Wednesday, January 9, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (6)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (6)

6. SYAMSUDDIN YANG MALANG

Kampung berduka dengan kematian Burhanuddin. Masyarakat kampung sangat terpukul dengan peristiwa itu, apalagi dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tentara PRRI ditembak tentara PRRI. Sudah banyak jatuh korban selama perang ini di kampung mereka, tapi sebelum ini kebanyakan adalah warga penduduk yang ditembak tentara APRI, baik yang dicurigai sebagai orang PRRI, ataupun yang salah tembak karena lari ketakutan waktu tentara APRI masuk kampung, terutama anak-anak muda umur belasan tahun. Tapi kali ini, kematian Burhanuddin, seorang anggota PRRI yang pulang karena sakit dan dibunuh oleh sesama tentara PRRI.

Benarkah karena dia dianggap berkhianat?

Kenapa Burhanuddin dianggap pengkhianat? Benarkah dia pengkhianat? Padahal dia ditinggalkan atas perintah komandannya karena sakit malaria berat waktu itu di Bonjol. Bukan dia yang minta ditinggalkan.

Cerita yang diceritakannya kepada istri dan saudara kembarnya Syamsuddin, tentang komandannya Kapten Udin Kulabu menyerah, atau lebih tepat berkhianat, mulai dibicarakan orang kampung. Karena istri Burhanuddin menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Dan sesudah itu cerita itu jadi omongan semua orang. Dengan sendirinya simpati orang kampung mulai berkurang kepada PRRI. Perjuangan PRRI dan cara PRRI berjuang sangat jauh dari yang digembar-gemborkan selama ini.

Tentu saja ikut beredar cerita empat rupiah emas yang digondol komandan khianat itu. Dan malam terbunuhnya Burhanuddin, tentara-tentara pembunuh itu juga berupaya meminta empat rupiah emas, seperti yang diceritakan istri Burhanuddin. Hal ini tentu saja menambah buruk citra PRRI yang sudah mulai pudar. Kok seperti ini cara berjuang PRRI menuntut keadilan? Kok seperti itu moral tentara PRRI? Meskipun sebahagian masyarakat masih ada yang bisa melihatnya sedikit lebih jernih. Orang yang datang malam-malam itu bukan tentara PRRI, tapi lebih pantas disebut perampok.

Ada sekelompok kecil orang yang ikut mencibir di kampung dengan peristiwa terbunuhnya Burhanuddin. Bukan mencibirkan Burhanuddin, tapi mengejek PRRI. Orang-orang yang selama ini memang tidak pernah bersimpati kepada PRRI. Kelompok yang terdiri hanya dari beberapa orang itu dipimpin oleh seorang pemuka adat. Gelarnya Datuk Rajo Bamegomego. Datuk Rajo Bamegomego seorang komunis, seorang PKI tulen. Bencinya kepada perjuangan PRRI selama ini, yang dipelopori oleh orang-orang yang berseberangan secara politik dengan PKI, naik sampai ke ubun-ubun. Tapi selama ini kebencian itu hanya disimpan di dalam hati saja, karena bagian terbesar penduduk justru sangat pro PRRI. Tidak mungkin dia melawan arus.

Setelah perang kelihatannya tidak terlalu memihak kepada PRRI, Datuk Rajo Bamegomego mulai berani menyuarakan isi hatinya. Mula-mula dengan pelan-pelan. Tapi lama kelamaan dia semakin berani. Orang-orang PRRI yang dipimpin orang-orang Masyumi itu adalah orang-orang yang kontra revolusi, begitu katanya. Pengacau yang menyusahkan rakyat. Cobalah lihat, mereka umumkan perang. Siapa yang menderita akibat perang? Tidak lain adalah rakyat. Maka rakyat harus bangkit. Harus melawan. Orang-orang kontra revolusi itu harus dihancurkan, harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Rakyat harus bahu membahu menghancurkan kekuatan pemberontak yang kontra revolusi itu.

Cerita seperti ini dihembuskannya dimana-mana. Kalau dulu secara bisik-bisik, sekarang dia berani berkoar-koar di lepau kopi. Mari, ikutilah kami. Ikut PKI untuk mengenyahkan pemberontak-pemberontak itu. Begitu dia sering berkampanye.

Satu dua orang mulai tertarik mendengarkan ajakan Datuk Rajo Bamegomego. Kalau dilihat sepintas semua yang disampaikannya benar belaka. Sebelum perang PRRI ini kehidupan masyarakat di kampung-kampung aman-aman saja. Rakyat hidup dalam semangat gotong royong yang tinggi. Tapi setelah perang, mula-mula semua orang ikut berperang. Lalu lari masuk hutan. Sebagian ada yang kembali karena tidak tahan lalu langsung kabur ke rantau. Sementara yang tinggal di kampung tidak pula merasa aman. Siang takut kepada tentara APRI, malam takut kepada tentara PRRI. Akibatnya tatanan masyarakat jadi centang perenang.

***

Lama Syamsuddin terkapar sakit sesudah kematian Burhanuddin. Pada hari Burhanuddin dikuburkan dia berkali-kali pingsan. Sepertinya ruhnya ikut dibawa pergi saudara kembarnya itu. Belum lepas habis rindunya sesudah berpisah sekian lama, tiba-tiba sekarang saudaranya itu seperti direnggutkan dari sisinya. Ketika Burhanuddin muncul di kampung, senang hatinya, langsung sehat badannya. Lama kedua saudara itu bercengkerama seperti anak-anak kecil, bercerita, tertawa-tawa, berjalan ke hilir ke mudik di tengah kampung.

Untunglah istrinya sangat telaten merawat. Dan selalu berusaha memberinya semangat untuk tegar dalam menjalani kehidupan. Bagaimanapun juga sudah seperti itu ketentuan Allah Sang Maha Pencipta, tidak mungkin dirubah lagi. Burhanuddin tidak mungkin akan hidup kembali.

Istri yang setia itu berusaha keras mencarikan obat untuknya. Dia berkeyakinan, sakit suaminya kali ini lebih banyak disebabkan faktor kejiwaan. Karena saking dekatnya hubungan mereka sebagai saudara kembar.

Alhamdulillah, lama kelamaan penyakit Syamsuddin mulai sembuh. Sedikit demi sedikit dia mulai bisa kembali beraktifitas. Bisa pergi sembahyang jumat dan duduk ke lepau.

***

Di sebuah lepau kopi di kampung itu sering terjadi debat politik ala kampung. Yang paling garang dalam berdebat adalah Datuk Rajo Bamegomego. Hampir pada setiap kesempatan engku Datuk ini berkampanye tentang partainya PKI. Tentang revolusi. Tentang pentingnya arti kekuatan segenap rakyat, termasuk buruh dan tani dalam mengawasi negeri ini. Sayangnya pula, tidak banyak yang sanggup mematahkan kaji orang tua ini. Ada yang segan karena dia ini seorang penghulu. Ada yang memang tidak tahu apa-apa sehingga segala yang keluar dari mulut engku Datuk indah saja terdengarnya. Kalaupun ada yang menggerutu tidak setuju hampir tidak pernah berani mematahkan pendapatnya.

Syamsuddin sering mendengar ceramah Datuk Rajo Bamegomego di lepau itu. Ikut terbakar emosinya. Timbul simpatinya kepada engku Datuk itu. Lama-kelamaan simpati itupun semakin terbaca oleh engku Datuk. Jadilah dia ditawari ikut barisannya, ikut masuk partainya, PKI. Syamsuddin tidak serta merta menerima. Sempat juga dia berdiskusi dengan istrinya di rumah. Istrinya melarangnya ikut partai merah itu. Ketika dia bertanya apa alasannya, istrinya hanya mengatakan bahwa dia merasa partai komunis itu berbahaya. Kalau hanya perasaan tentulah tidak boleh dijadikan alasan, begitu jawabnya. Istrinya mengingatkan lagi bahwa orang-orang PKI itu atheis. Mereka tidak percaya dengan Tuhan. Syamsuddin kembali mematahkan, biarlah dia jadi komunis yang perkecualian, karena dia adalah orang yang tetap memelihara sembahyang. Dia tetap percaya dengan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya diapun masuk menjadi anggota PKI. Resmi dan diberi kartu anggota PKI. Senang hati Datuk Rajo Bamegomego, karena dia salah satu orang berpendidikan yang berhasil direkrutnya. Seorang pegawai kantor, meski dia hanya tamat sekolah desa di jaman Belanda.

Syamsuddin selalu diajaknya ikut kalau dia pergi rapat ke Bukit Tinggi atau ke Padang. Syamsuddin selalu diindoktrinasi, agar menjadi kader yang benar-benar militan. Tidak boleh melempem, tidak boleh loyo dan lemah, jangan hanya jadi kader sontoloyo, begitu selalu pesan engku Datuk kepadanya.

Perang PRRI akhirnya selesai. Orang-orang PRRI akhirnya menerima untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi meski pada hakekatnya mereka sudah dikalahkan. Para pemimpinnya ditahan pemerintah, tapi tentara biasa umumnya dimaafkan dan dibolehkan kembali ke masyarakat. Tapi luka akibat perang itu tertoreh sangat dalam. Sebahagian besar orang laki-laki yang tadinya ikut berperang, berhamburan ke rantau. Malu untuk tetap tinggal di kampung.

Yang ikut menang adalah PKI. Partai itu semakin lantang saja suaranya. Memaki ke kiri dan ke kanan, memusuhi setiap yang mereka anggap sebagai musuh revolusi. Yang dituduh sebagai antek-antek kapitalis dan kolonialis. Di kampung-kampung, laki-laki sudah banyak yang pergi merantau. Yang tinggal umumnya hanyalah petani, dan banyak di antaranya yang masih buta huruf. Ada petani yang tidak bersekolah itu yang mau diajak masuk partai komunis dengan diiming-imingi cangkul dan sabit. Walaupun tidak banyak.

Syamsuddin selalu dibawa Datuk Rajo Bamegomego mengunjungi orang-orang kampung yang petani itu. Di hadapan mereka biasanya engku Datuk berpidato berapi-api. Pidato itu sering kali tidak terlalu jelas ujung pangkalnya, tapi secara sederhana isinya adalah ajakan, ‘mari ikut dengan kami, mari ikut masuk PKI, kita hancurkan musuh revolusi.’

Sebenarnya engku Datuk seringkali dibuat jengkel oleh Syamsuddin karena tidak menurut semua perintahnya. Ada dua perintah engku Datuk yang tetap dilanggarnya. Pertama perintah meninggalkan sembahyang. Mulai dengan cara halus, dengan mengatakan mengerjakan sembahyang itu nanti saja kalau perjuangan sudah selesai. Dengan cara setengah kasar, dengan mencemeeh apa gunanya sembahyang yang membuang-buang waktu, tidak ada manfaatnya. Sampai dengan cara kasar, dengan mengatakan Syamsuddin bodoh, mau tunggang tunggik menghadap yang sudah pasti tidak ada.

Hal kedua yang tidak kunjung dikerjakan Syamsuddin adalah menceraikan istrinya yang anggota Masyumi itu.

‘Kamu harus menceraikan istrimu yang musuh dalam selimut itu Marajo,’ ujar Datuk Rajo Bamegomego pada suatu kesempatan.

Gelar Syamsuddin adalah Sutan Marajo.

‘Musuh bagaimana engku Datuk? Dia taat dan patuh kepada saya. Apa alasan saya menceraikannya?’

‘Kamu jangan jadi komunis sontoloyo. Masak kamu tidak melihat orang seperti istrimu itu musuh? Dia orang Masyumi. Masyumi itu partainya para pemberontak. Masak kamu tidak faham?’

‘Di rumah dia tidak sejahat itu engku. Baju saya dicucikannya, makanan saya dimasakkannya, anak-anak saya diurusnya, bagaimana mungkin saya akan menceraikannya?’

‘Kau betul-betul bodoh. Kalau itukan memang sudah menjadi tugas istri. Ceraikan dia, cari istri yang lain, yang sefaham dengan perjuangan kita. Kalau kau dapat istri baru, maka tugas istrimu itu nantipun akan seperti itu juga. Mencucikan bajumu, memasakkan nasi untukmu,’ engku Datuk bertambah marah.

‘Tapi diakan ibu anak-anak saya. Masakan harus beributiri pula anak-anak saya?’

‘Hei Marajo teleng!. Orang komunis sejati itu merah darahnya, merah tulangnya, merah hatinya, merah segala-galanya. Jangankan menceraikan istri, kalau diharuskan oleh perjuangan, kalau memang terbukti istri itu musuh, seorang komunis sejati tidak akan ragu-ragu membantai istrinya. Jangankan istri, orang tuanyapun bila perlu sanggup dia membantai. Jelas olehmu? Camkan itu! Kalau kau tidak mau menjadi kader yang militan kau akan digilas roda revolusi. Hati-hati kau! Aku sudah berkali-kali mengalangkan leherku membela kau di hadapan kamerad lain di Padang. Gara-gara sembahyang kau. Sembahyang yang jelas tidak ada gunanya itu. Pekerjaan orang sakit jiwa yang percaya takhayul. Percaya sesuatu yang tidak ada. Kamerad yang lain sudah ingin agar kau keluar saja. Kau diselesaikan saja. Kau hanya akan menjadi penyakit di dalam tubuh partai. Aku masih kasihan kepadamu. Makanya aku kalangkan marihku membelamu. Kau tak kunjung faham-faham juga.’

Syamsuddin diam saja. Dalam hatinya sedikitpun tidak ada niatnya untuk menceraikan istrinya. Partai ini sepertinya makin kelihatan tidak sendereh. Tapi sayang dia sudah berada di dalam. Biarlah, selama kemarahan Datuk Rajo Bamegomego baru sampai sejauh itu masih bisa ditahankannya. Biarpun dia bercarut-carut bungkang sekalipun. Tapi kalau sudah mengancam-ancam mungkin dia harus berpikir lebih jauh. Dia tidak yakin engku Datuk akan berbuat lebih jahat kepadanya. Paling tidak belum sekarang ini. Karena selama ini dia masih sangat dibutuhkan. Sekurang-kurangnya, kalau ada urusan rapat ke Padang selalu dia yang membayar karcis oto.

Jadi dia aman-aman saja. Kalau engku Datuk kembali heboh, kapanpun, cukuplah dia mengorbankan telinganya saja. Didengar dengan telinga kanan, dikeluarkan kembali lewat telinga kiri.

Di rumah segala cerita ganjil-ganjil yang didapatnya dari lingkungan partai diceritakannya kepada istrinya. Istrinya menasihatinya supaya segera sajalah keluar dari partai itu. Partai yang terlalu kasar sepak terjangnya dan sangat menghina akidah. Sudah ada terngiang dihatinya untuk mempertimbangkan usulan istrinya itu. Tapi ada pula kekhawatiran kalau-kalau orang partai itu mengamuk nanti kepadanya. Caranya bisa saja dengan segala macam. Cara menyelesaikan orang yang tidak disenangi dibahas terang-terangan di dalam rapat. Istilahnya orang itu dibiarkan digilas roda revolusi untuk dikirim ke neraka.

Sementara itu Syamsuddin tetap bertahan.



*****

No comments: