Tuesday, November 25, 2008

SANG AMANAH (73)

(73)


Hasil rapat antara pengurus OSIS dengan kepala sekolah kemarin menjadi bahan gossip baru yang lebih seru. Sebenarnya bukan gossip, karena yang berbicara adalah anak-anak pengurus OSIS. Berita itu menjalar dengan sistim ketok tular, dari mulut ke mulut. Sebahagian besar murid-murid tidak terlalu perduli dengan urusan itu, alias cuek saja.

Dikalangan guru-gurupun hal itu jadi bahan obrolan yang tidak kalah seru. Tentu saja dengan pro dan kontra. Kalau biasanya ibu Purwati hampir selalu menjadi pimpinan oposisi terhadap pemikiran-pemikiran pak Umar, kali ini dia tidak bisa berlaku demikian karena pencetus masalah yang tengah terjadi melibatkan dirinya. Tepatnya menyangkut anak dari saudara sepupunya. Yang tampil sebagai ‘pimpinan’ oposisi kali ini adalah pak Muslih.

Hari jam tujuh kurang delapan menit. Di ruangan guru sudah hadir 12 orang guru yang akan mengajar pada jam pertama pagi ini, termasuk ibu Purwati. Pak Umar sedang berkeliling melakukan pemeriksaan seperti yang selalu dilakukannya setiap pagi. Pak Muslih sudah memberitahukan rencana rapat guru-guru yang akan diadakan siang ini, untuk membahas usulan pak Umar mencari murid-murid yang dulu dikeluarkan karena terlibat kasus narkoba dan kalau mereka sudah tidak pencandu narkoba, akan diterima kembali bersekolah.

Waktu pak Mursyid datang jam tujuh kurang lima, pak Muslih langsung memberitahunya tentang rencana rapat yang akan diadakan siang nanti.

‘Pak Mursyid, nanti siang kita akan rapat dengan pak kepala sekolah,’ ujar pak Muslih mengawali pembicaraan.

‘Masalah apalagi pak?’ tanya pak Mursyid.

‘Kali ini menyangkut masalah besar. Masalah rencana pak kepala sekolah mau menerima kembali mantan murid yang dikeluarkan karena kasus narkoba,’ pak Muslih menjelaskan.

‘Meskipun mereka masih tetap pengguna narkoba, begitu?’ tanya pak Mursyid.

‘Ya nggak. Syaratnya, kata pak Umar, asal mereka sudah tidak lagi pengguna narkoba. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau anak-anak yang sudah pernah ketagihan itu tidak akan balik lagi jadi pengguna?’ kata pak Muslih.

‘Wah, bagus itu. Saya setuju sekali dengan pemikiran itu,’ jawab pak Mursyid.

Jawaban pak Mursyid kali ini mengagetkan guru-guru yang berada di ruangan itu. Sebab biasanya pak Mursyid hampir selalu termasuk kelompok oposisi. Atau…., apa karena ada kasus ibu Purwati kemarin? Karena biasanya lagi, pak Mursyid adalah pendukung setia ibu Purwati.

‘Sampeyan serius nih, setuju dengan ide itu?’ tanya pak Muslih penasaran.

‘Serius. Kenapa tidak? Kalau anak-anak itu sudah tidak pemadat lagi, saya setuju mereka diterima sekolah kembali. Tapi masalahnya, ada yang tahu nggak kalau anak-anak itu sudah tidak pemadat lagi?’ tanya pak Mursyid.

‘Pak Umar menyuruh OSIS menyelidiki hal itu,’ pak Hardjono ikut berbicara.

‘Wah bagus itu. Benar, saya sangat setuju dengan gagasan itu,’ pak Mursyid bersemangat.

‘Kenapa?’ tanya pak Muslih benar-benar penasaran. Pak Muslih juga cemas karena sepertinya akan berat kalau pak Mursyid tidak masuk kelompok oposisi.

‘Ya, iyalah pak. Mereka itu kan murid-murid kita dulu. Karena ‘kecelakaan’ saja mereka itu terperosok kasus narkoba. Ingat nggak bapak, waktu preman-preman pengedar narkoba menyatroni sekolah ini tiap hari. Saya yakin mereka kenanya waktu itu. Artinya masih di lingkungan sekolah. Dan waktu itu kita tidak sanggup menangkalnya. Seingat saya anak-anak yang kena kasus itu tidak ada yang berbakat bandel. Tapi karena nasib apes saja mereka kena. Nah, kalau saja mereka sekarang sudah baikan, dan ternyata tidak sekolah, saya setuju mereka itu di sekolahkan kembali. Saya sering melihat satu di antara anak-anak itu, Edwin, kalau nggak salah, sekarang bekerja di pompa bensin. Anak itu selalu malu dan menghindar kalau saya mampir mengisi bensin di pompa bensin itu,’ pak Mursyid bercerita panjang.

‘Pak Mursyid nggak khawatir anak-anak seperti itu nanti bisa kambuh lagi? Jadi pemadat lagi? Di sekolah ini. Apa nggak memalukan sekolah kalau sampai terjadi hal seperti itu?’ tanya pak Muslih makin penasaran.

‘Ya, kita usahakan mencegahnya tho!? Sebelum mereka diterima kembali, kita buat dulu perjanjian dengan anak-anak itu di hadapan orang tuanya, bahwa mereka tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Dan di sekolah kita awasi. Paling tidak, razia tas anak-anak diintensipkan lagi,’ jawab pak Mursyid.

‘Wah, itu dia. Pasti anak-anak akan protes. Gara-gara anak mantan narkoba itu diterima kembali mereka jadi tidak nyaman,’ kata pak Muslih.

‘Kita beri pengertian, dong. Meriksanya jangan galak-galak. Tapi serius,’ pak Mursyid mempertahankan pendapatnya.

‘Jadi pak Mursyid benar-benar setuju kalau anak-anak itu dibiarkan sekolah di sini kembali?’ tanya ibu Lastri ikut penasaran.

‘Begini aja deh. Kalau memang akan ada rapat nanti siang, mendingan kita bahas di dalam rapat nanti saja,’ pak Mursyid ingin menghentikan diskusi itu.

‘Ya, sudah. Kalau begitu kita bahas lagi di rapat saja nanti,’ sambut pak Muslih yang kelihatannya ‘mati langkah’.

‘Jam berapa rapatnya, pak?’ tanya pak Mursyid.

‘Kata pak Umar, siang. Tentu sesudah berakhir jam pelajaran nanti,’ jawab pak Muslih.


*****

Dengan menanyakan ke anak-anak kelas tiga, pengurus OSIS segera berhasil mendapat berita tentang keberadaan teman-teman mereka yang dulu di keluarkan dari SMU 369 karena kasus narkoba. Mereka adalah;

Yang pertama, Edwin yang bekerja di pompa bensin. Anak ini tadinya terpengaruh bergaul dengan preman-preman. Pernah dicekoki oleh preman dengan pil ekstasi, sehingga beberapa kali sakau. Akan dijadikan pengedar oleh preman-preman tapi karena tidak berduit dan tidak mau serta keburu dikeluarkan dari sekolah, akhirnya ditinggalkan. Sempat jatuh sakit gejala typhus selama sebulan. Sesudah sembuh dan beberapa lama nongkrong, akhirnya dapat pekerjaan di pompa bensin. Anak ini sudah tidak lagi menggunakan obat, tapi mungkin perokok sekarang.

Yang kedua, Danta, eks kelas dua C. Anak ini adalah yang keluar sendiri karena tertangkap polisi sesudah kedapatan mengantongi bubuk morfin. Sesudah sempat ditahan polisi, akhirnya oleh orang tuanya dibebaskan dengan uang jaminan dan di masukkan ke sebuah pondok pesantren tempat rehabilitasi pengguna obat terlarang. Dia tinggal di pesantren itu sampai lima bulan. Waktu sudah dinyatakan sembuh sesudah tiga bulan di sana oleh orang tuanya disuruh tinggal lebih lama. Saat ini anak ini ikut les bahasa Inggeris dan rencananya akan dikirim ke Australia oleh orang tuanya.

Wahyu, eks kelas dua A. Sudah dua kali keluar masuk panti rehabilitasi. Yang pertama selama dua bulan, dikira orang tuanya sudah sembuh, lalu dibawa pulang. Baru sebulan di rumah, ternyata kambuh lagi, karena bertemu lagi dengan pengedar morfin. Pengedarnya adalah yang tertangkap waktu menyerang pak Umar dan pak Arif tempohari. Yang kedua kali oleh orang tuanya diantarkan ke pesantren tempat Danta, temannya, dirawat. Baru keluar dari sana dua minggu yang lalu. Kondisi mentalnya sekarang masih agak labil. Selalu seperti orang ketakutan. Tapi rajin shalat, mungkin karena latihan di pesantren.

Berikutnya, Parlin. Eks anak kelas dua C juga. Anak ini yang kedapatan mabuk di sekolah meski dalam masa skorsing. Pemakai pil ekstasi. Dia dibawa pindah oleh orang tuanya ke Medan. Tadinya juga dimasukkan ke Panti rehabilitasi oleh orang tuanya dan tinggal di sana selama tiga bulan. Sebelum pindah ke Medan sudah bergaul lagi dengan anak-anak yang suka mengkonsumsi obat, tapi belum sempat terpengaruh kembali.

Terakhir Wanto. Anak kelas dua D. Anak ini yang mengenaskan nasibnya. Orang tuanya bercerai. Wanto terlibat penggunaan bubuk morfin sebagai pelarian dari kekalutan suasana di rumah. Sudah berbulan-bulan di rumah sakit. Saat ini masih dirawat dengan badan kurus kering dan seperti tidak ingat apa-apa lagi.

Itulah keterangan yang berhasil didapatkan dan dihimpun oleh Ketua pengurus OSIS. Informasi pertama itu mereka serahkan langsung ke pak Umar dan mereka masih akan berusaha mengamati lebih dekat kondisi masing-masing anak itu tadi.

Pak Umar mencari data-data mantan murid itu di Tata Usaha. Terutama tiga orang, Edwin, Danta dan Wahyu yang mungkin bisa diselamatkan. Pak Umar ingin mendatangi orang tua mereka atau paling tidak menelponnya untuk mengetahui keabsahan informasi yang dia dapatkan.


*****

No comments: