Friday, November 7, 2008

SANG AMANAH (51)

(51)

Anak-anak itu kembali terdiam. Jawaban seperti itu khas cara ibu mereka. Ibu hampir tidak pernah mau memberikan pendapatnya sendiri pada saat keputusan penting harus diambil ayah. Karena ibu selalu yakin bahwa ayah dapat mengambil keputusan yang terbaik. Dan ibu tidak pernah berkomentar apapun seandainya sebuah keputusan itu kemudian ternyata tidak tepat. Ibu terlalu taat kepada ayah.

‘Tapi…., bisa tidak diibaratkan sebagai sebuah undangan ayah? Ibaratnya mereka mengundang kita untuk bepergian, lalu kita terima undangan itu,’ tanya Faisal memecah kesunyian.

‘Apa bedanya dengan pemberian mobil tadi? Bukankah menerima pemberian itu sebenarnya boleh-boleh saja, iya kan ayah? Tapi ayah malahan menolaknya agar tidak timbul fitnah. Bukankah dengan menerima undangan pergi umrah juga bisa timbul fitnah?’ kata Amir.

‘Betul Mir. Betul sekali yang kamu katakan. Bahwa jawabannya tidak mudah. Maka biarlah kita mohon petunjuk Allah. Kalau menurut Allah hal ini baik untuk kita terima, mudah-mudahan Allah memantapkan hati kita menerimanya. Kalau sekiranya hal ini tidak baik, akan menimbulkan fitnah, mudah-mudahan Allah akan menunjukkan pula kepada kita jalan untuk menolaknya,’ kata ayah pula.

Semua setuju dengan pendapat ayah. Semua setuju agar ayah melakukan shalat istikharah, meminta petunjuk Allah sebelum mengambil keputusan, menjawab iya atau tidak kepada ibu Ningsih.


*****

12. Narkoba

Ada sebuah warung kecil terletak di antara perumahan penduduk di gang Lontaran di Pondok Bambu Batas. Warung kecil ini merupakan tempat menjual sembako dan keperluan-keperluan kecil sehari-hari dalam partai kecil pula. Pemiliknya adalah ibu Nur, seorang janda yang hidup dengan dua orang anak laki-lakinya, Arif dan Budi. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas waktu sedang berbelanja keperluan warung. Sejak itu ibu Nur harus bekerja keras mengurus warung itu karena memang itulah sumber nafkah mereka bertiga. Kedua anaknya biasanya ikut membantu kalau mereka sudah kembali dari sekolah. Arif anak yang sulung duduk di kelas dua di SMU 369, sedangkan Budi adiknya masih kelas dua di SMP 160 di kawasan Pondok Bambu.

Sore itu Arif sedang bertugas menunggu warung. Mak sedang ke pasar Jatinegara ditemani Budi membeli tambahan bahan dagangan. Biasanya Arif menyempatkan membaca pelajaran yang diajarkan siang tadi di sekolah saat menunggu warung begini. Dia baru saja selesai makan dan shalat asar. Tugas menjaga warung biasanya berakhir saat nanti warung ditutup menjelang magrib. Arif memang lebih banyak membantu mak menunggu warung dibandingkan adiknya, Budi yang lebih senang pergi bermain. Warung itu adalah bagian depan dari rumah kecil tempat mereka tinggal bertiga.

Hari sudah menjelang maghrib. Arif sudah bersiap-siap mau menutup warung waktu dua orang anak muda datang mau membeli rokok. Mereka bukan penduduk sekitar situ dan Arif tidak mengenal mereka. Arif menyerahkan sebungkus rokok Dji Sam Soe yang mereka minta. Yang satu orang menyerahkan uang lembaran dua puluh ribu untuk membayarnya. Arif menerima uang itu dan menyerahkan uang kembalian. Lalu salah satu dari mereka menanyai Arif.

‘Lo yang sekolah di SMU 369 ya?’

‘Iya bang,’ jawab Arif pendek.

‘Lo mau nggak bantuin kite ngejualin barang di sana?’ tanyanya lagi.

Arif bisa menebak apa yang dimaksud, tapi berpura-pura bertanya.

‘Barang apaan bang?’

‘Sembako juga. Tapi yang ini untungnya lebih gede. Teman sekolahan lo pan orkay semua tuh. Mau nggak?’

‘Saya nggak ngerti maksud abang. Kalau jualan sembako mah di sini aja bang. Di sekolahan mana ada yang mau beli?’

‘Bego lo…. dasar kampungan. Jualin barang ginian nih. Satu paket lo jual, lo dapat untung dua rebu? Mau nggak?’

‘Kalau yang itu saya nggak berani. Nggak bang, saya nggak berani.’

Untung waktu itu seorang bapak tua datang mau berbelanja juga.

‘Tumben belon tutupan, Rif. Nggak ke mesjid, lo?’

‘Iya ngkong, sebentar juga tutup. Saya nggak ke mesjid kayaknya ngkong, mak belum balik nih.’

‘Tulung Rif! Gulanya sekilo,’ kata bapak tua itu.

‘Iya deh ngkong. Bakal apa nih gula malem-malem begini ngkong?’ tanya Arif.

‘Orang kata bakal besok pagi. Lha si Mileh disuruh entar-entar mulu sedari tadi.’

Dan engkong itu segera berlalu. Kedua anak muda itu masih berdiri di sana dengan gaya cukup mencurigakan. Darah Arif berdebar. Tapi dalam hati dia ingat zikir. Dia ingat membaca ayatulkursiy. Dia membacanya dengan khusyuk sambil mulai menutup bagian depan warung. Dia berserah diri kepada Allah. Pintu itu sudah hampir semua tertutup. Diberanikannya dirinya untuk bertanya kepada kedua anak muda itu.

‘Masih ada yang mau dibeli bang? Saya sudah mau tutupan nih!’

‘Nggak!….. Adek lo mana?’

‘Nggak ada, dia lagi pergi. Ada apa emang?’

‘Nggak. Bukan urusan lo.’

Arif berdebar-debar. Ada apa dengan Budi? Apakah Budi sudah dijahili oleh brandal ini? Dilibatkan urusan perdagangan barang haram mereka? Ya Allah…, gumamnya dalam hati. Untunglah kedua pemuda mencurigakan segera berlalu. Arif menutup pintu warung dan menguncinya. Azan maghrib terdengar berkumandang. Arif masuk ke rumah, pergi mengambil air sembahyang dan bergegas mau ke mesjid. Rumah akan dikuncinya saja. Tadinya dia berfikir akan shalat di rumah saja, tapi setelah kedatangan kedua orang yang mencurigakan tadi jantungnya berdebar-debar. Dia ingin mencari ketenangan di mesjid. Memohon kepada Allah agar dia, adiknya, mak, semua dilindungi Allah Yang Maha Kuasa.

Baru beberapa langkah dari rumah dilihatnya mak dan Budi datang dari arah jalan raya membawa belanjaan. Budi sedang tertawa-tawa, entah apa yang dibicarakannya dengan mak. Mak tersenyum. Arif menghampiri mereka, membatu mak membawakan belanjaan dan kembali lagi ke rumah dengan barang-barang itu. Sebersit ketenangan hadir di dada Arif melihat keceriaan Budi. Dia berharap adiknya itu belum kena pengaruh jahat. Biarlah, nanti dia akan menanyai Budi sebaik-baiknya. Arif minta izin mak untuk pergi ke mesjid. Dia berlari, karena terdengar muazin membaca iqamat tanda shalat maghrib segera akan di mulai.

Sesudah shalat berjamaah dia berzikir dengan khusyuk. Dan berdoa. Memohon pertolongan dan perlindungan Allah bagi mereka bertiga. Bagi mak, dirinya dan adiknya Budi. Arif larut di dalam doa yang panjang. Tentu saja dia tidak lupa berdoa untuk ayahnya almarhum. Arif memang seorang anak yang alim dan taat menjalankan perintah agama. Di mesjid ini biasanya dia jadi muazin dan kadang-kadang jadi imam shalat kalau imam mesjid berhalangan. Orang tua-tua tidak keberatan diimami oleh Arif karena bacaannya bagus dan tartil. Dia juga disenangi teman-teman anggota Remaja Mesjid. Arif memang sangat baik dan pandai bergaul, baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

Arif mengakhiri zikir dan mengerjakan shalat sunah ba’diyah. Setelah itu baru dia pulang ke rumah. Pikirannya kembali melayang kepada dua orang anak muda yang berbelanja di warungnya tadi. Mereka bukan anak baik-baik kelihatannya. Barang yang tadi ditawarkannya untuk dijual, tidak salah lagi adalah obat-obat terlarang atau yang dikenal sebagai narkoba. Nekad sekali mereka menawarkan kepada Arif untuk menjualkan barang seperti itu di sekolahnya. Arif mengerti betul kejahatan sindikat narkoba ini. Dia sering mendengar ada anak-anak muda yang jadi kaki tangan pengedar narkoba tapi belum pernah dia mengenal orang seperti itu. Baru sore ini dia bertemu kedua pemuda tak dikenal itu. Tapi apa hubungannya dengan Budi, adiknya? Kenapa tadi mereka menanyakan Budi? Inilah yang harus ditanyakannya sekarang.

Di rumah didapatinya mak masih memakai mukena, rupanya baru saja selesai shalat maghrib. Budi sedang menonton televisi. Arif menghampiri adiknya itu dan duduk di sampingnya.

‘Di, kamu pernah didatangi dua orang anak muda yang menawarkan untuk menjualkan sesuatu?’ tanya Arif hati-hati.

Budi memandang wajah Arif dengan kaget. Dia tidak bersuara. Diperhatikannya wajah abangnya itu dengan seksama.

‘Tadi ada dua orang anak muda datang ke warung, membeli rokok. Dia menawarkan untuk menjualkan sesuatu sama abang. Abang menolaknya. Tapi setelah itu dia menanyakan kamu. Kamu mengenalnya?’ tanya Arif lagi.

Budi tetap tidak bergeming. Dia kelihatan takut-takut.

‘Di, kalau kamu ada kesulitan, atau kalau ada yang mengancam atau menyuruh kamu berbuat yang tidak benar kamu jangan diam saja. Sekarang coba kamu bilang! Apa urusan kedua orang itu dengan kamu?’ tanya Arif mendesak.

‘Mereka ….. mereka….bukan cuma dua orang bang. Mereka ada lima orang. Waktu itu aku sendirian di warung. Mereka memberikan sebuah amplop coklat dan menyuruhku untuk menjualkan isinya. Di dalamnya ada amplop kecil-kecil empat puluh buah berisi bubuk putih. Mereka menyuruh menjualnya kepadaku. Aku ketakutan bang. Aku tidak berani menolak. Amplop itu aku terima saja dan aku simpan sampai sekarang,’ jawab Budi.

‘Kamu mengenal mereka? Kamu tau nggak dari mana mereka datang?’ tanya Arif lagi.

‘Tidak bang. Aku belum pernah melihat mereka. Mereka datang begitu saja. Mula-mula mau beli rokok. Tapi habis itu mereka memberikan amplop itu dan mengancam supaya aku tidak bilang siapa-siapa. Katanya nanti mereka mau datang lagi menagih uangnya kalau barang itu sudah laku. Maksudku kalau mereka datang lagi akan aku kembalikan saja. Aku akan bilang tidak ada yang mau beli,’ jawab Budi.

‘Kapan mereka datang memberikan barang itu kepadamu?’ tanya Arif lagi.

‘Tiga hari yang lalu bang. Waktu itu mak pergi ngelayat ke rumah ibu Mufti. Aku sendirian di warung,’ kata Budi pula.

‘Sejak barang itu kamu terima terus diapain?’

‘Aku simpan aja. Aku nggak berani membawa-bawanya. Apa lagi menjualnya. Aku pikir biarin aja sampai mereka datang lagi. Terus, aku akan bilang nggak ada yang mau beli dan aku akan kembaliin ke mereka. Aku akan bilang kalau aku tidak pandai menjualnya,’ kata Budi.

‘Sejak hari mereka ngasihin itu mereka belum pernah ketemu kamu lagi?’

‘Ya belum. Mungkin kemarin itu maksudnya mau ketemu aku, mau nanyain.’

‘Kamu masih ingat kan tampang orangnya?’

‘Masih. Yang ngasihin itu yang kurusan dan gondrong. Ada anting di kupingnya. Temannya agak gemuk dan jerawatan. Tangannya bertato. Terus ada lagi yang lebih tuaan, yang beli rokok waktu itu. Rambutnya pendek. Matanya merah. Tampangnya menakutkan. Yang dua lagi aku nggak begitu ingat. Yang dua lagi ini waktu itu menunggu agak jauh dari warung,’ kata Budi menjelaskan.

‘Yang tadi datang ke sini adalah yang gondrong dan yang gemuk jerawatan itu,’ kata Arif.

Mak dari tadi mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Mak belum berkomentar apa-apa. Mungkin mak sedang berfikir bagaimana mengatasi urusan seperti ini. Mak ikut duduk bersama mereka berdua. Tanpa berkata sepatah juapun. Arif memandang mak dengan sayu. Urusan ini memang bukan urusan kecil. Masalahnya adalah, barang itu sekarang ada di sini, sementara orang itu tidak jelas siapa mereka. Mungkin mereka sudah lama mengintai situasi warung kecil itu dan menjadikan Arif dan Budi target untuk dijebak dan dijadikan kaki tangan mereka. Kalau diadukan ke polisi sekarang, bisa-bisa mereka yang akan jadi korban. Siapa yang akan diadukan? Orangnya saja tidak dikenal? Bukan tidak mungkin justru mereka yang akan dicurigai polisi. Diadukan ke ketua RT atau ketua RW? Mungkin lebih baik.

‘Mak, apakah mak pernah juga melihat mereka?’ tanya Arif kepada mak.

‘Mak nggak yakin. Tapi sejak beberapa hari ini memang ada dua orang kadang-kadang tiga orang anak muda berdiri di ujung gang dan melihat-lihat ke arah warung kita. Mak nggak tahu apakah itu orangnya,’ jawab mak.

‘Mungkin begini saja mak. Kita tidak usah dulu lapor ke siapa-siapa. Kalau Budi bertemu dengan mereka, atau kalau mereka datang lagi, serahkan saja kembali barang itu ke mereka. Kamu serahkan di sini, jadi jangan kamu bawa-bawa. Ntar malah jadi masalah lebih besar. Kalau kamu ketemu mereka di jalan bilang aja barangnya ada di rumah, nggak berani membawa-bawanya,’ Arif mengusulkan jalan keluarnya.

‘Kita coba seperti yang kamu katakan. Tapi besok mak akan lapor ke pak Ketua RT. Takutnya kalau sesudah ini nanti mereka mengancam-ancam kita,’ mak menambahkan.

‘Begini saja mak. Kalau mak mau pergi ke rumah pak RT mendingan setelah saya pulang sekolah. Biar nanti saya berdua Budi menunggu warung. Jadi kalau mereka datang, ada kami berdua di sini. Kalau Budi sendirian nanti dia ketakutan atau malahan diapa-apain sama komplotan itu,’ usul Arif pula.

‘Benar. Besok mak ke tempat pak RT sore-sore saja. Biasanya pak RT itu memang sore sekali baru pulang dari kantornya. Dan kalian berdua menjaga warung. Dengar kamu Budi? Kamu sebaiknya sekarang tidak usah main jauh-jauh dari rumah. Atau sementara ini tidak usah pergi main-main dulu,’ mak mengingatkan Budi.

Budi mengangguk. Mungkin juga dia ketakutan. Tentu saja dia cukup mengerti bahwa urusan ini sangat berbahaya.

‘Dimana barangnya itu sekarang kamu simpan?’ tanya Arif pula.

‘Di kamar. Aku simpan di rak buku,’ jawab Budi.

‘Ya, sudah biarin saja di sana. Jangan kamu bawa-bawa. Kamu pergi dan pulang sekolah biasanya barengan sama teman nggak?’ tanya Arif.

‘Iya. Biasanya bareng-bareng dengan Iman, dengan Anton anak pak ketua RT,’ jawab Budi.

‘Jangan misah-misah. Kalau bisa ajak lagi teman lain bareng. Jadi kalau terjadi apa-apa ada yang bisa cepat-cepat lari dan ngasih tahu ke orang dewasa. Dan jangan lewat tempat sepi. Ngerti nggak kamu?’

‘Ya,’ jawab Budi pendek.
*****

No comments: