Sunday, October 12, 2008

SANG AMANAH (13)

(13)

Dengan ditemani pak Kosasih pak Umar berjalan berkeliling-keliling di antara gedung-gedung sekolah menuju ruangan laboratorium dan perpustakaan sekolah. Ada dua ruangan laboratorium seperti yang diceritakan pak Suprapto. Mereka memasuki ruang laboratorium fisika. Kebetulan siang ini tidak ada yang menggunakan. Alat-alat peraga seperti timbangan, alat pengukur panjang, bola-bola besi, alat-alat listrik, bejana-bejana, botol-botol gelas dan lain-lain terdapat berpasang-pasangan. Semua benda-benda alat peraga itu diletakkan di atas meja panjang. Pak Umar mengamati semua bagian ruang laboratorium itu dengan seksama. Kesannya memang sangat apik sekali. Dengan semua fasilitas yang ada ini harusnya prestasi belajar murid-murid dapat dioptimalkan.

‘Apakah pak Kosasih tahu darimana saja benda-benda peraga ini didapatkan?’

‘Setahu saya ini semua atas usaha pak kepala sekolah pak. Artinya dari partisipasi wali-wali murid. Pak kepala sekolah sekarang, maksud saya pak Suprapto sangat memperhatikan keperluan alat-alat di sekolah ini, pak. Dan beliau selalu mendapat dukungan dari orang tua murid.’

‘Beliau benar-benar seorang yang sangat berjasa kepada sekolah ini.’

‘Betul, pak. Dan beliau juga rajin sekali mengawasinya. Beliau itu memang baik pak, sangat besar perhatian beliau untuk kelengkapan alat-alat di laboratorium ini. Untuk urusan alat-alat sekolah beliau sangat disiplin dan keras. Kadang-kadang suka marah juga kepada kami. He..he..he.’

‘Tentu ada alasannya beliau marah.’

‘Iya, pak. Biasanya kalau ruangan ini kedapatan kotor sesudah dipakai anak-anak praktikum, beliau marah. Sayapun ikut kena marah. Jadi saya harus selalu datang sebelum berakhirnya praktikum menjaga supaya anak-anak tidak lupa membersihkan ruangan ini.’

‘Saya pikir cukup wajar itu. Bukankah pak Kosasih bertanggung jawab juga atas keamanan alat-alat di sini? Jadi usaha seperti itu, datang ke sini sebelum praktikum berakhir merupakan jalan keluar yang baik.’

‘Bagaimana kalau sekarang kita meninjau perpustakaan, pak Kosasih? Di sebelah mana ruangannya?’

‘Perpustakaan dan ruangan komputer di bawah pak. Apa bapak tidak ingin melihat lab kimia dan biologi dulu? Tempatnya di sebelah.’

‘Saya rasa tidak usah, pak Kosasih. Biar lain waktu saja saya mengunjungi lab kimia. Saya lebih tertarik dengan perpustakaan.’

Pak Kosasih menutup kembali pintu laboratorium fisika itu. Kedua orang itu turun ke lantai dasar melalui tangga di bagian ujung sebelah timur. Bagian bawah tangga ini terletak di depan kebun mini sekolah. Pak Umar sangat tertarik melihat kebun mini ini. Ada tulisan ‘Apotik Hidup’ di tempelkan di pintu pagar kebun kecil itu. Di dalamnya terdapat aneka ragam tanaman perdu yang biasa digunakan sebagai obat tradisionil. Ada juga beberapa pohon mengkudu yang sudah berbuah. Pak Umar mengenali daun ‘sambung nyowo’ dan ‘tapak dewa’ yang tumbuh subur. Kelihatannya tidak pernah ada yang menggunakannya . Di dalam kebun ini ada juga tumbuh-tumbuhan bumbu dapur seperti kunyit, jahe, laos, kencur, serai, cabai rawit yang banyak sekali buahnya. Semua tumbuh subur dan terpelihara.

‘Tidak adakah yang memanfaatkan tanam-tanaman ini, pak Kosasih?’

‘Jarang sekali, pak. Kebun ini hanya digunakan sebagai alat peraga pelajaran biologi. Tapi kalau ada yang memerlukan biasanya memintanya kepada pak Simin, pak.’

‘Pak Simin sudah perlu diingatkan untuk memanen cabe rawitnya itu. Nanti keburu busuk. Dan tumbuh-tumbuhan yang lain ini juga perlu dipanen sebelum terlanjur busuk. Daun ‘tapak dewa’ itu misalnya, ada umbinya. Itu obat kanker.’

‘Rupanya bapak sangat mengerti pula dengan manfaat tumbuh-tumbuhan ini.’

‘Saya belajar dan mencatat pengalaman orang-orang yang memperaktekkan penggunaannya. Sayapun mengkonsumsi obat-obat tradisional ini. Seperti kencur, kunyit, jahe. Dan itu, daun ‘sambung nyowo’, saya makan secara teratur tiap hari.’

‘Apa khasiatnya pak?’

‘Sangat baik untuk menetralisir asam urat. Saya punya penyakit asam urat. Dulu kalau kambuh saya tidak bisa bangun karena kesakitan. Sejak saya memakan daun itu, alhamdulillah saya tidak pernah merasa kesakitan seperti dulu lagi.’

‘Bagaimana menggunakannya pak?’

‘Saya makan mentah, seperti lalap. Pagi-pagi sepulang dari mesjid, saya petik empat lima lembar, dicuci bersih-bersih lalu saya makan begitu saja.’

‘Bagaimana rasanya? Maksud saya apakah tidak bau?’

‘Tidak. Rasanya, ya.. rasa daun. Rasa apa, ya? Tapi tidak meninggalkan bau atau rasa asing sesudah dimakan…. Wah jadi lama kita di sini. Mari kita ke perpustakaan pak Kosasih. Sudah jam dua lebih. Kita mampir sebentar saja. Saya harus pergi sebentar lagi dengan pak kepala sekolah.’

Sesudah itu mereka mampir ke ruang perpustakaan. Ruangan ini kurang menarik. Tidak banyak buku-buku yang tersedia di dalamnya. Ada tumpukan majalah Tempo, majalah Intisari. Bahkan ada beberapa buah majalah ‘Reader Digest’. Kelihatannya hadiah dari entah siapa. Buku pelajaran sangat sedikit. Pak Umar melihat jam, sudah jam dua lebih dua puluh menit.

‘Siapa saja yang memanfaatkan perpustakaan ini pak Kosasih?’

‘Murid-murid pak. Tapi agak jarang. Mungkin karena persediaan buku-bukunya memang terbatas. Dan biasanya setiap murid sudah membeli buku pelajaran masing-masing sesuai instruksi guru yang bersangkutan.’

‘Tapi tidak semua murid mampu membeli semua buku.’

‘Benar pak.’

‘Apakah buku-buku pelajaran yang ditetapkan guru-guru itu tidak disediakan di perpustakaan untuk mereka yang tidak mampu membelinya?’

‘Belum ada kebijaksanaan seperti itu, pak.’

‘Ya, baiklah. Mungkin nanti bisa kita pikirkan. Baik…pak Kosasih. Terima kasih banyak saya sudah ditunjukkan laboratorium dan perpustakaan. Besok saya ingin berbincang-bincang dengan pak Simin, petugas kebun sekolah itu. Terima kasih sekali lagi.’

‘Terima kasih kembali, pak.’

‘Assalamu’alaikum.’

‘Wa’alaikum salam.’



*****


Anto tidak sabar ingin segera pulang. Bell sudah berbunyi, tapi ibu Sofni masih belum selesai dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Cerita pujangga baru - pujangga lama itu benar-benar sudah tidak menarik perhatiannya sama sekali. Kok tumben ya ibu Sofni tiba-tiba rajin begini? Biasanya paling terlambat semenit dua menit, tapi kali ini sudah lebih enam menit. Masih membahas Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Anak-anak yang lainpun mulai resah. Ada yang sudah mendehem-dehem. Ibu Sofni pura-pura tidak tahu atau memang sengaja membuat ‘cerita’? Beliau hanya mengatakan, ‘tanggung, kita teruskan sedikit lagi tentang ‘Gurindam Duabelas’ ini..’ Tiba-tiba Anto ingat. Pasti ini. Pasti ibu Sofni sedang mengetes dia. Karena biasanya dia yang paling spontan. Dengan celetukan, kalau perlu dengan keusilan. Ya..ya.. Dia sedang ditest. Ooh…gampang kalau soal ini… Silahkan buk…silahkan….. Mau setengah jam lagi juga nggak apa-apa kok…. Ya setengah jam lagi paling baru jam berapa sih? Bila perlu Anto akan meninggalkan mobilnya di sekolah hari ini dan dia akan pulang naik ojek, menguber waktu agar sampai di rumah sebelum bapak-bapak itu datang. Sekarang mendingan duduk saja semanis mungkin. Tidak gelisah. Tidak boleh gelisah.. tidak boleh nyeletuk..hayoo entar bahaya lo.. kalau salah-salah nyeletuk. Kita tunggu saja..

Tapi ternyata ibu Sofni tidak mengulur waktu selama yang dibayangkan Anto. Jam dua lebih sembilan menit akhirnya dia mengakhiri pelajaran ‘Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi’ itu.

Anto seperti mau adu balap lari menuju ke tempat parkir mobil. Iwan yang berteriak-teriak di belakangnya tidak digubrisnya sedikitpun. Keluar dari tempat parkir inipun harus sabar, harus antri. Anto menasihati dirinya sendiri untuk sabar…sabar….sabar….. Tenang…tenang…..tenang….

Akhirnya keluar juga dari gerbang SMU 369. Terus belok ke kanan ke arah Jalan Kali Malang. Terus belok ke kiri. Lima ratus meter, belok lagi ke kanan, di samping pompa bensin, mengambil jalan kecil menghindari macet. Jalan sempit ini ternyata sangat membantu untuk memintas meski banyak polisi tidur. Di ujung jalan sempit ini belok ke kiri lagi, jalan yang lebih besar. Terus kira-kira delapan ratus meter belok lagi ke kanan. Jalan inipun sempit. Berliku-liku dan berpolisi tidur. Ini daerah Duren Sawit. Terus ke kiri lagi menuju ke arah Pondok Bambu dan sebentar lagi sampai di rumah. Tapi aduh…. di depan ada apa lagi itu, kok macet sih? Sabar…sabar…sabar… Ternyata di depan itu ada bendera kuning. Berarti ada yang meninggal. Wah… masak harus mutar lagi? Ya apa boleh buat. Di depan ada lagi jalan ke kiri. Anto kenal betul daerah ini. Dia berbelok ke kiri. Jalan sempit lagi. Berpolisi tidur lagi. Akhirnya tembus juga. Dia sudah tinggal satu belokan lagi sebelum sampai ke kompleks perumahannya di Kompleks Bambu Kuning Permai Akhirnya sampai di gerbang kompleks. Akhirnya, belok ke kanan pada simpangan pertama sesudah memasuki kompleks. Itulah jalan di depan rumahnya.

Tapi…ou..ou. Kok ada mobil papi? Kok papi lagi ada di sini? Wadduh, gimana dong nih? Gawat..gawat.. Papi lagi ngapain sih siang-siang begini ke sini? Masak harus mundur? Masak harus menelpon ke HP pak Kepsek supaya datangnya dibatalin aja? Apa dong nanti kata beliau-beliau itu? Entar dikirain dia bohong. Bukannya tidak jadi datang, jangan-jangan malahan tambah datang kedua bapak-bapak itu. Dan mereka ketemu papi. Dan mereka akhir-akhirnya akan cerita juga sama papi. Karena pasti papi curiga sekali sampai kepala sekolah datang ke rumah. Dan waktu ini, lho. Beliau-beliau ini bisa muncul setiap saat sekarang. Atau sekalian saja di tunggu di sini dan terus dibilangin nggak usah masuk karena bahaya, karena ada papi? Tapi, mana mungkin dua orang bapak kepala sekolah mau terima di’usir’ begitu sudah sampai di depan rumah. Pasti harus cerita panjang lebar dulu. Pasti harus membuat penjelasan secara rinci dulu. Dan di pinggir jalan kayak sekarang ini. Bagaimana kalau sedang memberi penjelasan itu papi tiba-tiba keluar? Kan tambah kacau artinya. Benar-benar gawat nih.

Anto! Kamu ini sudah bukan anak-anak lagi. Kamu sudah beranjak dewasa. Kamu ini seorang laki-laki. Kamu harus berani. Apa yang kamu takutkan? Kenapa mesti takut karena ada papi di rumah dan ada dua orang kepala sekolah mau datang melihat mami? Yang diperlukan hanyalah penjelasan. Memberi penjelasan kepada papi. Dan tentu saja kepada mami. Bahwa…, mungkin perlu sedikit bohong, terutama di depan papi…… bahwa tadi ada diskusi tentang orang tua. Bahwa kamu bercerita tentang mami yang sakit. Dan bapak kepala sekolah itu bersimpati mendengar cerita tentang penyakit mami. Lalu beliau ingin datang menengok. Apa salahnya? Malahan sekalian lebih bagus pas ada papi di sini. Kita lihat saja nanti bagaimana reaksi papi. Masak mau marah-marah di depan tamu? Di depan kepala sekolah? Ya nggak mungkin kan? Akan senekad itu? Lagi pula mau marah-marah urusan apa? Marah kan perlu judul juga?! Nah apa judul marahnya?

Baik. Kalau begitu sekarang masuk rumah saja. Perlu berdoa dulu. Benar…perlu berdoa dulu…. Bismillahirrahmanirrahiim……

Anto memarkir mobilnya di belakang mobil papi. Dan keluar dari mobil dengan tenang. Masuk rumah dengan tenang. Tenang saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.


*****

No comments: