Thursday, February 21, 2008

KETUPAT LEBARAN (1422)

KETUPAT LEBARAN (1422)

Cepatnya waktu berlalu. Sepertinya baru kemarin kita bermalam takbiran. Sepertinya baru kemarin kita berhalal bi halal di gedung SD di dalam kompleks perumahan ini. Sepertinya baru kemarin kita menunggu-nunggu antara mau mulai puasa hari Jum’at atau hari Sabtu. Tak terasa sudah akhir Ramadhan lagi. Sudah mau Idulfitri lagi. Sudah malam takbiran lagi.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa ilaha illa ‘Llaahu wAllaahu Akbar, Allaahu Akbar waliLlahil hamd. Gemuruh takbir dikumandangkan remaja-remaja mesjid dengan bersemangat. Diiringi suara beduk yang mereka pukul bertalu-talu. Beduk baru, yang kemarin sore mereka minta dibelikan karena beduk lama sudah robek. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Kabiiran, walhamdu liLlaahi katsiiran, wa subhanaLlaahi bukratan wa ashiila, Laa ilaaha illa ‘Llaahu wAllaahu Akbar, Allaahu Akbar waliLlahil hamd.

Seperti tahun kemarin, pada malam takbiran ini kesibukan mengurus ZIS mencapai puncaknya. Setelah bersama-sama segenap pengurus mesjid selesai membagi-bagikan zakat, zakat maal, infaq dan sadaqah kepada para mustahiq. Semua sudah dibagikan. Untuk para masakin di sekeliling kompleks, untuk para yataama yang memang pula miskin, untuk para pemulung yang tahun ini makin banyak, untuk para tukang becak yang biasa mangkal di gerbang kompleks, untuk para guru-guru TPA Mesjid yang gajinya seribu lima ratus rupiah untuk setiap jam mengajar itu. Sebagian kami sisihkan untuk baitul maal masjid yang kegunaannya insya Allah untuk dipinjamkan kepada pedagang-pedagang bakul sayur seandainya mereka mau. Atau kepada tukang mi bakso pikul itu. Atau kepada tukang beca yang membeli beca baru seperti tahun kemarin. Atau kepada musafir, yang memang seringkali saja datang minta pertolongan ongkos kembali ke pondoknya.

Jam setengah sepuluh malam. Semua sudah hampir selesai. Takbir masih berkumandang dengan irama yang semakin syahdu. Allaahu Akbar Kabiiran, walhamdu liLlaahi katsiiran, wa subhanaLlaahi bukratan wa ashiila, Laa ilaaha illa ‘Llaahu Allaahu Akbar – Allaahu Akbar waliLlahil hamd.

Tiba-tiba ketua Remaja Mesjid datang menghampir.

‘Bagaimana dengan beras-beras ini pak Haji?’ tanyanya.

‘Seperti tahun lalu saja. Kita serahkan ke Panti Asuhan. Bukankah kalian akan mengantarkan amplop untuk mereka kesana,’ jawabku singkat.

‘Apakah pak Haji tidak ingin ikut mengantar kali ini? Melihat anak-anak yatim di Panti itu?’ tanyanya pula.

Sebenarnya aku sudah sangat letih. Aku sudah berada di mesjid sejak waktu Zhuhur siang tadi. Tapi tak sampai hatiku mengecewakan anak-anak muda ini anggota Remaja Mesjid ini.

‘Baiklah saya akan ikut,’ jawabku mengiringi sebuah kuap panjang.

‘Pak Haji sudah terlalu capek kelihatannya. Kalau begitu biarlah kami saja yang pergi,’ ujar anak muda ketua Remaja Mesjid itu.

‘Tidak apa-apa. Saya akan ikut. Mari kita berangkat,’ ajakku.

Dengan berkendaraan mobil kami menuju Panti Asuhan “Fii - Sabilillah” yang terletak lebih kurang tiga kilometer dari kompleks kami. Di dalam mobil kami teruskan obrolan sambil aku terakuk-akuk.

‘Ada yang ingin saya tanyakan pak Haji. Makanya saya mengajak pak Haji ikut ke Panti yang pak Haji selalu menyuruh kami untuk menyerahkan zakat-zakat ini,’ kata ketua sambil menyetir.

‘Mengenai apa?’ tanyaku.

‘Bahwa di Panti itu tidak melulu anak yatim yang di pelihara dan disantuni, pak Haji, ada juga yang bukan anak yatim,’ ujarnya.

‘Tentu anak orang miskin barangkali,’ jawabku.

‘Tidak juga pak Haji. Orang tuanya sebenarnya tidak miskin. Itupun kalau boleh disebut ‘orang tuanya’, karena status anak itu sebenarnya tidak punya orang tua,’ ucap Ketua Remaja Mesjid itu.

‘Kalau tidak ada orang tua, berarti memang anak yatim piatu kalau begitu,’ jawabku, kembali sesudah sebuah kuap panjang.

‘Bukan pak Haji. Anak itu anak tidak syah. Anak korban tabrak lari. Dititipkan oleh ayah bilogisnya karena sejak dia bayi sudah ditinggalkan begitu saja oleh ibu yang melahirkannya. Konon anak itu buah sebuah perkosaan, sehingga si ‘ibu’ tidak mau memeliharanya dan diserahkan kepada ‘ayah’ nya dan oleh ayahnya akhirnya dititipkan di Panti,’ cerita anak muda itu lebih rinci.

‘Masya Allah,’ ujarku dan kali ini diiringi kuap.

‘Nah pertanyaannya, apakah anak seperti itu perlu juga disantuni? Apakah anak seperti itu layak diterima di Panti yang namanya “Fii – Sabilillah” itu?’

‘Sebelum saya jawab, kalau menurut kamu bagaimana?’ saya balik bertanya.

‘Kalau menurut kami, anak itu kan anak haram pak Haji. Anak itu tidak pantas di santuni. Anak itu tidak pantas di terima di panti yang namanya ‘Pada Jalan Allah’ itu. Bagaimana menurut pak Haji?’ tanyanya pula.

‘Astaghfirullah. Apakah anak itu berkehendak terlahir sebagai anak haram?’ tanyaku memancing.

‘Ya anak itu sih tidak berdosa. Tapi kan harusnya orang tuanya yang harus bertanggung jawab. Katakanlah ayah biologisnya tadi itu, dialah seharusnya yang bertanggung jawab. Tidak seharusnya dia menitipkan anak itu di Panti. Dan yang lebih utama lagi tidak seharusnya pengurus Panti itu mau menerimanya dan menggabungkannya dengan anak-anak yatim yang lain. Bagaimana menurut pak Haji?’

‘Kita sudah sampai. Mari kita serahkan dulu uang dan beras zakat fitrah ini. Nanti kita sambung cerita ini,’ usulku ketika kami sudah sampai di Panti tersebut.

Kami turun dari mobil. Kami temui Pengurus Panti itu, seorang ibu yang sudah berumur sekitar enam puluhan tapi masih terlihat sehat dan kuat. Wajahnya bersih dibungkus dengan jilbab putih. Wajah yang sangat murah senyum.

‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh,’ aku menyapa begitu melihatnya.

‘Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,’ jawabnya tersenyum.

‘Kami ingin menyerahkan amanah jamaah di mesjid kami. Zakat fitrah dan juga sudah kami tambahkan dengan zakat maal, infaq dan sadaqah jamaah. Sudah kami bagi-bagi, dan untuk Fii – Sabilillah kami serahkan sekarang,’ ujarku kepada ibu itu.

Ketua Remaja Mesjid menyerahkan amplop kepadaku untuk diserahkan. Aku suruh agar dia saja langsung menyerahkannya kepada ibu itu.

‘Alhamdulillah. Saya terima amanah ini. Insya Allah akan saya gunakan untuk kemashlatan anak-anak Panti,’ ujarnya.

‘Berapa orang anak-anak yang dipelihara di sini, bu?’ aku bertanya berbasa-basi.

‘Empat puluh orang, pak. Di papan tulis ini kami tuliskan data-data mereka,’ jawabnya sambil menunjukkan sebuah papan ‘board’ putih bertuliskan data anak-anak penghuni itu.

Mataku menemukan sebuah nama dengan catatan ‘anak korban masalah keluarga’ tertulis disitu. Mungkin ini yang dimaksud ketua Remaja Mesjid.

Aku tidak ingin berlama-lama di Panti itu. Anak-anak penghuni Panti itu sudah pada tidur. Kami segera mohon diri. Ibu pengurus mengantar kami sampai ke pintu. Sesudah mengucapkan salam kami segera berangkat.

‘Bagaimana jawaban pertanyaan saya tadi pak Haji?’ tanya ketua Remaja Mesjid, begitu mobil kami sudah bergerak meninggalkan tempat itu.

‘Saya rasa ibu pengasuh Panti itu seorang yang sangat santun dan ikhlas. Tentu dia tahu apa yang dia lakukan. Kembali kepada anak malang yang kamu sebut tadi, saya menyetujui tindakan ibu pengasuh itu mau menerimanya. Karena kalau tidak, tentu banyak kemungkinan yang bisa terjadi terhadap bayi malang itu. Bisa dia teraniaya, bisa dia terlantar, bisa jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Bukankah dengan dipelihara ibu pengasuh Panti itu jauh lebih baik baginya?’ ujarku pula.

‘Tapi dia anak haram, pak haji,’ kata anak muda itu.

‘Yang haram itu perbuatan laki-laki yang memperkosa. Anak itu tidak berkehendak terlahir sebagai anak haram. Pada saat tidak ada orang yang mau memeliharanya, syukurlah Panti itu mau menerimanya. Ibu tadi mau mengurusnya dengan ikhlas,’ jawabku pula.

‘Apakah anak seperti itu juga fitrah waktu dia dilahirkan pak Haji?’

‘O iya, jelas. Setiap bayi yang baru lahir itu fitrah. Suci. Apakah dia itu anak orang kafir, apakah dia itu anak hasil perbuatan zina. Semua mereka suci, fitrah pada saat dia baru lahir. Dia belum mengenal dosa. Karena memang dia belum mampu berbuat apa-apa. Dia belum melakukan apa-apa yang dihitung sebagai dosa. Bahkan Allah membiarkan status tanpa dosa itu berlangsung sampai setiap insan mencapai usia akil baligh. Barulah sesudah dia baligh, berakal diperhitungkan amalan-amalannya,’ jawabku.

‘Oh jadi begitu ya pak,’ ujarnya pula.

‘Ya, setiap bayi yang baru lahir itu suci. Orang tuanyalah yang akan menjadikan dia itu seorang yang beriman, menjadi seorang Nasrani, menjadi Yahudi, menjadi Majusi,’ aku menambahkan.

‘Dan apakah kita juga kembali fitrah seperti bayi yang baru lahir, sesudah kita selesai melaksanakan ibadah bulan Ramadhan seperti sekarang ini pak?’

‘Mudah-mudahan begitu. Namun tentu tergantung kepada nilai ibadah yang kita lakukan selama Ramadhan yang lalu. Seberapa ikhlas kita, dan seberapa hati-hati kita menjalaninya. Sabda nabi SAW, ’barangsiapa yang beribadah di bulan Ramadhan karena beriman (kepada Allah) dan dengan penuh keberhati-hatian, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang terdahulu’. Nah, kalau dosa-dosa kia semua diampuni, bukankah kita kembali suci atau fitrah seperti seorang bayi?’ jawabku menjelaskan.

‘Benar sekali pak. Baiklah, terima kasih atas penjelasan pak Haji,’ ujar ketua Remaja Mesjid itu.

Kami sudah sampai kembali ke kompleks perumahan kami. Anak muda itu langsung mengantarkanku ke depan rumah. Takbir masih berkumandang syahdu.

Allaahu Akbar – Allaahu Akbar – Allaahu Akbar. Laa ilaha illa ‘Llaahu waLlahu Akbar. Allaahu Akbar walilLaahil hamd.

Sudah lebih jam sepuluh malam. Aku benar-benar sudah tidak sanggup menahan kantuk. Begitu sampai di rumah aku langsung pergi tidur. Istri dan anak-anakku masih sibuk menyiapkan ketupat lebaran.



Jatibening, Awal Syawal 1422H

No comments: