Saturday, November 29, 2008

RODA - RODA

RODA-RODA

Roda berputar ke atas ke bawah. Semua roda. Seperti roda keretapi. Seperti roda mobil. Seperti roda pesawat terbang. Seperti roda gerobak demo, gerobak beroda tiga itu sekalipun. Setiap titik pada bagian roda itu bergantian turun dan naik. Menarik sekali mengamati perputaran roda-roda itu.

Cerita ini asli tentang perputaran roda. Bukan cerita kiasan. Roda pertama yang bersinggungan dengan mataku adalah roda sepeda ayahku. Sejak mulai dengan didudukkan di kursi rotan yang diikat entah dengan cara bagaimana di batang sepeda laki-laki ayah, di depan, sampai kemudian dibonceng di belakang. Dibonceng di belakang itu aku alami selama setahun aku bersekolah di Taman Kanak-Kanak Ibu Kate di Atas ngarai. Ketika itu kami tinggal di Lambau, di seberang sekolah pertanian di Bukit Tinggi. Ayahku menjemput dan mengantarku dengan sepeda setiap hari.

Di jalan Lambau itu lalu lalang banyak mobil. Lebih istimewa di hari Rabu dan Sabtu, hari pasar di Bukit Tinggi, karena bus dari arah timur (dari arah Paya Kumbuh) dibelokkan melalui jalan itu. Melihat roda oto berbaris-baris itu jadi pandangan yang menyenangkan, sedang naik oto merupakan keinginan yang terbawa mimpi ketika itu. Sekali-sekali ada juga aku dibawa ayah menompang naik mobil. Bahkan suatu kali aku dijemput ke sekolah (SR 11 Simpang Mandiangin) dan dibawa ayah ikut dalam perjalanan dinas beliau ke Lubuk Basung. Kami singgah di sebuah restoran di tepi danau Maninjau dan ayah membawaku melihat orang kedai mengambil ikan yang akan digoreng dari dalam danau. Kenangan itu sudah berumur lebih setengah abad. Ketika itu usiaku baru enam tahun lebih sedikit. Di Lubuk Basung kami melihat beruk memanjat kelapa, kenangan yang juga selalu bercokol di benakku.

Beberapa puluh meter saja dari tempat kami tinggal terdapat rel keretapi Bukit Tinggi - Paya Kumbuh. Cuitan panjang keretapi serta asap hitamnya adalah bagian lain dari kenangan masa kanak-kanakku. Roda-roda lokomotif uap yang banyak sekali dan saling berpacu-pacu itu sempat pula jadi bahan pengamatanku. Kami, kanak-kanak, biasa meniru-niru gerakan roda keretapi itu dengan mengayun-ayunkan tangan kiri dan kanan bergantian, sambil mendesus-desus meniru bunyi lokomotif berwarna hitam itu. Tidak lupa kami meniru cuitan keretapi dengan suara melengking.

Ada sebuah permainan yang kami buat (tepatnya aku dibuatkan) dari tutup botol limun yang dipipihkan dengan cara dilindihkan di rel keretapi, lalu dibuat gasing. Botol limun itu menjadi pipih, bulat dengan pinggiran bergerigi. Bagian tengahnya dilobangi dengan paku dan ke dalam lobang itu dimasukkan benang yang lalu dipertautkan. Gasing tutup botol limun pipih itu kami mainkan dengan menarik dan mengulur benangnya dengan kedua tangan digerakkan saling mendekat lalu saling menjauh.

Kalau berpergian sekeluarga, misalnya ke kampung, kami dibawa ayah dan ibu berkendaraan bendi. Sebuah bendi untuk kami sekeluarga. Aku sering duduk di depan, dekat mak Kusir. Jadi paslah, duduk di samping mak Kusir yang sedang bekerja.

Ketika kami hijrah ke kampung karena perang PRRI, pemandangan roda-roda tidak lagi sebanyak waktu di jalan Lambau. Di kampung yang agak sering terlihat hanyalah roda bendi. Dan roda pedati yang ditarik kerbau. Atau roda gerobak dorong pengangkut kerupuk ke pekan Lasi. Kampung kami satu setengah kilometer dari pinggir rel keretapi. Tapi cuitan keretapi masih terdengar sangat jelas. Ketika berumur delapan tahun, aku pernah ikut dengan teman-teman yang lebih besar naik keretapi ke Bukit Tinggi tanpa minta ijin kepada ibu. Waktu ibu tahu sore harinya, aku dimarahi.

Tamat sekolah rakyat, aku melanjutkan sekolah ke SMP di Tanjung Alam, sekitar tiga setengah kilometer dari kampung. Ada teman-teman yang memilih naik keretapi untuk pergi ke sekolah dengan resiko sering terlambat. Aku lebih menyukai berjalan kaki saja, bergerombol melalui jalan pintas. Kadang-kadang kami berjalan memotong jalur melalui pematang sawah. Di kejauhan dapat kami lihat keretapi dengan asap hitam membubung ke udara. Di kejauhan terlihat pula mobil besar kecil lalu lalang di jalan besar di sebelah rel keretapi itu.

Hujan besar dan banjir yang menghanyutkan jembatan terjadi ketika aku sekolah di SMP sekitar tahun 1964. Sebuah jembatan berlantai kayu, yang kutempuh setiap hari untuk pergi ke sekolah runtuh karena tebing sungai dikikis air bah. Sebuah jembatan lain yang lebih vital ikut pula runtuh. Jembatan Batang Air Tumbuk, antara Biaro dan Baso di jalan raya Bukit Tinggi – Paya Kumbuh. Akibatnya lalu lintas dibelokkan melalui kampung kami. Jadilah jalan kampung kami seperti jalan besar. Oto gadang-gadang, bus dan oto prah, berseliweran menolong menambah rusak jalan kampung yang tidak beraspal, yang selama ini hanya untuk ditempuh bendi. Dan kampung jadi ramai oleh dendang kalason bus yang mendayu-dayu. Bus-bus yang datang dari Pakan Baru, di subuh buta dapat kami tebak dari bunyi dan irama kalasonnya. Ada bus Lega Ekspress yang akan ke Padang. Ada bus Kampar Djaja yang akan ke Bukit Tinggi.

Di akhir tahun 1966 aku duduk di sebuah bus menuju Pakan Baru. Bus Batang Kampar nomor 10. Sopirnya si Idrus (dalam lidah Minang si Duruih) adalah seorang jagoan sejati. Dia memetik, memainkan kalason sambil berdendang, sambil menyetir bus besar itu melalui jalan yang berlobang-lobang sangat besar. Roda bus itu terpelanting-pelanting keluar masuk lobang sebesar kubangan gajah. Jalan Bukit Tinggi – Pakan Baru sejauh 221 km itu aku tempuh berkali-kali dengan bermacam-macam bus (yang paling sering Cahaya Kampar), antara tahun 1967 dan 1969 awal, ketika aku ikut kakak sepupuku, bersekolah SMA di Rumbai.

Di Rumbai aku sering melihat roda traktor besar pembajak jalan. Jalan tanah yang dibajak itu kemudian disiram dengan minyak mentah. Begitu cara orang Caltex membuat jalan di daerah operasional mereka. Jalan berminyak itu aman untuk kendaraan Caltex yang dibekali paku pengaman pada bannya, tapi sangat berbahaya bagi kendaraan umum yang menggunakan roda dengan ban biasa. Tahun 1978, ketika mahasiswa Bandung menuntut agar Suharto berhenti menjadi Presiden, aku menulis sebuah makalah kecil untuk buku biru perjuangan mahasiswa, menyoroti pemerintah yang tidak pernah terpikir untuk membuat jalan beraspal antara Pakan Baru – Dumai.

Kelas tiga SMA aku pindah ke SMA 3 Bukit Tinggi Aku bersekolah disana sepanjang tahun 1969. Inilah masa ketika aku berlangganan keretapi. Di hari pekan keretapi itu dijejajali penumpang dan jalannyapun sangat terlambat. Seringkali aku bergelayut di bordes (bagian luar gerbong) sambil mengamati roda keretapi yang berdengkang-dengkang di atas rel. Menompang keretapi seperti itu sangat tidak mengenakkan. Sering-sering mata kelilipan pecahan bara sebesar ujung beras.

Naik keretapi yang sedikit lebih nyaman aku rasakan antara Jakarta dan Bandung di saat aku kuliah di Bandung. Jarak lebih kurang 180 km antara kedua kota ini ditempuh sekitar lima jam. Keretapi Parahiyangan belum lahir waktu itu. Jauh hari kemudian, di tahun 1983 aku naik keretapi dari Paris ke Madrid. Di perbatasan Perancis dengan Spanyol roda keretapi harus diganti karena ukuran rel di kedua negara itu tidak sama. Kami dikejutkan oleh suara berdengkang-dengkang pula di tengah malam. Tapi anehnya kereta api sedang berhenti. Suara aneh itu berasal dari pekerjaan mengganti roda tersebut.

Roda pesawat Boeing 747 menggelinding selama lebih dari 60 detik sebelum pesawat itu mengapung ke udara. Roda yang menggelinding itu tidak tampak tapi suara dan getarannya dapat dirasakan. Ketika menunggu menjelang take off di kesibukan turun naiknya pesawat di bandara, kita bisa melihat dari jendela, roda pesawat lain menimbulkan asap saat dia mendarat. Seandainya roda-roda itu macet maka pastilah akan menjadi urusan besar bagi pesawat yang mendarat itu.

Di dalam pesawat, menggelinding roda troley yang didorong pramugari ketika menghidangkan makanan dan minuman. Roda yang berderit halus, seringkali tertahan-tahan di sela senyuman sang pramugari.

Roda yang berputar kencang dari mobil yang kukendarai sendiri pernah naas dua kali. Yang pertama ketika aku berlima beranak dalam perjalanan menuju ke arah selatan Perancis. Mobil yang sedang melaju dalam kecepatan 140 km sejam itu tiba-tiba bergetar dahsyat. Bawah sadarku menyuruh tanganku melepaskan kontrol pegangan stir sekaligus menarik kaki dari injakan gas. Dalam beberapa puluh detik mobil itu pelan-pelan berhasil aku ketepikan dan berhenti. Ternyata ban belakang sebelah kanan pecah. Aku menggigil dan berkeringat dingin. Dan tidak punya kekuatan bahkan untuk sekedar membuka baut roda. Istrikulah yang membuka baut-baut itu.

Kejadian kedua hampir sama, terjadi di jalan tol Cikampek beberapa bulan yang lalu. Untungnya saat jalan agak ramai dan kecepatan mobilku sedang-sedang saja. Ban roda kanan depan hancur berderai bagai kerupuk. Masih aku temukan penyebabnya. Paku besar menancap di ban yang malang itu.

Roda-roda yang menggelinding itu selalu asyik diamati.


*****

No comments: