Monday, November 24, 2008

SANG AMANAH (72)

(72)


Pada jam istirahat pertama, tiga orang pengurus OSIS dipimpin ketuanya Syamsurijal, datang menghadap pak Umar. Anto termasuk di antara ketiga orang itu. Pak Umar mempersilahkan mereka masuk ke kantornya. Mereka terlibat dalam diskusi singkat dengan pak Umar.

‘Maaf, pak. Kami datang untuk meminta kesediaan bapak memberi penjelasan kepada kami, pengurus OSIS, sehubungan dengan desas-desus yang beredar di antara kawan-kawan tentang calon murid baru, keponakan ibu Purwati, yang kabarnya terlibat kasus…..,’ kata ketua OSIS mengawali pembicaraan, walaupun kalimatnya terputus.

‘Maksudnya memberi penjelasan kepada kalian bertiga ini?’ tanya pak Umar.

‘Kalau bapak tidak berkeberatan, kepada semua pengurus OSIS saja pak. Kami semua anggota pengurus ada dua belas orang. Dan kalau bapak tidak berkeberatan, kami siap mengadakan pertemuan itu nanti siang sehabis jam pelajaran terakhir,’ jawab ketua OSIS.

‘Kenapa berita desas-desus seperti itu penting sekali buat kalian?’ tanya pak Umar lagi.

‘Karena, kalau kami boleh mengeluarkan pendapat, kami tidak setuju ada murid baru pengguna narkoba di sekolah ini, pak. Sebab teman-teman kami dulu dikeluarkan waktu mereka kedapatan menggunakan obat terlarang itu,’ jawab ketua OSIS mantap.

‘Baik. Kalau begitu saya setuju mengadakan pertemuan dengan kalian nanti siang. Kita adakan pertemuan itu di ruang serba guna di atas. Saya akan mengajak pak Muslih dan pak Wayan untuk hadir pada pertemuan itu nanti. Dan juga pak Hardjono,’ usul pak Umar.

‘Terima kasih pak. Kalau begitu kami mohon izin dulu pak,’ ucap ketua OSIS.

Pak Umar tersenyum dan mengangguk. Anto mengucapkan salam.

‘Assalamu’alaikum, pak.’

Pak Umar menjawab salam itu dengan utuh.


*****


Jam dua kurang seperempat rapat kepala sekolah dengan pengurus OSIS digelar di ruang serba guna di lantai atas SMU 369. Di samping pak kepala sekolah, hadir pak Hardjono dan pak Muslih. Pak Wayan tidak bisa ikut hadir. Pengurus OSIS hadir dua belas orang seperti yang dijanjikan ketua OSIS tadi pagi. Pak Muslih tidak habis pikir, apa perlunya rapat seperti itu diadakan. Tapi karena diminta pak Umar untuk ikut dia terpaksa hadir juga. Pak Umar membuka rapat itu.

‘Assalamu’alaikum wr.wb.,
Baiklah, terima kasih pak Muslih, pak Hardjono serta anak-anak pengurus OSIS. Ini bukan rapat yang resmi-resmi benar. Jadi kita santai saja. Menurut ketua OSIS, ada yang ingin kalian tanyakan, sehubungan dengan desas-desus yang beredar di antara kalian bahwa ada murid yang baru diterima padahal anak tersebut pengguna narkoba. Apa benar demikian saudara ketua OSIS?’ tanya pak Umar mengawali rapat siang itu.

‘Benar, pak. Dan menurut berita yang beredar di kalangan teman-teman, anak itu keponakan ibu Purwati, sudah diterima sebagai murid baru di sini, tapi anak tersebut jatuh pingsan, kemungkinan karena pengaruh narkoba yang dikonsumsinya, jadi belum sempat masuk kelas. Kami ingin mendapat kepastian apakah berita itu benar?’ tanya ketua OSIS.

‘Kalau itu pertanyaannya, langsung saja saya jawab, tidak benar. Berita itu tidak benar sama sekali. Tidak ada murid yang baru diterima di sekolah ini. Apalagi pengguna narkoba seperti yang kalian gossipkan,’ jawab pak Umar.

‘Tapi kemarin ada keponakan ibu Purwati yang diantar ayahnya, seorang tentara datang ke sekolah ini. Anak itu dibawa lagi karena jatuh pingsan di sini. Begitu kami dengar ceritanya pak,’ tambah ketua OSIS.

‘Benar bahwa kemarin ada seorang anak datang dengan orang tuanya kesekolah ini. Benar juga bahwa anak itu keponakan ibu Purwati. Tadinya, oleh orang tuanya anak itu ingin dimasukkan atau tepatnya dipindahkan ke sekolah ini. Tapi orang tuanya belum sempat bertemu dengan saya. Dia belum mengajukan permohonan untuk memasukkan anaknya itu di sini. Jadi jelas belum diterima,’ jawab pak Umar, tersenyum.

‘Tapi, apakah ada rencana bapak untuk menerimanya?’ tanya salah satu anggota rapat.

‘Kalau dia pengguna narkoba jelas tidak akan diterima. Seorang pencandu rokok saja tidak akan diterima di sini,’ jawab pak Umar tegas.

‘Kalau begitu sudah jelas pak. Kami akan memberi tahu teman-teman yang bapak sampaikan ini,’ kata ketua OSIS.

‘Sekarang saya yang bertanya. Kenapa kalian menanyakan hal ini? Apakah anak tadi itu akan diterima atau tidak? Apa perlunya kalian menanyakan hal itu?’ tanya pak Umar.

‘Hanya ingin mendapat kepastian saja pak,’ jawab seorang peserta.

‘Bagaimana kalau seandainya saya jawab bahwa anak itu benar diterima bersekolah di sini. Apakah kalian akan berdemonstrasi menentangnya?’ tanya pak Umar lagi.

‘Kami akan protes pak. Karena dulu teman kami dikeluarkan dari sekolah karena menggunakan obat-obat terlarang itu. Jadi sangat tidak adil kalau anak ini, hanya karena dia keponakan ibu Purwati, diterima bersekolah di sini,’ jawab ketua OSIS.

‘Apakah ada di antara kalian yang mengetahui dimana keberadaan teman-teman kalian yang dikeluarkan dulu itu?’ tanya pak Umar.

Anak-anak itu berpandang-pandangan. Mereka tidak mengerti kenapa pak Umar menanyakan hal itu.

‘Saya mengetahui keberadaan Edwin, karena dia tinggal dekat tempat saya tinggal pak. Dia sekarang bekerja di pompa bensin di Tebet. Yang lainnya saya tidak tahu pak,’ Samsul, salah satu anggota OSIS itu berbicara.

‘Apakah kamu sering bertemu dengannya? Apakah dia masih tetap pemakai narkoba sampai sekarang?’ tanya pak Umar.

‘Saya pernah bertemu dengannya tapi tidak sering. Saya tidak tahu apakah dia itu masih tetap menggunakan narkoba atau sudah tidak lagi, pak,’ jawab Samsul.

‘Bisakah kamu menyelidikinya?’ tanya pak Umar.

‘Saya rasa bisa pak. Maksud saya, kalau hanya mencari informasi apakah dia masih pemakai atau sudah tidak, saya bisa mencari beritanya,’ Samsul menjelaskan.

‘Bagaimana dengan yang lain? Tidak ada yang tahu?’ tanya pak Umar kembali.

‘Maaf, kenapa bapak menanyakan keadaan mereka? Apa maksud bapak?’ kali ini pak Muslih yang bertanya.

‘Baik. Seandainya teman-teman kalian itu sudah tidak lagi pencandu narkoba, bisa dibuktikan dengan keterangan dokter, dan seandainya mereka masih ingin bersekolah, mereka akan kita terima kembali di sini,’ jawab pak Umar.

Pak Muslih, pak Hardjono serta segenap anggota pengurus OSIS peserta rapat itu tersentak kaget mendengar penjelasan pak Umar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Tidak seorangpun yang bersuara. Mereka berpandang-pandangan satu sama lain dengan mimik penuh keheranan.

‘Apa alasan bapak menerima mereka kembali? Bukankah mereka sudah dikeluarkan dari sekolah ini?’ tanya pak Muslih beberapa saat kemudian.

‘Karena mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Mereka juga berhak untuk meneruskan sekolah mereka di sini. Tapi dengan syarat, mereka sudah sembuh dari kecanduan narkoba. Dan mau berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan mereka menggunakan narkoba. Perjanjian yang kita buat di atas kertas bermeterai jika perlu,’ jawab pak Umar.

‘Tapi ini bisa berakibat buruk, pak. Reputasi sekolah ini bisa hancur kalau pencandu narkoba yang sudah pernah dikeluarkan, diterima kembali bersekolah. Apakah pak Umar tidak memikirkan itu? Hal ini akan jadi cemoohan sekolah-sekolah lain. Padahal bapak sedang menyiapkan sekolah ini untuk menjadi sekolah unggulan,’ kata pak Muslih pula.

‘Tentu saja sudah saya pikirkan, pak Muslih. Makanya saya katakan, dengan syarat mereka sudah tidak pengguna narkoba lagi. Keterangan bahwa mereka sudah tidak pengguna ini harus dikeluarkan oleh dokter. Kalau anak-anak itu benar-benar sudah bebas dari keterikatan pada narkoba, baru kita terima kembali. Mengenai penilaian sekolah lain, tidak usah terlalu kita hiraukan. Yang ingin kita lakukan adalah suatu kebaikan, menyelamatkan generasi muda yang pernah rusak tapi sudah memperbaiki diri mereka kembali,’ jawab pak Umar lagi.

Pak Muslih terdiam. Anak-anak pengurus OSIS masih pada melongo. Selama beberapa detik ruang rapat itu sunyi. Tidak ada satupun yang membuka suara. Sampai akhirnya pak Hardjono kembali bertanya.

‘Apakah rencana pak Umar untuk menerima murid-murid yang pernah dikeluarkan itu merupakan gagasan tiba-tiba saja atau sudah ada dasar pemikirannya yang lain pak?’ tanyanya.

‘Saya prihatin, pak. Melihat anak dari saudara ibu Purwati kemarin saya prihatin. Mendengar tentang murid sekolah ini yang dikeluarkan seperti cerita pak Muslih dan pak Wayan tadi pagi, saya prihatin. Anak-anak itu adalah generasi muda yang akan mengurus negara ini nanti. Ini bukan cerita muluk-muluk, dan saya bukan mengada-ada, tapi hal ini adalah kenyataan. Maka saya berpikir, mereka harus diselamatkan kalau itu masih mungkin dilakukan. Tadi diceritakan oleh….. siapa nama kamu?’ tanya pak Umar, yang langsung dijawab oleh Samsul. ‘Tadi diceritakan oleh Samsul, salah satu anak itu sekarang bekerja sebagai pegawai pompa bensin. Nah, kalau anak itu sudah sadar, tidak lagi terlibat penggunaan narkoba, dan dia masih mau melanjutkan sekolahnya, kenapa tidak kita beri kesempatan?’ ujar pak Umar.

‘Tapi kalau mereka sekarang sudah tidak pemakai, tapi karena mereka sudah pernah kenal dengan benda-benda itu, lalu nanti kambuh lagi padahal sudah diterima kembali di sekolah, terus bagaimana pak?’ pak Hardjono melanjutkan pertanyaan dalam keragu-raguannya.

‘Kita bersama-sama harus berusaha bersungguh-sungguh membantu mereka. Sebelumnya kita ingatkan betul mereka bahwa yang kita lakukan adalah untuk kepentingan mereka. Jadi merekapun harus berusaha pula agar tidak jatuh di lobang yang sama untuk kedua kalinya. Sekali lagi ini adalah usaha. Mari kita niatkan usaha ini dengan ikhlas, semata-mata karena Allah. Kita ingin menolong sesama manusia. Dan setelah itu kita iringi dengan berdoa kepada Allah,’ jawab pak Umar.

Pak Hardjono terdiam. Dalam hatinya dia memahami niat baik pak Umar. Dan rasanya apa yang disampaikan pak Umar itu tidaklah mengada-ada. Kalau sekiranya memang anak-anak itu masih bisa ditolong, apa salahnya diusahakan menolongnya? Suasana kembali diam di ruang rapat itu. Masing-masing masih mencoba mencerna apa yang disampaikan pak Umar.

‘Maaf, pak. Kalau diizinkan, kami akan berusaha mencari keterangan tentang teman-teman yang dulu dikeluarkan itu. Tapi setahu saya, satu orang dari mereka sudah pindah ke kampungnya,’ ketua OSIS mengajukan usul.

‘Saya rasa usulan itu baik sekali. Tolong kalian cari sampai dapat informasi yang benar tentang anak-anak itu. Kalau sudah kalian dapat, segera beritahukan kepada saya!’ kata pak Umar.

‘Kalau kami bertemu mereka, dan mereka sudah tidak lagi pemakai narkoba, apakah kami bisa langsung memberi tahu bahwa mereka akan diterima kembali di sekolah ini jika mereka mau bersekolah kembali, pak?’ tanya Samsul.

‘Boleh saja, asal kalian beritahukan persyaratannya tadi,’ jawab pak Umar.

‘Apakah hal ini akan dirapatkan juga dengan guru-guru lain pak?’ tanya pak Muslih kembali.

‘Boleh saja. Besok siang kita adakan rapat dengan staf guru-guru. Saya akan memberitahukan apa yang kita bicarakan ini kepada semua guru-guru,’ jawab pak Umar.

‘Hanya sebagai sebuah pemberitahuan saja?’ tanya pak Muslih lagi.

‘Saya siap untuk berdiskusi,’ jawab pak Umar.

Karena tidak ada lagi pertanyaan, rapat itu ditutup. Pak Muslih tetap merasa aneh dengan gagasan pak kepala sekolah yang mau menerima kembali anak-anak yang dulu sudah pernah dikeluarkan. Apa benar anak-anak itu masih perlu dibela? Anak-anak yang sudah pernah mencemarkan nama sekolah?


*****

No comments: