Sunday, August 24, 2008

SILAT SELEPAS TARAWIH

SILAT SELEPAS TARAWIH

Kalau ada anak kecil tangka atau mada itu adalah hal biasa. Anak kecil yang kerjanya bergelut ketika orang sembahyang tarawih termasuk juga sesuatu yang biasa. Macam-macam ulah anak-anak kecil berumur kurang lebih sepuluh tahun, yang berada di shaf paling belakang. Berdorong-dorongan, tertawa cekikikan yang ditahan, membaca Amiin panjang-panjang dan keras sekali, sampai berperang-perangan kentut. Membuat heboh dan bergelut itu mereka lakukan pada saat sembahyang baru dimulai. Menjelang imam mengucapkan salam, mereka berubah seperti anak-anak manis. Tetapi ketika sembahyang tarawih dilanjutkan, mereka ulangi pula membuat heboh. Orang-orang tua bolehlah nyinyir menasihati, namun mereka tetap begitu juga.

Induk angkang tangka itu bernama Pudin, berumur tiga belas tahun. Sudah tidak anak-anak lagi dibandingkan dengan teman-temannya, namun perangainya benar-benar luar biasa. Kalau dilarang atau ditegor dia pasti melawan dengan bercarut. Siapapun yang memarahinya, pasti dipercarutinya. Dan orang-orang tua jadi malas menegornya. Sebenarnya lebih tepat dikatakan takut. Takut karena dia anak Gindo Baro, mantan sitokar oto, mantan pareman pasar, orang berbadan kekar yang cepat kaki ringan tangan alias pandeka.

Pada suatu malam, karena hebohnya sudah keterlaluan, Tuanku Mesjid mengusirnya keluar. Dia keluar dari mesjid setelah terlebih dahulu mempercaruti Tuanku Mesjid. Ketika orang melanjutkan sembahyang tarawih, si Pudin mengguguh tabuh sejadi-jadinya.

Siapa yang tidak akan menggeritih melihat tingkah anak kecil seperti itu?

Keesokan harinya, ketika orang baru saja mulai sembahyang tarawih, si Pudin kembali mengulangi perangainya memukul tabuh, berketintam-ketintam.

Malam itu Safril Sutan Mudo sudah habis kesabarannya. Anak kecil itu kalau dibiarkan akan semakin maingkek-ingkek perangainya. Safril Sutan Mudo yang baru akan takbir ketika mendengar bunyi tabuh berdentam-dentam, membatalkan niatnya untuk sembahyang. Dia keluar dari barisan dan bergegas ke belakang mesjid. Si Pudin kecil tidak takut sedikitpun. Semakin berjadi-jadi kulit sapi kering itu dihantamnya. Safril menangkap tangan kecil yang sedang mengguguh tabuh itu. Anak kecil itu bercarut kepadanya. Darah Safril mendidih. Kepala anak kecil itu ditekeknya. Dua kali.

Si Pudin lari sambil merarau-rarau. Sambil bercarut-carut bungkang. Dia pergi mengadu kepada ayahnya. Safril Sutan Mudo masuk kembali ke dalam mesjid meneruskan sembahyang tarawihnya.

Ketika orang baru selesai sembahyang witir, Gindo Baro sudah berdiri di pintu mesjid. Matanya merah membulancit. Dengan suara parau di panggilnya Safril.

‘Pirin! Keluar kau !’ katanya dengan suara menggelegar.

Jamaah mesjid sunyi senyap menahan nafas. Antara ragu dan takut. Tapi tidak demikian dengan Safril Sutan Mudo. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu mesjid.

Begitu sampai di pintu, tangan kekar Gindo Baro mencoba menangkap leher baju Safril Sutan Mudo. Dia berkelit dengan tenang dan terus melangkah ke luar.

‘Kau apakan anakku?’ sentak Gindo Baro, sekali lagi mencoba menangkap Safril.

‘Aku tekek. Aku tekek dua kali,’ jawab Safril sambil tetap berkelit.

‘Heh..heh.. kau pikir kau hebat ya. Pandai kau mengelak. Rasakan ini..’ kata Gindo Baro sambil menerjang ke depan.

Safril Sutan Mudo dengan mudah mengelak. Gindo Baro menerjang angin.

‘Anak tuan itu terlalu mada. Terlalu dimanja. Kerjanya mengacau saja. Makanya aku beri pelajaran agar mengerti sedikit tata tertib,’ Safril berkomentar begitu terhindar dari hantaman Gindo Baro.

‘Kencing, kau. Bedebah. Belum kau rasakan makan tanganku. Pandai-pandai kau memukul anakku,’ kali ini Gindo Baro berusaha menyepoh kaki Safril Sutan Mudo.

Safril melompat enteng. Dia hanya mengelak saja dari tadi. Gindo Baro kembali menyerang dengan hantaman. Lagi-lagi hanya menghantam angin.

‘Oooooh! Rupanya santiang silat kau. Baiklah. Kalau begitu biarlah dengan silat pula aku lawan bangkai busuk kau ini,’ Gindo Baro semakin mendidih.

‘Bukannya tuan sudah bersilat dari tadi? Sudah mengepoh-ngepoh bunyi angin karena sepak terjang tuan,’ Safril sedikit mencemeeh.

Diam-diam jemaah mesjid sudah berkerumun menonton pertandingan itu dari beranda mesjid.

Gindo Baro menarik nafas berkonsentrasi. Dipasangnya kuda-kuda silat, elang mencengkeram. Anak muda ini harus diberinya pelajaran. Harus dengan sebuah pelajaran yang telak sekali karena sudah berlapis-lapis dosanya.

Safril Sutan Mudo memandang penuh waspada. Dia juga memasang kuda-kuda. Matanya tidak berkedip dari kedua kaki Gindo Baro. Gindo Baro menarik langkah ke belakang dengan gerak tipu. Menghayunkan langkah ke depan. Masih dengan gerak tipu. Tangannya menari di udara. Memancing perhatian Safril Sutan Mudo. Lawannya ini tidak mau pula main-main. Sutan Mudo memperkuat posisi kuda-kudanya. Kedua kakinya terbuka lebar. Gindo Baro kali ini menerjang dengan gerak tipu ke arah kanan, tapi tiba-tiba kaki kirinya yang main. Safril Sutan Mudo sudah membaca gerakan itu. Sekali ini ingin dia sedikit memberi pelajaran. Kaki kiri yang menerjang itu disambutnya dan didorongnya kuat-kuat. Gindo Baro terkejut ketika menyadari bahwa gayungnya bersambut. Untunglah kuda-kudanya cukup kuat. Dia mundur tiga langkah dan berdiri kokoh. Sesudah itu dia kembali maju dengan loncatan tupai. Kakinya seolah-olah mempunyai per, dan tubuhnya berayun turun naik. Tangan Gindo Baro berputar di udara seperti tupai memutar buah pisang. Yang ditujunya kepala Sutan Mudo. Sutan Mudo menangkis tangan kanan Gindo Baro dan kakinya menyepoh kuda-kuda pendekar garang itu. Gindo Baro tidak pantas disebut pendekar kalau tidak bisa mengelak dari sepohan Sutan Mudo.

Persilatan itu berlangsung semakin seru. Safril Sutan Mudo lebih banyak mengelak saja dari tadi.

‘Kalau kita hentikan saja sampai disini bagaimana tuan ? Bukankah sudah cukup peluh alir keluar?’ tanya Safril dalam pertempuran yang tetap seru, sambil kembali mengelak dari jotosan tangan kanan Gindo Baro.

‘Anak kencing kau. Sebelum kutampar mukamu untuk membalas sakit anakku, aku belum akan berhenti,’ kali ini Gindo Baro mencoba menampar.

‘Saya takut, kita akan berhabis hari saja. Kalaulah perlu saya minta maaf karena sudah menekek si Pudin, biarlah saya minta maaf,’ jawab Sutan Mudo kembali berkelit. Dari tadi dia lebih banyak terlihat seperti menari-nari saja.

‘Tidak bisa begitu bedebah ! Kau harus kutampar. Baru langsai hutang,’ jawabnya, kali ini sambil bersalto dengan gerakan satu kaki dan dua tangannya menyerang di tiga titik, menuju pelipis, dada dan selangkangan Sutan Mudo.

Yang diserang merunduk dan meliuk. Lagi-lagi hanya angin yang jadi sasaran.

‘Tuan akan berhabis hari. Sudah sebanyak itu tuan menampar dari tadi, sudah berlapoh-lapoh bunyi angin. Hari sudah semakin larut juga, apakah tidak sebaiknya kita berhenti saja ?’

‘Tidak perlu kau banyak cingcong bedebah. Hutang harus berbayar, piutang berterima. Akan kupecahkan kepala bebalmu itu. Biar berkapas hidungmu,’ katanya semakin garang.

‘Tidak baik begitu tuan. Ini bulan suci. Berdosa besar kita,’ jawab Sutan Mudo sambil tetap seperti orang menari-nari.

‘Keluarkan semua silat kau Pirin. Jangan hanya mengelak-elak saja kepandaianmu.’ Gindo Baro berusaha memancing emosi Sutan Mudo.

‘Tidak baik menyakiti orang tuan. Ini bulan puasa. Tidak baik, berdosa kita.’

‘Bangkai mak kau. Anakku kau pukul, pandai pula kau berketubah. Kau rasakan ini,’ kata Gindo Baro kembali menerjang.

‘Anak tuan itu nakal. Kerjanya menggaduh orang sembahyang. Itu sebabnya aku tekek.’

‘Tidak ada hak kau memukul anakku, bedebah. Kau benar-benar harus mati ditanganku!’

‘Mengucaplah tuan. Baca istighfar. Tuan sesat namanya,’ Sutan Mudo meliukkan badannya.

‘Manusia pancirugahan kau. Hanya itu saja kepandaianmu? Hanya menari-nari itu saja kepandaianmu?’

‘Tidakkah tuan penat menerjang-nerjang angin sedari tadi? Lebih baik kita berhenti saja. Banyak lagi yang lebih elok dikerjakan.’

‘Boleh. Tapi kau rasakan dulu ini....’ Gindo Baro kembali menyerang dengan kaki dan tangannya ke arah dada Sutan Mudo.

‘Benar-benar berkandak tuan kelihatannya,’ Sutan Mudo mulai habis kesabarannya.

Pencirugahan kau bedebah. Bersilatlah seperti pendekar. Jangan hanya menari-nari saja. Biar kucoba menahan makan tangan burukmu itu,’ Gindo Baro memancing.

‘Kalau begitu baiklah. Saya mohon maaf sebelumnya, tuan,’ katanya sambil melangkah lincah.

Tubuh Safril Sutan Mudo berputar cepat. Berdesir keras bunyi angin. Tangannya yang menari-nari di udara juga menimbulkan desiran. Gindo Baro gugup melihatnya. Alangkah cepatnya gerakan anak muda itu. Entah dari mana dia akan menyerang. Gindo Baro berusaha mengimbangi gerakan berputar Sutan Mudo itu dengan menyerang pula berayun-ayun. Tapi tiba-tiba......., plak-plak. Dua tamparan mendarat di pipi kiri dan kanannya.

Gindo Baro terhuyung dan melompat mundur. Dari balik bajunya dikeluarkannya sebilah pisau siraut. Dia kembali menerjang dengan menggunakan pisau yang berkilat-kilat itu. Pisau itu seperti taji ayam saja di tangannya.

Orang yang menonton dari beranda mesjid terkesiap melihat kilatan pisau. Tapi tidak berani berbuat apa-apa. Apakah akan terjadi pertumpahan darah? Di pekarangan mesjid? Di bulan suci ini?

Kedua pendekar itu masih bersilat dengan seru. Berdesir-desir bunyi angin. Perkelahian itu sudah berlangsung lima belas menit. Yang sebelumnya terlihat seperti main-main karena Safril Sutan Mudo memang terlihat seperti menari-nari saja. Tapi kali ini lebih menegangkan. Silat Gindo Baro ternyata lebih bagus dengan menggunakan senjata pisau siraut.

Safril Sutan Mudo menyadari itu. Dia berusaha bersilat lebih hati-hati. Namun tetap dengan keinginan tidak untuk melukai lawannya. Sementara sang lawan sangat bernafsu untuk menghabisinya.

Setelah beberapa jurus, Sutan Mudo menangkap bahwa gerakan Gindo Baro dari kiri selalu lemah. Setiap kali dia berusaha menerjang dari arah itu dia selalu terhuyung. Sekarang Sutan Mudo menyerangnya dari arah itu. Benar saja, siku tangan kanan Gindo Baro yang memegang pisau siraut dapat ditangkapnya dan pisau itu berhasil direbutnya. Gindo Baro terkesiap. Dia melompat mundur.

‘Bagaimana tuan? Sudah cukup?’

‘Satu hari akan kubunuh kau. Percayalah!’ ujar Gindo Baro yang mulai merasa jeri.

‘Tidak baik, tuan. Membunuh itu dosa besar,’ jawab Sutan Mudo.

‘Kali ini aku mengaku kalah. Tapi hutang akan berbayar. Kau tunggu masanya,’ kata Gindo Baro, dia bersisurut sebelum melangkah pergi.


*****

No comments: