Monday, January 18, 2010

DERAI-DERAI CINTA (48)

48. BERITA DUKA

Syahrul ada keperluan dinas ke Jakarta. Setelah urusannya selesai ditelponnya Imran. Hanya untuk sekedar menyapa karena dia akan segera kembali ke Bandung. Tapi Imran mengatakan sangat ingin bertemu dengannya. Syahrul mengurungkan niatnya untuk segera pulang. Dia mampir ke kantor Imran di jalan Sudirman. Sudah jam empat sore waktu Syahrul sampai disana. Sudah selesai jam kantor. Kedua sahabat karib itu terlibat dalam perbincangan panjang.

‘Bagaimana urusan perkuliahan?’ tanya Imran mengawali pembicaraan.

‘Lancar-lancar saja. Aku memberi kuliah tiga kali saja seminggu. Dan sibuk pula di lab. Hari-hariku justru lebih banyak tersita di lab.’

‘Kapan rencana mengambil S3?’

‘Masih jauh. Belum tahu kapan. Mungkin harus mencari sponsor.’

‘Ke Australia lagi?’

‘Ya… belum tahu……. Bisa ke Australia, bisa ke negara lain dan bisa juga disini saja…… Kau sendiri? Nggak ada rencana mau disekolahkan?’

‘Belum ada sementara ini. Tapi kemungkinan itu insya Allah ada. Saat ini ada seorang teman sedang bersekolah di Inggeris. Mudah-mudahan nanti ada pula giliranku.’

‘Kayaknya betah sekali kau bekerja disini.’

‘Alhamdulillah… Sampai sejauh ini aman-aman saja. Cukup menarik dan menyenangkan.’

‘Bagaimana kabar nenek?’

‘Yaa… itulah…... Beliau sedang dirawat di rumah sakit. Sudah hampir dua minggu.’

‘Sakit apa sebenarnya beliau?’

‘Ada masalah dengan paru-paru beliau. Sulit bernafas.’

‘Di rumah sakit mana?’

‘RSCM.’

‘Kasihan juga ya….. Tentu selalu harus ditunggui.’

‘Ya…kami tunggui berganti-gantian.’

‘Mudah-mudahan beliau cepat sembuh…… Kapan kau pergi melihat beliau lagi?’

‘Sore ini…. Sore ini aku akan ke sana. Besok malam aku akan menjaga beliau. Aku memilih hari Sabtu sore karena di kantor aku sedang banyak pekerjaan.’

‘Aku maulah ikut kalau begitu….’

‘Bagus sekali….. Kau tidur di rumah saja malam ini. Besok baru kembali ke Bandung.’

‘Kita lihat nantilah kalau urusan menginap. Besok pagi aku ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan di lab.’

‘Kita berangkat sekarang, kalau begitu…..?’

Keduanya meninggalkan kantor Imran. Mereka naik taksi menuju ke rumah sakit. Setelah berada dalam taksi mereka lanjutkan lagi obrolan tadi.

‘Kau pernah mampir ke Taman Sari?’ tanya Imran.

‘Pernah sekali….. Aku ketemu Ratih di kampus. Dia melanjutkan mengambil apoteker di ITB. Dia menyuruhku mampir. Lalu aku datang ke sana. Cuma sekali itu saja…’

‘Bagaimana kabarnya dia?’

‘Kelihatannya baik-baik saja…..’

‘Aku dengar dia menikah hari ini…..’

‘Ya…. Aku juga dengar begitu.’

‘Jadi kau sudah tahu?’

‘Aku kan sama-sama tinggal di Bandung. He..he..he.. Kau diundang ke pestanya?’

‘Tidak…. Tapi ada suatu hal yang ingin aku tanyakan….. Mudah-mudahan kau tidak keberatan menjawabnya…’

‘He..he..he.. pernyataan aneh… Pertanyaan jenis apa yang aku keberatan menjawab?’

‘Karena ini menyangkut diri kau juga….’

‘Tentang apa itu?’

‘Aku dengar kau pernah mengajuk…….. ?’

‘He…he…he… Mengajuk dalamnya air laut….? Mengajuk apa?’

‘Bukan…. Mengajuk hati Ratih….?’

‘Dari siapa kau tahu?’

‘Dari Ratih sendiri….’

‘Kalau itu dari Ratih sendiri, aku yakin berita itu benar……’

‘Jadi?’

‘Jadi…., ya……. Berarti apa yang kau katakan itu benar.’

‘Lalu kenapa tidak diteruskan?’

‘Kau tahu kapan kejadian itu…..?’

‘Sebelum kau berangkat ke Australia dulu, kan?’

‘Benar….. Bagaimana meneruskannya?’

‘Maksud kau?’

‘Bagaimana meneruskannya kalau tepukan itu hanya dari sebelah tangan.’

‘Dia menolak?’

‘Dia menolak secara halus. Dia mengatakan belum mau berpikir tentang perjodohan.’

‘Dan waktu itu kau tidak meminta untuk segera menikah, kan?’

‘Tidak….. ‘

‘Setelah kembali dari Australia? Waktu kau berkunjung ke rumahnya itu? Tidak ada lagi kau ulangi mengajuk hatinya?’

‘Tidak…. Kalau sudah nyata kepadaku dia enggan, untuk apa diajuk-ajuk lagi…? Aku ingat pantun tukang dendang di kampung kita…. Orang ulit (= bhs Jawa; lelet) boleh dinanti, orang enggan apakan daya….’

‘Kau begitu yakin bahwa Ratih enggan…... Bahwa dia menolak….’

‘Yakin…. Dan kau tahu? Aku juga sangat yakin waktu itu bahwa Ratih sangat ingin berjodoh dengan kau. Kau ingat tidak? Berkali-kali aku menjelaskannya tiga empat tahun yang lalu. Tapi kau tidak menanggapi.’

‘He…he…. ‘

‘Kenapa kau ketawa?’

‘Aku merasa lucu saja….. Ya….. Lucu …… Hidup kita ini lucu juga….’

‘Tapi kan sekarang sudah selesai urusannya. Hari ini dia menikah. Sudah dilabuhkannya kapalnya…...’

‘Kau masih seperti dulu….. Masih suka berpantun dan berpetitih…. He..he..he..’

‘Kan kenyataannya seperti itu. Dia menginginkan kau, kau tidak bersedia. Aku mencoba mengajuk hatinya, dia tidak bersedia. Akhirnya dia berlabuh di hati orang lain….. Manusia mencoba berencana, ternyata Allah punya jalan Nya sendiri…’

Taksi mereka merayap di kepadatan lalulintas sore di sepanjang jalan Sudirman. Kemacetan yang menjadi ciri khas kota Jakarta di saat jam pulang kantor.

‘Ada cerita lain lagi….. ‘ Imran kembali mengawali.

‘Yang ini aku sudah tahu….,’ jawab Syahrul memotong.

Imran menoleh menatap wajah Syahrul. Syahrul tersenyum simpul.

‘Apa yang kau sudah tahu?’

‘Apa cerita lain lagi kau itu? Ceritakanlah!’

‘Antara kau…… dengan…..’

‘Ya….. Antara aku dengan……. Teruskanlah!’ Syahrul tersenyum lagi.

‘Baik….. Kalau begitu…… Tentu kau sangat bersungguh-sungguh.’

‘Ya iyalah… Seumurku ini apa juga lagi yang akan dicari, kalau bukan untuk bersungguh-sungguh?’

‘Jadi…?’

‘Jadi apa……? He…he…he…’

‘Kau sudah mendapat jawabannya?’

‘He…he…he…he… Sudah. Tadi malam…… Aku tahu kau terlibat dalam pengambilan keputusan itu. Jawaban itu diputuskan sesudah berkonsultasi dengan kau…..’

‘He…he…he… Baiklah kalau begitu. Aku sangat senang.’

‘Sekarang giliranku bertanya….’

‘Aku juga sudah tahu yang akan kau tanyakan.’

‘Apa yang akan aku tanyakan? Bagaimana kau tahu apa yang akan aku tanyakan?’

‘Apa lagi kalau bukan itu….’

‘Sebelum kau menebak-nebak…. Yang ternyata tebakan kau itu salah….. Biarlah kulanjutkan juga pertanyaanku. Begini…. Kapan kita pulang kampung bersama-sama…?.’

‘Ha…ha…ha……. Pandai sekali kau.’

‘Cobalah jawab! Ha…ha..ha….’

Sopir taksi itu mungkin bingung mendengar obrolan mereka yang bercampur dengan gelak terbahak-bahak.

Sesudah diam sejenak, Syahrul mengulang lagi.

‘Kali ini aku serius….’

‘Dari tadi aku juga serius….’

‘Jadi kapan?’

‘Kapan yang mana? Ha…ha…ha…’

‘Yang serius.’

‘Sedang dalam proses doa. Ditambah keyakinan bahwa insya Allah jawabannya akan segera diberikan Allah.’

‘Amiin.’

Sudah menjelang maghrib waktu mereka akhirnya sampai di rumah sakit Cipto. Keduanya langsung menuju ke ruangan nenek. Di gang menuju ke kamar nenek mereka berpapasan dengan sepasang suami istri. Imran rasa-rasanya mengenal wanita muda itu. Tapi tidak ingat dimana mereka pernah bertemu. Wanita itu yang lebih dahulu menyapa.

‘Bang Imran, kan?’

‘Benar. Apa kabar……? Siapa yang sakit?’ Imran balik bertanya.

‘Ibu mertua…. Oh ya kenalkan….. Ini suami Irma…’

Mereka bersalam-salaman.

‘Siapa yang sakit, bang?’ tanya Irma.

‘Nenek…. Nenek saya,’ jawab Imran.

‘Bang Imran sudah dengar berita duka? Berita duka sangat tragis…?’

‘Berita duka? Berita duka apa?’

‘Calon suami Ratih kecelakaan dan meninggal…. Harusnya hari ini mereka menikah. Calonnya itu mengalami kecelakaan kemarin sore.’

‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun……. Kecelakaan dimana?’

‘Vespanya ditabrak kereta api di Cimindi…. Itu berita yang Irma dengar tadi pagi…’



*****

No comments: