Tuesday, December 8, 2009

DERAI-DERAI CINTA (33)

33. OBROLAN ANAK-ANAK DARA

Ketiga anak gadis itu berpamitan dengan Imran. Irma dan Yuni mengikuti Ratih ke rumahnya. Yuni bertanya-tanya dalam hati. Apakah Ratih pacar bang Imran? Apakah diam-diam sebenarnya bang Imran sudah punya kekasih yang tinggal di sebelah rumah? Dan dia sengaja berpura-pura tidak punya pacar? Toh berpacaran ke sebelah rumah tidak mesti menunggu malam Minggu? Tadi mereka berdua saja di tempat bang Imran. Alasan Ratih karena dia bertanya tentang masalah gunung Marapi di Sumatera Barat. Benarkah alasan itu? Atau itu hanya sekedar untuk menghindar? Yuni mengamati mata Ratih yang berbinar-binar ketika berbicara di depan bang Imran. Ah, apakah dia cemburu? Masak iya cemburu. Tapi kenapa ya? Dada Yuni berdebar-debar.

Di rumah Ratih mereka kembali terlibat dalam obrolan.

‘Kapan keluar dari rumah sakit, Ma?’ tanya Ratih.

‘Hari Selasa, kemarin,’ jawab Irma.

‘Lama juga ya, di rumah sakit?’

‘Sepuluh hari.’

‘Waktu aku nengokin kamu hari Sabtu itu kayaknya sudah sehat. Tapi masih belum boleh pulang ternyata ya?’

‘Waktu itu trombositku sudah mulai kembali naik tapi masih enam puluh ribu. Sama dokter belum dibolehin pulang. Memang sih, waktu itu rasanya badan sudah segar. Tapi kayaknya gejala demam berdarah memang begitu. Makanya kata dokter, jangan mengambil resiko. Dia suruh tunggu sampai trombosit kembali normal.’

‘Sampai naik berapa baru boleh pulang?’

‘Ketika diperiksa darah hari Senin siang sudah 160,000. Tapi hasilnya kan baru ketahuan jam delapan malam. Jadi aku baru pulang hari Selasa pagi.’

‘Sekarang sudah kuat betul?’

‘Tadi pagi masing agak pusing-pusing sih. Makanya aku belum berani pergi kuliah. Takut ambruk lagi. Tapi sekarang sudah jauh lebih lumayan.’

‘Benar. Ngapain juga dipaksain.’

‘Tapi kalau kelamaan nggak masuk kan makin repot aku nanti. Belum lagi ketinggalan praktikum.’

‘Tenang aja. Kan bisa ikut praktikum susulan. Sebentar ya, aku ambilin catatan-catatan kuliah itu. Mau langsung difotokopi semua atau sebagian-sebagian dulu?

‘Ada berapa sih? Ada lima kuliah kan? Aku fotokopi sekalian aja kali, ya. Aku mau langsung fotokopi di dekat sini saja. Biar abis tu langsung aku kembaliin. Jadi kamu nggak terganggu.’

‘Oo begitu. Sebentar aku ambil, ya.’

Ratih masuk ke dalam. Sukma datang membawakan minuman.

‘Silahkan, kakak-kakak,’ kata Sukma.

‘Wah, jadi repot kamu, Sukma. Sudah ngantarin ke depan nyari Pocut, bikinin minuman lagi. Terima kasih ya, dik.’

‘Nggak apa-apa kak. Terima kasih kembali,’ jawab Sukma sambil tersenyum manis.

Ratih kembali muncul.

‘Dik! Kamu mau ucapan terima kasih lagi nggak?’ tanya Ratih becanda.

‘Apa lagi, Cut?’

‘Kamu mau pergi memfotokopiin catatan kuliah ini nggak buat kak Irma?’

‘Mau aja. Tapi pake motor, ya? Boleh pinjam motornya nggak, kak Irma?’

‘Nggak usah pake motor. Naik sepeda aja. Dekat gitu aja kok.’

‘Ya, boleh. Tapi hanya sampai Balubur aja, jangan dibawa jauh-jauh nanti kamu berurusan sama polisi,’ jawab Irma.

Ratih menandai catatan yang perlu difotokopi itu dan menyerahkannya kepada Sukma.

‘Kamu lihat dulu hasil fotokopiannya, ya. Jangan sampai nggak kebaca.’

‘Beres, Cut,’ jawab Sukma bersemangat.

Irma memberikan uang untuk ongkos fotokopi itu. Dan Sukma segera pergi.

‘Ayo silahkan diminum, Ma, Yun,’ Ratih kembali membasakan. ‘Maaf ga ada apa-apa nih.’

Yuni dan Irma meraih cangkir teh bersamaan.

‘Ngomong-ngomong, kamu akrab banget sama Imran. Ada hubungan khusus ya?’

‘Ah, nggak. Hubungan biasa-biasa saja.’

‘Tadi berdua-duaan.’

‘Lha. Aku memang ada yang perlu ditanyakan, aku datang ke sana. Kenapa? Kamu pikir aku berpacaran dengan dia?’ tanya Ratih tersenyum.

‘Barangkali aja. Anak muda ganteng kayak gitu kan wajar aja kalau Pocut terpikat.’

‘He..he..he iya, ya,’ Ratih tertawa renyah.

‘Jadi beneran?’

‘Ah, nggak kok. Masak kamu nggak percaya sih?’

‘Sekedar bertanya aja. Boleh kan?’

‘Bener kok. Aku nggak bohong. Kak Imran itu terlalu baik. Tapi sepertinya dia tidak suka berpacaran. Jadi kami hanya sekedar berteman begitu saja.’

‘Tapi kayaknya kamu naksir deh, sama dia,’ Irma menggoda.

‘He..he.. Kan kamu sendiri bilang. Anak muda seganteng itu. Siapa yang nggak akan naksir…he..he..he.. Kamu sendiri bagaimana dengan mas Rinto?’

‘Aku juga sekedar berteman aja.’

‘Aku sering lihat mas Rinto ke sini. Mengerjakan tugas sama kak Syahrul.’

‘Syahrul teman serumahnya Imran?’

‘Benar. Kalau kamu, kayaknya kamu yang menghindar dari Rinto, ya?’

‘Tahu dari mana kamu?’

‘Aku dengar dari teman-teman.’

‘Aku juga nggak suka berpacaran. Nggak berani. Tapi kalau sekedar berteman bolehlah. Nggak apa-apa.’

‘Gitu, ya? Tapi benarkan, kalau mas Rinto mengejar-ngejar kamu?’

‘Dia sering datang. Ya, aku terima kalau sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Kalau diajak pergi keluar aku nggak pernah mau. Pernah dia bilang kalau dia naksir ke aku. Aku bilang bahwa aku tidak mau berpacaran. Jadi gitu deh….’

‘Memang harusnya begitu, kali ya? Kamu bagaimana Yun? Diam aja dari tadi…’

‘Aku tidak ada komentar,’ jawab Yuni tersipu.

‘Punya pacar?’ tanya Ratih tersenyum.

‘Mmmh. Nggak,’ jawab Yuni juga tersenyum.

‘Emang bagusnya gitu kali, ya? Ngapain juga berpacaran. Kata uci, kalau sampai salah jalan, berat akibatnya. Apa lagi buat kita, perempuan.’

‘Nah! Tu, tahu. Tapi, uci tu siapa?’

‘Uci itu nenekku. Mamanya mamaku. Tahu nggak aku berkenalan dengan kak Imran itu gara-gara uciku itu,’

‘Oh ya?’

‘Uci terkunci di kamar mandi. Pintu kamar mandi itu nggak bisa dibuka dari dalam dan nggak bisa dibuka dari luar. Kuncinya ngadat. Di rumah waktu itu hanya ada aku dan uci. Aku kehilangan akal. Akhirnya aku pergi keluar minta tolong. Yang ada di rumah sewaan di sebelah waktu itu hanya kak Imran. Aku minta tolong ke dia. Itu asal mulanya kami berkenalan.’

‘Kejadiannya kapan? Waktu mereka baru tinggal disini?’

‘Bukan. Belum lama. Belum setahun, kali. Sebelumnya itu, aku sering sih melihat kedua anak muda itu, kak Imran sama kak Syahrul. Tapi kami seperti orang nggak kenal. Paling kalau ketemu di jalan sekedar senyum aja. Tapi sejak pristiwa kunci macet itu, kami jadi lebih akrab.’

‘Dia sering datang ke sini sesudah itu?’ tanya Yuni.

‘Nggak pernah. Pada hal dia sering lewat di depan rumah ini kalau mau ke mushala. Tapi tidak pernah mampir.’

‘Tapi kamu yang sering ke tempatnya?’ giliran Irma bertanya.

‘Beberapa kali uci menyuruh mengantar makanan ke sana. Uci merasa berhutang budi kepada kak Imran.‘

Sukma kembali dari tempat fotokopi. Diserahkannya hasil fotokopian itu ke Ratih. Ternyata hasilnya bagus dan jelas. Ratih menyerahkan fotokopian itu ke Irma.

Mereka masih melanjutkan obrolan sebentar lagi. Dan sesudah itu mereka berpamitan.

***
Mereka sengaja mampir ke tempat Imran sebelum pulang. Yuni ingin berpamitan dulu. Tapi rupanya Imran sedang pergi. Yang ada hanya Syahrul. Jadinya Yuni menitip salam saja melalui Syahrul.

‘Kamu tahu, tidak,’ kata Yuni waktu mereka sudah di jalan menuju pulang.

‘Tahu apa?’ tanya Irma.

‘Aku juga menyukai bang Imran,’ jawab Yuni polos.

‘He..he.. Terus?’

‘Ya. Aku suka. Aku naksir dia. Aku ingin jadi pacarnya.’

‘Gila. Terus apa yang kamu perbuat?’

‘Tidak ada. Belum ada apa-apa. Tapi sungguh. Aku benar-benar sangat menyukainya. Sampai termimpi-mimpi.’

‘Istighfar! He..he..he..’

‘Memang berdosa kalau anak perempuan naksir anak laki-laki?’

‘Yuni…. Yuni. Kalau berpacaran, terus kamu mau ngapain? Mau bergaul bebas? Mau celaka?’

‘Ih, kamu ini. Amit-amit. Ya nggak, lah.’

‘Lha terus mau ngapain? Cukuplah berteman saja. Nanti pasti akan datang masanya. Waktu itu nanti kita menikah. Nah, dengan suami sendiri silahkan berpacaran. Silahkan berbuat apa saja. Tidak akan berdosa.’

‘Kok kamu gitu amat, sih?’

‘Ya, aku memang begitu. Aku akan berusaha jangan sampai perlu berpacaran.’

Yuni terdiam.

Mereka sampai di tempat kos Irma. Yuni segera berpamitan. Dia ingin segera pulang ke Sekeloa. Dia ingin berbagi cerita dengan Lala tentang pertemuan tidak sengaja dengan Imran hari ini.


*****

No comments: