. Sesudah itu diadakan diskusi tentang cara antisipasi menangkal pengaruh narkoba di lingkungan RW mereka. Para jamaah mesjid itu mengerti benar pengaruh buruk dari pengedaran maupun penggunaan narkoba itu dan semua sepakat untuk memelihara lingkungan mereka agar jangan sampai tercemari. Diskusi itu berlangsung sampai waktu shalat isya. Jamaah mesjid setuju meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya narkoba dan bersedia meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak remaja di lingkungan mereka.


*****


Dua hari berlalu tanpa kedatangan anggota sindikat pengedar narkoba ke warung ibu Nur. Sistim penjagaan warung masih tetap seperti hari pertama yang disarankan Arif. Selepas waktu asar Budi yang menjaga warung. Meskipun sebenarnya Budi tidak terlalu suka untuk duduk termangu-mangu di warung itu, tapi dia juga tidak berani pergi main jauh-jauh dari rumah. Dia khawatir kalau bertemu dengan mereka, kelompok pemilik narkoba itu akan menyakitinya.

Ternyata sore ini mereka datang. Si gondrong beranting dan si gendut jerawatan bertiga dengan si mata merah. Si gondrong berlagak mau membeli rokok. Budi gemetaran melihat kehadiran mereka bertiga itu. Dengan segenap keberanian yang ada dia berbicara kepada si rambut gondrong.

‘Bang, nih barangnya aye kembaliin. Aye nggak bisa ngejualinnya. Nggak ada yang mau beli,’ kata Budi gemetar. Amplop cokelat itu diberikannya kepada si gondrong. Si gondrong tidak mau menerimanya tapi Budi memaksa memberikan ke tangannya sehingga amplop itu jatuh. Budi mundur ke belakang.

‘Apa lu bilang? Lu coba kagak ngejualnya? Kemana aja lu bawa?’ si mata merah bertato langsung nyambar.

Saat itu Arif keluar. Arif menatap mata si mata merah itu dengan berani. Dia berzikir dalam hati. Jantungnya berdebar-debar dan badannya gemetar.

‘Bang, tolong diambil barangnya. Tolong jangan melibatkan kami urusan beginian,’ kata Arif dengan suara bergetar.

Si mata merah maju menyambar leher baju Arif dan mengangkatnya sambil menggertak menyeramkan.

‘Banyak bacot gue bunuh lu!…..’

Saat itu mak keluar dan langsung berteriak-teriak minta tolong. Si mata merah melepaskan cengkeramannya. Dia masih sempat mengancam-ancam akan membunuh semua penghuni warung dan akan membakar warung itu. Mak berteriak minta tolong semakin histeris. Para bajingan itu gelagapan. Si gondrong buru-buru mengambil amplop coklat dari lantai dan ketiganya lari ke mulut gang. Beberapa orang tetangga yang mendengar teriakan mak tadi datang berkumpul. Dan beberapa orang yang kebetulan berada di gang itu juga ikut datang. Mak menceritakan apa yang terjadi. Mereka sangat gemas mendengarkan cerita itu. Tapi untunglah tidak terjadi apa-apa. Dan seperti saran pak RW beberapa hari yang lalu kewaspadaan terhadap sidikat pengedar narkoba ini memang perlu ditingkatkan. Mak lebih bersyukur karena amplop cokelat itu sudah mereka bawa kembali.

Mereka yang berkumpul di warung ibu Nur sore itu sepakat untuk pergi melaporkan pristiwa itu ke pak RT untuk seterusnya menemui ketua RW. Mereka bersama-sama pak RT mendatangi rumah pak RW. Pak RW menyarankan agar mereka semua melaporkan kejadian itu ke polisi di pos polisi Pondok Kelapa. Kejahatan dengan mengancam-ancam seperti yang dialami Arif tadi sore tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perbuatan seperti ini tidak mungkin dihadapi langsung oleh warga saja dan harus dilaporkan ke polisi.

Dengan mengendarai mobil pak ketua RW beberapa orang warga ikut pergi melapor ke pos polisi. Arif diajak ikut untuk memberikan keterangan ciri-ciri ketiga orang yang tadi datang ke warung. Mereka membuat laporan secara rinci. Semua informasi itu dicatat oleh petugas kepolisian itu. Petugas itu menyarankan agar penjagaan keamanan di lingkungan RW ditingkatkan mengingat mereka mengancam-ancam. Dikhawatirkan mereka berusaha melakukan ancaman mereka itu. Petugas polisi itu mengingatkan untuk segera menelpon pos polisi seandainya mereka itu datang kembali. Jam delapan malam baru mereka kembali dari pos polisi Pondok Kelapa. Pak RW minta agar warga melakukan penjagaan keamanan malam ini sesuai dengan saran petugas polisi. Khawatir kalau ancaman para bajingan mau membakar warung ibu Nur benar-benar mereka laksanakan.

Tapi syukurlah ancaman itu tidak jadi kenyataan. Kelihatannya para bajingan itu mengerti bahwa masyarakat sangat berwaspada sehingga mereka tidak berani lagi muncul.


*****


Sudah beberapa minggu berlalu sejak peristiwa kedatangan anggota sindikat pengedar narkoba ke warung ibu Nur. Masyarakat sudah kembali merasa aman meski penjagaan lingkungan masih tetap dilanjutkan.

Hari itu Arif pergi mengunjungi orang tua Gito yang sedang sakit. Arif sudah memberi tahu mak bahwa hari ini dia terlambat pulang dari sekolah. Gito adalah teman akrab Arif di sekolah. Orang tuanya seorang pengemudi taksi, sudah beberapa hari terbaring sakit di rumahnya. Katanya sih masuk angin tapi sudah berhari-hari badannya panas. Sudah dibawa ke dokter. Dokter menyarankan agar pak Slamet, ayah Gito itu dirawat di rumah sakit. Menurut dokter pak Slamet ada gejala kena paru-paru basah. Tapi untuk dirawat inap di rumah sakit bukanlah urusan sederhana bagi pak Slamet. Itulah sebabnya dia beristirahat di rumah saja sambil meminum obat yang dibeli dari rumah obat.

Keluarga pak Slamet tinggal di sebuah rumah petak di jalan Seroja. Arif dan Gito berjalan kaki dari sekolah karena tempat tinggal Gito tidak dilalui angkot yang dari arah Kali Malang. Jaraknya sekitar dua kilometer dari sekolah. Lumayan jauh. Sebenarnya mereka bisa juga naik ojek motor untuk pergi ke sana tapi Gito menyarankan untuk berjalan kaki saja. Kira-kira dua puluh menit berjalan kaki mereka sampai di rumah pak Slamet. Rupanya pak Slamet sudah berangsur pulih. Dia sudah bisa duduk dan badannya sudah tidak panas. Pak Slamet diberi obat Cina oleh temannya sesama sopir taksi.

Arif tidak lama-lama di rumah Gito. Setelah ngobrol-ngobrol dengan pak Slamet dan ibu Slamet sebentar dia langsung pamit. Dia mendoakan agar kesehatan pak Slamet segera pulih kembali. Pak Slamet dan ibu Slamet sangat senang dikunjungi Arif. Mereka telah mengenal Arif karena dia sudah pernah datang sebelumnya. Orang tua Gito itu sangat menyukainya karena Gito sering bercerita tentang temannya yang alim itu di rumah. Gito mengantarkan Arif sampai ke pinggir jalan di depan rumahnya. Tadinya dia mau mengantarkan sampai ke persimpangan tapi Arif melarangnya. Arif harus berjalan kaki ke persimpangan jalan kalau dia mau naik ojek motor karena di depan rumah Gito tidak ada ojek. Simpangan jalan itu kira-kira dua ratus meter dari sana. Arif menapaki jalan itu dengan santai. Tiba-tiba dia mendengar suara sepeda motor. Dia menoleh ke belakang karena dia pikir yang datang itu pengendara ojek. Ternyata bukan. Ternyata ada dua buah sepeda motor. Yang satu dikendarai oleh si mata merah dan yang lainnya oleh si gondrong yang pakai anting dan temannya yang tidak dikenal Arif. Arif ketakutan. Masih lima puluh meter lagi menjelang persimpangan. Arif berusaha tenang. Rupanya si mata merah segera mengenali Arif. Dia menghentikan motornya sehingga menghalangi Arif meneruskan langkahnya. Si mata merah turun dari motornya, langsung menjambak rambut Arif. Arif diam tidak bersuara. Dalam hatinya dia tidak henti-hentinya berzikir mengingat Allah.

Si mata merah menjambak rambut Arif dengan tangan kirinya yang kekar. Tangan kanannya dihayunkannya menampar muka Arif sekuat-kuatnya. Arif berteriak, ‘Allahu Akbar’.

‘Mampus lu yah. Sok ngadu ke polisi lu. Gara-gara lu anak buah ketangkap. Biar gue matiin lu sekalian,’ katanya menyumpah-nyumpah.

Dia bersiap mau memukul sekali lagi ketika tiba-tiba sebuah ojek motor datang dari arah yang sama. Tukang ojek itu berhenti setelah dekat dan bertanya.

‘Kenapa dia?’ tanya tukang ojek itu pendek.

‘Nyolong,’ jawab si gondrong yang pakai anting.

‘Nyolong apaan?’ tanya tukang ojek lagi.

‘Jangan ikut campur lu. Atau lu juga mau gue matiin sekalian!’ bentak si mata merah.

Si tukang ojek cepat-cepat berlalu menuju ke persimpangan jalan. Dekat simpang itu ada pangkalan ojek. Tukang ojek itu memberi tahu teman-temannya bahwa di jalan sebelah sana, dari tempat dia baru saja datang, ada seorang anak sekolah sedang di gamparin preman. Dia mengajak teman-temannya untuk melihat ke sana dan dia langsung memacu motornya kembali ke arah yang ditunjukkannya itu. Tukang-tukang ojek yang sedang mangkal itu mengikutinya beramai-ramai. Seorang tukang ojek yang lain memberi tanda dengan isyarat tangan ke temannya yang berdiri agak jauh untuk mengikuti. Dari kejauhan ada sebuah mobil patroli polisi mengamati tingkah tukang-tukang ojek itu. Polisi itu curiga dan melarikan mobil patrolinya ke arah tukang ojek yang bergerombol ke satu arah tadi.


*****

No comments: