Saturday, March 20, 2010

DIMADU

DIMADU

‘Tumben manyun...... ‘ Sri menyapa sahabatnya Wati, yang sudah lebih dulu hadir.

Wati hanya tersenyum kecut. Dia tidak menjawab. Tidak biasanya begitu. Wajah Wati memang terlihat seperti sedang bermasalah. Sri yang tahu watak Wati tidak mau menggoda lebih jauh. Jadilah mereka pagi hari itu diam-diaman, meski mereka duduk bersebelahan di kantor itu.

Wati dua kali kena marah pagi itu. Sesuatu yang luar biasa karena atasan mereka sangat jarang marah. Yang pertama ketika Wati menjawab telepon dan memberi tahu bahwa pak Adnan, atasan mereka sedang tidak ada di tempat. Pada hal pak Adnan ada di ruangannya dan sedang menunggu telepon tersebut. Waktu akhirnya pak Adnan yang menelepon, dia diberi tahu bahwa tadi waktu dihubungi, kata sekeretarisnya beliau sedang keluar. Pak Adnan menanyai mereka berdua, siapa tadi yang menerima telepon dan mengatakan bahwa dia sedang tidak ada di kantor. Wati mengaku dia yang menerima dan menyangka kalau pak Adnan sedang tidak ada di ruangannya.

Yang kedua waktu dia disuruh mengambil file undangan tender no 312. Wati mengatakan bahwa file itu tidak ketemu. Pada hal file itu ada di filing cabinet di sebelah mejanya karena memang dia yang bertanggung jawab menyimpannya.

‘Kenapa kamu uring-uringan hari ini? Kamu sakit?’ tanya pak Adnan.

‘Ya, pak. Saya kurang sehat,’ jawab Wati.

‘Pergilah ke dokter!’ perintah pak Adnan pula.

‘Nanti saya akan ke dokter, pak,’ jawabnya pula.

Wati berusaha keras untuk berkonsentrasi sesudah dua kesalahan fatal itu. Sangat konyol yang terjadi tadi itu dan dia seperti tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Sebelum siang, Sri menanyakan apakah dia mau ikut makan siang ke luar.

‘Aku nggak ikut. Aku mau tinggal di kantor saja,’ jawab Wati.

‘Atau....... Mau aku temani? Kita pesan makan siang dan makan disini?’ tanya Sri.

‘Terserah, kalau kau mau......,’ jawab Wati dengan nada lemas.

Akhirnya mereka memesan makanan yang diantar ke kantor siang itu. Sri menahan diri untuk tidak banyak tanya.

‘Aneh.......’ kata Wati mengeluh, ketika mereka mau mulai makan.

‘Aneh apanya?’ tanya Sri.

‘Suamiku. Aku merasa aneh dengan obrolannya,’ jawab Wati.

‘Oh, ya? Memangnya dia bercerita apa?’

‘Cerita tentang poligami....’

‘Maksudmu....... Dia..... ‘ Sri tidak meneruskan kata-katanya.

‘Ya.... Dia bercerita tentang laki-laki boleh beristri lebih dari satu....’

‘Dia mau menikah lagi?’ tanya Sri lebih tegas.

‘Entahlah. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Dia bersemangat sekali bercerita tentang itu.’

‘Memangnya..... Apa yang diceritakannya?’

‘Ya.... Tentang aturan dalam Islam yang membolehkan laki-laki beristri sampai empat orang dan itu tertulis dalam al Quran. Ada ayatnya.... Begitu katanya.’

‘Kau curiga dia akan menikah lagi?’

‘Sejujurnya, iya...... Seandainya kau di posisiku, pasti kau juga akan merasakan hal yang sama. Khawatir suamimu akan menikah lagi......’

‘Bukankah.... Laki-laki tidak boleh sembarangan menikah lebih dari satu orang? Ada undang-undang perkawinan yang mengatur. Harus ada izin dari istri pertama. Apa suamimu tidak tahu tentang itu?’

‘Tentu saja dia tahu. Justru itu. Katanya undang-undang itu menyalahi ketetapan Allah. Tidak ada aturannya di dalam agama Islam, baik dari ayat-ayat al Quran maupun dari hadits Nabi Muhammad yang mengharuskan seorang laki-laki yang ingin menikah lagi meminta izin dulu kepada istri pertamanya.’

‘Maksudnya.....? Mereka boleh sesuka-sukanya menikahi empat orang wanita? Tanpa ada yang mengatur? Begitu?’

‘Ya.... Begitu kata suamiku. Begitu keterangan ustad yang didengarnya. Diulang-ulangnya kata-kata itu. Tidak ada keharusan meminta izin kepada istri pertama. Coba kau bayangkan.... Tahu-tahu suami kita tidak pulang dan ternyata dia menginap di rumah istri barunya..... Ih.... Benar-benar mengerikan kalau terjadi yang seperti itu.’

‘Ya.... Tapi aku rasa, itulah yang dicegah oleh pemerintah. Laki-laki tidak boleh berbuat semena-mena seperti itu.’

‘Menurut suamiku, laki-laki yang berbuat seperti itu bukan berlaku semena-mena. Selama dia bisa berlaku adil di antara istri-istrinya.’

‘Mana mungkin? Itu egois namanya.... Tapi kalau kau mau, coba kita tanyakan kepada Lela. Kau tahukan? Suaminya menikah lagi?’

‘Apa yang mau ditanyakan?’

‘Apa saja. Bagaimana sampai suaminya menikah lagi. Bagaimana perasaannya sesudah dirinya dimadu?’

‘Iya juga ya..... Tapi.... Kenapa mesti menanyakan hal itu?’

‘Lha.... Kan kau khawatir.... kalau-kalau suamimu sedang mempersiapkan pernikahannya yang berikutnya.’

‘Anehnya.... Ketika aku menanyakan hal itu, jawabnya justru dia bilang dia tidak ada niat untuk menikah lagi. Dia bilang satu istri sudah cukup...... memberinya masalah. Dia tidak ingin menambah masalah baru. Begitu katanya.’

‘Nah, kalau begitu apa yang mesti dikhawatirkan?’

‘Cemas saja.... Seandainya-seandainya....’

‘Seandainya.... dia benar-benar..... menikah lagi... Apa yang akan kau perbuat?’

‘Justru itulah yang membuat aku uring-uringan.’

‘Kalau menurut aku sih...., tidak usah hal itu terlalu dipikirkan. Apa lagi kalau sudah ada pernyataannya yang sangat gamblang seperti itu. Hadapi saja hidup ini dengan santai.’

‘Enak saja kau ngomong..... Kalau ternyata kemudian dia benar-benar menikah lagi?’

‘Kan dia sudah bilang tidak berniat?’

‘Ya...... Kita kan tidak tahu isi hatinya yang sesungguhnya.’

‘Kalau begitu, hadapi saja apa adanya...’

‘Maksudmu?’

‘Apa lagi? Hadapi saja kenyataan. Atau kalau kau memang tidak bersedia dimadu.... ya minta cerai?’

‘Kau tahu....? Repot berdiskusi dengan suami yang sudah rajin mengaji seperti suamiku. Katanya lagi, ada hadits, ada ucapan Nabi Muhammad bahwa wanita yang tanpa alasan yang jelas minta diceraikan suaminya, tidak akan masuk surga.’

‘Kan ada alasan.... Alasannya kau tidak sudi dimadu.....’

‘Katanya itu bukan alasan. Wanita boleh minta cerai kalau dia disakiti atau dia diabaikan suami. Tapi tidak bisa minta cerai hanya karena alasan dimadu....., katanya.’

‘Dengan menikah lagi itu, bukankah dia menyakiti hati istri?’

‘Entahlah.... Kata suamiku..... Selama dia bisa berlaku adil di antara istri-istrinya, tidak ada alasan seorang istri merasa disakiti hatinya.’

‘Ya nggak dong.... Dengan menikah lagi itu, pasti dia sudah menyakiti hati istrinya yang pertama.’

Di saat mereka asyik berbantah-bantahan itu Lela yang tadi mereka sebut-sebut melintas dengan setumpuk berkas surat di tangannya.

‘Lel! Mampirlah sebentar..... Ada yang mau kami tanyakan,’ kata Sri.

‘Tentang apa?’ tanya Lela tersenyum.

‘Kamu sudah makan? Mau ikut makan dengan kami?’ tanya Sri pula.

‘Pertanyaanmu itu pasti basa-basi. Kalau aku bilang aku mau ikut makan, kalian sudah tidak punya makanan lagi. Iya kan?’

‘Kalau kamu mau, aku pesan lagi. Mau?’

‘Ah nggak..... Aku bercanda. Aku lagi puasa....... Apa yang ingin ditanyakan?’

‘Ini pertanyaan serius.... Jadi jangan salah sangka...... ‘

‘Ya... pertanyaannya apa? Apanya yang serius?’

‘Suamimu menikah lagi......., benar kan?’

‘Ya.’

‘Kau mengijinkannya?’

‘Kenapa itu yang kau tanyakan? Suamimu kawin lagi juga?’

‘Bukan......... Tapi seandainya suami...... Seandainya suami memberi isyarat mau menikah lagi. Nah, suamimu itu dulu bagaimana ceritanya, sampai dia kawin lagi?’ tanya Sri.

‘Jadi benaran, suamimu sedang berencana mau kawin lagi?’

‘Katakan saja begitu..... Bukankah aturannya, menurut ketetapan atau undang-undang pemerintah, suami harus minta ijin ke istrinya dulu? Apakah hal sama juga kamu alami waktu itu?’

‘Jadi begitu? Baik..... Kalau kamu benar-benar ingin tahu ceritanya, begini pengalamanku itu. Suatu saat suamiku memberi tahu....... maksudnya minta ijin untuk menikah lagi. Jelas aku tidak mau memberi ijin. Lama sekali, ada berbulan-bulan, dia merayu-rayuku untuk minta persetujuanku. Aku tegas-tegas saja bilang, ceraikan saja aku, kalau dia mau menikah lagi. Dia nggak mau menceraikan aku tapi tetap bersikukuh mengatakan keinginannya untuk menikah lagi. Alasannya tidak masuk diakal. Katanya dia bersimpati kepada seorang perempuan yang ingin dinikahinya itu. Wanita itu seorang janda dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil dan dia ingin membantu janda itu. Kataku silahkan saja dibantu, tapi jangan dinikahi. Katanya pula cara seperti itu justru tidak benar. Pokoknya ceritanya begitu-begitulah. Sampai suatu ketika dia memberi tahu bahwa dia sudah menikahi wanita tersebut. Reaksiku spontan, saat itu juga aku pergi dari rumah. Aku lari ke rumah orang tuaku. Aku beritahu orang tuaku bahwa kehidupan rumah tanggaku sudah bubar karena suamiku sudah menikahi wanita lain. Ayahku menasihatiku dan mengatakan bahwa tindakanku itu salah. Beliau mengatakan bahwa aku harus bersabar menghadapi kenyataan dan tidak seharusnya pergi dari rumah.

Ternyata suamiku menyusul ke rumah orang tuaku. Aku tidak mau menemuinya karena aku betul-betul muak melihatnya. Aku mengurung diri di kamar. Eh, dia malah minta ijin untuk ikut tinggal di rumah orang tuaku. Tentu saja akhirnya aku bertemu juga dengannya. Aku tidak mau menyapanya. Tapi, di rumah orang tuaku itu, entah dibuat-buat atau bagaimana, dia berlaku sebaik mungkin kepadaku.

Setelah beberapa hari, aku tetap belum mau pulang ke rumah, dan dia masih ikut tinggal di rumah orang tuaku, aku tanya, bagaimana dengan wanita itu? Maksudku, kenapa sekarang dia selalu hadir di rumah orang tuaku. Jawabnya benar-benar membuatku senewen dan mangkel. Dengan tenang dia katakan, minggu itu adalah giliranku, dan minggu berikutnya dia akan tinggal di rumah istri barunya. Aku mengamuk waktu itu dan mengusirnya ke luar kamar. Dia keluar kamar tapi tetap bertahan di rumah itu. Selama tiga hari berikutnya dia tidur di sofa di ruang tamu karena pintu kamar aku kunci. Dan benar saja, setelah seminggu dia memberi tahu bahwa dia akan ke tempat istri barunya untuk seminggu pula. Aku bentak dengan mengatakan, pergi saja kesana dan tidak usah kembali lagi.

Ayahku, seperti biasa selalu menasihatiku untuk bersabar. Seminggu kemudian dia kembali muncul. Aku tidak mau mengacuhkannya. Sementara dia tetap berusaha berbaik-baik denganku, tapi aku cuek saja. Selama seminggu pula dia ikut tinggal disitu dan tidur di sofa setiap malam.

Begitu yang terjadi sampai lebih kurang dua bulan. Dia datang seminggu dan pergi seminggu. Akhirnya aku menyerah. Mungkin benar, bahwa dia tidak ingin menceraikanku. Ditambah dengan nasihat kedua orang tuaku, akhirnya aku menerimanya kembali dan bersedia pula kembali ke rumah kami. Meskipun hatiku masih sering panas, apalagi ketika dia pergi seminggu dari rumah. Tetapi harus aku akui, bahwa ketika di rumah dia tetap seperti biasa. Memberikan perhatian dan memperlakukanku dengan sangat santun.

Akhirnya begitulah. Aku menerima nasib, mempunyai madu. Dan ternyata..... ya beginilah keadaannya,’ Lela mengakhiri ceritanya.

‘Artinya..... Sekarang kau menerima? Atau terpaksa menerima keadaan?’ tanya Sri

‘Ya..... Mungkin seperti kau bilang....., terpaksa menerima. Karena aku minta cerai dia tidak mau menceraikan aku. Aku lari ke rumah orang tuaku, disana orang tuaku mengijinkan dia ikut tinggal. Seolah-olah memberi angin kepada suamiku untuk tidak menceraikanku.’

‘Sudah berapa lama suamimu menikahi istri keduanya itu?’ tanya Wati.

‘Sudah hampir dua tahun.’

‘Pernah bertemu dengannya?’

‘Pernah.’

‘Berantem?’

‘Nggak.... Aku harus jujur mengakui bahwa dia wanita baik. Dia berlaku sangat sopan kepadaku dan sikapnya itu tidak dibuat-buat.’

‘Jadi? Kau berbaik-baik juga kepadanya?’

‘Awalnya aku bersikap judes kepadanya. Aku plototin, aku sinisin bahkan aku bentak. Tapi dia sangat sabar. Tidak melawan dan tidak mencari gara-gara. Tidak memancing-mancing pertengkaran. Akhirnya aku malu hati sendiri.’

‘Menurutmu apa kira-kira penyebab suamimu mau menikah dengannya?’

‘Anak. Kami tidak punya anak. Dan itu bukan salahku. Dokter mengatakan suamiku itu mandul sementara dia sangat ingin punya anak.’

‘Dan dia menyayangi anak tirinya itu?’

‘Ya..... ‘

‘Bagaimana dengan kau sendiri? Maksudku, apakah kau juga menyayangi anak tiri suamimu itu?’

‘Mereka memang anak-anak manis.... Yang memerlukan kasih sayang. Akupun menyukai mereka secara wajar-wajar saja.’

‘Memangnya apa yang terjadi dengan ayah mereka?’

‘Meninggal karena kecelakaan.’

‘Wah......! Seru juga pengalaman hidupmu....,’ Sri berkomentar.

‘Dan kalian? Apakah suami kalian sedang....... Atau sudah menikah lagi?’

‘Tidak,’ jawab Sri.

‘Mudah-mudahan jangan....’ Wati menambahkan.

‘Ya.... aku setuju denganmu. Mudah-mudahan jangan. Tapi kalau terjadi, ternyata ada kalanya tidak seburuk yang dibayangkan.’

Percakapan mereka terhenti ketika pak Adnan sudah kembali dari makan siang.


*****

No comments: