Friday, December 11, 2009

DERAI-DERAI CINTA (35)

35. MUSIBAH

Sudah lebih sebulan musim hujan hadir. Hampir setiap sore turun hujan. Bahkan seringkali hujan lebat disertai guntur dan petir. Udara di sore dan malam hari di Bandung jadi semakin dingin di saat seperti ini. Udara basah dan lembab. Bagi Imran cuaca seperti ini adalah sebuah tantangan tambahan. Kegiatan sehari-hari tetap harus berjalan. Kuliah, praktikum, asistensi, ujian-ujian, semua berjalan seperti biasa. Kalau harus keluar di saat hari hujan, dipakainya jas hujan. Ditambah payung. Tidak ada lagi masalah. Jalan yang ditempuh itu-itu juga. Tempat yang dituju itu-itu juga. Setelah sampai di tujuan, apakah di ruang kuliah, apakah di laboratorium atau di perpustakaan, dilepasnya semua atribut tambahan itu, disimpan di dalam tas plastik, maka hilanglah bekas tetesan air hujan. Lalu kegiatan dapat berjalan seperti biasa.

Untunglah ujian semester sudah segera akan berakhir. Tinggal satu ujian lagi yang akan dilaluinya hari Kamis lusa. Sesudah itu tinggal menunggu hasil semester ini. Seperti biasanya, Imran selalu optimis. Karena sebelum setiap ujian dia sudah mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Tidak pernah dia berangkat ke ujian tanpa persiapan yang matang. Pada semester-semester yang lalu, dengan usaha seperti itu hasilnya alhamdulillah selalu memuaskan. Semester inipun dia berharap akan mendapat hasil yang sama.

Urusan pengiriman kain-kain ke Bukit Tinggi tetap berjalan seperti biasa. Bahkan akhir-akhir ini volumenya semakin bertambah. Imran menyisihkan empat sampai lima jam waktunya dalam seminggu untuk mengontrol dan menyiapkan pengiriman barang. Hari Minggu dia bekerja agak lama, memilih dan menyeleksi kain-kain. Dan hari Selasa berurusan dengan kantor ekspedisi. Karena pada hari itu biasanya kain-kain itu dikirim. Siang ini Imran harus pergi mengurus pengiriman barang tersebut.

Seperti biasanya, jam dua siang urusan itu sudah selesai. 3 koli besar paket kain sudah siap untuk diberangkatkan. Setelah urusan administrasi dengan kantor ekspedisi beres, Imran bergegas pulang karena dia akan melanjutkan belajar untuk menghadapi ujian lusa. Cuaca mendung. Tadi sudah sempat turun hujan tapi sementara ini berhenti lagi. Jalan raya masih basah dan disana sini air masih tergenang. Imran menompang angkutan kota, mobil penumpang Suzuki. Dia duduk di muka di samping sopir.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika mobil angkutan mini itu baru saja memasuki jalan Dago dari arah jalan Merdeka, sebuah sepeda motor yang melaju kencang dan berbelok dari arah jalan R E Martadinata, terjatuh beberapa meter di depan angkutan yang ditompangi Imran. Sepertinya pengendara sepeda motor itu melanggar lampu merah dan entah kenapa dia tergelincir. Sopir angkutan kaget bukan main. Bermaksud menghindar dari menabrak pengendara motor yang terkapar di jalan di depannya, sopir itu membanting stir ke kiri. Ternyata akibatnya fatal. Mobil angkutan itu menabrak pohon pelindung di pinggir jalan. Meskipun tidak sedang berkecepatan tinggi, tapi akibat tabrakan itu cukup parah. Bagian depan sebelah kiri mobil angkot itu penyok dan terdorong ke dalam sementara kacanya pecah.

Imran menjerit kaget dan kesakitan. Darah segera mengucur dari kepalanya yang kena pecahan kaca jendela pembatas dengan tempat duduk di belakang. Kakinya terasa berat dan tidak bisa digerakkan. Tapi kesadarannya tidak hilang. Dia berusaha mengusap kepalanya yang berdarah. Ada pecahan kaca tertancap di kepalanya sebelah kanan. Pecahan kaca itu dapat diambilnya. Darah semakin keras mengalir. Imran menutup luka itu dengan tangannya sekuat-kuatnya. Tapi dia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya. Sopir angkot juga luka di mukanya tapi masih dapat bergerak. Dia bisa keluar dari pintu sebelah kanan.

Penumpang di bagian belakang angkot berhamburan keluar. Mereka hampir tidak ada yang cedera. Pengendara kendaraan lain segera berhenti melihat kecelakaan itu. Beberapa orang menolong anak muda yang terjatuh dari motor yang ternyata pingsan. Anak muda itu dibawa dengan sebuah angkot lain ke rumah sakit. Polisi segera datang, mengamankan sepeda motor yang jatuh itu dan melihat ke angkot yang menabrak pohon. Dia melihat Imran yang masih duduk di dalam mobil itu.

‘Pak, tolong saya pak. Badan saya tidak bisa digerakkan,’ Imran memohon.

Polisi itu mencoba membuka pintu kiri yang ternyata macet. Imran tidak bisa segera dikeluarkan.

Di antara kerumunan orang-orang itu ada Irma dan Rinto. Irma baru saja dari jalan Merdeka dan disana dia bertemu Rinto. Irma sedang menuju pulang ke tempat kosnya dan Rinto ikut menemani. Keduanya mengendarai sepeda motor mereka masing-masing. Mereka segera berhenti di dekat kerumunan orang-orang. Rinto yang mula-mula mengenali Imran, penumpang angkutan yang berdarah-darah tapi belum dikeluarkan dari dalam mobil. Irma juga melihat Imran. Melihat tangan Imran penuh darah yang mengalir dari kepalanya, Irma spontan melepas sal dari lehernya dan melap darah di tangan Imran. Anak muda yang malang itu membuka matanya. Dilihatnya Irma dan dikenalinya anak gadis teman Ratih itu.

‘Pakai kain ini untuk menutup luka itu sementara,’ kata Irma.

Imran menurut. Dengan menempelkan sal tebal itu aliran darah lukanya bisa dihentikan sementara. Irma memberi tahu Rinto untuk menunggu karena dia akan menjemput teman yang juga masih familinya di Rangga Malela. Temannya itu punya mobil. Irma akan minta tolong teman itu mengantar Imran ke rumah sakit.

Tepat ketika Irma kembali bersama Fauzi familinya itu, badan Imran berhasil dilkeluarkan dari dalam mobil angkutan digotong oleh dua orang polisi bertiga dengan Rinto. Sepertinya kaki kirinya patah. Imran mendesah menahan sakit. Irma meminta agar Imran dinaikkan ke mobil Kijang Fauzi. Imran dibaringkan di tempat duduk di bagian tengah.

‘Kita ke rumah sakit,’ kata Irma.

‘Tolong antarkan saya ke Hasan Sadikin,’ pinta Imran.

‘Baik,’ jawab Irma. ‘Mas Rinto, tolong diberi tahu teman serumahnya bang……. Maaf, bang apa namanya bang?’ tanya Irma.

‘Saya Imran. Terima kasih sekali. Tolong beri tahu Syahrul, Rinto. Aku dibawa ke Hasan Sadikin.’

‘Baik. Aku akan cari Syahrul dan menyusul ke rumah sakit,’ jawab Rinto.

Imran dibawa ke Unit Gawat Darurat di RS Hasan Sadikin. Dokter jaga segera merawat luka di kepalanya. Luka itu tidak lebar tapi cukup dalam dan harus dijahit. Kaki kiri Imran patah di tulang keringnya. Patah itu perlu perawatan lebih teliti.

Irma dan Fauzi menunggu sampai perawatan luka di kepala Imran selesai. Dokter UGD itu menanyakan apakah Irma dan Fauzi famili Imran.

‘Bukan, dok,’ jawab Irma. ‘Tapi kenapa memangnya dok?’ tanyanya pula.

‘Kaki saudara……’

‘Imran,’ jawab Irma menjelaskan.

‘Ya, saudara Imran. Kakinya patah. Bisa langsung kita gips, tapi bisa juga kita pasangi pen. Kalau dipasangi pen, mudah-mudahan hasilnya lebih optimal. Tapi untuk memasang pen harus dioperasi. Kami harus menanyakan dulu kepada keluarga pasien, apa pilihan yang akan diambil.’

‘Wah…. Saya bukan familinya dok. Tapi kalau memang dipasang pen hasilnya bisa lebih baik, kenapa tidak dipasang pen saja dok?’ tanya Irma pula.

‘Karena menyangkut biaya juga,’ jawab dokter.

‘Begitu ya, dok,’ kali ini Irma menoleh ke arah Imran yang masih terbaring.

Imran mendengar lamat-lamat pembicaraan itu.

‘Tolong tanyakan berapa biayanya,’ kata Imran setengah berbisik karena tubuhnya terasa sangat lemah.

Dokter itu mendengar perkataan Imran. Dia lalu memberi tahu perkiraan biayanya.

‘Saya sanggupi dokter. Insya Allah saya sanggupi membayarnya. Silahkan saya dipasangi pen saja,’ jawab Imran.

‘Disini ada saudaranya? Maksud saya di Bandung ini?’ tanya dokter lagi.

‘Ada dokter. Sepupu saya. Namanya Lutfi. Dokter Lutfi.’

‘Dokter Lutfi Taufik?’

‘Ya, dokter.’

‘Oh, dia sejawat saya. Akan saya hubungi dia,’ kata dokter itu pula.

Sementara itu Syahrul datang bersama Rinto. Syahrul sangat sedih melihat keadaan Imran. Kepala Imran dibalut perban putih.

‘Apa yang sakit?’ tanya Syahrul.

‘Kakiku patah, Rul. Dan kepala ini tadi luka kena kaca,’ jawab Imran lirih.

‘Sabar!’

‘Insya Allah aku sabar.’

‘Kau pasti belum makan. Kau pasti lapar.’

‘Ya… aku lapar,’ jawab Imran polos.

‘Biar aku carikan kau makanan. Tunggulah sebentar,’ kata Syahrul sambil langsung bergegas pergi.

‘Saya barusan membelikan roti ini. Bolehkah dia makan disini dok?’ tanya Irma.

‘Boleh saja. Saya sedang menghubungi dokter Lutfi. Setelah itu nanti kita carikan kamar. Sementara biar disini dulu. Silahkan kalau mau makan,’ jawab dokter.

Irma menyerahkan roti dan susu ultra yang dibelinya di luar.

‘Makanlah bang,’ kata Irma sambil mengulurkan roti dan susu itu.

Imran menerimanya. Dia memang lapar.

‘Terima kasih. Terima kasih banyak…. Maaf, saya tidak ingat nama mbak ini,’ kata Imran.

‘Saya Irma. Teman Ratih.’

‘Ya, saya ingat mbak temannya Ratih. Tapi saya lupa namanya.’

Irma tersenyum.

Imran memakan roti yang berbungkus plastik dan minum susu kotak ultra itu.

‘Baiklah bang. Teman bang Imran sudah datang, saya tinggal dulu. Semoga abang cepat sembuh,’ Irma berpamitan.

‘Waduh….. Terima kasih banyak mbak. Terima kasih banyak mas…. Mas dan mbak telah menolong menyelamatkan saya. Terima kasih banyak,’ kata Imran bersungguh-sungguh.

‘Nggak apa-apa bang. Sesama manusia kita wajib saling menolong. Satu hal bang, jangan panggil saya mbak. Saya urang awak juo. Panggil saja nama saya Irma.’

‘Terima kasih kalau begitu Irma. Kalau mas ini?’

‘Fauzi. Uda Fauzi,’ Irma yang menjawab.

‘Terima kasih banyak, da. Maafkan saya, darah saya berceceran di mobil uda.’

‘Ndak apa-apa. Nanti bisa dicuci. Baiklah, semoga cepat sembuh, ya.’

‘Saya harus banyak-banyak minta maaf.... Sal Irma itu berlumuran darah. Bagaimana saya mengembalikannya…..?’

‘Nggak apa-apa bang. Nanti biar saya cuci,’ jawab Irma.

Irma mengambil sal berlepotan darah yang mulai mengering itu dan memasukkannya ke kantong plastik.

Irma dan Fauzi berpamitan kembali kepada Imran dan Rinto lalu meninggalkan ruangan rumah sakit itu.


*****

No comments: