Thursday, February 21, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.8)

8. Bukit Tinggi

Sesudah shalat maghrib (kali ini mereka jama’ dengan shalat isya) keduanya pergi ke bawah Jam Gadang. Betul saja, banyak orang duduk-duduk di taman di dekat Jam Gadang. Sambil ngobrol-ngobrol bergerombol-gerombol. Udara sangat cerah. Bulan hampir penuh bersinar di sebelah timur di ujung timur gunung Merapi. Sosok gunung Merapi terlihat cantik di bawah sinar bulan. Pemandangan ke gunung Singgalang agak tertutup dari sini.

Disini juga banyak polisi wisata yang ikut berada di tengah keramaian sore itu.

’Berapa banyak petugas berbaju Melayu itu di seluruh Negeri Minangkabau? Aku melihat mereka hadir dimana-mana,’ tanya Aswin.

‘Mungkin ada sekitar lima ribu orang. Mereka bertugas bergiliran siang dan malam dan ditempatkan di setiap objek wisata. Tugas mereka untuk menjaga agar tidak ada yang melakukan hal-hal yang terlarang, baik oleh kaum pelancong maupun oleh anak negeri. Mereka sangat ramah, tapi juga sangat tegas. Kalau ada yang melakukan pelanggaran kecil, misalnya membuang sampah sembarangan, atau menyerobot antrian pasti mereka tegur. Tapi kalau ada yang melakukan pelanggaran berat, misalnya mencoba-coba membuat keonaran pasti mereka tangkap dan mereka serahkan ke polisi biasa, ’ Pohan menjelaskan.

’Apakah mereka bersenjata?’

’Tidak. Mereka hanya membawa borgol. Karena mereka sangat tegas mereka disegani dan ditakuti. Masyarakat juga diberitahu bahwa pembangkangan atau perlawanan terhadap polisi wisata berat hukumannya. Bisa sampai tahunan dalam penjara. Dan polisinya sendiri juga diawasi oleh atasan-atasan mereka dengan sangat ketat. Seandainya polisi wisata diketahui berbuat jahat kepada masyarakat, katakanlah misalnya dengan memeras maka hukumannya lebih berat pula kepada mereka.’

’Bagus sekali, dan sistim pengamanan itu bekerja sangat bagus kelihatannya,’ komentar Aswin.

’Kelihatannya begitu. Tapi, ngomong-ngomong apakah kamu sudah lapar?’ tanya Pohan pula mengalihkan pembicaraan.

’Sebenarnya belum. Tapi waktunya memang agak tanggung. Ada usulan?’ Aswin balik bertanya.

‘Tadi kita sudah memberitahu etek kita tidak akan makan malam di rumah. Kalau kamu sudah sanggup makan lagi mari kita pergi makan gulai bebek hijau,’ ajak Pohan.

’Aha, gulai itik Koto Gadang? Ada restoran khusus gulai itik Koto Gadang?’’ Aswin jadi antusias.

’Ya. Gulai itik Koto Gadang. Kalau mau makan disana saat ini yang paling tepat. Kedai itu tutup jam sembilan malam. Kalau kita makan disana sekarang, gulainya baru masak dan masih panas,’ Pohan menjelaskan.

’Kalau begitu kita kesana sekarang. Bisalah perutku diisi lagi. Apalagi dengan gulai itik, mmmh, pasti yummie.’

Pohan membawa Aswin ke kedai nasi gulai itik hijau di dalam Ngarai Sianok. Aswin agak terheran-heran waktu mobil itu di bawa melalui jalan menurun dan berkelok-kelok ke tempat tersebut.

’Dimana tempatnya?’ tanya Aswin.

’Di dalam ngarai yang kita lihat tadi sore,’ jawab Pohan.

’Di dalam ngarai? Apakah disana juga ada tempat pertunjukan?

’Tidak ada. Hanya kedai nasi gulai itik itu saja.’

Mereka sampai disana. Kedai nasi itu sedang banyak pengunjungnya. Aswin dan Pohan terpaksa menunggu kira-kira seperempat jam lamanya sampai ada tempat kosong. Bau gulai itik itu saja sudah menjadikan perut segera minta diisi.

’Betul juga yang kamu bilang. Kalau kita terlambat datang mungkin makin lama antrinya. Bisa-bisa kita tidak kebahagian.’

’Kebagian sih pasti. Karena mereka memasak banyak sekali setiap sore, untuk dijual sampai besok siang. Hanya, jam sembilan malam kedai ini sudah tutup. Aku agak heran kenapa mereka tidak memperbesar ruangan kedai ini sehingga bisa lebih banyak lagi orang bisa ditampung,’ ucap Pohan.

’Apakah pemiliknya orang Koto Gadang?’ tanya Aswin.

’Ternyata bukan. Tapi masakannya diakui seenak gulai itik orang Koto Gadang. Pengakuan ini keluar dari mulut etek, yang pintar memasak itu,’ jawab Pohan.

Mereka berbincang-bincang santai sambil menunggu giliran dalam sebuah antrian. Akhirnya giliran mereka datang juga. Tempat kosong sudah tersedia untuk mereka. Sementara di belakang mereka masih ada sekitar sepuluh orang lagi yang antri.

Dan gulai itik hijau itu ’is the best’. Pedas tapi sangat enak. Mereka makan bertambuh-tambuh lagi. Dengan gulai dada dan kalang itik. Bukan main.

Aswin terperangah sesudah menghabiskan dua piring nasi dan tiga potong gulai itik. Sampai peluhnya bercucuran, padahal di malam yang sudah mulai dingin udaranya.

’Waaw. Aku makan disertai nafsu malam ini. Gulai itik ini sangat menggoda. Perutku tersiksa kekenyangan,’ Aswin mengeluh.

’Kalau begitu sebaiknya besok kita puasa saja,’ jawab Pohan berseloroh.

’Ya. Kecuali minum kopi telur pagi-pagi. Dan sepiring kecil ketan lalu goreng pisang raja, cukuplah,’ jawab Aswin.

’He..he..he.. Bagaimana kalau sarapan besok pagi etek tidak menyiapkan ketan dan goreng pisang?’

’Mudah-mudahan tetap ada. Soalnya tadi pagi aku memohon begitu,’ jawab Aswin pula.

Setelah terperangah kekenyangan untuk beberapa saat, mereka segera meninggalkan kedai itu. Sebelumnya orang kedai sudah datang menghitung harga makanan yang mereka makan, memberi isyarat halus, karena diluar masih panjang antrian orang yang akan makan gulai itik pula.

’Ada lagikah makanan khas yang akan kita coba besok-besok?’ tanya Aswin dalam perjalanan kembali keluar dari dalam ngarai.

’Tentu. Ada nasi Kapau. Masakan Minang biasa tapi agak khusus. Berasal dari kampung Kapau,’ jawab Pohan.

’Biarlah itu urusan besok. Makanan disini enak-enak semua.’

’Ada lagi sate ayam berbumbu kacang. Tempatnya di Atas Ngarai tadi. Ada kedai sate di belakang bangunan panorama tempat tadi kita duduk-duduk.’

’Sudahlah, pokoknya kamu atur saja agar kita bisa mencicipi masing-masing itu.’

’Dan jangan lupa ampiang badadiah yang belum sempat kamu cicipi tadi,’ Pohan masih memanas-manasi

‘He..he..he… jangan-jangan dalam seminggu tidak sempat tercicipi semua.’

’Kalau begitu diperpanjang saja waktu disini. Sebulan misalnya..... he.. he..he..’

’Aku langsung dipecat dari tempat bekerja,’ jawab Aswin.

Sekarang mereka menuju ke gedung Eri tempat permainan kim seperti yang diceritakan Pohan tadi. Pohan membeli dua lembar karcis masuk. Kepada mereka diberikan sepuluh lembar kartu kim. Lembaran dengan angka-angka antara angka 1 sampai angka 90 tercantum berjajar-jajar, lima kolom angka ke kanan dan enam baris ke bawah. Di dalam ruangan bekas bioskop ini sudah banyak orang yang menunggu permainan kim dimulai. Didepan mereka ada sebuah papan board berisi angka-angka dari 1 samai 90 pula, cukup besar untuk dapat dilihat dari kursi paling belakang.

Jam setengah sembilan permainan itu dimulai. Di atas panggung ada seorang penyanyi ditemani pemain musik talempong dan peniup bansi. Penyanyi itu mendendangkan pantun-pantun yang setiap pantun menjelaskan nomor. Dia berdendang diiringi suara bansi dan talempong. Kali ini musik dan irama lagunya tidak menghiba-hiba seperti lagu saluang. Setiap kali penyanyi itu mengambil sebuah koin angka dari sebuah kaleng, lalu menyebutkan angka yang tertera itu dengan pantun-pantun yang sesuai. Pada saat yang sama lampu dengan angka yang dicabutnya itu menyala di board angka-angka. Setelah mengeluarkan beberapa buah angka, kaleng koin itu diguncangnya, menambah heboh suasana. Peserta main kim sibuk mencoret setiap angka yang keluar di kartu mereka masing-masing dengan kapur yang disediakan. Sambil mereka terangguk-angguk mengikuti irama lagu tukang nyanyi. Peserta main kim ini adalah para turis, bahkan orang-orang asing. Mereka ikut menikmati dendang yang seronok diiringi bunyi bansi dan talempong yang juga seronok. Sedangkan angka yang keluar cukup mereka lihat dari board angka-angka karena mereka tidak mengerti isi pantun tukang nyanyi kim. Setelah beberapa waktu berlalu, dan jumlah angka-angka yang keluar sudah lebih dari separo, tiba-tiba seseorang berteriak sambil mengacungkan kartunya. Kelihatannya dia sudah berhasil memenuhi lima kolom dan tiga baris angka atau lima belas angka dalam kolom-kolom yang berurutan. Kartu itu diserahkannya kepada penyanyi di atas panggung.

Si penyanyi memeriksa apakah dia betul-betul sudah memenangkan permainan. Ketika si penyanyi mengesahkan kemenangan itu, si pemenang diberi hadiah yang lucu-lucu. Ada yang mendapat hadiah boneka gajah. Permainan seri yang sama dilanjutkan sampai pemenang berikutnya juga berteriak memberi tahu bahwa dia juga sudah memenuhi kolom-kolom angkanya. Kali ini pemenangnya dapat hadiah sebuah peci. Agak lumayan.

Permainan kim akan berlanjut sampai jam sebelas malam. Aswin menyukai permainan ini dan ikut terangguk-angguk mendengar dendang si penyanyi. Tapi dia tidak terlalu perduli dengan angka-angka yang keluar. Karena capek juga setiap kali harus menengadah melihat angka yang menyala di papan board angka-angka.

‘Sudah jam sepuluh lebih, kamu belum ngantuk ?’ tanya Pohan ketika dia lihat Aswin sudah beberapa kali menguap.

‘He..he.. aku sudah ngantuk. Kita pulang ?’

‘Aku tahu kamu sudah ngantuk. Aku lihat kamu berkali-kali menguap. Tapi aku heran kok kamu masih betah,’ kata Pohan pula.

’Ya. Lagu kim ini memang asyik. Tapi, ya sudahlah. Mari kita pulang. Pasti kamu juga sudah kecapekan,’ ujar Aswin sambil berdiri dari tempat duduknya.

Mereka segera menuju pulang ke Koto Gadang. Untuk segera tidur. Karena hari ini sangat melelahkan. Namun sangat berkesan. Melihat semua yang indah dan menakjubkan.

*****

No comments: