Thursday, November 13, 2008

SANG AMANAH (58)

(58)


Lonceng pulang sekolah berbunyi. Murid-murid SMU 369 bergerombol-gerombol keluar dari kelas. Anto bergegas keluar. Herman dan Iwan mengingatkannya bahwa nanti sore ada latihan basket. Anto bilang dia akan datang. Anto ingat dia tadi menawari Arif, anak kelas dua A itu pulang bareng. Anto mencari-cari Arif dengan pandangannya. Atau mungkin dia sudah diajak pak Hardjono seperti yang dimintatolongkan pak Umar tadi? Anto mencoba mencari ke kelas dua A. Kelas itu sudah kosong. Anto berjalan ke arah tempat parkir sambil melewati kantor guru. Siapa tahu Arif ada di sana. Ternyata juga tidak ada. Pak Hardjono masih ada di kantor guru itu. Anto terus ke tempat parkir. Ternyata Arif sedang menunggu di sana.

‘Yok Rif, lo mau ikut gue kan?’ ajak Anto begitu dia melihat Arif.

‘Barusan pak Hardjono katanya juga mau mengantar aku. Tapi aku bilang kamu mengajak aku juga. Terus dia bilang terserah aku. Aku bilang biar aku ngasih tahu kamu dulu,’ kata Arif datar.

Anto tersenyum mendengar bahasa Arif yang ber’aku-aku’ dan ber ‘kamu-kamu’ yang terdengar lucu dan polos.

‘Ya sudah, sekarang lo mau ikut gue atau mau ikut pak Hardjono? Kalau mau ikut gue, kita berangkat sekarang. Dan sebaiknya lo bilang dulu ke pak Hardjono,’ kata Anto sambil melangkah ke mobilnya.

‘Ya deh. Aku ikut kamu aja. Tapi aku bilang dulu ke pak Hardjono sebentar ya?’

‘Ya sudah. Buruan sana. Gue tungguin di sini,’ jawab Anto yang sudah duduk dimobilnya.

Arif berlari ke kantor guru untuk memberi tahu pak Hardjono. Sebentar kemudian dia kembali berjalan tergesa-gesa.

‘Aku ikut kamu, tapi kata pak Hardjono dia akan mengikuti kita dari belakang. Aku jadi nggak enak nih merepotkan banyak orang kayak gini,’ kata Arif.

‘Ayo naik kalau gitu,’ kata Anto sambil membukakan pintu mobil sebelah kiri.

Mereka bergerak keluar dari lapangan parkir sekolah. Anto melihat pak Hardjono menuju ke mobilnya dari kaca spion. Mereka keluar ke jalan raya Kali Malang dan menyusuri jalan itu sampai ke pertigaan Pondok Bambu Batas. Sepanjang jalan mereka ngobrol akrab. Anto bertanya bagaimana asal mulanya Arif sampai terlibat berurusan dengan preman narkoba itu. Arif bercerita sejak dari warungnya didatangi gerombolan preman yang hampir menjerat adiknya sampai dia dipergoki dan dipukuli Udin Pelor sehabis menjenguk orang tua Gito kemarin dulu dan akhirnya dia dan pak Umar kemarin bertemu lagi dengan anggota preman itu. Anto mendengarkan cerita Arif dengan kagum. Anto mengamati dari kaca spion pak Hardjono mengikuti mereka. Sampai di pertigaan Pondok Bambu Batas mereka berbelok ke kanan. Arif memberi tahu Anto gang tempat dia tinggal yang tidak bisa dimasuki mobil. Anto menghentikan mobilnya di mulut gang itu. Pak Hardjono juga berhenti di belakangnya. Arif turun dari mobil sesudah mengucapkan terima kasih kepada Anto.

‘Rumah lo masih jauh ke sana?’ tanya Anto.

‘Nggak, paling seratus meter. Sampai di sini mudah-mudahan sudah nggak apa-apa. Terima kasih banyak To,’ kata Arif.

Anto mengangguk dan tersenyum. Dia masih menunggu sampai Arif berjalan cukup jauh ke dalam gang. Pak Hardjono rupanya turun dari mobil dan memperhatikan Arif dari mulut gang itu. Anto membuka kaca mobil, memberi salam ke pak Hardjono sebelum meneruskan perjalanannya pulang.


*****


Sampai di rumah Anto mendapatkan mami sedang berbicara ditelpon. Kedengarannya dengan papi. Anto menghampiri dan mencium mami. Lalu terus naik ke kamarnya di lantai atas. Anto mengganti pakaiannya dan bergegas turun ke bawah. Pasti mami sudah menunggunya untuk makan siang. Biasanya mami menemani Anto duduk di meja makan.

Anto makan ditemani mami yang kali ini ikut makan nasi dengan sayur bening dan tahu direbus. Kasihan juga melihat mami yang masih sangat ketat menjaga diet makan. Mereka ngobrol sambil makan. Mulai dari kisah pak Umar dan Arif yang tadi malam ditahan di kantor polisi. Mengulangi kembali cerita Arif bagaimana dia mulai berurusan dengan bandit-bandit pengedar narkoba itu. Sampai waktu Arif kepergok dengan gembongnya bandit itu yang memukuli Arif. Terus nggak tahunya, pada hari Arif dipukuli itu, si gembong itu diuber polisi dan akhirnya tertembak mati. Dan kemarin Arif diantar pak Umar pulang tapi ketemu lagi dengan kawanan anak buah bandit itu. Dan akhirnya mereka ditahan polisi di kantor polisi Pondok Kelapa. Dan Anto menceritakan juga bahwa barusan dia mengantar Arif pulang sampai ke gang dekat rumahnya di Pondok Bambu Batas.

Mami mendengar dengan penuh perhatian dan rasa kagum.

‘Anto nggak takut, seandainya ketemu gerombolan bandit itu lagi yang mau menyerang Arif?’ tanya mami.

‘Anto kan sekarang rajin berdoa, mi. Anto nggak mikir mau celaka gara-gara menolong Arif. Pokoknya Anto baca ‘bismillah’ aja, ‘ jawab Anto mantap.

Mami tersenyum mendengarnya.

‘Mudah-mudahan kawanan bandit pengedar narkoba itu tidak berusaha lagi mengganggu Arif. Kasihan anak itu,’ kata mami.

‘Benar, mi. Anto tadinya tidak akrab sama Arif. Tapi mendengar pengalamannya itu Anto jadi bersimpati. Anaknya kayaknya sangat polos. Yang pasti dia sangat taat. Di mesjid sekolah selalu dia yang azan kalau mau shalat zuhur. Anak itu sangat baik dan polos. Cuman ngomongnya itu. Lucu. Gayanya ber ‘aku-aku’ dan ber ‘kamu-kamu’. Anto geli mendengarnya.’

‘Memangnya kenapa To?’

‘Ya lucu aja, mi. Kalau Anto sama temen-temen Anto kan ‘lo-lo’ - ‘gue-gue’ gitu. Kalau dia kedengarannya lucu. Tapi Anto manggil dia ‘lo’ aja. Dia tetap aja ber’aku’ dan ber’kamu’.

‘Ya itu kan karena kebiasaan aja. Tapi ngomong-ngomong Anto jadi ngasihin surat papi ke pak Umar nggak?’

‘Oh ya, udah. Pak Umar bilang dia nggak keberatan,’ jawab Anto.

‘Bagus. Papi pasti senang. Tapi alamatnya dimana ya, ‘nTo?’

‘Itu sih gampang, mi. Besok biar Anto tanyain. Tadi memang Anto belum tanyain.’

‘Ya….ya. Mami masih penasaran. Dia mau nggak diajak pergi umrah itu. Atau malahan menolak juga? Bagaimana bagusnya kita menanyakan hal itu nanti waktu kita berkunjung ke rumahnya ya?’

‘Ya kita tanya aja baik-baik mi. Mungkin mami atau papi yang menanyakan. Tapi Anto kok merasa dia nggak bakal mau, mi? Pak Umar itu kelihatannya sangat teguh memegang prinsip. Mungkin dia masih malu menerima hadiah atau pemberian dari kita.’

‘Ya, itulah yang mami pikirkan juga. Kalau ternyata itu juga ditolaknya. Rasanya mami dihantui perasaan berhutang terus kepadanya.’

‘Mungkin seperti kata papi lebih baik. Kita coba menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan keluarganya. Urusan pemberian hadiah ataupun perasaan mami berhutang budi, mudah-mudahan nanti ada jalan keluarnya,’ kata Anto bijaksana sekali.

‘Iya, sih. Dan nanti Anto ikut kan? Ke rumah pak Umar itu?’ tanya mami.

’Ya, iyalah mi. Anto ikut. Pokoknya Anto juga ingin mengenal keluarga pak Umar yang kelihatannya sangat bahagia meski mereka hidupnya sederhana itu.’

‘Sederhana benar nggak juga sih, mami rasa. Dia kan pegawai negeri dan berpenghasilan tetap. Cuma kalau menurut istilah agama mungkin kehidupannya mendapat berkah, begitu.’

‘Benar, mi. Kayaknya hidup mereka penuh berkah gitu deh. Kayak si Arif itu juga. Dia bilang ibunya cuma ngurus warung kecil. Mereka hidup bertiga dari hasil warung itu. Dan Arif bahagia-bahagia aja. Mungkin yang kayak gitu kali yang dapat berkah itu ya, mi?’

‘Barangkali,’ jawab mami pendek.

Ibu dan anak itu masih ngobrol akrab sekali. Anto selalu berusaha mengajak mami ngobrol seperti ini untuk membuat mami bahagia. Dan mami sangat menikmati perhatian Anto yang tulus itu. Anto dari kecil memang jauh lebih akrab dengan mami dibandingkan dengan papi.

‘Tentang pergi umrah tadi, kalau pak Umar nggak mau ikut, berarti kita hanya pergi sekeluarga aja. Anto tetap mau ikut kan?’

‘Mau, mi. Kalaupun pak Umar nggak mau pergi, biasanya kalau nggak salah kan ada pembimbingnya juga, kalau kita ikut pelaksana umrah dan haji. Anto pernah diceritain Iwan waktu papa dan mamanya pergi haji.’

‘Iya, sih. Ya udahlah biar kita lihat bagaimana nanti aja. Mudah-mudahan aja pak Umar mau ikut. Pengennya mami sih masih begitu. Kalau dia nggak bisa, baru kita ikut aja penyelenggaranya. Iyalah. Anto ada acara apa sore ini?’

‘Ntar jam setengah empat Anto mau ke sekolah lagi mi, ada latihan basket.’

‘Ya sudahlah. Mungkin Anto mau istirahat dulu sekarang.’

‘Anto ntar perginya abis shalat asar. Mami mau istirahat?’

‘Ya mami mau istirahat dulu. Kalau nanti mami ketiduran, Anto pergi aja.’

Mereka mengakhiri obrolan santai di meja makan itu. Anto pergi ke kamarnya untuk membaca-baca menjelang azan ashar.


*****

No comments: