Saturday, February 16, 2008

KETIKA

KETIKA

Hujan turun tak henti-henti ketika itu, kang Cecep
Tidak sekedar membasahi bumi sawah dan ladang, lembah dan gunung
Hujan lebat, kang Cecep
Disertai petir halilintar
Hujan yang sama seperti dulu-dulu juga
Hujan air dari langit diturunkan menggemuruh oleh Yang Maha Mengatur

Hujan turun tak henti-henti hari itu, kang Cecep
Air, dimana-mana air melimpah meruah membanjiri bumi
Air berwarna coklat pekat menghantam membawa hanyut
Menerjang apa saja yang melintang malang
Menerjang tidak saja rumah reyot dan jembatan reyot
Meluluhlantakkan semua bangunan yang mencoba menghalang merintang

Air, dimana-mana air melimpah meruah membanjiri lembah
Dan sawah berpuluh, beratus, beribu hektar sawah, kang Cecep
Semua tenggelam ditelan air bah yang sangat dahsyat
Padi yang baru setinggi betis mulai akan berisi umbut
Handam karam tak berdaya, kang Cecep
Tambak udang dan ikan bandeng hilang lenyap tak berbekas

Dan sawah berpuluh, beratus, beribu hektar sawah
Handam karam tenggelam dalam duka nelangsa tak bertara
Tiada daya tiada kekuatan sedikit juapun
Yang dapat menahan murkanya alam Allah Yang Maha Kuasa
Entahlah kalau ini masih cobaan Allah, kang Cecep
Entah barangkali ini justru murka Allah

Jangan salahkan saya ketika saya dulu tidak mau pergi jadi TKW, kang
Jangan salahkan saya ketika saya dulu menolak dijadikan pahlawan devisa
Uang tidaklah seberapa artinya kang Cecep, seperti yang selalu akang ingatkan
Dan saya tetap istiqomah menjaga kehormatan akang di kampung ini, kang Cecep
Di kampung yang kini sedang digenangi dan ditenggelamkan air
Saya memperlindungkan diri saya kepada Allah dari segala fitnah yang mungkin melanda

Namun hukuman ini ternyata untuk kita semua, kang Cecep
Untuk saya dan seisi negeri lumbung beras ini
Sepertinya tiada ada perkecualian, habis digasak air bah
Air yang datang melimpah ruah melebihi yang diperlukan makhluk
Yang tubuhnya sebagian besar terdiri dari air
Yang hidupnya sangat bersandar pada keberadaan air

Air tiba-tiba jadi begitu bengis, kang
Begitu garang dan tak kenal ampun
Dalam pakaian seragam coklat tua dia menerjang
Tiada ada sebarang apa yang dapat membujuk merayunya
Tebing, dinding, empangan tak kuasa berkutik
Tunduk sujud bersimpuh dan terkapar

Tangis anak-anakmu tak bisa dihentikan malam itu kang Cecep
Tangis takut dalam lapar dan takut dan lapar dalam dingin
Dan dingin luar biasa kang Cecep
Dingin akibat guyuran hujan dan tiupan angit berdesau menderu
Mencekam dan menambah kegalauan di kalangan
Hamba-hamba yang ternyata sangat lemah semua

Telah terendam Kerawang sampai ke Rengas Dengklok, kang Cecep
Berpuluh, beratus, beribu hektar sawah dan tambak
Hilang sia-sia tidak ada yang dapat diharapkan lagi
Dimangsa bencana yang gagah luar biasa
Membuat manusia pongah sadar bahwa dirinya tiada apa-apa
Dibandingkan kekuatan yang berasal dari Yang Maha Pencipta

Ini bukanlah waktu yang tepat untuk mencari kambing hitam
Di hulu Cisadane sudah lama tidak cukup lagi kayu di hutan penahan air
Seperti di hulu-hulu sungai yang manapun di pulau ini
Dan saya tidak mengkambinghitamkan sesiapapun, kang
Ini bukan sekedar bencana
Tapi sebuah peringatan telak

Ketika akhirnya hujan berhenti jua kang Cecep
Tapi air tidaklah serta merta surut meninggalkan genangan bah yang merendam
Air coklat keruh masih terhampar sejauh mata memandang
Merendam rumah reyot jembatan reyot bahkan rumah pak lurah dan pak camat
Air dimana-mana, air keruh coklat tua
Menghanyutkan bangkai ternak yang sebentar lagi pasti akan membawa wabah

Ketika semua derita ini nanti insya Allah kan berakhir jua, kang
Akankah para tetangga, para warga, para penduduk faham
Akankah mereka mampu membaca tanda-tanda ciptaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa
Akankah mereka taubatan nasuha
Akankah mereka berubah
Akankah mereka insaf dan sadar

Telah terlalu banyak dosa ditabur selama ini, kang Cecep
Dosa ketika para wanita mendurhaka suami mereka pergi menjadi TKW
Atau bahkan yang lebih parah jadi pelayan nafsu iblis jalang
Ketika ibu bapa mereka melihat uang kertas dengan mata hijau
Ketika mata mereka sendiri hijau dengan bujuk rayu
Di kota dan di negeri asing memetik duit semudah membuka busana

Saya meminta ampun untuk mereka semua, kang
Saya memohon kiranya hati mereka ditunjuki Gusti Allah
Agar kiranya mereka kembali ke jalan Gusti Allah
Agar para warga itu memohon ampun kepada Gusti Allah
Dengan demikian saya berharap musibah berat ini
Tidak lagi datang sesudah ini

Ketika saya menulis ini awan mendung masih mengintai, kang
Pasrah, hanya itu yang dapat kami perbuat
Berserah diri menggumamkan doa dengan sujud simpuh dalam basah kuyup
Tetaplah berjuang disana, kang
Tetaplah tawakkal disana, di rantau orang itu, kang Cecep
Tetaplah amanah dan menjaga dirimu kang, dari murka Allah


*****

Jatibening, Sabtu malam, 16 Februari 2008

No comments: