19. Pantai Air Manis
‘Berapa jauh lagi ke Padang dari sini?’ tanya Aswin waktu mereka sudah sampai di Kurai Taji.
‘Pusat kota Padang lebih kurang 50 kilometer,’ jawab Pohan.
‘Mudah-mudahan tidak ada macet di jalan dan kita tidak terlalu sore sampai di pantai Air Manis,’ kata Aswin.
‘Mudah-mudahan tidak. Dan kita tidak akan masuk ke dalam kota Padang. Kita langsung ke Indarung melalui jalan lingkar dan langsung ke Air Manis. Mudah-mudahan dalam waktu 40 menit kita sudah sampai di sana,’ Pohan menjelaskan.
’Bagus sekali kalau begitu. Jam empat lebih sedikit kita akan sampai di sana. Masih cukup siang dan kita bisa bermain di laut cukup lama.’
’Kamu sangat menyenangi laut kelihatannya.’
’Ya. Aku menyenangi laut. Menyenangi pegunungan. Menyenangi kesenian tradisional. Menyenangi ikan. He..he..he.. Kamu sendiri? Kamu tidak menyukai semua itukah?’
’Aku menyenangi pengembaraan. Melihat tempat-tempat yang indah pemandangan dan lingkungannya. Dan itu aku dapatkan dengan berlimpah di negeri ini,’ jawab Pohan.
’Apakah semua pelosok negeri Minangkabau ini sudah kamu kunjungi?’
’Hampir semua. Aku sudah pernah mengarungi sungai Ombilin sampai ke Teluk Kuantan dengan perahu.’
’Waaw. Pasti sangat exiting. Sungai Ombilin yang berasal dari danau Singkarak itu? Naik perahu besar?’
‘Ya. Sungai Ombilin itu. Bukan dengan perahu besar. Sungai itu berjeram-jeram di daerah Muara Sijunjung, perahu besar justru berbahaya.’
‘Berapa orang rombongan kamu waktu itu?’
’Hanya berempat orang. Teman-temanku di SMA dulu. Pencinta arung jeram.’
’Ada jugakah orang lain yang melakukannya selain kamu dan teman-temanmu?’
’Ada. Berperahu sampai ke Teluk Kuantan itu termasuk paket pelancongan yang disukai anak-anak muda.’
’Negeri ini benar-benar kaya dengan objek wisata. Dan semua berada dalam area yang tidak terlalu luas serta mudah dicapai. Kita bisa naik kuda di Bukit Tinggi pagi-pagi, main ski air di danau Maninjau siang-siang dan berselancar di pantai Air Manis di Padang sore hari.’
’Masih bisa ke Pulau Pandan dan Angsa Dua di Pariaman sesudah siang, sebelum pergi berselancar. He..he..he..’ Pohan menambahkan.
’Itu kebanyakan. Kalau seperti itu, berselancar bisa batal. He..he..he..’
’Sebenarnya untuk berselancar, pantai Air Manis tidak terlalu istimewa. Ombaknya tidak terlalu besar. Untuk menantang ombak yang lebih besar para pelancong pergi ke Mentawai. Di sana ombaknya jauh lebih menantang karena berada di laut lepas,’ tambah Pohan pula.
’Tidak apa-apa. Kan kita peselancar amatiran saja. Dan ini di Ranah Minang. Kalau mau berselancar, banyak lagi tempat lain seperti di Hawaii. Bahkan di California cukup banyak juga tempat untuk itu meski dengan ancaman ikan hiu,’ jawab Aswin pula.
‘Kamu sudah pernah berselancar di Hawaii ?’
‘Pernah. Waktu berlibur ke sana dua tahun yang lalu.’
Tak terasa mereka sudah sampai di Lubuk Alung. Lalu berbelok ke kanan ke arah Padang sampai di persimpangan ke Bandara. Menjelang persimpangan ke Bandara ini jalan agak tersendat sedikit dekat lampu pengatur lalu lintas. Mereka berbelok ke kiri, melalui jalan pintas ke Teluk Bayur melalui Indarung. Lalu lintas tidak ramai dan kendaraan dapat dipacu dengan santai. Dalam beberapa menit saja mereka sudah sampai di Indarung dan terus ke arah pelabuhan Teluk Bayur. Mereka lalui pelabuhan itu dan terus menuju arah ke kota Padang. Dan akhirnya berbelok ke kiri melalui jalan ke pantai Air Manis.
Udara sangat cerah sore ini dan sinar matahari masih terasa panas. Pantai Air Manis dipenuhi oleh banyak sekali pelancong, tua muda dan bahkan anak-anak. Ada yang berjalan-jalan di pasir pantai yang lebar, ada yang berenang di laut. Agak ke sebelah utara, dimana ombaknya sedikit lebih besar, banyak orang berselancar. Pantai itu sangat landai. Ada sebuah tanjung yang kalau air pasang terpisah dari daratan, berupa sebuah bukit kecil. Penduduk menyebutnya gunung Padang. Agak jauh di belakang tanjung yang jadi pulau terpisah jika sedang air pasang, di tengah laut, ada pula sebuah pulau lain. Entah pulau apa namanya.
Di satu pojok pantai ini terlihat beberapa onggokan batu berwarna hitam. Orang menyebut batu-batu itu bagian dari kapal si Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu. Sebuah plang bertuliskan Batu Si Malin Kundang berdiri dekat tempat itu. Cerita si Malin Kundang menjadi batu sudah sangat populer meski agaknya cerita itu lebih banyak berupa khayalan saja. Kalaupun ada plang menunjukkan lokasi bekas kapal si Malin Kundang, dinas pariwisata Sumatera Barat sengaja menambahkan keterangan ’Menurut Cerita Rakyat’ dengan tulisan yang lebih kecil di papan plang yang sama.
Sesudah memarkir mobil, Aswin dan Pohan mendatangi tempat menyewa papan selancar. Di tempat itu mereka juga bisa menitipkan pakaian mereka yang di tempatkan dalam locker di sebuah ruangan yang dijaga. Dan keduanya segera membawa papan selancar mereka menghadang ombak. Aswin ternyata sangat piawai dengan papan selancar itu. Dia dapat menguasainya, meniti dan mengikuti puncak gelombang yang sedang bergulung. Pohan meski kurang begitu mahir tapi juga mampu bermain dengan papan itu. Banyak juga pelancong yang mahir berselancar. Mereka berpacu-pacu, berkejar-kejaran meniti puncak gelombang. Sebagian akhirnya terjungkal dihempaskan gelombang, lalu muncul kembali, untuk seterusnya membawa papan selancar mereka ke tengah laut. Dan meniti gelombang yang lain pula.
Berselancar itu ternyata sangat mengasyikkan. Bagi yang melakukannya maupun bagi yang menonton. Yang terakhir ini adalah mereka yang hanya mengamati saja para peselancar itu bermain-main dengan ombak. Mereka duduk saja di tepi pantai. Yang berselancar tidak bosan-bosannya, dihanyutkan gelombang ke tepi, dan kembali lagi berenang ke tengah, begitu berulang-ulang. Makin jauh ke tengah mereka mulai, makin jauh pula mereka dapat berselancar, mengikuti gelombang yang turun naik, sebelum akhirnya menghempas ke pantai. Kalau capek mereka beristirahat sebentar lalu kembali lagi masuk ke laut.
Akhirnya Pohan yang lebih dulu menyerah. Mungkin karena kurang pandai sehingga lebih cepat jenuh. Dan Aswinpun ikut menyusul beberapa menit kemudian. Diapun ternyata sudah kecapekan pula. Padahal masih jam setengah enam, masih banyak waktu sebelum matahari terbenam.
’Kamu teruskan sendiri kalau masih mau. Biar aku tunggu di pasir ini saja,’ ujar Pohan.
’Sudahlah, aku juga sudah capek,’ jawab Aswin.
Keduanya lalu mengembalikan papan selancar dan mengambil pakaian mereka. Lalu mandi di kamar mandi yang ada showernya sebelum memakai kembali pakaian mereka.
’Kenapa kamu tidak mau meneruskan?’ tanya Pohan, ketika mereka sudah selesai berganti pakaian.
’Sudah cukup. Aku juga sudah kecapekan. Lebih satu jam juga kita bermain-main di air. Dan itu sudah cukup,’ jawab Aswin.
’Aku kurang bisa menjaga keseimbangan badan, jadi sering jatuh. Makanya lebih cepat capek,’ kata Pohan pula.
’Memang perlu juga latihan. Kalau kamu sering-sering mencoba pasti berhasil menjaga keseimbangan badan. Yang penting harus santai. Harus relax, jangan tegang. Kalau kita santai, tubuh kita lebih mudah dijaga keseimbangannya,’ Aswin menerangkan.
’Ya, terus terang aku baru kedua kalinya mencoba. Beberapa bulan yang lalu aku melakukan yang pertama kali. Mulai dari tidak bisa sama sekali, sampai bisa sedikit-sedikit. Tapi setelah itu, baru kali ini aku coba lagi.’
Mereka kembali keluar dari tempat berganti pakaian.
’Mari kita mampir ke kiosk di sebelah sana itu. Di sana kita bisa makan rujak. Langit cerah sekali, kita tunggu sampai matahari terbenam,’ kata Pohan.
’OK. Ide yang sangat bagus,’ jawab Aswin.
Mereka menuju ke warung rujak. Warung yang mendapat sertifikasi dari dinas kesehatan kota madya untuk kebersihannya. Dan memang terlihat bersih. Pohan memesan dua piring rujak. Mereka mengambil tempat duduk yang banyak disediakan di samping warung rujak itu. Sambil memandang ke laut.
Mereka nikmati rujak yang cukup pedas, sambil berbincang-bincang.
’Kamu pasti pernah mendengar cerita si Malin Kundang,’ kata Pohan.
’Si Malin Kundang anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu? Ya aku pernah mendengar cerita itu. Dimana terjadinya kutukan itu menurut cerita legenda itu?’ tanya Aswin.
’Disini. Di Air Manis ini. Kamu lihat tumpukan batu-batu hitam di sebelah sana?’ kata Pohan.
’Oh ya? Apa itu batu si Malin Kundang?’ tanya Aswin pula.
’Setidak-tidaknya, itu yang diberitahukan oleh plang di sebelah sana itu. Itu, konon adalah bagian kapal si Malin Kundang yang sudah menjadi batu,’ jawab Pohan.
’Boleh juga cerita itu. Dan orang-orang percaya kalau batu itu kapal si Malin Kundang?’
’Entahlah, kalau orang percaya. Yang jelas di papan itu juga dijelaskan bahwa cerita Malin Kundang itu berdasarkan cerita rakyat. Jadi silahkan masing-masing orang memahaminya,’ kata Pohan.
’Menurutmu kejadian Malin Kundang itu benar-benar terjadi atau hanya dongeng saja?’
’Entahlah. Tapi bahwa ada anak yang durhaka kepada orang tua, lalu orang tua sedih dan kecewa, sehingga mungkin saja keluar ucapan sebagai rasa kesal dari mulut orang tua, kan bisa terjadi di mana-mana. Dalam hal cerita Malin Kundang, sisi positifnya adalah peringatan agar kita jangan mendurhakai orang tua. Aku juga tidak percaya, bahwa akibat kutukan orang berikut kapal bisa berubah menjadi batu,’ Pohan menjelaskan panjang lebar.
’Aku setuju dengan pendapatmu. Dongeng itu memiliki nilai pendidikan.’
Matahari masih terlihat utuh dan semakin mendekati ufuk untuk segera terbenam. Pamandangan yang sangat indah pula. Mereka masih mengobrol tentang hal-hal lain sampai matahari terbenam sempurna ke dalam laut. Di senja yang cerah ini. Barulah mereka beranjak pergi. Sekarang menuju hotel tempat mereka akan menginap malam ini. Hotel Pangeran di Purus. Di jalan Ir. H. Juanda.
*****
No comments:
Post a Comment