Friday, February 22, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.12)

12. Pagar Ruyung

’Sungai Tarab. Mana yang benar, Sungai Tarab atau Sungai Tarok?’ tanya Aswin ketika mobil mereka mulai bergerak menuju Pagar Ruyung.

’Dalam bahasa Minang yang benar adalah Sungai Tarok, tapi ada kecenderungan sementara orang membahasaindonesiakan nama-nama yang dalam bahasa Minang sehingga muncul Sungai Tarab. Namun kadang-kadang jadi kurang pas terdengarnya,’ jawab Pohan.

’Apa arti kata ’tarab’ atau ’tarok’ itu?’

’Itu nama sejenis pohon kayu. Menurut cerita nenek, di jaman penjajahan Jepang, ketika perekonomian masyarakat hancur, ada orang yang terpaksa menggunakan baju yang dibuat dari kulit tarab. Tapi aku sendiri tidak tahu pohon seperti apa pohon tarab,’ jawab Pohan lagi.

’Jadi Sungai Tarok, mungkin di pinggir sungai di kampung ini dulu banyak pohon tarok. Kalau Padang Tarok yang kita lalui tadi apakah berarti lapangan yang banyak pohon taroknya?’ Aswin mencoba menganalisa.

’Mungkin saja. Memang banyak sekali nama-nama tempat baik kota maupun kampung di Ranah Minang yang terdiri dari dua kata yang menunjukkan asal usul nama tersebut.’

’Lalu apa kira-kira arti Paya Kumbuh?’

’Paya artinya rawa, sedang kumbuh sejenis tanaman seperti pandan yang bisa untuk membuat tikar atau karung. Jadi Paya Kumbuh artinya rawa yang di dalamnya tumbuh tanaman ’kumbuh’. Lagi-lagi ini kata nenek,’ jawab Pohan.

’Apa pula arti ’ruyung’ pada Pagar Ruyung?’

’Ruyung adalah bagian keras dari pohon enau. Pohon enau ini sejenis palma. Buah enau dibuat orang jadi campuran minuman, yang disebut kolang kaling. Pohon enau mempunyai bagian yang keras sekali di bagian luar yang disebut ruyung dan bagian yang empuk di sebelah dalam yang disebut sagu. Sagu ini bisa dibuat tepung, untuk makanan manusia. Ingat lompong sagu yang kita makan. Bisa juga jadi makanan kuda. Ruyung sangat kuat dan biasanya dijadikan penutup bahagian bawah rumah adat. Tapi bisa pula dijadikan pagar. Akhirnya, Pagar Ruyung ini dulu mungkin sebuah kota yang dipagari dengan ruyung.’

’Hebat kamu. Paham kamu semuanya.’

’Guruku nenek he..he..he.. Coba nanti kamu tanyakan yang lain-lain kepada nenek!’

’Nah, kalau Batu Sangkar ini? Apa batunya sangkar atau sangkarnya batu..he..he..’

’Harusnya batunya sangkar. Mungkin batu untuk memagari sangkar atau kandang ayam atau itik. Karena kandang jenis burung-burung biasanya disebut sangkar. Dan lagi pula kalau sangkarnya batu tidak bermakna. Buat apa batu disangkarkan. Benar nggak?’ jawab Pohan.

’He..he..he.. Benar juga. Tapi, by the way, kamu bilang di Batu Sangkar adalah tempat pertunjukan silat Minang. Kenapa kita tidak menonton itu saja?’

’Silat Minang dilakukan hanya siang hari di hari Minggu,’ jawab Pohan

’Waah, sayang. Berarti kemarin? I’ve missed it.’

’Kamu tinggal saja sampai hari Minggu depan. Mudah kan?’

’Aku tidak mungkin mengganti jadwal. Tidak apa-apa, setelah melihat ’ranah bako’ sekali ini, aku akan kembali lagi sesudah ini.’

Mereka sudah berada di Batu Sangkar. Di kota budaya Minangkabau. Lalu lintas tidak seberapa ramai. Ada juga bendi di sini tapi tidak sebanyak di Paya Kumbuh. Yang banyak justru sepeda dan sepeda motor. Kota Batu Sangkar juga sangat bersih. Banyak taman dalam kota ini dan semua tertata dengan rapi. Ada sebuah pohon beringin besar di tengah kota dan di bawahnya terdapat bangku-bangku tempat duduk. Banyak orang sedang bersantai-santai di sana. Sebahagian mungkin juga para pelancong.

Pohan membawa mobil itu sekedar berputar dalam kota Batu Sangkar sebelum terus ke Pagar Ruyung. Ditunjukkannya pula bangunan benteng Belanda yang dibangun saat perang Paderi, benteng Van der Capellen. Dulu Batusangkar ini dinamai oleh Belanda dengan Fort van der Capellen, sebagaimana Bukit Tinggi mereka namai Fort de Kock. Nama-nama itu hanya digunakan oleh orang-orang Belanda dan para pegawai pemerintah kolonial mereka saja. Orang Minang tetap menyebutnya Batu Sangkar.

Mereka terus menuju Pagar Ruyung. Jarak Pagar Ruyung dari Batu Sangkar hanya sekitar 4 kilometer saja. Sudah jam setengah lima sore waktu mereka sampai di hadapan Istano Pagar Ruyung, sebuah bangunan rumah adat Minangkabau berukuran sangat besar. Aswin berdecak kagum memandangnya. Melihat rumah adat bergonjong yang tinggi besar, bertingkat dua rupanya, seperti kelihatan dari jendela yang berbaris di masing-masing tingkat, yang berukir-ukir dengan warna merah keunguan dan keemasan berbercak biru, dengan gonjong yang berlapis empat. Dengan jendela besar-besar. Dengan atap ijuk hitam meruncing di setiap tanduk gonjongnya, dengan tangga kayu megah di hadapannya. Yang di halamannya berjejer rangkiang yang juga besar-besar. Semua itu merupakan pemandangan menakjubkan bagi Aswin, terhampar di hadapan matanya. Dia sudah melihatnya di foto, tapi ini adalah aslinya.

Bangunan ini memang bukan seperti istana raja-raja di tempat lain. Bukan bangunan tembok kokoh bertingkat-tingkat dan bergemerlapan. Tapi lebih merupakan simbol kebesaran negeri Minangkabau. Yang pernah punya sejarah yang membanggakan. Aswin juga tahu bahwa rumah gadang Istano Pagaruyung ini bukanlah yang asli karena yang asli sudah terbakar. Melainkan sebuah bangunan yang baru dibuat beberapa puluh tahun yang lalu sebagai pengganti. Mungkin karena bangunan baru pengganti ini terlihat ada beberapa modifikasi dibandingkan dengan rumah adat Minangkabau pada umumnya, seperti lantainya yang dibuat bertingkat. Letaknya masih di tempat yang sama. Di sebuah tanah perumahan yang luas. Agak beberapa puluh meter ke belakang ada bukit batu terjal setinggi seratus lima puluh meter berwarna hitam. Mirip dengan dinding terjal di Harau. Dinding terjal yang bagaikan menjadi benteng dari belakang.
Dan yang agak mengherankan Aswin, sebanyak itu kerumunan orang di halaman tidak seorangpun yang mencoba naik ke atas rumah gadang itu. Orang berkumpul bergerombol di dekat tangga naik seolah-olah sedang menantikan sesuatu. Padahal mereka sudah membeli karcis masuk ketika memasuki pekarangan ’istano’ dan tertulis sebagai tanda masuk ke dalam istano tersebut. Pohan juga tidak menjelaskan apa-apa. Di antara yang sedang berdiri di sana ada beberapa orang berpakaian hitam-hitam dan berdestar. Mereka berdiri di tengah-tengah pengunjung berdua-berdua di tempat yang terpisah. Sepertinya memang ada sesuatu yang ditunggu. Tiba-tiba Aswin dikejutkan oleh suara seseorang yang berdiri di dekatnya berbicara seperti berpidato dalam bahasa Minang. Aswin langsung ingat, tentu ini yang disebut berpesambahan. Dengan sebaik-baiknya didengarkannya rangkaian kata-kata yang disampaikan orang ini, yang berbicara seperti orang berdeklamasi dengan urutan kata yang tersusun indah. Kadang-kadang terdengar seperti syair dan pantun. Beberapa saat kemudian dia selesai berbicara, lalu seseorang yang lain di hadapannya, yang dari tadi sering menyahut ’iyolah-iyolah’ pendek-pendek, berbicara pula dengan irama yang sama. Bergantian sekarang orang pertama tadi yang menjawab, ’bana, iyolah-iyolah’.

Begitulah berjalan beberapa menit. Melibatkan empat lima orang yang berdiri terpisah-pisah tadi, berbicara yang satu sesudah yang lain. Mula-mula dua orang yang pertama saling berbalas cerita. Kemudian salah satu melibatkan orang ketiga, juga berbalas berita. Orang ketiga melibatkan orang ke empat. Begitu seterusnya. Lalu kemudian, sepertinya perundingan itu kembali melalui jalur berangkatnya, dari orang terakhir, disampaikan kepada orang yang sebelumnya sampai kembali kepada pembicara awal.

Aswin sama sekali tidak mengerti yang sedang mereka perundingkan. Tapi irama dan susunan kata-kata yang diucapkan terdengar indah di telinganya. Dia sekali lagi terheran-heran, sesudah berbalas kalimat tadi yang rupanya sudah selesai, mereka yang berpesambahan itu mulai menaiki tangga rumah gadang, naik kerumah. Orang banyakpun mengikuti mereka.

’Itu tadi ’pasambahan manaik-an urang ka rumah,’ Pohan menjelaskan.

’Maksudnya?’ tanya Aswin.

’Si tuan rumah mempersilahkan tamu untuk naik ke rumah. Si tamu bermufakat dengan tamu yang lain sampai akhirnya menerima tawaran tuan rumah untuk naik ke rumah.’

’Indah sekali. Pantasan orang Minang pintar-pintar kalau berbicara. Mereka terlatih berpidato seperti tadi itu,’ komentar Aswin.

Ya. Yang tadi itu untuk konsumsi turis saja. Dalam perhelatan beradat orang Minang setiap bagian kegiatan seperti mau naik ke rumah, mau mulai makan, mau mulai minum kawa, mau minta ijin pulang didiskusikan dalam pasambahan seperti tadi,’ Pohan menambahkan.

Mereka ikut naik ke ’istano’. Banyak juga tamu-tamu pelancong sore hari ini. Rupanya setiap jam lima kurang di sore hari diadakan ’pasambahan’ seperti tadi itu untuk konsumsi para pelancong. Aswin mengetahui setelah membaca brosur yang diambilnya di pintu masuk rumah gadang ini.

Bagian dasar istano merupakan ruangan luas. Sebagian besar lantainya beralaskan permadani. Pengunjung boleh duduk di permadani itu. Serombongan pelancong duduk bersila dan bersimpuh mendengarkan uraian pemandu wisata yang bercerita tentang ’istano Pagar Ruyung’. Ada kamar-kamar tidur di bagian belakang sejajar dengan arah memanjang rumah. Pintu kamar dihiasi dengan rumbai-rumbai dari kain berwarna-warni berkaca-kaca dan kain emas. Rumbai-rumbai yang disusun berlapis-lapis, berayun-ayun tertiup angin yang bebas masuk melaui jendela yang besar-besar. Terlihat meriah.

Di anjuang sebelah kanan rumah gadang terdapat ’mahligai’ atau pelaminan yang di kiri dan kanannya dihiasi pula dengan kain berumbai-rumbai yang lebih hidup dan meriah warnanya. Tentu saja ini sudah merupakan modifikasi dan disiapkan hanya untuk dinikmati para turis. Anjuang dalam cerita Minangkabau adalah tempat terlarang, tempat memingit anak gadis atau puteri-puteri.

Ada pula lemari-lemari besar berkaca tempat memajang benda-benda kuno bersejarah, di bagian sudut dekat anjuang. Benda-benda yang dipajang itu dilengkapi dengan keterangan nama dan kegunaannya, serta keterangan dari mana berasalnya. Dekat etalase ini terdapat tempat menyewa pakaian anak daro marapulai Minang bagi pengunjung yang ingin mengabadikan kedatangan mereka dalam pakaian seperti itu. Banyak pelancong yang menyewa pakaian dan berfoto di dalam istano dengan berbagai latar belakang.

Setelah melihat-lihat ruangan di lantai bawah mereka naik ke tingkat atas melalui tangga kayu. Di ruangan atas ini terdapat kamar tidur yang lebih besar dan lebih banyak hiasan dengan rumbai-rumbai kain berwarna emas. Kamar ini tentulah dimaksudkan sebagai kamar tidur raja.

Mereka tidak terlalu lama berada dalam ‘istano’. Aswin lebih menikmati memandangnya dari luar. Dan melihat-lihat detil dari ukiran-ukiran dinding rumah ini. Matanya juga menangkap ’ruyung’ sebagai pembatas atau dinding bagian bawah rumah gadang seperti yang diceritakan Pohan tadi. Setelah melihat-lihat disekitar halaman istano Pagar Ruyung, jam enam mereka meninggalkan lokasi itu.


******

No comments: