Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (19)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (19)

19. BADAI MENERPA

‘Aku berusaha untuk selalu menghindar dari Indra. Orang ini kelihatannya benar-benar beritikad tidak baik kepadaku. Apapun alasannya, keinginannya memojokkanku dengan cerita lama itu sangat tidak dapat aku terima. Aku tidak ada urusan dengan semua masalah yang diceritakannya.

Beberapa bulan berlalu tanpa terjadi apa-apa. Resistensiku kepadanya sudah agak berkurang. Aku pikir dia sudah tidak mau lagi menggangguku. Ternyata duagaanku salah. Satu kali dia menelponku dari ruangannya, mengatakan ingin berbicara empat mata denganku. Aku tanyakan, untuk urusan apa. Nantilah dia jelaskan katanya. Aku dag dig dug menunggu waktu berakhirnya jam kantor yang kami sepakati untuk bertemu.

Dia datang ke kantorku dengan tampang yang kembali tidak bersahabat. Aku persilahkan dia duduk dan aku tanyakan apa yang ingin disampaikannya.

***

‘Begini da Marwan. Aku ingin berbicara tembak langsung saja. Sebaiknya da Marwan mengundurkan diri dari perusahaan ini,’ katanya begitu dia duduk.

Aku tidak langsung menjawab. Darahku mendidih mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Aku berusaha bersabar, mengurut dada, sebelum bertanya.

‘Ada apa Indra? Ada apa denganmu yang dari dulu, dari pertama kali kita bertemu di Irian seperti memendam dendam kesumat kepadaku. Ada apa? Apa maksud dan tujuannya?’ tanyaku.

‘Da Marwan boleh mengatakan ini sebuah dendam kesumat. Pada kenyataannya kami memang dendam dengan pengalaman yang menimpa inyiak Datuk. Kami, sepersukuan, dendam karena inyiak Datuk jadi korban. Mati tidak tentu kuburnya, hilang tidak tentu rimbanya. Kami tidak bisa menerima ini...’

‘Apa urusan semua itu denganku? Kenapa kau mau membalas dendam kepadaku?’ kataku memotong pembicaraannya.

‘Kami, menginginkan orang-orang PKI yang lain di kampung itu harus mendapat hukuman yang sama dengan apa yang dialami inyiak Datuk.’

‘Hukuman yang sama bagaimana? Harus mati? Dan kepada orang-orang PKI yang lain? Apa yang kau lakukan kepada mereka? Kau bunuh mereka? Kan tidak ? Dan ayahku bukankah sudah meninggal. Lalu apa lagi maumu ?’

‘Tidak. Orang-orang PKI lain yang tinggal di kampung kita adalah orang-orang pandir yang sudah menderita sendiri dalam kehidupannya. Kami tidak lagi terlalu dendam kepada mereka.’

‘Lah, ayahku sendiri kan sudah meninggal, apa lagi yang didendamkan ?’

‘Tidak sama. Inyiak dan mak Syamsuddin adalah orang-orang penting PKI waktu itu di kampung kita. Hukuman yang diterima inyiak lebih berat.’

‘Ayahku bukan orang pentingnya PKI. Ayahku sebenarnya sudah keluar dari partai itu. Yang karena sebab itu rumah ibuku nyaris habis dibakar orang. Dan meski demikianpun ayahku sudah pula dihukum. Apa lagi?’

‘Hukuman yang diterima mak Syamsuddin tidak seimbang.’

‘Terus, sekali lagi apa hubungannya denganku? Ayahku juga sudah dihukum pemerintah. Dipenjarakan sampai sakit-sakitan. Dan sekarang sudah meninggal. Apa lagi masalahnya?’

‘Hukuman itu tidak setara. Tidak adil. Mak Syamsuddin mati secara terhormat di kampung. Inyiak kami hilang. Dibunuh orang. Kami sudah bersumpah, anak keturunan mak Syamsuddin Sutan Marajo harus ikut mendapat hukuman atas perkara ini.....’

‘Indra! Cobalah berpikir jernih. Pertama apa hubungannya urusan ayahku dengan pengalaman inyiak Datuk Rajo Bamegomego. Inyiak Datuk itu hilang di Medan, siapa yang membunuhnya? Apa urusan hilangnya beliau dengan ayahku? Ayahku, sebagai orang yang terlibat juga, sudah mendapat hukuman pemerintah, sudah dipenjarakan. Yang ketiga kau mengatakan, kami sudah bersumpah. Kami yang mana? Kalian sepersukuan bersumpah mau memusuhi aku bersudara? Dimana logikanya? Apa dosa kami, aku dan saudara-saudaraku kepada kalian? Jadi ada apa sebenarnya?’

‘Memang ini tidak masuk di akal da Marwan. Makanya aku menawarkan jalan kompromi kepada da Marwan. Da Marwan keluar saja dari perusahaan ini. Sebab setiap kali aku melihat da Marwan, dendam di hatiku selalu menggelegak. Aku dendam kepada mak Syamsuddin. Dan aku melihat sosok mak Syamsuddin dalam diri da Marwan..’

‘Kenapa kau dendam kepada ayahku? Apa salah ayahku kepada kalian? Kepada inyiak Datuk? Kan tidak ada? Aku tahu, ayahku dulu ikut-ikutan masuk PKI karena ajakan inyiak Datuk. Tapi aku tidak merasa dendam apa-apa kepada inyiak Datuk. Kenapa mesti dendam? Lalu dengan mendendam itu apa yang kalian harapkan?’

‘Tidak perlu logika dalam hal ini da Marwan. Ini seperti penyakit. Terus terang seperti penyakit kejiwaan kepada kami. Aku mengatakan kami, mungkin tidak semua kami sepersukuan merasakannya. Tapi paling tidak, mak dang Kahar dan aku merasakannya. Mak dang Kahar mengingatkanku tentang dendam ini. Aku harus melakukan sesuatu. Kalau da Marwan tidak keluar dari sini...’

‘Sebenarnya aku capek menghadapimu Indra. Sekarang begini saja. Aku sudah lima tahun bekerja disini. Sudah lebih dulu aku berada di perusahaan ini. Kalau aku tidak mau keluar, apa yang akan kau lakukan?’ aku benar-benar sudah kesal.

‘Aku akan melaporkan da Marwan. Kalau ada kesempatan screening berikutnya, aku akan melaporkan da Marwan. Aku akan mengatakan ayah da Marwan PKI.’

Aku terpana mendengar ucapan orang sakit jiwa ini.

‘Bukankah kau sendiri juga tidak bersih lingkungan? Bukankah inyiakmu juga seorang PKI? Apakah kau tidak takut kau akan kena imbas juga?’ tanyaku.

‘Aku tidak akan kena. Ayahku, ibuku tidak ada yang PKI. Inyiak Datuk tidak ada hubungan apa-apa dalam kekeluargaan yang ditanyakan pemerintah denganku.’

‘Sudah tahu kau. Kau tidak ada hubungan keturunan apa-apa dengan inyiak Datuk. Tapi kenapa kau pelihara dendam kesumat seperti itu?’

‘Lain lagi urusannya. Ini dendam pesukuan. Dendam adat,’ jawabnya.

‘Indra, maaf ya. Kita ini kan orang bersekolah tinggi. Orang berpendidikan. Masakan seperti itu cara berpikirmu. Terus terang, apa untungnya bagimu kalau aku celaka? Kalau aku dikeluarkan dari perusahaan ini?’

‘Keuntungan moril saja. Bahwa aku sudah memenuhi sumpah kami. Tidak membiarkan keturunanan mak Syamsuddin enak-enak saja dalam hidupnya di depan mataku.’

‘Maaf, ya. Aku yakin kau sakit jiwa. Aku rasa ada yang tidak beres dengan cara berpikirmu. Sudahlah. Aku benar-benar tidak ingin kau melakukan hal konyol itu. Tidak ada untungnya itu buat kau. Hanya dosa yang akan kau dapat. Aku mohon baik-baik, kau lupakan sajalah hal itu. Kalau memang kau tidak suka melihat tampangku, sudahlah, kita ‘kan tidak perlu berurusan di kantor ini. Urus pekerjaanmu dan tinggalkan aku dengan pekerjaanku pula.’

‘Sudah kucoba da Marwan. Aku tidak bisa. Setiap kali aku tahu da Marwan ada di kantor ini aku ingin berteriak. Mengatakan kepada semua orang, bahwa da Marwan anak orang PKI.’

‘Kau benar-benar sakit. Aku bukan menghinamu, tapi benar-benar ada yang tidak beres dengan pemikiranmu. Cobalah berobat. Coba berkonsultasi ke ahli jiwa.’

‘Aku tidak memerlukan nasihat da Marwan.’

‘Aku juga tidak memerlukan ancamanmu,’ jawabku pendek.

‘Aku bukan sekedar mengancam. Kalau da Marwan masih disini, tidak mesti menunggu screening berikutnya aku akan laporkan da Marwan ke Pertamina. Ke security Pertamina.’

‘Boleh. Baiklah. Kau lakukan apa yang menurutmu baik untuk kau lakukan. Aku tidak takut. Aku tidak akan mengundurkan diri dari perusahaan ini. Tidak ada alasanku untuk keluar dari sini.’

‘Baik pula. Kalau begitu jangan salahkan aku nanti,’ katanya.

‘Sudahlah. Ada lagi yang ingin kau katakan? Aku sudah mau pulang,’ kataku.

‘Tidak ada. Aku juga mau pulang,’ jawabnya.

***

Aku pulang dengan perasaan bercampur aduk. Marah, benci, prihatin, khawatir. Di rumah Ita menanyakan ada rapat apa sampai aku terlambat pulang. Aku bercerita tentang pembicaraan menyakitkan antara aku dengan Indra di kantor tadi. Dan Ita menanggapi dengan caranya sendiri yang penuh dengan kekhawatiran. Aku menjadi semakin tidak tenang.

***

‘Uda tidak bisa membiarkan saja ancaman seperti itu. Ancaman itu serius dan akibatnya bisa kemana-mana,’ kata Ita.

‘Apa yang harus uda lakukan ?’ tanyaku buntu.

‘Uda harus melapor bahwa uda diancam.’

‘Lapor ke siapa? Ke polisi? Melaporkan bahwa uda diancam seseorang yang akan melaporkan bahwa uda anak orang PKI? Kan sama saja tindakan bunuh diri namanya.’

‘Uda lapor ke atasan uda di kantor kek. Bilang bahwa orang itu mengancam dan menyuruh uda keluar dari perusahaan.’

‘Atasan uda tidak akan mengerti, dia orang asing. Pasti dia akan bertanya ke orang administrasi, ke orang personalia. Sama juga. Sama seperti uda membuka borok sendiri di hadapan orang yang pasti akan mempercepat proses uda dikeluarkan.’

‘Kalau begitu uda ikuti saja saran orang gila itu. Uda mengundurkan diri saja dari perusahaan ini. Cari perusahaan lain.’

Aku terdiam. Apa aku memang harus mengalah? Keluar agar aku tidak lagi bertemu dengan si Indra itu ? Siapa yang bisa menjamin bahwa dia akan tinggal diam karena dia memang memperlihatkan gejala sakit otak?

‘Begini Ita. Masalah ini memang tidak akan sederhana. Uda memang sedang berhadapan dengan seorang yang psichopat. Orang sakit jiwa. Seandainya uda pindah perusahaanpun, tidak ada jaminan dia akan tinggal diam. Uda akan usahakan seperti ini. Uda akan coba usulan Ita. Akan berbicara dengan hati-hati sekali dengan atasan uda si Brian Skinner itu. Akan uda jelaskan persoalannya sehati-hati mungkin. Walaupun tidak ada jaminan, siapa tahu si Brian bisa mempengaruhi boss si Indra untuk memindahkannya kembali ke lapangan. Kalaulah benar seperti yang dikatakannya, bahwa dia jadi sakit hati kalau melihat uda dalam sehari-hari, dengan dia dipindah ke lapangan mudah-mudahan selesai masalah ini. Harapannya? Biar kita serahkan kepada Allah. Kita berdoa, kita memohon kepada Allah. Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik kepada uda dalam masalah ini.’

‘Ya, uda coba saja begitu. Karena ini masalah serius, da. Semua kita akan kena getahnya nanti. Semua, bahkan mungkin papa juga akan kena imbasnya.’

‘Tidak. Itu kekhawatiran yang berlebihan. Insya Allah papa tidak akan kena pengaruh apa-apa dari kasus uda ini. Jangan khawatir.’

‘Belum tentu. Pokoknya harus diusahakan jangan sampai jadi kenyataan ancaman si Indra itu.’

‘Ya, itu tadi yang dapat kita lakukan. Dan berdoa.’

‘Kapan uda akan berbicara dengan si Brian ?’

‘Besok pagi, insya Allah. Kita lihat bagaimana reaksinya.’

‘Kalau gagal?’

‘Sudahlah, Ita. Kita coba dulu yang ini. Kalau gagal kita pikirkan lagi langkah lain.’
‘Apa tidak mungkin dengan minta bantuan siapa-siapa di kampung misalnya untuk mempengaruhi si Indra ? Mungkin melalui mamaknya di kampung ?’

‘Mamak kandungnya di kampung itu adalah grand masternya urusan ini. Tapi baiklah. Uda akan mencoba menelpon mamak Sinaro besok. Siapa tahu beliau bisa berbuat sesuatu.’

Kami mengakhiri diskusi seperti itu. Ita tampak gelisah dan nervous . Aku apa lagi, meski aku berusaha menenangkan diri dengan banyak-banyak berzikir. Aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan urusan yang tidak terduga-duga itu.’


*****

No comments: