Saturday, April 25, 2009

DERAI-DERAI CINTA (12)

12. SEBUAH INSIDEN

Dua hari kemudian, Imran minta izin kepada mak dang untuk pergi ke Pakan Baru lagi. Dia kembali mendatangi kedai beras mak Bahdar. Duduk disana sambil banyak bertanya seperti pertama kali datang. Tentang tata niaga beras. Tentang resiko bagi pedagang dari Bukit Tinggi seandainya ada gangguan di perjalanan antara Bukit Tinggi dan Pakan Baru. Mak Bahdar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan wajar. Di dalam hidup ini tidak ada yang tidak mengandung resiko, katanya. Disana perlunya bertawakkal kepada Allah, tambahnya pula.

Imran semakin tertarik mendengar penjelasan orang ini. Seorang pedagang yang saleh. Kesalehan yang terbayang dari wajahnya yang selalu bersih berseri.

‘Apakah kau benar-benar tertarik untuk jadi pedagang?’ tanya mak Bahdar.

‘Awak ingin belajar dulu mak. Meskipun awak sangat tertarik, awak tidak punya modal,’ jawab Imran pula.

‘Siapa tahu, mamakmu yang pegawai Caltex itu mau memberi modal,’ katanya lagi.

‘Tidaklah akan semudah itu, mak.’

‘Untuk belajar itu sebenarnya mudah. Kau perhatikan saja orang berjual beli di pasar. Disini, di pasar ini. Hanya, kalau kau berdagang, tidak akan jadi kau bersekolah.’

‘Entah jugalah, mak. Awak ragu-ragu jadinya. Antara akan menerima tawaran mamak awak untuk terus bersekolah, atau mau mencoba-coba peruntungan berdagang. Untuk berdagang awak tidak punya modal,’ kata Imran.

‘Kalau menurut pendapat saya, lebih baiklah kau bersekolah. Kau masih sangat muda. Bersekolahlah yang tinggi. Dengan ilmu, nanti akan lebih mudah bagimu mengharungi kehidupan. Orang semakin sulit sekarang mendapat kesempatan untuk bersekolah. Kau sangat beruntung dengan adanya jaminan dari mamakmu. Tinggal bersungguh-sungguh saja. Kenapa mesti jadi pedagang sekarang?’ kata mak Bahdar menasihati.

‘Iya juga, mak.’

‘Itu pendapat saya. Mana yang akan kau tempuh, tentu terpulang kepadamu sendiri.’

‘Maaf, mak. Apakah mamak keberatan, kalau awak datang kesini belajar seperti ini menjelang datang waktu bersekolah?’ tanya Imran pula.

‘Bagi saya tidak ada masalah. Kalau kau mau, kau boleh datang kesini tiap hari. Akan kuajari kau bagaimana mengenal jenis-jenis beras. Mengetahui harganya, menjualnya. Bagaimana? Lantas angan?’ tanya mak Bahdar.

Lantas, mak. Tapi tentu awak perlu minta ijin dulu kepada mamak awak. Mudah-mudahan beliau mengijinkan,’ jawab Imran.

***

Imran menyampaikan keinginannya itu kepada mak dang. Mak dang tidak keberatan, karena belajar berdagang itu hanya untuk pengisi waktu. Tahun ajaran baru sekolah masih lebih dua bulan lagi. Sayang memang kalau Imran tidak ada kegiatan selama itu.

Dimulainya kegiatan itu, pergi ke pasar di Pakan Baru. Berangkat dari rumah sekitar jam delapan pagi. Waktu akan berangkat dicarinya tante Ratna untuk berpamitan tetapi beliau tidak ada. Kata mbak Sri, beliau ke rumah tetangga. Imran menunggu kira-kira seperempat jam dan akhirnya dia berangkat setelah terlebih dahulu minta tolong dipamitkan melalui nenek. Tidak terpikirkan bahwa hal ini akan jadi masalah.

Sore hari, ketika baru pulang, Imran dipanggil tante Ratna dan dimarahi.

‘Kalau mau pergi-pergi dari rumah, kamu harus minta ijin dulu. Harus berpamitan, mengerti?!’ kata tante Ratna.

‘Dia tadi sudah menunggu Ratna dan akhirnya menitipkan pesan sama mak,’ nenek mencoba membela Imran.

‘Mak nggak boleh seperti itu, mak. Mak nggak boleh membela, kalau dia memang salah. Di rumah ini ada aturan. Ada peraturan. Tidak boleh semau-mau sendiri,’ tante Ratna masih marah.

‘Awak minta maaf, tante. Awak mengaku salah,’ kata Imran berhati-hati.

Nenek gemetar. Kelihatan sekali beliau tersinggung dengan peristiwa itu. Tante Ratna meninggalkan nenek dan Imran berdua dalam kamar.

‘Sudahlah, nek. Memang awak salah,’ kata Imran membujuk nenek.

Ternyata urusan itu tidak hanya sampai disana. Waktu makan malam, tante Ratna kembali membahas hal itu di depan mak dang.

‘Imran membuat kesalahan fatal hari ini. Dia pergi tanpa berpamitan,’ kata tante Ratna.

Nenek dan Imran berhenti makan. Keduanya tidak meneruskan suap mereka.

‘Maksudnya?’ tanya mak dang pendek.

‘Dia pergi ke Pakan Baru tanpa bilang-bilang. Tanpa berpamitan.’

‘Imran sudah minta ijin ke papa mau belajar berdagang di pasar Pakan Baru dan sudah papa ijinkan,’ jawab mak dang datar.

‘Ya. Tapi di rumah ini ada mama. Pantas-pantasnya kan mengasih tahu ke mama. Bukan pergi nyelonong begitu saja. Lagi pula kan nggak mungkin mama larang, apa salahnya menunggu mama sebentar. Mama ke rumah sebelah hanya sebentar.’

‘Ooo, jadi mama nggak di rumah waktu dia pergi. Kamu nggak pamit ke nenek, Ran ?’ tanya mak dang.

‘Ada mak dang,’ jawab Imran.

‘Mak dang – mak dang. Semuanya mak dang,’ kata tante Ratna sambil berdiri dan meninggalkan meja makan.

Semua melongo menyaksikan. Termasuk mak dang dan Lala.

‘Sudah, jangan dipikirkan. Lanjutkan saja makannya,’ kata mak dang.

Tapi nenek dan Imran tidak mampu menyuap nasi lagi.

‘Nggak usah dimasukin hati, bang. Nanti juga mama baik lagi. Diteruskan makannya nek. Ayo, bang..........,’ Lala ikut mengingatkan.

‘Nenek sudah kenyang,’ jawab nenek sambil mencuci tangan.

Imran hanya bisa menunduk.

Suasana terlanjur mencekam. Semua orang diam. Mak dang menyelesaikan makannya buru-buru, lalu segera menyusul tante Ratna ke kamar. Nenek dan Imran juga masuk ke kamar. Nenek menangis. Imran jadi sangat kebingungan.

Lala ikut masuk dan membujuk-bujuk nenek.

‘Nggak usah dimasukin hati, nek. Mama memang suka meledak-ledak, tapi habis tu nanti baikan lagi. Nenek nggak usah sedih, ya?’ kata Lala.

Nenek memeluk Lala.

‘Maafin mama, ya bang?’

Imran mengangguk.

Lamat-lamat dari kamar mak dang terdengar suara pertengkaran.


***

Setelah Lala keluar kamar, Imran berbicara dengan setengah berbisik dengan nenek.

‘Awak yakin nek. Tidak akan sanggup awak menompang disini. Kasihan mak dang, nanti rumah tangga mak dang rusak karena awak.’

‘Lihatlah dulu, Ran. Siapa tahu setelah dijelaskan mak dang mu, berubah suasana. Lagi pula, tante Ratnamu itu kelihatan kurang sehat. Mungkin itu sebabnya dia marah-marah,’ jawab nenek.

‘Takut awak nek. Nanti terjadi apa-apa karena awak. Biarlah awak bersekolah di kampung saja,’ tambah Imran.

Mata Imran berbinar-binar digenangi air mata.

‘Sudahlah, sementara ini tidak usah kau pergi ke Pakan Baru,’ nenek menambahkan.

Imran tidak menjawab.

Imran semakin yakin dia tidak ingin berlama-lama di rumah ini. Biarlah dia segera saja kembali ke kampung. Masalahnya, bagaimana meyakinkan mak dang, bahwa dia sudah berkesimpulan untuk kembali pulang. Kasihan mak dang. Beliau itu sangat baik.


*****

No comments: