Saturday, May 9, 2009

DERAI-DERAI CINTA (26)

26. RATIH

Kalau ada yang menanyakan dari mana aslinya, Ratih selalu menjawab bahwa dia anak Indonesia asli. Jawaban yang tidak mengada-ada. Ayahnya campuran Jawa dan Sunda. Ibunya campuran Aceh dan Minang. Namanya biasa ditulis Cut Ratih. Nama yang agak aneh terdengar. Tapi yang lebih populer, yang lebih dikenal adalah Ratih saja. Ayahnya pegawai PU di Bandung dan ibunya guru SMP. Ratih adalah anak kedua dari empat orang bersaudara. Kakaknya mahasiswa APDN di Dago. Dua adiknya masing-masing seorang laki-laki bersekolah di SMA dan yang paling kecil, perempuan, masih duduk di bangku kelas satu SMP. Ayahnya bernama Bambang Sadarta. Orangnya ramah. Pak Bambang Sadarta memiliki 4 buah rumah petak kecil di samping rumahnya, yang dikontrakkan kepada mahasiswa-mahasiswa.

Keluarga Bambang Sadarta menempati rumah induk yang lumayan besar. Di rumah yang besar itu ikut tinggal ibu mertuanya yang oleh cucu-cucunya dipanggil uci. Uci yang usianya hampir tujuh puluh tahun itu masih sehat. Masih kuat dan gesit. Di rumah itu mereka tidak punya pembantu. Uci yang memimpin mengatur rumah karena pak Bambang Sadarta dan istrinya sama-sama bekerja. Uci merupakan figur yang sangat berpengaruh. Beliau tidak banyak omong dan sangat berwibawa. Cucu-cucu beliau hormat dan segan kepada beliau. Kehadiran beliau di tengah-tengah keluarga sangat dihargai dan sangat diperlukan. Uci yang mengajar Ratih kakak beradik perduli dengan agama. Uci yang mengajar mengaji. Uci yang selalu hadir di rumah karena ayah dan ibu bekerja.

Bapak dan ibu Bambang Sadarta sangat keras dalam mendidik anak-anak. Terutama ibu Bambang. Mungkin karena beliau adalah seorang guru. Di rumah anak-anak diajar mengenal peraturan dan disiplin. Mengenali kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Semua ikut bertanggung jawab mengurus rumah tanpa kecuali. Membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya dikerjakan bergotong royong.

Ratih yang paling dekat dengan uci, mungkin karena dia anak perempuan yang lebih tua. Boleh dikatakan dia adalah tangan kanan uci dalam mengurus rumah terutama untuk urusan dapur. Ratih terbiasa dan pintar memasak. Kadang-kadang dia juga pergi berbelanja ke pasar. Karena lebih dekat dengan uci, beliau lebih sering menasihati Ratih. Uci selalu menasihati agar dia menjadi wanita yang cekatan. Agar selalu menjaga adab sopan santun. Agar selalu taat beribadah kepada Allah. Agar berhati-hati dalam pergaulan. Agar tidak ikut-ikutan bergaul bebas tanpa kendali. Ratih menerima semua nasihat uci itu dengan patuh dan ikhlas.

Ratih sangat pandai bergaul. Dia disenangi teman-teman karena orangnya ramah dan sederhana. Dalam berteman dia tidak memilih-milih. Selama orang baik kepadanya, Ratih berusaha lebih baik lagi kepada orang itu. Teman-teman Ratih tidak terbatas anak-anak perempuan saja. Dengan teman laki-lakipun dia tidak canggung bergaul. Tapi tidak berarti dia mudah didekati untuk dijadikan teman istimewa. Untuk dijadikan pacar. Ratih belum pernah mau berpacaran. Banyak teman laki-lakinya yang berusaha mendekatinya karena dia cantik dan ramah. Belum pernah ada yang berhasil.

Namun bagaimanapun, dia adalah seorang remaja biasa. Kira-kira setahun yang lalu dia secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Imran penghuni salah satu rumah petak kontrakan. Waktu itu dia memerlukan pertolongan. Bukan sekali itu dia melihat Imran. Karena Imran sudah tinggal disitu lebih setahun. Dia tahu bahwa di rumah petak paling ujung itu tinggal dua orang mahasiswa dari Padang. Dia tahu bahwa kedua mahasiswa asal Padang itu boleh dikatakan yang paling tertib di antara penghuni rumah kontrakan yang lain dalam segala hal. Sebelum itu, kalau bertemu biasanya mereka hanya sekedar saling mengangguk dan tersenyum.

Pada hari itu, setahun yang lalu itu, Ratih terpaksa minta tolong karena uci terkunci di kamar mandi dan kunci itu tidak bisa dibuka. Tidak bisa dibuka dari luar dan tidak bisa dibuka dari dalam. Di rumah hanya ada nenek dan Ratih. Lebih setengah jam uci terkurung, Ratih tidak berhasil membuka kunci pintu yang macet itu. Akhirnya dia terpaksa mencari pertolongan. Ketika itu Imran baru saja pulang kuliah. Hanya dia satu-satunya yang ada karena semua penghuni rumah kontrakan yang lain sedang kuliah. Ratih minta tolong kepada Imran membukakan kunci macet itu. Kunci itu tetap tidak bisa dibuka. Imran akhirnya mencopot pegangan pintu kamar mandi itu, baru pintunya bisa dibuka dan uci bisa keluar. Kunci itu akhirnya diperbaiki oleh tukang kunci. Ratih sangat berterima kasih. Begitu pula uci. Uci berbicara dengan Imran dalam bahasa Minang.

Ternyata Imran seorang pemuda yang ramah. Dan sangat sopan. Sejak itu kalau bertemu mereka tidak lagi hanya sekedar mengangguk dan tersenyum tapi diikuti dengan sedikit obrolan. Begitulah seterusnya sampai mereka jadi lebih akrab. Bagi Imran kenal dengan Ratih adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Sejak kejadian kunci macet itu belum pernah sekali juga dia kembali ke rumah itu untuk beramah tamah dengan Ratih.


***

Mengenal Imran rupanya sangat berkesan bagi Ratih. Diam-diam dia semakin tertarik kepada anak muda itu. Dia gagah. Ngobrol dengannya sangat menyenangkan karena dia sopan. Bicaranya santun. Tidak ada kesan sombong. Tidak pernah sekali juga ada kesan pamer. Tidak seperti kebanyakan teman laki-lakinya yang umumnya agak slengekan. Yang suka ngobrol rada-rada menjurus. Atau yang suka pamer dan sombong mentang-mentang mahasiswa ITB. Imran bukan tipe seperti itu. Tutur katanya manis dan tidak dibuat-buat. Sorot matanya tidak sama dengan sorot mata anak laki-laki yang suka jahil. Yang suka melirik kemana-mana.

Ratihpun jatuh hati. Agak terbalik. Tapi itulah yang terjadi. Ratih terbuai mimpi setiap kali dia punya kesempatan untuk berbincang-bincang sedikit dengan Imran. Dicari-carinya alasan untuk bisa ngobrol lagi. Untuk bisa bertemu lagi. Beberapa kali Ratih datang membawakan makanan dengan pesan bahwa makanan itu dari uci. Katanya uci yang menyuruh antarkan. Padahal Ratih yang mengingat-ingatkan sehingga uci akhirnya menyuruh antarkan sedikit makanan untuk si Imran urang awak itu.

Pada suatu kesempatan ngobrol, Imran mengatakan bahwa menurut ketentuan adat Minang, Ratih adalah orang Minang. Karena uci, nenek perempuannya orang Minang, ibunya adalah orang Minang dan dia sendiri adalah orang Minang. Begitu menurut aturan matriakhat yang dianut orang Minangkabau. Ratih terkagum-kagum mendengarnya. Dia tanyakan kebenaran dari cerita Imran itu kepada uci dan uci membenarkannya. Ratih bangga rasanya jadi orang Minang. Meskipun namanya Ratih. Meskipun namanya Cut Ratih. Cut sebagai pemberian dari kakeknya almarhum. Ternyata dia orang Minang sama seperti Imran. Seperti kak Imran.

Ratih merasa sangat kehilangan selama Imran mengerjakan praktek lapangan di Karang Sambung. Dia tidak tahu ketika Imran berangkat. Pada hal pada hari Imran berangkat itu dia datang mengantarkan undangan ke acara ulang tahunnya. Ternyata Imran sedang keluar kota. Dan dia tidak menyangka Imran pergi selama itu. Beberapa kali dia menanyakan kapan Imran kembali kepada Syahrul teman serumahnya. Pada hal Syahrul sudah memberi tahu bahwa tugas lapangan Imran itu empat puluh hari lamanya.

Waktu dia menanyakan lagi dua hari yang lalu, Syahrul mengatakan bahwa Imran sudah kembali, tapi sedang tidak ada di rumah. Ratih semakin ingin bertemu. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya nanti kalau bertemu Imran. Tapi sampai sekarang dia belum juga berhasil melihat Imran. Sore kemarin sampai tiga kali dia bolak balik menanyakan Imran. Orang itu tetap belum ada. Ingin rasanya dia kembali lagi sekali lagi. Tapi dia malu. Malu dengan seisi rumah. Malu dengan Syahrul.

***

Imran ingin pergi ke Jakarta. Rindu dia kepada nenek. Sudah beberapa bulan berlalu sejak terakhir kali dia mengunjungi nenek. Mumpung masih belum ada kegiatan kuliah. Kuliah baru akan dimulai sesudah selesai masa perkenalan mahasiswa baru nanti. Berarti masih sekitar dua minggu lagi. Pagi ini dia akan mengurus belanjaan kain untuk dikirim ke Bukit Tinggi dan sore nanti dia akan ke Jakarta.

Waktu Imran naik oplet di jalan Dago dia lihat Ratih baru turun dari oplet di seberang jalan. Ratih juga melihatnya dan berteriak memanggil. Imran melambaikan tangan dan memberi isyarat bahwa dia ada keperluan sebentar. Masih didengarkannya ujung kata-kata Ratih dari kejauhan. ‘Nanti ya...’ Entah apa maksudnya.

Ratih tambah penasaran karena bertemu Imran hanya sekelebat itu saja. Mudah-mudahan nanti sore dia bisa bertemu.

Urusan pengiriman kain selesai jam satu siang. Selama hampir dua bulan ini tidak ada pengiriman. Masalahnya bukan hanya sekedar mengirim, yang bisa saja diminta-tolongkan kepada syahrul, tapi yang lebih rumit adalah memilih corak dan warna kain. Hal ini memerlukan sedikit keahlian dan jiwa seni. Imran memiliki kedua-duanya. Kain pilihannya terjual dengan mudah di Bukit Tinggi. Imran sepertinya mengenal selera pembeli disana.

Setelah urusan pengiriman kain selesai Imran mampir ke Sekeloa untuk memberi tahu bahwa dia akan ke Jakarta. Ternyata hanya ada bibik saja di rumah. Imran menitip pesan untuk disampaikan ke tante Ratna bahwa dia akan ke Jakarta. Lalu dia langsung pulang.

Imran mengemasi pakaian dan tas kecilnya. Ditinggalkannya pesan untuk Syahrul bahwa dia mendadak ke Jakarta untuk dua tiga hari.


*****

No comments: