Wednesday, December 31, 2008

ACARA MALAM TAHUN BARU

ACARA MALAM TAHUN BARU

Hamid, seorang teman lama menelponku.

‘Kami akan mengadakan zikir dan shalat lail berjamaah di malam tahun baru. Mau ikut?’ tanyanya.

‘Tidak,’ jawabku mantap.

‘Wuih, mantap betul jawaban tidak kau. Tanpa dipikir sedikitpun. Benar nih, nggak mau ikut?’ tanyanya lagi.

‘Benar,’ jawabku bersungguh-sungguh.

‘Ada apa dengan kau? Ada acara tahun baruan yang lain?’ tanyanya lagi penuh selidik.

‘Tidak ada. Aku seperti biasa akan di rumah saja. Tidur pada waktunya. Tidak ada acara apa-apa,’ aku mencoba menjawab sedikit panjang lebar.

‘Aneh, kau. Diajak pergi beribadah kau tolak. Biasanya kau tidak seperti itu yang aku tahu,’ dia mulai bergerilya.

‘Tidak ada yang aneh. Aku biasa-biasa saja,’ jawabku.

‘Boleh aku datang ke rumahmu? Kita ngobrol-ngobrol?’ tanyanya lagi.

‘Silahkan. Silahkan kapan saja kau mau mampir,’ jawabku sungguh-sungguh.

Hamid datang beberapa hari kemudian. Kami terlibat dalam obrolan basa-basi sebentar sebelum dia mengulangi lagi ajakannya.

‘Aku bersungguh-sungguh mengajakmu menghadiri acara shalat malam berjamaah di malam tahun baru,’ katanya.

‘Aku juga bersungguh-sungguh mengatakan bahwa aku tidak akan ikut,’ jawabku.

‘Kenapa?’ tanyanya penasaran.

‘Karena tidak mau saja,’ jawabku singkat.

‘Bagaimana kalau kita lakukan shalat malam berjamaah di kedua malam tahun baru? Maksudku, di malam tahun baru Hijriyah dan tahun baru Masehi?’ tanyanya pula.

‘Jadi maksudmu, yang tadi itu memang di malam tahun baru Masehi ?’ aku balik bertanya.

‘Ya. Kenapa? Kau mau ikut?’

‘Jelas tidak,’ jawabku.

‘Seandainya hanya di tahun baru Hijriyah? Kau mau?’

‘Jelas tidak,’ jawabku, berusaha tersenyum.

Hamid makin penasaran. Dia memandangku dengan pandangan aneh.

‘Aku tahu. Karena menurut kau amalan seperti itu hanya dibuat-buat. Jadi bid’ah. Rupanya begitu?’ katanya di ujung kepenasarannya.

Aku hanya tersenyum.

‘Jadi memang demikian rupanya. Kau menganggap shalat berjamaah di malam tahun baru itu mengada-ada. Begitu bukan? Mengerjakan shalat kau anggap mengada-ada?’ dia tetap penasaran.

‘Begini. Untuk diriku, aku tidak mau mengerjakannya. Untuk orang lain aku tidak mau mengomentari,’ kataku.

‘Aku tidak bisa memahami bahwa mengerjakan shalat malam kau anggap perbuatan mengada-ada. Apakah kau tidak mengerjakan shalat malam ?’

‘Insya Allah aku juga mengerjakan shalat malam. Tapi aku tidak mau mengerjakan dengan ritual khusus. Pada acara yang dibuat khusus. Pada kesempatan khusus dan dengan aturan khusus. Dan ini, sekali lagi hanya untukku. Aku tidak akan mencela dan melarang orang yang melakukannya,’ aku mencoba menjelaskan.

‘Memangnya salah, ya ?’ tanya lagi.

‘Hei, hei, hei. Aku tidak mau menyalah-nyalahkan siapa-siapa. Tapi aku juga tidak mau mengerjakan sesuatu yang tidak ada keyakinanku di dalamnya. Yang aku tidak yakin ada contohnya dari Nabi SAW.’

‘Ooo, jadi begitu.’

‘Ya, begitu.’

‘Apa saja acara kau biasanya di malam tahun baru?’

‘Seperti acara di malam-malam yang lain. Aku tidur pada waktunya. Bangun pada waktunya. Shalat seperti biasa,’ jawabku.

‘Termasuk shalat malam?’

‘Insya Allah.’

‘Kalau untuk dirimu sendiri, disamping karena tidak ada contoh, seperti kau katakan, apakah malam tahun baru itu tidak perlu ditandai secara khusus?’

‘Tidak perlu. Dan lagi pula untuk apa?’

‘Untuk mengenalinya sebagai tanda waktu. Supaya kita tahu sudah sampai dimana keberadaan kita, misalnya. Apakah itu salah?’

‘Untuk mengenalinya cukuplah ada kalender. Kau mengenali bahwa hari ini tanggal sekian. Dan hari ini hari pertama dalam satu minggu, dalam satu bulan, dalam satu tahun. Silahkan saja kau kenali tanda-tanda itu. Tapi kan tidak perlu adanya perlakuan khusus. Tidak perlu ada acara khusus. Acara yang dikemas khusus.’

Hamid menarik nafas dalam-dalam.

‘Sebenarnya, acara shalat malam di malam tahun baru itu adalah untuk mengajak orang-orang menghindari acara hura-hura,’ katanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

‘Bagus itu,’ kataku.

Kali ini dia menatapku tajam.

‘Tapi kenapa kau tidak mau ikut?’

‘Bukankah sudah ada kau yang mengajak. Kenapa pula aku mesti ikut-ikutan lagi? He..he..he..’

‘Kenapa kau tertawa? Maksudnya jelas untuk syiar.’

‘Nah, itu dia. Apa ada syiar malam tahun baru? Malam tahun baru Masehi?’

‘Syiar agama itu kan boleh dilakukan kapan saja. Apa bukan begitu?’

Hamid penasaran.

‘Kau justru jadi terbalik-balik. Mengajak orang kepada kebaikan untuk syiar agama itu boleh dilakukan kapan saja. Benar demikian. Jadi tidak perlu membuat acara pada hari-hari khusus.’

‘Bagaimana dengan pengajian atau ceramah agama pada hari-hari khusus? Apakah itu juga sesuatu yang dibuat-buat?’

‘Meskipun yang seperti itu juga tidak ada contohnya, tapi masih mungkin bisa dipahami selama dalam pengajian itu dibahas tentang makna dari hari-hari khusus itu. Misalnya pembahasan tentang peristiwa isra’ dan mi’rajnya Rasulullah, makna dari pertukaran tahun di awal tahun hijriyah dan sebagainya.’

‘Apa bedanya kalau begitu dengan melakukan shalat malam di malam tahun baru?’

‘Ya jelas beda. Melakukan shalat malam yang dikhususkan di malam tahun baru itu sama seperti kau merayakan, membesar-besarkan, mengkhususkan malam itu. Yang padahal tidak ada bedanya dengan malam-malam yang lain. Orang yang tidak faham nanti akan menganggap bahwa shalat malam di malam tahun baru itu sebuah aturan dalam agama Islam. Padahal bukan demikian. Shalat malam boleh dilakukan di malam apa saja.’

‘Tapi shalatnya sendiri tidak masalah kan?’

‘Shalatnya sendiri, shalat malamnya sendiri tidak ada masalah. Silahkan lakukan shalat malam kapan saja di waktu malam. Tapi tidak mesti dikhususkan. Begitu pemahamanku. Dan untuk diriku sendiri, tentu saja.’

‘Bagaimana seandainya pada malam tahun baru kau diundang ke pengajian agama tapi pada malam itu juga diadakan shalat malam berjamaah?’

‘Maksudmu? Ceramah agamanya dilakukan tengah malam?’

‘Katakan misalnya, ceramahnya dilakukan sesudah waktu isya, berakhir sampai jam satu malam, lalu diakhiri dengan shalat malam.’

‘He..he..he.. Boleh juga kegigihanmu. Apa ada ceramah agama dilakukan selama itu? Tapi baiklah. Akan aku lihat dulu kondisi kesehatanku. Dalam keadaan seperti itu, seandainya memang ada, mungkin aku akan datang untuk mendengarkan ceramahnya dan setelah itu pulang. Shalatnya akan kulakukan sendiri di rumah.’

‘Jadi maksudnya, kau tidak suka atau tidak mau shalat malam berjamaah?’

‘Bukan juga begitu. Aku biasa hadir pada saat shalat tarawih berjamaah.’

Hamid seperti kehabisan bahan. Lama dia terdiam. Aku tersenyum memandangnya.

‘Jadi kesimpulannya, pada dasarnya kau tidak suka merayakan atau mengenang hari pergantian tahun.’

‘Aku hanya mencatatnya saja. Tidak merayakan dan tidak pula mengenang.’

‘Bagaimana dengan hari kelahiranmu? Hari ulang-tahunmu? Kau tidak mengenangnya juga?’

‘Tidak,’ jawabku.

‘Kau tidak merayakannya? Tidak adakah orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu?’

‘Anak-anak dan istriku kadang-kadang ikut latah mengucapkan selamat ulang tahun. Dan aku selalu mengingatkan kepada mereka bahwa ulang tahun itu bukan untuk diselamat-selamati. Apalagi untuk dirayakan dengan melagukan panjang umur. Untuk setiap hari yang kita jalani, untuk setiap bulan, bahkan setiap tahun, artinya semakin dekat kita kepada akhir jatah hidup kita. Aku tidak berani merayakannya karena aku belum yakin bahwa aku sudah benar-benar selamat. Bahwa aku sudah benar-benar siap menghadapi hari yang terakhir itu.’

‘Kau yakin kau tidak sedang berlebih-lebihan?’

‘Kau menganggapku berlebih-lebihan?’ aku balik bertanya.

Dia memandangku, kembali dengan pandangan agak aneh.

‘Dan kau tidak pernah mengucapkan ucapan selamat ulang tahun kepada istri dan anak-anakmu?’

‘Aku mengingatkan mereka pada hari ulang tahun mereka. Tapi ya itu lagi. Sambil menyadarkan mereka bahwa bertambahnya umur berarti berkurangnya jatah hidup.’

‘Bagaimana dengan teman-temanmu? Maksudku, kau tidak pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepada mereka atau sebaliknya kau mengingatkan mereka tentang jatah hidup mereka yang semakin berkurang?’

‘Tergantung situasinya. Kalau teman itu cukup akrab dan dekat denganku aku cenderung mengingatkannya juga.’

Hamid kembali terdiam. Kali ini dia tersenyum. Tersenyum agak kecut.

‘Baiklah. Aku menghormati pendapatmu,’ kata Hamid pada akhir perbincangan kami.

‘Aku juga menghormati pendapatmu untuk beramal,’ aku menimpali.


*****

No comments: