Thursday, May 7, 2009

DERAI-DERAI CINTA (24)

24. MENGANTAR KADO

Akhirnya Imran membeli sebuah tafsir al Quran sebagai kado. Seingatnya, Lala cukup perhatian tentang masalah agama. Tafsir Mahmud Yunus dengan kulit berwarna merah. Kepada pelayan toko dimintanya agar tafsir itu dibungkus dengan kertas kado. Sebelum dibungkus dimasukkannya secarik kartu dengan tulisan ‘Selamat.... Mudah-mudahan tafsir ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman agama.. Dari bang Imran..’ Tidak ditulisnya selamat ulang tahun. Kan ulang tahunnya sudah lewat. Tapi kalau nanti Lala bertanya akan dijelaskannya bahwa itu adalah kado ulang tahun yang dijanjikannya kemaren.

Sorenya Imran pergi ke rumah di Sekeloa mengantarkan kado yang disimpannya di dalam ransel kuliahnya. Ternyata di rumah hanya ada Yuni, ditemani bibik. Menurut Yuni, tante Ratna dan Lala pergi mengantar oom Taufik ke stasiun.

‘Sudah lama mereka pergi?’ tanya Imran.

‘Tadi, kurang jam setengah empat. Oom Taufik akan naik kereta jam empat,’ jawab Yuni.

Imran melirik jam. Sudah jam empat lebih sepuluh menit. Harusnya mak dang sudah berangkat.

‘Tunggu ajalah, bang. Sebentar lagi pasti mereka pulang.’

‘Ya lah....... Kapan mulai masa orientasi di Unpad?’

‘Minggu depan bang...... Kalau ITB hari Sabtu ini kan..... ? Duduklah sebentar bang, saya buatkan minum. Abang mau minum apa?’

‘Apa sajalah....’

‘Maksud saya, abang mau minum teh? Atau kopi? Atau minum dingin?’

‘Teh saja. Terima kasih.’

Yuni pergi ke dapur membuat minuman. Ternyata sudah dibuatkan si bibik. Dua cangkir teh. Yuni mengangkat minuman itu ke ruangan tamu.

‘Dag dig dug nih... Ngeri membayangkan masa orientasi. Takut dijahilin,’ kata Yuni setelah meletakkan cangkir teh itu di meja.

‘Di Unpad biasanya nggak aneh-aneh.... Di ITB di jurusan-jurusan tertentu biasanya agak berat. Termasuk di geologi.’

‘Kenapa begitu, ya bang?’

‘Mungkin karena kebanyakan mahasiswanya laki-laki. Di geologi sedikit sekali mahasiswa cewek..’

‘Bang Imran ikut jadi panitia?’

‘Nggak. Tapi biar bukan panitia pun boleh saja datang mengikuti acaranya.’

‘Bang Imran ikut-ikutan galak sama mahasiswa baru?’

‘Nggak ikutan. Saya nggak pandai jadi orang galak... he..he..he..’

‘Ya.. kelihatan kok. Bang Imran itu orangnya santun.....’ kata Yuni tersenyum.

‘Kamu berlebihan...’

‘Benar, kok. Saya perhatikan..... Bang Imran itu penyabar...’

Mungkin benar seperti yang dikatakan Syahrul, Yuni senang mengamati dirinya. Baru kenal beberapa hari saja sudah merasa tahu banyak tentang diriku orang ini, kata Imran dalam hati.

‘Kamu terlalu cepat menilai orang...’ kata Imran akhirnya.

‘He..he.. iya juga barangkali ya, bang. Tapi benar, kok. Kesan saya bang Imran memang seperti itu.’

‘Ngomong-ngomong, di Rumbai kamu tinggal berdekatan dengan Lala?’

‘Nggak, bang. Papa saya staf biasa saja di Caltex. Tempat tinggal kami berbeda. Kalau oom Taufik kan bos.’

‘Tapi tinggal di Rumbai juga, kan?’

‘Iya bang. Kami tinggal dekat rumah sakit di Rumbai.’

‘Rumah sakit Caltex......? Papa kamu bekerja di rumah sakit itu?’

‘Bukan. Papa bekerja di bagian Maintenance istilahnya. Kalau oom Taufik kan di bagian Engineering. Tempat tinggal atau rumah kami berdekatan dengan rumah sakit Caltex.’

‘Oo begitu. Dan kalian berteman sejak dari SD?’

‘Ya, bang. Bahkan sejak dari TK.’

‘Awet sekali persahabatannya. Tidak pernah kalian bertengkar?’

‘Waktu masih kecil dulu sering. Tapi biasanya bertengkar, bermusuhan sebentar, habis tu berbaikan lagi. Sejak di SMP sudah tidak pernah lagi.’

‘Hebat..... Hanya kalian berdua saja yang bersahabat dekat atau ada lagi yang lain?’

‘Ada satu lagi. Teman kami itu sekarang diterima di UI.’

‘Ngomong-ngomong.... orang tua Yuni berasal dari mana?’

‘Ibu orang Maninjau. Papa dari Palembang.’

‘Itu namanya orang Minang iya, orang Palembang juga iya... Hebat...’

‘Kayaknya kami lebih dekat ke Minang. Papa pandai berbahasa Minang. Papa dan mama di rumah biasanya berbahasa Minang.’

‘Sering mana, pulang ke Maninjau atau pergi ke Palembang?’

‘Ke Maninjau lebih sering karena lebih dekat. Ke Palembang ada juga. Akas, papanya papa masih ada di Palembang.’

Akas itu maksudnya kakek?’

‘Ya. Orang Palembang menyebut akas.’

Terdengar suara mesin mobil memasuki pekarangan. Tante Ratna dan Lala turun dari mobil. Bang Lutfi kembali buru-buru berangkat. Dia mau menyusul teteh Yani ke tempat praktek mereka.

‘Heh, ada bang Imran.....,’ teriak Lala tersenyum lebar.

‘Sudah lama kamu datang, Ran? Mak dang sudah berangkat ke Jakarta. Besok pagi dia terus ke Rumbai,’ kata tante Ratna.

‘Sudah kira-kira setengah jam, tante. Awak ndak tahu kalau mak dang berangkat sore ini.’

‘Rencananya berubah sedikit. Tadinya memang mau ke Jakarta besok siang. Ternyata ada pekerjaan penting. Jadi harus buru-buru pulang.’

‘Bang Imran kesini mau bikinin gulai tunjang lagi?’ tanya Lala.

‘Masak tiap kesini urusan gulai tunjang terus?’

‘Kan sudah janji?’

‘He..he..he.. Kamu ngarang.... Kapan lagi abang berjanji?’

‘Tadi malam, kan? Katanya kado ulang tahun Lala mau diganti dengan masakin gulai tunjang. Benar, kan?’

‘Itu kamu yang ngomong. Abang ndak ada ngomong begitu... he..he....’

‘Ya... abang... Kalau gitu mana kadonya?’

‘Ada... Nih...’

Imran mengeluarkan bungkusan kado dari tas ranselnya dan menyerahkannya kepada Lala.

‘Asyiiiiikk.... Apaan nih bang? Kayaknya besar banget...’

‘Silahkan dibuka......’

Lala membuka bungkusan itu hati-hati. Tante Ratna dan Yuni juga ikut memperhatikan, ingin tahu apa isi bungkusan itu. Ternyata sebuah tafsir al Quran. Lala tersenyum dengan mata sedikit berkaca-kaca.

‘Terima kasih bang.... Terima kasih... Lala sangat senang dengan kado ini.’

‘Ada kartu ucapan selamatnya nggak?’ tanya Yuni.

Lala membalik lembaran tafsir itu dan menemukan kartu ucapan selamat bertuliskan ; ‘Selamat.... Mudah-mudahan tafsir ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman agama.. Dari bang Imran..’

‘Terima kasih sekali lagi, bang. Di Rumbai Lala sering membaca tafsir Mahmud Yunus kepunyaan papa. Sekarang Lala punya sendiri.’

Imran ingin segera pamit, tapi ditahan tante Ratna dan Lala. Dia disuruh makan malam dulu disitu.


*****

No comments: