Sunday, February 20, 2011

KENANGAN MASA PRRI (2)

2. Ketika Tekad Sudah Bulat

Jam lima petang hari. Matahari yang bersinar cemerlang sudah mendekati ufuk di tepi langit sebelah barat. Hujan panas di sore itu, sesudah hampir seharian cuaca senantiasa gelap-gelap panas. Di langit, di kaki gunung Marapi ada pelangi. Mangindo namanya kata orang kampung. Merah, kuning, biru, jingga yang sangat cemerlang, melengkung indah di atas bukit Bulek di ujung gunung Marapi. Saat itu memang di musim penghujan di tahun 1958. Batang air dan tali bandar dialiri air cukup deras. Dan lanyah di mana-mana.

Yazid Endah Kayo sedang menuju ke rumah saudara perempuannya, Maimunah di bawah kucuran hujan. Bertudung daun pisang. Adiknya itu memintanya datang ke rumah karena ada hal musykil yang ingin dibicarakannya. Sebenarnya Endah Kayo sudah tahu tentang hal musykil yang dimaksudkan adiknya itu. Maimunah memang sangat memerlukan sumbangan pemikiran, di saat hatinya sedang terombang-ambing dalam kegalauan.

Endah Kayo menaiki tangga rumah adiknya itu. Tudung daun pisang disandarkannya di cibuak betung tempat air pencuci kaki. Di rumah sudah ada Salim Sutan Panduko suami Maimunah. Mereka duduk di tikar menghadapi hidangan makan sore, menunggu kehadiran Endah Kayo. Di kampung orang makan di sore hari, terlebih-lebih sejak bergejolaknya perang. Orang jadi takut beraktifitas di malam hari. Sesudah waktu isya, kampung biasanya sudah sunyi senyap.

Mereka makan bertiga. Tanpa bicara. Endah Kayo melihat mata adiknya yang sembab. Tentu karena banyak menangis.

‘Apakah si Junaid sudah berbicara dengan tuan?’ tanya Sutan Panduko sesudah mereka selesai makan.

‘Ya, sudah,’ jawab Endah Kayo pendek.

Dinyalakannya sebatang rokok. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Mata Endah Kayo menerawang mencari-cari. Semua terdiam. Tidak tahu entah dari mana akan memulai pembicaraan lanjutan.

‘Sekarang kemana dia?’ tanya Endah Kayo pula.

‘Tadi katanya mau menemui guru Mukhtar. Sudah sejak waktu asar tadi dia pergi,’ jawab Maimunah.

‘Kelihatannya sudah keras benar hatinya,’ kata Endah Kayo.

‘Kan itulah tuan. Itu yang mencemaskan kami benar. Sepertinya memang seperti yang tuan katakan, tidak bisa dilerai lagi. Bagaimana eloknya menurut tuan?’ tanya Sutan Panduko.

Endah Kayo menarik nafas Asap rokoknya bergabun-gabun ke udara.

‘Apa yang dikatakannya kepada tuan?’ giliran Maimunah bertanya, memecah kesunyian.

‘Dia mengatakan bahwa dia akan ikut ke luar. Itu saja…..’ jawab Endah Kayo.

‘Tidak tuan nasihati dia? Tidak tuan larang dia pergi?’

‘Aku tanyai. Apa alasan kau pergi? Apa gara-gara kau disuruh mereka menggali lobang di Lasi itu? Hanya karena itu kau mau ikut-ikutan ke luar? Begitu kukatakan.’

‘Apa katanya kepada tuan?’

‘Bukan hanya karena itu, katanya. Dia akan melawan kelaliman. Tentara pusat itu tentara lalim. Tentara yang tidak tahu sopan santun. Bengis, pembunuh rakyat sipil. Pembunuh anak-anak muda. Itu semua adalah kelaliman. Dan dia ingin ikut memerangi mereka. Begitu katanya.’

‘Tidakkah tuan nasihati dia? Bahwa yang akan dihadangnya adalah maut? Pergi berperang….. Ya Allah….., baru sembilan belas tahun umurnya. Akan ikut pula dia berperang,’ Maimunah berkeluh kesah.

‘Apa lagi yang mesti kukatakan? Apa yang disebutkannya benar belaka. Memang seperti itu pula yang aku perhatikan. Aku……. Kalaulah umurku masih sedikit lebih muda, mau pula rasanya aku pergi….’

‘Ya Allah! Usahlah tuan. Usahlah itu yang tuan sebut….’

‘Maaf…. Waktu kepada tuan tentara itu melepaskan tangan pula….. di hari mengirik kemarin itu… Apa yang dikatakannya?’ tanya Sutan Panduko.

‘Apa yang dikatakannya? Dia tanyakan apakah aku pemberontak. Aku jawab, tidak, aku ini petani. Eh, plak…… Langsung sampai tangannya di pipiku. Tidak pandaikah berbahasa Indonesia? katanya ketika menampar itu. Sudah hampir enam puluh tahun umurku. Ditampar tentara yang seumur dengan si Junaid itu. Memang sangat menyakitkan. Sakit hatiku kalau mengingat-ingat hal itu. Tentara-tentara ini lebih bejad dari tentara Jepang dulu. Orang Jepang main pukul juga, tapi tidak sembarangan menembak orang lalu lalang. Ini…. Di kampung kita ini. Sudah bertujuh anak-anak muda mati. Anak-anak muda tak bersenjata….. Anak-anak muda tak berdosa apa-apa.’

‘Ya… bertujuh. Termasuk si Pudin,’ kata Sutan Panduko lirih.

Semua kembali terdiam. Pasti Sutan Panduko juga teringat kepada kemenakannya Safruddin yang mati tertembak sepuluh hari yang lalu. Tertembak di rumpun betung, ketika dia akan mengeluarkan kerbau dari kandang. Si Pudin memang agak kurang pendengarannya. Mungkin dia tidak sadar ketika tentara pusat itu datang. Mungkin dia tidak mendengar ketika tentara itu berteriak ke arahnya. Lalu dia ditembak. Peluru menembus kepalanya dari arah samping sehingga otaknya berhamburan.

‘Jadi kalau menurut tuan?’ tanya Sutan Panduko.

‘Kalau menurutku, biarkanlah dia pergi. Lebih terjamin jiwanya dengan lari ke luar itu. Tinggal di kampung, meski dia guru, meski diperlihatkannya surat keterangan bahwa dia guru, aku khawatir ada saja di antara tentara-tentara yang tidak sendereh itu akan melepaskan tangan kepadanya. Dan aku khawatir pula, seandainya sekali waktu, tanpa sadar dilawannya tentara-tentara itu, maka serta merta habislah dia. Jadi….. kalau menurut pendapatku, biarlah dia pergi.’

‘Ya Allah….. Kalau nyampang singkat umurnya. Betapa akan pedihnya hatiku……’ ujar Maimunah.

‘Ucapanmu itu seperti kata-kata orang tidak beriman. Urusan umur ada di tangan Tuhan Allah. Di sini akan mati. Di luar akan mati. Eloklah di sana dia mati. Apatah lagi dia berniat berperang melawan kelaliman. Kita tidak mengerti urusan politik, tapi dengan apa yang diniatkannya itu, maka itu sudah yang sebaik-baik niat. Seandainya dia mati, insya Allah matinya syahid di jalan Allah.’

Salim Sutan Panduko mengangguk-angguk. Yang disampaikan iparnya itu benar belaka. Lebih banyak kemungkinan anaknya akan terpelihara kalau dia tidak tetap berada di kampung. Kemarin ditawarkannya pula untuk pergi merantau saja. Entah ke Medan, entah ke Jawa. Tapi Junaidi menolaknya. Dia sudah memilih untuk jadi guru, dan dia hanya mau jadi guru di kampung. Tapi sementara keadaan bergolak seperti saat ini, dia akan ikut pergi ke luar, bergabung bersama tentara PRRI. Kalau umur panjang, insya Allah nanti dia akan kembali melanjutkan jadi guru. Di kampung.

‘Kalau pendapatku pula,’ Endah Kayo melanjutkan. ‘Biarlah dia pergi dan kita tolong dengan doa. Kita titipkan dia kepada Tuhan Allah. Mudah-mudahan terpelihara jiwanya, selesai perang, kembali lagi dia dengan selamat.’

‘Perang yang entah akan kapan selesainya,’ Maimunah mendesah.

Airmatanya kembali bercucuran.

‘Itupun kita tidak tahu. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa.’

‘Ya Allah….. Berat sungguh cobaan ini….. Perang…. Negeri ini diamuk perang,’ Maimunah mengusap matanya dengan selendang.

‘Sudahlah! Bertawakkal sajalah. Itu lebih baik.’

Maimunah sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Di dalam hatinya dia menyadari bahwa dengan pergi ke luar masih ada harapan anaknya Junaidi akan kembali pulang. Sementara kalau dia bertahan di kampung, seperti yang dikatakan kakaknya Endah Kayo, banyak pula kemungkinan dia akan celaka. Kemenakan suaminya sudah celaka beberapa hari yang lalu. Dengan cara sangat mengenaskan. Dengan tubuh hancur kena peluru. Masya Allah…… Seandainya Junaidi terbunuh pula seperti itu di kampung ini…. Tidak…. Hatinya tiba-tiba jadi mantap. Biarlah Junaidi pergi. Biarlah dia berpisah dengan anaknya itu. Seperti kata kakaknya, biarlah urusan itu diserahkan saja kepada Allah. Memang hal ini bukan pilihan yang mudah, tapi mudah-mudahan itu jalan keluar yang terbaik.

‘Apakah dia mengatakan kapan dia akan pergi itu?’ tanya Endah Kayo pula sesudah mereka terdiam beberapa saat.

‘Katanya malam ini, tuan?’ jawab Sutan Panduko.

‘Malam ini?’

‘Begitu katanya.’

‘Dengan siapa dia berurusan?’

‘Dengan wali jorong, kalau tidak salah.’

‘Eloklah kalau begitu….. Aku mendengar Sutan Basa, komandan tentara luar itu sangat santun. Dari kampung kita ini sudah ada dua orang yang ikut dengannya,’ kata Endah Kayo.

‘Selain melalui wali jorong, ada lagikah yang mengurus orang pergi ke luar itu?’ Maimunah ikut bertanya.

‘Ada. Si Bahar anak kak Naemah kan ikut jadi tentara pelajar. Ada pula kawan-kawannya yang dibawanya.’

Diluar hujan sudah mulai reda. Sedang mereka berbincang-bincang itu Junaidi pulang. Wajahnya cerah dan bersemangat. Maknya, Maimunah mengambilkan piring untuknya.

‘Makanlah! Kami semua sudah selesai makan,’ kata mak.

‘Ambo sudah makan di rumah uda Mukhtar mak,’ jawab Junaidi.

‘Urusan apa kau ke sana?’ tanya Endah Kayo.

‘Menitipkan pesan mak dang,’ jawab Junaidi.

‘Benarkah, malam ini kau akan pergi?’ tanya Endah Kayo.

Junaidi memperhatikan ketiga orang tua itu sebelum menjawab. Dilihatnya muka mak tidak lagi penuh kecemasan seperti tadi.

‘Insya Allah iya, mak dang,’ jawab Junaidi pendek.

‘Kami telah membicarakannya panjang lebar. Kami akan mendoakanmu. Mudah-mudahan Tuhan Allah senantiasa melindungimu,’ kata Endah Kayo.

‘Amiiin. Terima kasih mak dang.’

‘Tentu kau hafal ayat Kursiy?’

‘Insya Allah hafal mak dang.’

‘Banyak-banyak kau membacanya, sambil difahami artinya. Kalau belum hafal artinya, tuliskan dan hafalkan.’

‘Ya mak dang. Insya Allah, mak dang.’

*****

No comments: