Wednesday, December 19, 2007

MV BELLE ABETO

MV BELLE ABETO

Aku menyalami ibu sekali lagi. Beliau menciumku dan berbisik; 'Hati-hati kamu di jalan. Dan cepat tulis surat setelah sampai.' Aku mengangguk, berusaha tersenyum agar tampak tegar. Lalu melangkah menaiki tangga kapal besar bercat putih bernama Belle Abeto itu. Menjinjing tas kulit tua pemberian mak ngah, berisi beberapa helai pakaian, aku mengiringkan orang-orang yang sama-sama menaiki tangga kapal. Cuaca Teluk Bayur yang panas, berdesak-desak menaiki tangga, menjinjing tas yang meski tak seberapa berat tak urung menyebabkan keringatku bercucuran. Dan sebenarnya juga air mataku bercucuran. Aku sedih meninggalkan ibu dan adik-adikku di kampung. Ini adalah pertama kali aku menyeberangi lautan, menuju tanah seberang, ke Jakarta.

Di atas kapal aku ikuti orang-orang yang membawa bebannya masing-masing menuju entah kemana. Kami berjalan di lorong yang panjang. Aku tidak mau bertanya. Kapal ini kelihatannya besar sekali. Orang tua didepanku berhenti di tempat banyak tempat tidur bertingkat bersusun-susun yang sudah penuh dengan barang-barang. Dia bertanya dimana tempat tidur yang masih kosong kepada orang-orang itu, yang kelihatannya sudah menempati tempat mereka masing-masing. Orang itu menunjuk ke arah samping. Benar saja, disana masih banyak tempat kosong. Aku tidak perlu bertanya mau menempati tempat tidur yang mana, segera saja memilih sebuah dipan di bagian atas, agak dekat kipas angin. Ruangan ini pasti panas dan pengap sebentar lagi, begitu firasatku. Aku letakkan barang-barangku. Tas kulit tua dan sebuah 'kambuik' berisi oleh-oleh. Aku coba mengamati tempat ini baik-baik agar tidak lupa. Soalnya aku akan kembali kesisi dekat tangga tempat aku naik. Aku ingin melambaikan tangan ke arah ibu dari atas kapal ini.

Aku menemukan tangga ke arah dek dan naik ke atas. Ada sebuah lapangan luas di atas sana. Aku segera melangkah kesisi sebelah darat dan melayangkan pandangan ke bawah mencari-cari dimana ibu berdiri. Aku segera menampak beliau, sedang berdiri dan mencari-cari pandangan ke arah atas. Aku berteriak memanggil beliau sehingga orang-orang dikiri kananku menoleh kepadaku. Ibu rupanya mendengar teriakanku. Beliau menoleh ke arahku sambil melambaikan tangan. Air mataku bercucuran lagi. Tentu tidak mungkin kami bercakap-cakap dengan jarak sejauh itu. Ibu hanya melambai-lambaikan tangan yang kubalas dengan lambaian tangan pula.

Kapal Belle Abeto itu akhirnya membunyikan suling yang terakhir dan siap berangkat. Aku tetap berdiri di pinggir pagar dek. Disini orang berdesak-desak ingin melambai ke arah bawah. Di bawah ratusan orang menyemut melambai-lambai pula ke arah kami. Mataku tak lepas-lepas melihat ke arah ibu berdiri . Kapal ini mulai bergerak pelan-pelan meninggalkan tempatnya bersandar. Terus bergerak sampai akhirnya menuju ke luar teluk. Orang-orang yang berdiri di dermaga terlihat semakin kecil dan akhirnya dermaga sendiripun tak terlihat lagi.
Orang-orang sudah mulai meninggalkan sisi kapal. Tapi aku tidak. Aku masih berdiri disini memandang ke arah tempat kapal ini tadi bersandar. Aku berdiri di geladak itu hampir satu jam.

Kapal ini sekarang bergerak di tengah laut dan semakin jauh dari pantai. Aku senang memperhatikan air laut yang beriak-riak disamping kapal. Masih ada beberapa orang yang juga sedang menikmati pemandangan riak gelombang laut ini. Laut sati rantau bertuah.

Sudah menjelang sore ketika aku kembali ke dek tempat tidur. Sempat pula aku kehilangan arah dan berputar-putar sambil mengingat-ingat. Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan kembali tempatku dari arah sebelah yang lain. Mataku menangkap kambuik yang kutandai dengan pita kain di atas tempat tidur. Di sebelah menyebelah penuh orang. Ada yang tidur-tiduran dan ada yang mengobrol bercerita. Seorang ibu yang duduk di dipan bagian bawah tempat tidurku menyapaku ramah. Kami terlibat dalam obrolan pula. Dia akan ke Semarang, mau menghadiri kelahiran cucunya yang pertama. Ibu ini berasal dari Painan. Nanti dia akan dijemput anaknya yang lain setiba di Tanjung Periuk. Aku lebih banyak mendengarkan saja cerita ibu yang berbahagia itu.

Sekitar jam lima, ada pemberitahuan melalui pengeras suara bahwa makan malam akan segera dibagikan. Penumpang dek diminta datang mengambil makanan dengan membawa tiket. Aku bergegas turun ingin pergi melihat dapur umum tempat mengambil makanan itu. Aku menawarkan diri mengambilkan makanan kepada ibu tadi yang di sambutnya dengan senang hati. Dia mengulurkan tiketnya kepadaku. Aku bergegas mengikuti orang-orang yang bergerak menuju ke satu tempat. Kami antri karena gangnya agak sempit.

Menjelang maghrib terdengar suara orang mengaji dari pengeras suara. Aku baru ingat bahwa kapal ini adalah kapal pengangkut jamaah haji. Aku tahu bahwa ada mushala cukup besar di kapal ini. Ibu tadi mengingatkanku untuk pergi sembahyang berkaum-kaum ke mushala. Aku mengiyakan dan bersiap-siap pergi mengambil wudhu. Kamar mandi dan peturasan di kapal ini cukup bersih. Tidak percumalah sebagai kapal haji. Ramai yang hadir ke mushala untuk shalat berjamaah. Sebelum iqamat pak Imam mengumumkan bahwa shalat akan dijamak.

Sesudah shalat ada ceramah agama. Sebagian dari jamaah mendengarkan ceramah dan sebagaian yang lain buru-buru keluar meninggalkan mushala itu. Aku ikut mendengarkan ceramah. Tidak terlalu lama, mungkin hanya sekitar dua puluh menit. Setelah itu kami keluar dari mushala itu.

Aku mendengar percakapan dua orang anak muda sebayaku yang mengatakan akan ada band sebentar lagi di geladak. Keduanya sedang berjalan menuju tangga naik kesana. Aku ikuti mereka. Ternyata di geladak sangat ramai. Orang duduk di lantai geladak sambil menunggu dan menonton beberapa orang yang sedang mengangkat peralatan musik.

Langit cerah penuh bintang-bintang dan kapal yang gagah ini melaju dengan tenang. Aku berdiri di pinggir geladak melihat ke arah pantai nun jauh disebelah sana. Terlihat api-api kecil berkerlap kerlip. Tentu cahaya kerlap kerlip itu berasal dari rumah-rumah nelayan di pinggir pantai. Pemandangan yang baru sekali ini aku alami dan aku menikmatinya. Menakjubkan sekali.

Tidak lama kemudian alat-alat musik itu mulai dimainkan. Kelihatannya para pemain band itu adalah anak buah kapal ini. Suara musik itu riuh rendah mendayu-dayu. Dan ada yang menyanyikan lagu Teluk Bayur. Lalu para penumpang ikut tampil menyumbangkan suara. Suasananya cukup meriah. Aku memperhatikan saja dari kejauhan, dari tempat aku berdiri di pinggir pagar geladak. Aku masih saja sesenggukan di dalam dadaku, dan rasanya aku terasing sendiri di tengah suasana ceria penumpang lain.

Jam sembilan aku tinggalkan geladak dan kembali ke dek tempat tidur. Ibu orang Painan itu rupanya belum tidur. Dia menanyakan kenapa aku sudah kembali saja sementara di atas orang masih bernyanyi-nyanyi. Aku katakan bahwa mataku sudah mengantuk. Aku naik ke dipanku di sebelah atas dan berusaha untuk tidur. Tidak mudah. Angan-anganku membawaku kembali ke hari-hari kemarin. Inilah kebiasaan burukku kalau aku baru berpisah dengan ibu. Tiga hari yang lalu jam segini aku masih dikampung di tengah-tengah adik-adikku. Dua hari yang lalu jam segini aku sedang bercerita-cerita di rumah etek di Olo di Padang. Tadi malam jam segini aku dikuliahi sepupuku tentang Jakarta. Yang terakhir ini menari-nari lebih jauh. Pokoknya, kata sepupuku itu, jangan sekali-kali kamu tunjukkan bahwa kamu orang asing di Jakarta. Berlagaklah bahwa kamu adalah penduduk Jakarta. Begitu keluar dari kapal, berjalan arah ke pintu gerbang. Disana akan kamu temui banyak orang memegang sepeda seperti sedang menunggu sesuatu. Mereka tukang ojek sepeda. Hampiri satu tukang ojek itu dan mintak diantarkan ke stasiun bus, di depan. Bilang, ke stasiun bus di depan berapa duit bang? Berapapun dia bilang, tawar sepuluh perak. Tarifnya segitu. Lalu kamu cari bus berwarna kuning. Ada dua, Merantama dan Djakarta Transport. Naiki yang mana saja karena keduanya jurusan Grogol.

Begitu pesan sepupuku itu. Aku masih ingat ketika tadi malam mereka tertawa terkekeh-kekeh mendengar aku salah mengucapkan, ’berapa uang’ bukan ’berapa duit’. Tapi akhirnya aku tertidur juga.

Keesokan harinya aku banyak berada di geladak sambil melihat-lihat. Aku berjalan-jalan dari anjungan ke buritan. Sudah kudapatkan teman yang aku senang berbicara berbincang-bincang. Rasa haru berpisah dengan ibu dan kampung mulai cair sedikit demi sedikit. Menyenangkan juga melihat ikan lumba-lumba berenang mengiringi kapal di kejauhan. Di sebelah kiri sayup-sayup terlihat pantai barat pulau Sumatera, sedang disebelah kanan hanya laut tanpa batas. Kapal tetap melaju meninggalkan riak dibelakang. Di sore hari kedua ini terasa kapal agak sedikit bergoyang. Ibu orang Painan mengatakan bahwa kita berada di Kataun. Ombak Kataun ini lebih besar, katanya. Aku mencatat semua itu di otakku.

Malam harinya kami kembali shalat berjamah di mushala. Tentu saja juga siang tadi, shalat zhuhur dan asar dijamak. Dan sesudah shalat ada ceramah lagi. Penceramah kali ini bukan Buya yang kemarin malam. Dia berceramah tentang hubungan Islam dan Kristen, dan taktik orang-orang Kristen yang suka begini-begitu. Tapi tiba-tiba suara pengeras suara dan lampu mushala mati. Usut punya usut, rupanya ada seorang petinggi kapal itu orang Kristen. Mungkin dia tersinggung dengan isi ceramah tadi. Seorang jamaah mengatakan, agar besok peristiwa mik dan lampu mushala di kapal pengangkut haji mati ketika sedang berceramah ini harus dimuat di koran Abadi.

Dan malam inipun ada band seperti kemarin. Bahkan kelihatannya lebih meriah. Lebih ramai penumpang yang ikut menyanyi. Aku bisa menikmati pertunjukan malam ini. Atau mungkin karena dadaku sudah tidak seperti tadi malam sesenggukannya? Aku menonton acara musik itu sampai sekitar jam sepuluh. Dan baru turun ke ruangan tidur. Malam ini aku lebih mudah terlelap.

Subuh besoknya aku dibangunkan oleh suara orang-orang yang gaduh menceritakan bahwa kapal sedang melintasi selat Sunda, dekat gunung Krakatau. Aku ingin naik ke geladak melihat gunung itu. Tapi angin kencang dan udara mengandung banyak uap air. Aku tidak jadi ke geladak. Di sisi sebelah sana ada jendela-jendela kaca bulat yang setengah terbuka. Samar samar, karena masih agak gelap, aku dapat melihat ada pulau yang lebih dekat sedang diliwati oleh kapal ini. Dan ada beberapa pulau agaknya. Entah yang mana yang Krakatau.

Kapal terus melaju dan hari sudah mulai siang. Aku berharap agar udara segera lebih bersih sehingga aku bisa pergi ke geladak. Kira-kira jam delapan baru aku bisa naik dengan aman ke geladak. Masih ada angin meski tidak terlalu kencang. Langit berawan. Pantai sekarang berada di sisi kanan kapal. Tentulah itu pantai Banten. Dan kapal ini berlayar lebih dekat ke pantai dibandingkan kemarin. Bangunan rumah di pantai lebih jelas bentuknya. Tentu tidak berapa lama lagi kami akan sampai di Tanjung Periuk. Semakin siang udara berubah menjadi lebih cerah dan matahari bersinar menerpa geladak kapal ini.

Sekitar jam sebelas siang kapal ini sampai di Tanjung Periuk. Kami bersiap-siap untuk turun meninggalkan kapal. Aku berpamitan dengan ibu orang Painan yang baik hati itu. Aku jinjing kopor kulit dan kambuik ku, berbaris antri menuju lorong ke arah tangga turun. Banyak orang-orang berseragam sudah bekeliaran melawan arus. Para buruh tukang angkat mencari orang yang akan memakai jasa mereka mengangkat barang. Aku tidak memerlukan jasa mereka. Aku bergegas turun dengan bawaanku yang ringan. Di bawah aku menoleh mengamati kapal besar yang telah menyeberangkanku dari Teluk Bayur ke Tanjung Periuk ini. MV BELLE ABETO.

Aku melangkah mengikuti orang-orang berjalan ke arah gerbang. Persis seperti yang diceritakan sepupuku tiga malam yang lalu, disana ada puluhan sepeda berjejer. Dengan tampang-tampang keras berkeringat menebar senyum penuh harap. Aku hampiri satu orang dan aku bertanya, ’ke stasiun bus di depan berapa duit bang?’ Dia menjawab, dua puluh deeh... Dan aku menawar mantap, ’nggak ah, sepuluh duit. Eh.. sepuluh.......’ Kok jadi sepuluh duit? Aku geli dalam hati. ’Lima belas deeh....’ katanya lagi. ’Nggak, pokoknya sepuluh,’ jawabku sok beraksen Jakarte. Ternyata memang dia mau. Dan aku sekarang di bonceng ke stasiun bus di depan sambil tanganku menjinjing koper kulit di kanan dan kambuik di kiri. Dan kulihat pula bus berwarna kuning, Merantama. Aku meloncat naik dengan mantap. Menuju Grogol ke tempat mamakku.


*****

No comments: