Monday, December 22, 2008

SANG AMANAH (102)

(102)

Darmaji dan Rita sampai di sekolah sebelum jam istirahat pertama. Di ruang guru ada pak Hardjono, pak Wayan, ibu Sofni dan ibu Sarah. Mereka langsung saja mengolok-olok pengantin baru itu.

‘Waduh…..nih pengantin baru. Ceria banget. Kangen, ya sama sekolah? Kapan dari bulan madunya sih?’ tanya ibu Sofni. Guru-guru lain pada tersenyum melihat pasangan bahagia itu.

‘Jelas kangen dong. Udah seminggu nggak dikunjungi,’ jawab ibu Rita.

‘Kemana bulan madunya?’ tanya ibu Sarah.

‘Nggak kemana-mana kok buk. Kita dirumah saja. Mau bulan madu kemana? Lagian repot bawa-bawa madu ke bulan,’ jawab pak Darmaji.

Guru-guru itu tertawa mendengar banyolan segar pak Darmaji itu.

‘Jadi barusan dari rumah aja?’ tanya ibu Sofni.

‘Ya, buk. Kami habis membaca koran tentang kecelakaan di Situbondo. Ngeri ya?’ ujar ibu Rita.

‘Ih, ngeri sekali. Saya sampai gemetaran lho melihat di TV tadi pagi,’ jawab ibu Sarah.

‘Ya itulah, yang namanya musibah. Kita kemarin kan kena musibah juga? Murid kita Suwagito kecelakaan di depan sana. Pak Darmaji sama ibu Rita sudah dengar?’ tanya pak Hardjono.

‘Musibah gimana pak?’ tanya ibu Rita.

‘Ditabrak angkot. Pas pulang sekolah kemarin,’ jawab pak Hardjono.

‘Suwagito kelas tiga?’ tanya pak Darmaji.

‘Iya. Anak kelas tiga IPS satu,’ jawab pak Hardjono.

‘Terus sekarang bagaimana kondisinya pak?’ tanya ibu Rita.

‘Kemarin itu pingsan. Mula-mula dibawa ke rumah sakit Harmoni. Katanya perlu dioperasi dan nggak bisa di Harmoni. Jadi disuruh bawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera. Tapi kelihatannya ada kendala biaya. Itu yang saya dengar,’ jawab pak Hardjono pula.

‘Pak Hardjono dengar dari siapa?’ tanya pak Darmaji.

‘Dari pak Umar. Pak Umar dari kemarin sibuk ngurusin. Kemarin itu Keluarga Sejahtera mula-mula nggak mau nerima karena harus meninggalkan uang jaminan empat juta. Orang tuanya Gito itu sudah menyerah. Orang dia sopir taksi. Tapi pak Umar mendesak dan bicara dengan direktur rumah sakit itu. Akhirnya bisa, tapi pagi ini pak Umar harus menyerahkan uang jaminan itu. Sedangkan untuk biaya operasi mungkin lebih mahal lagi. Nggak tahu bagaimana kelanjutannya,’ ujar pak Hardjono.

‘Ada-ada saja, ya!? Kasihan benar anak itu,’ ujar ibu Rita.

‘Tapi ngomong-ngomong, bapak dan ibu sudah baca berita ini belum? Saya penasaran, apa ini bukan pak Umar kita?’ pak Darmaji menunjukkan koran dengan pengumuman pemenang hadiah dari film foto berwarna.

Pak Hardjono mengamat-amati tulisan itu. Sebuah pengumuman di koran resmi ibu kota, rasanya tidak mungkin bohong. Dan rasa-rasanya, ini pasti pak Umar kepala sekolah ini. Tapi apa benar pak Umar ikutan undian yang dilakukan produser film foto berwarna? Pak Hardjono, pak Wayan, ibu Sofni dan ibu Sarah tidak habis pikir. Tentang pengumuman pemenang ini rasanya sih iya. Dan kalau iya, wah lumayan juga kalau kepala sekolah kita ini sekarang bermobil ke sekolah. Ibu Sofni mengamat-amati pengumuman itu lebih seksama.

‘Rasanya ada yang aneh. Pemenang yang lain berikut nomor KTPnya, tapi pak Umar Hamzah……., Drs. Umar Hamzah MPd hanya dengan catatan kepala sekolah SMU Jakarta Timur. Agak aneh deh. Apa pak Umar tidak punya KTP ketika beliau mengirimkan kartu undian berhadiah?’

‘Saya rasa, saya tahu jawabnya kira-kira. Ini mungkin perbuatan murid-murid kita. Sehabis kompetisi basket tempohari Hardi mencetak dua album foto. Mungkin dia yang memasukkan nama pak Umar ke undian berhadiah ini.’

Guru-guru itu berpandang-pandangan. Sepertinya itu lebih mungkin. Sepertinya bukan pak Umar sendiri yang mengirimkan kupon undian berhadiah dari produser film foto berwarna. Tiba-tiba muncul pak Mursyid. Dia baru habis mengajar. Sudah masuk jam istirahat pertama. Lonceng tanda istirahat terdengar berbunyi. Satu per satu guru-guru kembali dari kelas masing-masing. Guru-guru itu langsung mengolok-olok pengantin baru, pak Darmaji dan ibu Rita. Ada pak Situmorang juga. Ikut juga mencandai pengantin baru. Tapi kemudian hampir semua membahas soal hadiah undian yang ada di koran itu. Pak Hardjono pergi keluar, mencari Hardi. Hardi sudah hampir lupa tentang kupon berhadiah itu. Tapi akhirnya dia ingat, Arif yang dulu mengisinya. Pak Hardjono menyuruh Hardi mencari Arif dan membawanya ke kantor guru.

Di kantor guru ramai sekali. Ada yang masih mengolok ibu Rita dan pak Darmaji. Ada yang sedang membahas kondisi Suwagito yang masih terbaring di rumah sakit. Ada yang membahas hadiah kupon undian pak Umar. Pokoknya ramai. Memang biasanya begitu. Tiba-tiba muncul Hardi bersama Arif, murid kelas tiga IPA, yang langsung dipanggil pak Hardjono.

‘Rif, apa kamu pernah mengisi kupon undian berhadiah film foto berwarna beberapa bulan yang lalu?’ tanya pak Hardjono.

‘Pernah pak. Waktu itu saya menemani Hardi mengambil hasil foto sesudah kompetisi basket. Memang ada kuponnya waktu itu. Saya isi. Atas nama pak Umar,’ jawab Arif.

Guru-guru yang berada dekat pak Hardjono terdiam. Pelan-pelan semua guru di ruangan itu terdiam.

‘Coba teruskan Rif. Bagaimana kamu tulis nama pak Umar waktu itu?’ tanya pak Hardjono lagi.

‘Saya tulis Drs. Umar Hamzah MPd, begitu pak. Pada kolom nomor kartu identitas saya tulis saja, kepala sekolah SMU 369 Jakarta Timur,’ jawab Arif.

Pak Hardjono memperlihatkan pengumuman di koran itu kepada Arif. Arif membacanya sepintas.

‘Benar seperti itu yang kamu tulis?’ tanya pak Hardjono.

‘Iya, pak. Kecuali saya tulis nomor SMUnya lengkap. Jadi pak Umar dapat hadiah mobil, pak? Subhanallah….. saya senang sekali pak,’ jawab Arif.

‘Pertanyaan saya yang pertama, kuponnya tidak ada yang kamu simpan? Maksud saya tidak ada potongannya sebagai bukti ikut serta perlombaan itu?’ tanya pak Hardjono.

‘Ada, pak. Ada, saya tarok di album foto dulu itu, Har. Kamu masih ingat nggak?’ tanya Arif ke Hardi.

‘Ya, saya masih ingat pak. Album itu masih ada di kamar saya di rumah. Saya yakin sekali itu. Tapi saya tidak melihat ada kupon didalamnya. Atau mungkin tidak saya perhatikan,’ jawab Hardi.

‘Baik, mudah-mudahan kupon itu masih ada di sana. Bisa kamu bawa besok?’ tanya pak Hardjono.

‘Kalau diijinkan bisa saya jemput sekarang pak. Rumah saya nggak jauh kok. Saya tinggal di Pondok Bambu, dekat sini saja. Dua puluh menit deh, pulang balik, mungkin kurang,’ ujar Hardi.

‘Kamu habis ini pelajaran apa?’ tanya pak Hardjono.

‘Harusnya pelajaran ibu Rita pak. Tapi, katanya ibu Rita masih cuti. Mungkin ada penggantinya. Mungkin pak….. apa ya? Apa pak Darsono? Minggu kemarin pas ibu Rita nggak ada, digantiin pak Darsono, tapi cuman satu jam pelajaran karena bentrok dengan kelas IPA 4.’

‘Kalau begitu mungkin kamu ambil saja sebentar. Tapi hati-hati. Kamu naik apa?’

‘Saya naik motor pak.’

‘Mungkin dikasih izin aja ya, bu Rita? Sebentar?’

‘Silahkan saja! Asal hati-hati! Jangan ngebut,’ ujar ibu Rita.

Hardi bergegas pergi. Pak Hardjono masih melanjutkan pertanyaan ke Arif. Guru-guru lain masih ikut mendengarkan. Semua ikut tertarik mendengarkan wawancara khusus itu.

‘Nah sekarang begini, ternyata undian ini menang Rif. Bagaimana pendapat kamu? Karena yang mengisinya adalah kamu? Kenapa sih tidak kamu isi nama kamu saja waktu itu?’ tanya pak Hardjono.

‘Ya itu milik pak Umar, pak. Jelas itu milik pak Umar. Bukan milik saya,’ jawab Arif polos.

Guru-guru pada tersenyum mendengarkan kepolosan anak ini.

‘Yakin?’ tanya pak Hardjono.

‘Yakin sekali pak. Itu milik pak Umar, karena jelas-jelas nama pak Umar tertulis sebagai pemenangnya di koran itu,’ jawab Arif.

Lonceng masuk sesudah istirahat berbunyi. Pak Hardjono sudah cukup puas dengan jawaban-jawaban Arif dan tidak ingin menanyakan apa-apa lagi.

‘Baik Rif. Nanti kami sampaikan berita ini ke pak Umar. Kita tunggu bagaimana reaksi pak Umar. Seandainya sama pak Umar kamu dikasih separo kamu mau tidak?’ tanya pak Hardjono.

‘Biar buat pak Umar saja, pak,’ jawab Arif.

‘Baiklah, kamu boleh masuk kelas. Terima kasih atas informasi kamu,’ ujar pak Hardjono.

Pertemuan itu bubar. Guru-guru itu menuju ke kelasnya masing-masing. Kecuali pak Darmaji dan ibu Rita yang masih cuti. Mereka kembali pulang.


*****

Pak Umar agak lega, karena urusan di rumah sakit Keluarga Sejahtera sudah ada kemajuan. Rumah sakit setuju mau mengoperasi Gito, dan pak Slamet menyanggupi untuk mengusahakan uang dengan menjual saja rumah tinggalnya untuk biaya operasi. Tidak perlu buru-buru. Fihak rumah sakit memberi tempo satu bulan, dengan jaminan pak Umar seperti kemarin. Setelah semua urusan itu beres, pak Umar ingin kembali ke sekolah. Operasinya sendiri akan dilangsungkan jam sebelas nanti. Masih satu setengah jam lagi. Pak Slamet mengantarkan pak Umar ke sekolah, dengan taksinya. Praktis sejak siang kemarin dia tidak bisa membawa penumpang.

Dalam perjalanan mereka terlibat obrolan.

‘Entah dengan apa jasa pak kepala sekolah akan saya bayar,’ celetuk pak Slamet.

‘Jangan pikirkan itu dulu pak Slamet. Kita berkonsentrasi dengan doa. Kita mintakan kepada Allah agar Suwagito diselamatkan Allah. Hanya Allah semata yang dapat menolong. Kita ini hanya berikhtiar, berusaha. Setelah itu kita pulangkan kepada Allah,’ jawab pak Umar.

‘Tentu, pak. Tak henti-hentinya saya berdoa. Saya ikhlas dengan musibah ini pak. Mudah-mudahan Gusti Allah menolong menyembuhkan Gito. Anak itu anak baik pak. Tidak pernah menyusahkan kami selama ini. Dia rajin dan taat, pak. Semoga saja Gusti Allah menolongnya. Ya Allah… sedihnya saya karena penderitaan Gito.’

Lama mereka terdiam. Pak Umar khawatir mengajak pak Slamet ngobrol lagi, takut dia larut dalam kesedihannya. Tapi setelah hening beberapa menit pak Umar bertanya.

‘Mobil ini mobil siapa, pak Slamet?’ tanya pak Umar.

‘Punya orang Padang. Dia tinggal dekat tempat saya tinggal pak. Orangnya baik sekali. Setorannya seratus dua puluh ribu sehari. Tadi malam saya antarkan mobil ini dan saya bilang saya sedang mengurus anak saya kena musibah dan saya minta ijin tidak bisa narik. Sama dia malah disuruh bawa terus mobilnya. Dan saya dibebaskan setoran hari ini,’ jawab pak Slamet.

‘Syukurlah kalau begitu,’ ujar pak Umar.

Akhirnya mereka sampai di SMU 369. Pak Umar turun dari mobil. Sebelum keluar dari mobil pak Umar berpesan agar dia segera diberi tahu perkembangan keadaan Gito. Dia juga mengingatkan agar berhati-hati dalam merundingkan untuk menjual rumah. Jangan terburu-buru. Tinjau betul dulu harganya. Jangan cepat saja dijual. Toh masih ada waktu satu bulan. Pak Slamet berjanji akan berhati-hati mengurus jual beli rumahnya itu.

Pak Umar langsung menuju kantornya. Ruangan guru-guru sedang kosong. Tiba-tiba terlihat seorang murid menuju ke kantor guru dari arah berlawanan. Anak itu adalah Hardi. Hardi mencari pak Hardjono. Dia kelihatan agak ragu-ragu waktu melihat pak Umar. Pak Umar melihat sesuatu yang tidak normal pada anak itu.

‘Ada apa Hardi? Kamu mencari siapa?’ tanya pak Umar.

‘Saya mencari pak Hardjono pak,’ jawab Hardi.

‘Ada apa? Pak Hardjono mestinya lagi mengajar. Kamu ndak cari di kelas atau di lapangan?’

‘Belum pak. Biar saya cari sekarang pak. Soalnya tadi saya disuruh pak Hardjono pak,’ jawab Hardi.

‘Kalau begitu coba kamu cari di sana. Sebentar saya lihat. Pak Hardjono sedang mengajar kelas dua D,’ kata pak Umar memberi tahu.

‘Baik pak,’ jawab Hardi, sambil bergegas meninggalkan ruangan guru.

Hampir saja dia terpikir mau menyerahkan sobekan kupon undian itu ke pak Umar. Hardi mencari pak Hardjono ke kelas dua D. Betul sekali dia sedang mengajar. Hardi mengetuk pintu kelas dua itu. Pak Hardjono yang melihat Hardi segera menghampirinya.

‘Kamu temukan?’ tanya pak Hardjono.

‘Ada nih, pak,’ jawab Hardi sambil menyerahkan sobekan kupon itu.

‘Bagus. Terima kasih banyak Hardi, kamu boleh masuk kelas sekarang,’ ujar pak Hardjono.

‘Baik pak. Hampir saja barusan saya berikan ke pak Umar kertas itu pak,’ ujar Hardi sebelum melangkah pergi.

‘Pak Umar sudah datang?’ tanya pak Hardjono.

‘Sudah pak. Baru saja datang. Saya barusan ketemu,’ jawab Hardi.

‘Baik. Terima kasih sekali lagi,’ ujar pak Hardjono.

Pak Hardjono kembali meneruskan pelajaran.


*****

No comments: