Saturday, October 29, 2011

KENANGAN MASA PRRI (7)

7. Gempar

Letnan Sutopo, komandan tentara APRI di Biaro terbangun ketika mendengar suara tembakan. Bunyi tembakan terdengar sangat dekat dari pos mereka. Sutopo bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar. Ada empat orang tentara piket di beranda rumah yang mereka jadikan pos itu.

‘Suara letusan apa lagi tadi itu,’ tanyanya sambil menuangkan kopi dari termos ke cangkir.

‘Alaah….. Paling si Mancun latihan menembak lagi, komandan,’ jawab Bidin, tentara OPR yang sedang piket.

‘Latihan menembak kerbau?’

‘Ha…ha..ha..ha… Latihan menembak tentara-tentara luar itulah komandan. Mungkin banyak yang tertangkap dan dihabisi dekat sini.’

‘Itu yang aku tidak suka. Kenapa mesti di dekat sini mereka lakukan. Kalau masyarakat di Biaro ini sudah tidak perlu ditakut-takuti.’

‘Betul juga komandan….. Suara letusan tadi itu paling di simpang tiga dekat Sicamin.’

‘Mau kau bertaruh? Berapa orang kira-kira yang mereka berondong?’

‘Kalau dari suara letusan tadi itu, paling tidak ada lima atau enam orang, komandan.’

‘Sudah semakin ahli kau menebak.’

‘Kalau menurut komandan berapa orang?’

‘Aku rasa sebanyak yang kau katakan tadi. Hebat sekali kalau mereka berhasil menangkap pemberontak sebanyak itu.’

‘Berita yang didengar si Mancun memang sangat bisa dipercaya komandan.’

Sutopo menyalakan rokok kretek Gatotkaca untuk menghalau rasa dingin di ujung malam. Bau asap rokok kretek itu harum. Tapi bagi si Bidin, rokok seperti itu tidak enak untuk dihisap. Letnan Sutopo pernah memberinya sebatang, begitu dihisap dia langsung terbatuk-batuk. Si Bidin lebih suka dengan rokok Peros, rokok putih buatan lokal.

‘Mau coba kretek lagi Bidin?’ tanya Sutopo.

Indak komandan. Indak telap saya menghisap rokok serupa itu. Diranguk hidung saya,’ jawab Bidin.

‘Rokok Peros mu itu tembakaunya dicampur dengan kerisik daun pisang…. He..he..he..’

‘Mana pula mungkin komandan. Ini tembakau asli. Tembakau Pikumbuh. Dulu, dijual orang ke Medan tembakau Pikumbuh ini,’ Bidin tidak mau kalah.

‘Apa kepanjangan Peros kau bilang?’

‘Perusahaan rokok Sikumbang. Orang Sikumbang yang membuatnya.’

‘Ada pabriknya di Sikumbang itu?’

‘Ada peragat pembuatnya. Orang Sikumbang bergotong royong membuatnya.’

Mereka berbincang-bincang santai. Sutopo yang sehari-hari tampak sangar, ternyata bisa juga beramah tamah dengan Bidin. Bidin memang yang paling bisa diajak berbicara di antara belasan anggota OPR di pos itu. Bahasa Indonesianya lumayan dapat dimengerti.

Beberapa menit berlalu. Sutopo merasa heran bahwa anak buahnya yang pergi berpatroli belum juga kembali. Padahal sudah agak lama suara letusan senjata api terdengar. Dan dia berkeyakinan bahwa suara senjata itu berasal dari tembakan yang dilakukan anak-anak buahnya.

‘Kemana mereka? Ada setengah jam sejak bunyi letusan tadi, mereka belum juga muncul,’ Sutopo bertanya.

‘Iya komandan…..’

‘Apa yang kau iyakan?’

‘Iya…. Sudah lama betul. Belum kembali juga mereka.’

‘Pergi kau susul. Kau dan kau, pergi bersama Bidin,’ perintah Sutopo kepada dua orang OPR yang sedang piket.

‘Siap komandan,’ jawab Bidin.

Ketiga anggota OPR itu berangkat tergopoh-gopoh menuju ke arah selatan. Dengan senjata terkokang di tangan. Itu suatu keharusan. Harus senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk. Di siang hari mereka sangat bangga menyandang senjata atau memegang bedil seperti ini. Rasanya mereka lebih tentara dari tentara APRI yang datang dari Jakarta.

Malam yang sangat dingin. Tapi tidak terlalu gelap. Di langit berjuta bintang bergemerlap. Di selatan remang-remang terlihat sosok gunung Marapi dan Singgalang, membatasi untaian bintang gemintang yang bertabur berjuta-juta itu. Keduanya bagai menjaga kesunyian malam. Suara jengkerik berderik-derik, suara kodok bersahut-sahutan di bandar air dan kepakan kelelawar menghiasi kesepian ujung malam.

‘Kemana pula akan kita cari mereka ini?’ tanya Samsul.

‘Kita cari ke mudik. Bunyi letusan tadi itu di dekat-dekat sini saja. Harusnya mereka tidak jauh dari sini.’

'Entah-entah mereka dilarikan hantu haru-haru,’ Maan ikut berkomentar.

‘Yang indak-indak saja isi pikiran waang,’ Bidin kesal.

‘Kalau bukan dilarikan hantu haru-haru, kemana pula pergi mereka sesudah menembaki tentara luar tadi itu,’ Maan membela diri.

‘Atau mungkin juga mereka kembali lagi ke mudik. Kembali lagi ke rumah wali jorong itu. Jangan-jangan yang ditembak tadi termasuk wali jorong. Lalu mereka kembali menyilau istrinya. Itu yang paling mungkin,’ Samsul berteori.

‘Jadi kita harus mencari sampai ke rumah wali jorong Asmar? Jangan-jangan kita pula dipintas tentara luar nanti,’ Maan mulai agak takut.

‘Di mana pula akan ada tentara luar di sini. Tentara luar di sana di atas gunung Marapi,’ jawab Bidin bersemangat.

‘Sst…. Tenanglah. Aku mendengar seperti suara orang merintih di hadapan kita,’ Samsul mengingatkan.

‘A… a.. a…pa ka ta waang?’ Maan tiba-tiba jadi tergagap.

Maan merapatkan tubuhnya ke tubuh Samsul. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Bidin juga tidak kalah gugup. Suara rintihan itu semakin jelas terdengar. Ketiga tentara OPR itu masih berusaha maju dengan langkah terseret-seret.

Bidin menyorot arah suara rintihan itu dengan lampu senter. Betapa terkejutnya mereka melihat yang tergeletak itu adalah seseorang yang berseragam tentara. Dengan tangan menggigil Bidin mengarahkan cahaya senter ke sekitarnya. Terlihat pemandangan yang lebih mengerikan. Bidin segera mengenali salah satu dari yang tergeletak itu. Mancun. Teman sekampungnya yang bertubuh gempal. Tubuh Mancun sudah tidak bergerak.

‘Ba…. Ba ba gai.. mana ini?’ Maan bertanya dengan suara menggigil. Tak terasa dia mengeluarkan air seni. Maan terkencing di celana saking ketakutannya.

‘Kita segera balik ke pos,’ Bidin setengah berbisik sambil tubuhnya diputarnya mengarah kembali ke pos.

Samsul dan Maan sama-sama bergayut, berpegangan di baju Bidin. Mereka berjalan setengah berlari dengan tubuh membungkuk. Mendekati pos ketiganya berpacu lari seperti sedang dikejar hantu. Dikejar hantu haru-haru. Sampai di pos, Bidin jatuh seperti tapai. Dan pingsan.

‘Kenapa kalian!’ bentak Sutopo.

Maan dan Samsul seperti orang gagap. Keduanya tak pandai berbicara. Tubuh keduanya menggigil dan tangannya menunjuk-nunjuk.

‘Ada apa? Ada apa?’ Sutopo meremas leher baju Samsul dan menggoncang-goncang tubuh serdadu OPR itu. ‘Apa yang kalian lihat?’ bentaknya lagi.

‘Ter….. ter…. Terbunuh,’ jawab Samsul gagap. Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya ikut pula menggelonsor dan diapun pingsan.

Sutopo mengeluarkan pluit dari kantong celananya. Pluit itu ditiupnya dengan nada tanda bahaya. Semua tentara yang sedang tidur di pos itu terbangun dan bergegas keluar dengan membawa senjata masing-masing. Sutopo memberi penjelasan singkat. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan sedang terjadi. Mereka akan memeriksa sesuatu itu bersama-sama. Maan, satu-satunya yang tidak pingsan di antara mereka bertiga, dipaksa menjadi penunjuk jalan. Dengan tubuh menggigil ketakutan, Maan hanya bisa menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Lima belas orang tentara APRI itu berjalan berpencar, mengikuti Maan yang didorong Sutopo agar tidak ambruk.

Mereka sampai di tempat itu. Tidak ada lagi suara rintihan. Tubuh-tubuh malang terkapar bersimbah darah. Sutopo gemetar menyaksikan pemandangan itu. Begitupun anak buahnya. Diperiksa dan dihitungnya jumlah yang tergeletak. Ada delapan orang. Tidak, ada sembilan orang. Yang satu orang lagi ada di dalam selokan. Dalam bandar air. Semua sudah jadi mayat. Berarti ada satu orang lagi yang belum terlihat.

Sutopo memerintahkan dua orang anak buahnya kembali ke pos dan menghubungi Bukit Tinggi dengan radio untuk minta bantuan.

*****


Saturday, October 22, 2011

KENANGAN MASA PRRI (6)

6. Serangan Kilat Menjelang Subuh

Rombongan tentara PRRI itu segera mengambil tempat yang tersembunyi, beberapa puluh meter dari rumah tuan Asmar. Semua berjaga-jaga, ingin melihat siapa kiranya tamu yang dihebohkan anjing-anjing kampung itu. Benar saja, ternyata mereka adalah tentara APRI dari Biaro. Besar betul nyali tentara pusat itu, datang di tengah malam ke kampung yang cukup jauh dari pos mereka. Apakah tentara-tentara itu begitu yakinnya merasa bahwa daerah ini semua sudah menjadi daerah taklukan mereka?

Kasim berada dekat tandas di seberang tebat ikan. Diamati dan dicobanya menghitung jumlah rombongan yang datang. Ada sembilan atau sepuluh orang. Sesudah menggedor dinding rumah tuan Asmar, lima orang naik ke rumah. Kasim melihat mereka dengan sangat jelas dalam keremangan malam. Sisanya berjaga-jaga di pekarangan sambil berjalan mondar-mandir. Sambil merokok pula. Anjing-anjing kampung sementara sudah berhenti menyalak.

Tamrin merangkak hati-hati ke dekat Kasim dan mencoleknya.

‘Kita berangkat,’ bisiknya.

Keduanya merangkak pelan-pelan dan bergabung dengan anggota rombongan yang lain. Setelah itu semuanya berjalan dengan senyap di pematang sawah melintasi jalan kampung di sebelah timur. Tanpa suara mereka berjalan beriringan ke utara dari kampung itu, ke arah Biaro, melalui pematang sawah yang jaraknya sekitar dua puluh lima meter dari jalan. Keistimewaan tentara PRRI ini mereka tidak pernah disalak anjing karena setiap kali masuk kampung, mereka rajin memberi anjing-anjing yang suka heboh itu dengan sejemput makanan.

‘Akan kita hadang mereka di Sicamin. Di pesawangan itu kita habisi mereka. Berapa orang tadi kau hitung?’ tanya komandan Basa kepada Kasim.

‘Sembilan atau sepuluh. Lima naik ke rumah, yang di halaman tidak terlalu jelas. Mungkin empat atau lima. Aku mendengar seorang memanggil-manggil nyiak Jorong, sebelum mereka naik ke rumah,’ jawab Kasim.

‘Pastilah OPR-OPR pembawa sial itu. Huh, mereka itu memang menyebalkan.’

Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di Sicamin. Dari arah selatan kembali terdengar salak anjing. Masih cukup jauh dari tempat mereka berada. Komandan Basa memberi perintah kilat mengatur strategi.

‘Kasim! Kau dan Tamrin di sebelah utara dekat pohon limau itu. Aku dan Said di pematang di sini. Kau juga di belakangku Junaidi! Hamid dan Kutar di pematang sawah di seberang sana, antara tempatku ini dengan Kasim, di seberang jalan. Mereka akan berjalan beriring-iring, begitu biasanya. Mungkin berdua-berdua atau bertiga-bertiga. Aku yang akan menembak lebih dahulu begitu mereka melewati jalan di depanku ini. Kau Kasim, kau tembak dari depan sesudah aku menembak. Kau perhatikan benar mereka ketika menembak. Hamid dan Kutar mengamati seandainya masih ada di antara mereka yang bergerak sesudah itu kau habisi. Mereka akan berlalu dalam waktu lima menit lagi. Apakah jelas yang aku perintahkan?’

‘Jelas komandan,’ jawab mereka hampir serempak.

‘Ingat! Tidak ada yang menembak sebelum aku menembak. Begitu aku menembak, langsung kau perhatikan dan tembak pula sasaran. Jelas Kasim?’

‘Jelas, komandan.’

‘Baik! Sekarang ke posisi masing-masing. Bismillah……’

‘Masih boleh bertanya komandan?’ tanya Hamid.

‘Ada apa lagi?’

‘Seandainya ada yang lolos ke utara, seorang atau dua orang apakah kita kejar?’

‘Kalau mereka tidak berbalik menembak kita, akan kita biarkan. Rasa-rasanya OPR-OPR itu tidak akan berani menembak. Biar mereka melapor ke induk semangnya.’

‘Baik komandan, sudah jelas.’

Semua menuju ke posisi sesuai yang diperintahkan komandan Basa. Kasim dan Tamrin ke balik pohon limau, kira-kira sepuluh meter dari tempat komandan Basa. Semua menunggu dengan jantung berdegup keras. Dengan senjata terkokang siap ditembakkan. Pelan-pelan mulai terdengar derap sepatu dari arah selatan. Seperti yang diduga, mereka berjalan berkelompok dua dan tiga orang. Ternyata semuanya sepuluh orang. Pelan-pelan terdengar mereka bercakap-cakap. Percaya diri betul mereka itu. Lamat-lamat terdengar obrolan mereka dalam bahasa Indonesia beraksen Jawa. Rupanya dua orang yang di depan yang sedang berbicara.

‘Sontoloyo betul informasi kau.’

‘Infonya betul komandan. Mungkin harinya kita yang salah.’

‘Jadi? Besok mau diulang lagi kesana?’

‘Serancaknya begitu komandan. Inyiak jorong itu…… Semua orang tahu dia itu berkawan dengan tentara luar itu.’

‘Kalau berkawan, di kampung itu mungkin semua berkawan. Kau memang sontoloyo, kau bilang pasti ada pemberontak di rumah itu. Mana buktinya?’

Komandan Basa mendengar jelas perbincangan mereka. Tentara APRI itu mulai melintas di depan tempat dia bersembunyi. Dihitungnya, semua sepuluh orang, berjalan dengan santainya. Dua di paling depan, tiga di tengah dan berlima di paling belakang. Mereka pasti tidak mengkhawatirkan apapun. Apalagi mereka semakin dekat ke pos mereka di Biaro. Inilah waktunya. Semua sudah berada di sebelah depan komandan Basa, dengan posisi membelakanginya. Komandan Basa menarik pelatuk. Senjata itu menyalak memercikkan bunga api. Lima orang yang berada di belakang semua tersungkur bersimbah darah dari kepala mereka. Senjata Kasim ikut menyalak dari arah depan. Tiga orang di paling depan juga tersungkur. Dua orang di antara rombongan itu meloncat indah ke samping kiri jalan menghindari tembakan. Yang satu mendarat di dalam Bandar. Tepat di hadapan Hamid. Tanpa ampun, bedil Hamid pun menyalak. Tentara yang bersalto menyelamatkan diri itu menggeliat meregang nyawa. Hamid melihat yang satu orang lagi merangkak dalam Bandar air menuju ke utara. Kutar juga melihatnya. Dia pun merangkak mendekati tentara yang satu itu di pematang bandar dengan bedil terarah kepadanya. Sepertinya tentara yang satu itu tidak sadar bahwa dia diikuti. Setelah dekat Kutar menempelkan ujung senjatanya ke tubuh tentara malang itu.

‘Berdiri tanpa senjata dan angkat tangan kau!’ perintahnya.

Tentara itu berdiri dengan tubuh menggigil ketakutan. Kutar mendorongnya dengan ujung bedil dan menyuruhnya berjalan di pematang bandar air, mengarah ke selatan.

Beberapa menit berlalu. Suasana sunyi mencekam. Terdengar rintihan dari tentara yang terluka. Rupanya tidak semuanya mati terbunuh. Komandan Basa memberi isyarat kepada anak buahnya untuk segera berlalu dari tempat itu.

‘Bagaimana kalau aku ambil sebuah senjata mereka, komandan?’ tanya Kasim.

‘Ambillah! Hati-hati kau! Di antara mereka masih ada yang hidup.’

‘Bagaimana kalau sekalian kuhabisi kalau memang ada?’

‘Kalau dia sudah tidak membahayakan, jangan…... Kita bukan tentara buas. Kau amat-amati mereka Hamid!’

Ternyata ada dua orang yang merintih-rintih dengan luka masing-masing di dada dan di leher. Yang lain sudah tidak bernyawa. Kasim mengambil sebuah senjata tentara itu berikut pelurunya.

‘Untuk tongkat kau Junaidi,’ katanya sambil menyerahkan senapan itu ke tangan Junaidi.

Jantung Junaidi masih berdebar-debar menyaksikan drama maut itu.

‘Yang satu ini bagaimana komandan?’ tanya Kutar.

‘Kita bawa dulu ke atas,’ perintah komandan Basa. ‘Ikat tangannya dan tutup matanya, Hamid!’ tambahnya pula.

Tangan tentara tawanan itu diikat dengan tali dari kulit batang pisang dan matanya ditutup dengan kain sarung. Dia masih menggigil ketakutan dan tidak berkata sepatah juapun. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Berjalan di pematang sawah menuju arah timur, menjauh dari jalan raya. Said menuntun tawanan itu yang berjalan tertatih-tatih dan berkali-kali hampir jatuh. Akhirnya mereka sampai di tepi sebuah batang air. Komandan Basa memberi isyarat agar tawanan itu diikatkan ke pohon enau yang tumbuh di situ. Pastilah tentara tawanan itu menyangka bahwa dia akan segera dihabisi.

‘Kau kami ampuni dan akan kami tinggalkan di sini. Mudah-mudahan temanmu cepat menemukan kau kembali. Seandainya kau belum dimangsa ular tentunya. Kalau kita bertemu lagi di pertempuran lain, dan aku punya kesempatan lagi, kau tidak akan kumaafkan lagi. Kau belum belum boleh berteriak sebelum kami jauh dari sini. Kalau kau berteriak, dan kami mendengarnya akan kutembak kau,’ komandan Basa memperingatkan tawanannya.

Tentara tawanan itu tidak berkata apa-apa. Mungkin dia masih belum yakin bahwa dia tidak akan dihabisi. Dia berdiri pasrah dalam keadaan terikat ke pohon enau.

Hari sudah menjelang subuh. Komandan Basa dan rombongannya menyeberangi batang air dan berlalu dari situ. Mereka menuju ke markas mereka di gunung Marapi. Junaidi berjalan penuh semangat dalam rombongan itu. Sambil menyandang bedil. Dia sudah ikut terlibat dalam peperangan itu. Pengalamannya malam itu mendebarkan sekaligus membakar semangat. Semangat untuk ikut bertempur dalam peperangan. Tanpa harus berprilaku buas dan bengis terhadap musuh. Seperti yang dicontohkan komandan Basa malam ini. Membunuh karena sedang berada dalam keadaan perang. Tapi membiarkan hidup tawanan tanpa menyakitinya. Bahkan akhirnya meninggalkannya tanpa sedikitpun dilukai.

Telah hampir terbit matahari waktu akhirnya komandan Basa mengajak rombongannya berhenti dulu untuk sembahyang subuh. Mereka sudah berada di lereng gunung Marapi. Sesudah sembahyang, baru mereka ingat bahwa nasi bungkus dari rumah wali jorong tadi malam belum disantap. Pagi buta itu mereka makan dulu di tepi hutan. Makan nasi bungkus. Di tepi batang air yang airnya bergemiricik.

*****

Saturday, October 15, 2011

KENANGAN MASA PRRI (5)

5. Bergabung

Lewat tengah malam cuaca berubah cerah. Langit penuh bintang berkelap kelip. Tapi udara terasa sangat dingin. Di kedinginan malam itu ada enam orang berjalan beriring-iring di jalan kampung. Tanpa suara. Masing-masing memakai kopiah sebo untuk melindungi kepala mereka dari terpaan angin dingin. Masing-masing berkelumun kain sarung dan masing-masing menyandang bedil. Mereka adalah tentara PRRI. Yang paling depan adalah letnan Harun. Atau dikenal anak buahnya dengan panggilan komandan Basa. Gelarnya Sutan Basa. Mereka menuju ke rumah wali jorong. Anjing tuan Asmar tidak berbunyi sedikitpun.

Tuan Asmar, wali jorong itu adalah penghubung orang PRRI dengan simpatisannya di kampung. Umumnya penduduk kampung sangat memihak kepada PRRI tapi hanya sebagian yang benar-benar bersimpati. Para simpatisan ini, secara diam-diam berpartisipasi untuk membantu tentara-tentara PRRI itu semampunya. Ada yang menyumbang uang, yang menyumbang pakaian dan obat-obatan, yang menyumbang bahan makanan. Tuan Asmar yang menampungnya dan menyimpannya hati-hati di rumahnya. Dua kali sepekan, letnan Harun dengan anak buahnya atau kadang-kadang diwakili oleh anak buahnya datang ke rumah wali jorong untuk mengambil sumbangan-sumbangan itu.

Letnan Harun memberi isyarat di dinding bilik tuan Asmar. Tuan Asmar segera tahu karena memang dia tidak tidur sejak dari tadi. Setelah berbagi kode seperti biasa, keenam tentara itu masuk melalui pintu seperti yang dimasuki Junaidi.

Ada cahaya sangat temaram dari lampu togok yang berkedip-kedip di bilik kecil itu. Keenam tentara itu duduk bersandar ke dinding di samping Junaidi yang sedang tidur setengah mendengkur berselimutkan kain sarung. Dia tidak terganggu sedikitpun dengan kedatangan rombongan ini. Tuan Asmar membangunkan Junaidi dengan menepuk pundaknya. Junaidi segera bangkit dari tidurnya. Dikuceknya matanya sambil memandang keheranan pada keenam orang yang sudah duduk di kamar itu. Junaidi bangkit menyalami mereka.

‘Bagaimana kabar?’ tanya komandan Basa berbisik.

‘Kabar baik, pak,’ jawab Junaidi.

Dalam rombongan itu rupanya ada pula Tamrin, sahabat Junaidi. Dia tidak mengenalinya sampai Tamrin melepas sebonya. Mata Junaidi terbelalak. Tamrin tersenyum kepadanya.

Tuan Asmar mengeluarkan sebuah ketiding yang ditutupi dengan karung sumpit kosong dari sebuah peti kayu di sudut bilik. Ketiding itu berisi nasi bungkus dan ceret air minum yang memang sudah disiapkan dari senja. Sumbangan diam-diam dari orang kampung simpatisan. Bungkusan nasi itu dibagikannya. Junaidi juga kebahagian. Mereka sedang bersiap-siap akan menikmati nasi bungkus itu. Dari jauh terdengar gonggongan anjing sangat ramai. Suara salak anjing-anjing kampung.

‘Itu mereka. Kemasi barang bawaan. Kita segera turun!’ perintah komandan Basa.

Semua anak buahnya bersiap mengumpulkan bungkusan termasuk bungkusan obat-obat dari dalam ketiding. Satu per satu mereka turun dari pintu di lantai menuju kandang. Termasuk Junaidi. Jantung Junaidi berdebar-debar. Salak anjing itu makin ramai saja. Mungkin hanya pada jarak sekitar lima puluh meter dari rumah dan arahnya tepat menuju ke rumah tuan Asmar. Dalam hitungan belasan detik serombongan orang yang disalak anjing itu sampai di halaman rumah wali jorong. Terdengar derap sepatu tentara. Pastinya itu tentara pusat. Mungkin mereka sedang memeriksa sekitar rumah tuan Asmar.

Beberapa puluh detik pula sebelumnya, tuan Asmar sudah kembali menurunkan tongkat pasak pintu kandang dari dalam rumah. Di atas lantai yang jadi pintu masuk dari dalam kandang kembali diletakkan ketiding berisi karung sumpit kosong. Cerek air dipindahkannya ke luar dan lampu togok dipadamkannya. Tuan Asmar berjinjit sepelan mungkin ke kamarnya yang tidak berkunci dalam kegelapan. Rombongan tentara PRRI sudah berlalu semuanya.

Tepat ketika tuan Asmar sampai di kamar, dinding di luar kamar itu diketok orang dengan kasar.

‘Nyiak Jorong………! Nyiak Jorong………! Buka pintu kami mau ke rumah,’ teriak orang dari luar itu.

Pintu itu digedor berkali-kali.

‘Ya……! Siapa….?’ Jawab tuan Asmar sambil terbatuk-batuk.

Wali jorong itu melangkah ke luar kamar dan membuka sebuah jendela di tengah rumah untuk melihat keluar. Ada empat orang tentara berpakaian hijau berdiri di sana. Salah satu dari tentara itu sengaja menyenter ke arah rombongan mereka.

‘Ada apa?’ tanya tuan Asmar.

Suaranya tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut.

‘Kami ingin naik ke rumah,’ jawab orang itu pula.

‘Baik! Naiklah, saya bukakan pintu,’ jawab tuan Asmar.

Dia melangkah ke pintu masuk rumah di bagian tengah antara rumah dan dapur dengan membawa lampu togok yang berkibar-kibar nyaris padam ditiup angin. Ditariknya pasak pintu rumah dan dibukanya gerendelnya. Rombongan itu sudah berada di depan pintu itu.

‘Naiklah!’ tuan Asmar mempersilahkan mereka naik.

Tentara-tentara APRI itu naik satu persatu, lima orang semuanya. Tuan Asmar mengenali bahwa tiga dari lima orang tentara itu adalah OPR, tentara bantuan dari orang lokal. OPR dengan tentara yang dari Jawa ibarat anjing pemburu dengan tuannya. Anggota OPR-lah yang biasanya mengendus-endus, mencari segala sesuatu yang mereka curigai untuk kemudian dilaporkan kepada atasannya anggota APRI dari Jawa. Di halaman anjing masih menyalak sekali-sekali.

‘Kami akan menggeledah rumah ini,’ kata seorang dari tentara dengan bahasa Indonesia aksen Jawa.

‘Silahkan, pak. Ada apa rupanya?’ tanya tuan Asmar pura-pura bodoh.

Tentara itu tidak menjawab. Semuanya memeriksa setiap sudut dengan bedil terkokang di tangan, siap diletupkan. Mereka masuk ke bilik-bilik yang terbuka pintunya, termasuk bilik tempat beberapa menit yang lalu ditempati rombongan tentara lain. Hanya ada ketiding kosong dalam bilik itu. Tentara itu terus memeriksa dan menyenter ke setiap sudut sampai ke langit-langit. Tidak menemukan suatu apapun.

‘Buka pintu ini!’ perintah tentara Jawa itu lagi.

Pintu yang dimaksudnya adalah pintu kamar di sebelah kamar tidur tuan Asmar yang ditempati mertuanya. Tuan Asmar membuka pintu itu yang memang tidak dikunci. Tentara itu melihat ada seorang tidur bergelung di atas dipan kayu. Tentara itu melongok ke dalam bilik dan menyenter ke bawah dipan. Tidak ada siapa-siapa selain orang tua yang kelihatannya sangat nyenyak tidurnya.

‘Nama saudara siapa?’ tentara Jawa itu bertanya lagi.

‘Asmar, pak,’ jawab tuan Asmar pendek.

‘Saudara, wali jorong?’

‘Ya.’

‘Tadi ada orang datang ke rumah ini?’

‘Tidak.’

‘Tidak ada tentara pemberontak yang datang?’

‘Tidak ada.’

‘Yang tidur itu siapa?’

‘Mertua saya.’

‘Kami tahu tentara pemberontak suka datang ke rumah ini.’

‘Tidak ada. Tidak sesiapapun yang datang.’

‘Kamar saudara yang mana?’

‘Yang ini,’ jawab tuan asmar sambil menunjuk ke pintu biliknya.

‘Ada siapa di dalam?’

‘Istri dan anak-anak saya.’

‘Coba buka!’

Tuan Asmar membuka pintu. Tentara itu melongok ke dalam. Darah tuan Asmar berdegup. Khawatir jika tentara ini berniat berbuat jahat. Di dalam kamar iti ada sebuah ranjang besi. Ada tiga orang tidur di atas ranjang itu. Istri dan kedua anak-anaknya.

Tentara itu menyenter-nyenter ke dalam kamar. Anak tuan Asmar yang kecil terbangun dan menangis ketakutan. Semua terbangun dan mereka duduk di tempat tidur. Istri tuan Asmar menutupi kepalanya dengan selendang. Pintu kamar itu kembali ditutup tentara Jawa itu.

‘Ya sudah! Saya perintahkan kalau ada tentara pemberontak datang ke rumah ini agar saudara melapor ke kantor Buter di Biaro,’ kata tentara itu.

‘Baik,’ jawab tuan Asmar.

‘Saudara kan ketua jorong. Laporkan juga kalau ada warga di kampung ini yang bekerja sama dengan pemberontak.’

‘Ya, pak.’

Kelima tentara itu turun dari rumah. Salak anjing tuan Asmar kembali heboh. Mereka berlalu dalam kegelapan malam.

*****

Friday, October 7, 2011

Santri

SANTRI

Rafki sampai di rumah orang tuanya. Untuk berlibur hari raya selama dua minggu. Betapa menyenangkan untuk kembali berada di rumah ini, dekat ayah dan ibu serta adik-adiknya. Rafki adalah seorang santri di sekolah penghafal al Quran di luar kota, di kaki gunung Marapi. Sudah setahun dia menuntut ilmu di sana. Atas perintah ayah, karena ayah ingin dia menjadi seorang hafidz. Seorang penghafal al Quran. Doa penghafal al Quran itu diijabah Allah dengan mudah. Orang tuanya pun nanti akan dihimbaunya masuk ke surga atas izin Allah. Itulah sebabnya ayahnya, Khatib Sulaiman sangat berambisi menyekolahkan Rafki ke pesantren itu.

Dan selama setahun itu baru kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya di Jambi. Meskipun pada awalnya dia tidak terlalu bersemangat meninggalkan rumah orang tuanya, Rafki sebagai seorang anak yang penurut, mematuhi arahan ayah itu. Tapi ternyata suasana di pondok itu cukup menyenangkan. Kawan-kawannya semua baik-baik. Ustadz-ustadznya baik-baik. Lingkungannya ramah dan menyenangkan. Di sana Rafki termasuk santri yang terbaik. Prestasi sekolahnya bagus. Dan dia sudah menghafalkan 3 juz terakhir al Quran dengan bacaan yang fasih dan bersih tajwijnya. Sebuah prestasi yang luar biasa.

Kemajuan Rafki selalu dipantau Khatib Sulaiman ayahnya. Dua kali seminggu ayah dan anak itu berkomunikasi melalui sms, melalui hape ustadz Saiful. Ayah selalu saja bertanya sudah sejauh mana kemajuan hafalan al Qurannya. Bagi ayah hal itu adalah yang paling penting. Alhamdulillah Rafki selalu melaporkan kemajuan. Melaporkan surah demi surah pada setiap juz terakhir yang sudah dihafalkan. Khatib Sulaiman bangga berbunga-bunga. Ingin sekali dia mendengarkan langsung bacaan anaknya itu. Akan dimintakannya ijin imam mesjid agar si Rafki mengimami shalat subuh di mesjid. Betapa akan menyenangkan, punya anak penghafal al Quran.

Sekaranglah tiba waktunya. Di saat Rafki pulang berlibur ini. Khatib Sulaiman yang paling bahagia dengan kepulangan anak sulungnya itu. Rafki terlihat agak kurus sedikit tapi sangat sehat. Matanya bersinar-sinar. Sinar mata seorang penghafal al Quran.

Adik Rafki yang persis di bawahnya bernama Zain, duduk di kelas lima SD. Zain juga terkagum-kagum dengan Rafki. Dengan da Rafki atau lebih ringkas dipanggilnya da Raf. Kakaknya itu sangat berpaham penampilannya sekarang. Sangat berbeda dengan ketika sebelum dia berangkat ke pesantren. Sejak sampai di rumah tadi siang, sudah beberapa kali Zain memergoki Rafki sedang bergumam dengan nada seperti orang mengaji. Tapi suaranya terlalu halus untuk bisa didengar. Zain tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.

‘Sedang apa da Raf ini?’ akhirnya dia bertanya.

Rafki hanya tersenyum dan terus juga seperti bergumam.

‘Da Raf mengaji?’

Rafki mengangguk.

‘Cobalah baca yang keras. Awak ingin mendengar.’

Rafki menyaringkan suaranya. Terdengar bacaannya yang sangat elok, tartil, dan teratur dengan irama agak cepat. Zain terkagum-kagum mendengarnya. Sepertinya bacaan itu sangat lancar. Tidak pernah sekali juga dia terhenti atau ragu-ragu.

‘Surah apa yang da Raf baca? Biar awak simak,’ kata Zain. Tangannya sudah memegang sebuah mushaf al Quran.

Kali ini Rafki menghentikan bacaannya. Diambilnya al Quran itu dari tangan adiknya dan dibukanya surah al Mujadalah, awal juz ke dua puluh delapan.

‘Simaklah baik-baik!’ katanya.

Rafki kembali membaca dan Zain menyimaknya. Ayat demi ayat itu dibacanya dengan jelas. Jelas panjang dan pendeknya, jelas dengungnya, jelas tasydidnya, jelas qalqalahnya. Zain semakin terkagum-kagum. Tidak ada satupun bacaan itu yang salah. Sampai Rafki menyelesaikan keduapuluhdua ayat. Dilanjutkannya pula dengan surah al Hasyr sampai selesai.pula.

Rafki masih terus mengaji. Adiknya Zain menyimak dengan bersungguh-sungguh dengan kekaguman. Betapa hebatnya kakaknya itu. Betapa hebatnya da Raf. Setelah itu kedua adik kakak itu terlibat dalam pembicaraan.

‘Berapa lama da Raf menghafalkan juz ke dua puluh delapan itu?’ tanya Zain.

‘Hampir tiga bulan sampai benar-benar hafal,’ jawab Rafki.

‘Semua teman di pondok hafal seperti itu?’

‘Hampir semua. Ada bahkan yang lebih cepat, yang sudah mulai menghafalkan juz dua puluh tujuh.’

‘Kenapa dari belakang menghafalnya?’

‘Kata ustadz memang lebih baik seperti itu. Dimulai dengan yang susah dari belakang, karena ayat-ayatnya pendek-pendek dan banyak. Tapi kalau kita berhasil menghafalkan juz-juz terakhir itu, juz seterusnya jadi lebih mudah dihafalkan. Juz ‘ama atau juz tiga puluh baru bisa hafal dalam waktu hampir lima bulan. Juz berikutnya sekitar empat bulan. Terakhir juz dua puluh delapan selama tiga bulan.’

‘Sampai kelas tiga nanti bisa hafal sampai juz berapa?’

‘Mudah-mudahan sampai sepuluh juz. Target ustadz-ustadz di pondok seperti itu dan mudah-mudahan kesampaian.’

‘Hebat sekali…… Awak juga ingin sekolah ke sana,’ kata Zain bersungguh-sungguh.

‘Sudah diberitahukan ke ayah dan mak?’

‘Sudah. Ayah sangat setuju. Hanya mak yang ragu-ragu karena nanti rumah jadi sepi kalau awak pergi. Begitu kata mak.’

‘Kan masih dua tahun lagi. Mudah-mudahan saja nanti mak tidak lagi ragu-ragu.’

‘Tolong doakan ya da Raf?!’

‘Ya, insya Allah da Raf doakan.’

Di waktu shalat maghrib, di rumah, ayah menyuruh Rafki jadi imam. Dia membaca surah al Kaafiruun dan surah al Ikhlas. Surah yang pendek. Rafki membacanya dengan fasih dan tartil. Ayahnya berkomentar bahwa kedua surah itu terlalu pendek. Ayah ingin mendengar surah yang lebih panjang dan beliau meminta agar shalat isya nanti Rafki membaca yang lebih panjang. Dan Rafki mematuhinya. Dia baca surah al Muzzammil dan al Muddatstsir. Dengan fasih. Dengan lancar dan tartil.

Khatib Sulaiman bahagia dan bangga. Bacaan anaknya itu sangat mengagumkannya dan menyenangkan hati.

‘Besok subuh kita shalat di mesjid Al Barkah,’ kata ayah.

Rafki mengangguk.

‘Da Raf akan disuruh jadi imam?’ tanya Zain.

‘Kalau Haji Ahmad menyuruh kau maju, maka kau maju saja jadi imam!’ kata ayah.

‘Kan tidak enak sama orang tua-tua ayah,’ jawab Rafki.

‘Ayah sudah memberitahu Haji Ahmad. Beliau tidak keberatan. Beliau bahkan sangat setuju. Katanya, biar anak-anak muda, atau setidak-tidaknya orang tua yang punya anak muda tertarik pula mengirim anak mereka ke sekolah penghafal al Quran.’

‘Ya da Raf. Baca surah yang tadi itu lagi saja,’ Zain ikut menyemangati.

Di waktu subuh ketiga ayah dan anak itu pergi ke mesjid Al Barkah tepat saat azan subuh dikumandangkan. Jamaah subuh di mesjid ini ada sekitar empat puluh orang. Umumnya orang tua-tua. Sebahagian besar berpakaian haji atau sekurang-kurangnya bersorban. Sesudah iqamat, Haji Ahmad memanggil Rafki yang duduk di saf belakang dan menyuruhnya jadi imam. Meski agak sungkan, tapi Rafki maju juga. Sebelum takbir memulai shalat diingatkannya para jamaah agar meluruskan shaf. ‘Sawuu sufufakum….,’ katanya. Dan mereka mulai shalat.

Rafki membaca surah al Insaan di rakaat pertama dan surah al Mursalaat di rakaat kedua. Suaranya yang nyaring dan terang itu bertambah indah berkat bantuan alat pengeras suara. Lalu mereka rukuk di rakaat kedua. Lalu I’tidal. Lalu langsung sujud. Terjadi sedikit ‘huru-hara’. Ada yang berdehem-dehem dan ada yang membaca subhanallaah. Rafki yang tidak merasa ada yang salah tidak bereaksi apa-apa dan meneruskan saja shalatnya sampai selesai. Waktu dia menoleh dan mengarahkan pandangan ke belakang, dilihatnya orang-orang tua itu pada sujud. Rafki agak terheran-heran. Rupanya beliau-beliau itu sujud sahwi. Apa yang salah? Apa yang terlupa? Rafki tidak habis pikir.

Ayah mendekat kepadanya dan berbisik.

‘Kenapa kau tidak membaca doa qunut?’

Rafki baru sadar. Rupanya itu penyebabnya. Dia tidak membaca qunut waktu shalat tadi. Tapi Rafki diam saja. Dia tidak berkomentar apa-apa.

Sampai di rumah ayah kembali menanyakan.

‘Kenapa kau tidak qunut?’

‘Qunut itu kan sunah saja ayah. Di pondok ustadz-ustadz tidak membaca doa qunut,’ jawab Rafki dengan nada biasa-biasa saja.

‘Apa? Tidak membaca qunut?’ suara ayah meninggi.

‘Tidak ayah. Membaca qunut itu tidak wajib. Di masjidil Harampun imam shalat subuh tidak membaca qunut,’ jawab Rafki.

‘Wah! Kalau begitu kau sudah masuk perangkap. Kau sudah masuk ke golongan yang keliru. Kita adalah anggota ahlus sunnah wal jamaah. Kita wajib membaca qunut. Kalau kau lupa kau harus sujud sahwi. Sayang….. Bacaanmu yang bagus tadi tidak ada artinya karena kau menyalahi aturan. Karena kau tidak membaca qunut.’

‘Ayah… Membaca qunut itu hanya sunnah. Tidak wajib. Tidak membacanya tidak menjadikan shalat tidak sah. Kami menonton di televisi Arab Saudi, di Masjidil Haram imam shalat subuh tidak membaca qunut dan tidak ada orang yang sujud sahwi,’ jawab Rafki berhati-hati.

‘Ternyata pesantrenmu itu milik golongan itu. Golongan yang suka membid-‘ah-bid-‘ahkan orang lain. Membid-‘ah-bid-’ahkan kita. Sebaiknya, atau ayah putuskan, kau tidak usah lagi balik ke sana.’

Rafki terperangah mendengar ucapan ayah. Begitu juga Zain. Bukankah sampai tadi malam ayah sangat benar bangga dengan bacaan al Quran Rafki? Benarkah dengan tidak membaca qunut waktu shalat subuh tadi dia sudah membuat kesalahan fatal? Rafki tidak ingin meneruskan bantahan dan memilih diam.

Dan ternyata ayah tidak main-main dengan keputusannya melarang Rafki kembali ke pondok.

‘Nanti kita cari pondok yang lain. Pondok dari golongan ahlus sunnah wal jamaah. Ayah akan menghubungi pimpinan pondok itu untuk memberi tahu bahwa kau tidak akan kembali lagi ke sana,’ begitu kata ayah.

Rafki sedih tidak boleh kembali ke pondok. Lebih sedih lagi karena dia yakin alasan ayah itu tidak masuk akal. Tapi dia tidak mau membantah. Dia tidak mau mendurhakai ayah. Zain juga terheran-heran dengan keputusan ayah itu yang dirasanya sangat aneh dan tidak adil. Padahal dia sudah bertekad untuk mengikuti jejak da Raf. Untuk ikut jadi santri di sekolah penghafal al Quran itu. Yang sekarang ternyata jadi buyar.


*****

Friday, September 16, 2011

MUSYKIL

MUSYKIL

Hari Selasa yang cerah. Pak Broto dan istrinya datang bertamu ke rumah kami. Mereka baru kembali dari mudik lebaran. Dalam suasana ceria di pagi yang cerah itu kami berbincang-bincang santai. Tentang perjalanan mereka pulang kampung. Pak Broto bercerita bahwa perjalanan itu seperti biasanya setiap tahun, tersendat-sendat di tengah kemacetan arus lalu lintas.

‘Lama juga di kampung kali ini,’ aku berkomentar.

‘Lumayan….. Pas seminggu, kami berangkat dari sini hari Ahad dan tadi malam sampai kembali di rumah,’ jawab pak Broto.

‘Aman-aman saja sepanjang perjalanan? Berapa jam di jalan?’ tanyaku lagi bertubi-tubi.

‘Alhamdulillah….. Aman…. Tapi, ya itu….. Jakarta – Solo dua puluh jam lebih. Berangkat dari rumah sehabis subuh, kami sampai di kampung sudah menjelang sahur lagi. Begitu juga waktu pulang. Macet. Di mana-mana macet dan berdesak-desak. Tidak ada perobahan dari tahun ke tahun,’ jawabnya.

‘Mungkin semakin macet barangkali karena saya dengar pemudik bersepeda motor semakin bertambah. Perjalanan yang berat. Tapi….., tetap puasa selama dalam perjalanan pulang waktu itu?’

‘Tinggal ibu Broto saja yang masih bertahan. Saya menyerah. Hari panas luar biasa, dan jalanan macet. Di dekat Cirebon, saya dan anak-anak sudah tidak sanggup lagi meneruskan puasa. Jam dua siang kami terpaksa batal.’

‘Sayang, ya,’ aku berkomentar asal-asalan.

‘Sayang memang….. Tapi begitulah, resiko mudik……. Eh, ngomong-ngomong, udo hari apa berhari raya?’ tanyanya. Sepertinya mengalihkan pembicaraan.

‘Hari Selasa. Sampeyan hari apa?’ jawabku sekalian bertanya pula.

‘Kami ikut pemerintah…. Hari Rabu. Udo pengikut Muhammadiyah rupanya.’

‘Kebetulan saja bersamaan. Saya bukan anggota Muhammadiyah.’

‘Sayang, ya…. Kita, umat Islam selalu saja berbeda hari berhari raya….’

Aku hanya tersenyum, tak menjawab.

‘Sepertinya orang Muhammadiyah terlalu pede dan ngotot. Mereka tidak mau ikut pemerintah,’ pak Broto memancing-macing.

‘Sebenarnya………’ kataku ragu-ragu.

‘Sebenarnya bagaimana, udo?’

‘Sebenarnya……., kalau kita yakin tentang sesuatu hal, kita memang harus pede. Harus berani mempertahankan keyakinan kita tersebut,’ jawabku.

Pak Broto menatap wajahku dengan pandangan penuh tanda tanya.

‘Orang Muhammadiyah begitu yakin dengan hasil perhitungan mereka. Dan mereka tidak mau mundur setapakpun. Padahal……., demi kebersamaan, apa salahnya mundur? Demi keutuhan umat. Apa bukan begitu pendapat udo?’

‘Entahlah. Tapi sayapun, ketika saya yakin bahwa hari raya kemarin itu jatuh pada hari Selasa, saya juga tidak mau mundur. Tidak mau ikut dengan pendapat pemerintah.’

‘Apa alasan udo?’

‘Saya percaya dengan hasil perhitungan. Baik yang dilakukan Muhammadiyah, atau organisasi lainpun. Bahkan dari informasi yang saya dapatkan di internet, dari Google. Ditambah pula kesaksian di bawah sumpah orang yang melihat hilal pada hari Senin sore itu. Saya sangat percaya dan yakin dengan semua itu, lalu saya tidak puasa lagi hari Selasa alias berhari raya pada hari itu.’

‘Jadi bukan karena fanatik sebagai……… orang Muhammadiyah?’

‘Sudah saya katakan. Saya bukan anggota Muhammadiyah.’

Sedang kami asyik berbincang-bincang itu terdengar suara salam dari luar. Rupanya ada bapak dan ibu Tahir, tetangga kami yang lain, yang juga baru kembali dari Medan. Kami bersalam-salaman.

‘Rupanya baru sampai juga pak Tahir,’ pak Broto mengawali.

‘Tadi malam pak. Tadi subuh kami sudah bertemu di mesjid. Bukankah begitu udo?’ jawab pak Tahir.

‘Pak Tahir lewat udara ya? Enak dan tidak capek,’ pak Broto menambahkan.

‘Lebih capek sedikit di kantong….he..he..he…’ jawabnya pula.

Ibu Tahir bergabung dengan bu Broto di ruang tengah. Istriku menyuruh kami pindah ke meja makan. Ada mie goreng istimewa yang baru disiapkannya.

‘Wah! Kita masih benar-benar berhari raya rupanya,’ celetuk bu Broto.

‘Ada suatu hal yang musykil di pemikiran saya. Saya ingin menanya pendapat udo,’ kata pak Tahir ketika kami duduk mengelilingi meja makan.

‘Tentang apa itu?’ tanyaku.

‘Sebelumnya…….., hari apa udo berhari raya?’ tanya pak Tahir pula.

‘Hari Selasa,’ jawabku pendek.

‘Nah! Itulah! Kami juga berhari raya hari Selasa. Tapi ada seorang kawan menjelaskan bahwa dengan demikian berarti kita tidak taat kepada pemimpin. Kepada pemerintah. Padahal al Quran memerintahkan agar kita taat kepada pemimpin. Bagaimana itu udo?’

‘Perintah untuk taat kepada pemimpin itu benar. Allah memerintahkan kita tentang yang demikian itu seperti firman-Nya dalam surah An Nisaa’ ayat 59,’ jawabku.

‘Jadi mungkin maksud udo……. Pemerintah kita sekarang ini bukan ulil amri minkum. Apa demikian udo?’ giliran pak Broto bersuara.

‘Mereka ulil amri kita,’ jawabku tersenyum.

‘Lah….. Bagaimana dong udo. Kata teman saya itu sebetapa tidak setujunyapun kita dengan pemimpin, namun kita wajib taat kepadanya. Bahkan, jika kita mati dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, maka mati kita seperti mati dalam keadaan jahiliyah. Udo pernah mendengar tentang hadits itu?’

‘Pernah. Hadits itu insya Allah sahih,’ jawabku pula.

‘Lho…. Semakin bingung saya. Kalau begitu? Kalau udo tahu ayatnya, tahu haditsnya, kenapa dong udo ikut berhari raya hari Selasa. Menyalahi ketetapan pemerintah?!’

‘Iya, udo. Kok sepertinya udo tidak konsisten?’ pak Broto ikut mendesak.

‘Baiklah! Surah An Nisaa’ ayat 59 itu berbunyi, artinya; ‘Hai orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kalian! Sekiranya ada perbedaan di antaramu tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, sekiranya kamu memang beriman kepada Allah dan hari akhirat………’

Begitu bunyi ayat itu lebih kurang. Kita diperintah untuk taat kepada Allah. Itu yang pertama. Taat dan patuh atas ketetapan-ketetapan Allah. Lalu yang kedua, kita wajib taat kepada Rasulullah SAW. Terhadap apa saja yang disampaikan oleh beliau baik itu perintah maupun larangan. Dan terakhir kita wajib patuh dan taat kepada pemerintah. Namun urut-urutannya harus seperti itu. Taat dulu kepada Allah, lalu kepada Rasulullah baru kepada pemimpin. Artinya, kalau ada sesuatu ketaatan itu bertabrakan antara taat kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada pemimpin, maka yang didahulukan adalah taat kepada Allah. Sampai di sini apakah bapak-bapak faham dan setuju?’

Semua mengangguk-angguk, meski terlihat masih agak bingung.

‘Taat kepada pemimpin itu lebih banyak untuk urusan dunia. Ketika pemimpin menyuruh kita taat membayar pajak, taat bergotong royong, taat menjaga negeri, maka kita harus patuh. Kalau kita ingkari, di sanalah berlaku hadits tadi itu. Seandainya kita mati, maka mati kita seperti mati dalam keadaan jahiliyah.’

‘Tapi….. maaf, udo. Kemarin itu pemerintah menyuruh kita berhari raya di hari Rabu. Apakah pemerintah tidak berhak memerintahkan seperti itu karena itu untuk beribadah kepada Allah?’ pak Broto yang bertanya.

‘Tentu saja Pemerintah boleh menetapkan seperti itu. Tapi seyogianya, pemerintah meniru contoh Rasulullah dan menyimak perintah Allah untuk mempergunakan akal dalam menetapkan ayat-ayat Allah. Di jaman Rasulullah SAW, ketika ada seseorang mengaku telah melihat anak bulan, orang itu disuruh bersumpah dengan bersyahadatain, dan orang itu melakukannya, maka pengakuan orang itu dijadikan landasan hukum. Rasulullah SAW memerintahkan umat untuk mulai berpuasa ketika itu. Rasulullah memerintahkan untuk mengamati munculnya bulan. Di jaman Rasulullah belum ada alat untuk menghitung, untuk mengamati bulan selain dengan mata telanjang. Tapi sekarang? Allah telah mengajarkan ilmu. Peredaran bulan itu bisa dihitung. Dan itu menjadi tanda kepada orang yang berakal, firman Allah. Jadi kita harusnya mempertimbangkan pula hal itu.’

‘Saya masih belum pas dengan perbandingan itu. Menurut saya, pemerintah sebagai Ulil Amri tentu juga bersungguh-sungguh dalam ketetapan mereka.’

‘Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh. Tapi di sini diperlukan pengujian dengan keyakinan kita sendiri. Kalau nanti di pengadilan Allah kita ditanyai, kenapa kamu melakukan sesuatu, lalu kita jawab karena saya taat kepada pemerintah, saya khawatir Allah tidak akan menerimanya. Saya khawatir Allah akan menanyakan apakah kamu tidak memikirkan yang diperintah pemimpinmu itu, karena ini dalam hal beribadah kepada-Ku?’

‘Jadi bagaimana hubungannya dengan keterangan seseorang mati jahiliyah jika dia tidak taat kepada pemimpin tadi, udo?’ tanya pak Tahir.

‘Begini, pak Tahir. Di sebuah negeri, di ujung sebuah benua, yang penduduknya terdaftar hampir seratus persen beragama Islam. Pada suatu ketika, seorang pemimpin negeri, presiden negeri itu, jadi pucuk dari Ulil Amri mereka, berpidato begini. ‘Kita harus bekerja keras membangun negeri kita ini. Tanpa kerja keras kita akan ketinggalan karena negeri kita ini adalah negeri yang tandus. Kita harus bekerja keras. Kita tidak mungkin bekerja keras kalau perut kita lapar. Kita pasti akan kelaparan kalau kita berpuasa. Oleh karena itu, untuk kebaikan negeri kita, untuk membangun negeri kita, saya perintahkan anda semua meninggalkan puasa Ramadhan. Ikutilah saya. Saya tidak berpuasa Ramadhan,’ kata sang presiden sambil mempertunjukkan minum air di hadapan rakyatnya di siang hari di bulan puasa.

Sekarang. Seandainya pak Tahir berada di antara rakyat negeri itu, apakah pak Tahir akan mentaati perintah sang pemimpin tersebut?’

‘Apa iya ada yang seperti itu, udo?’ pak Broto seperti tidak percaya.

‘Itu contoh dari negeri jauh, pak Broto. Di negeri kita ini, di tahun enam puluhan. Ada orang yang tahu tentang agama, orang yang dekat dengan pemerintah, berpetuah agar jangan mengerjakan sembahyang. Jangan shalat, begitu katanya. Orangpun bertanya, kenapa? Karena Al Quran mengancam orang yang shalat. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka wail nanti di hari kiamat. ‘Fawaillullil mushalliin….’ Dikutipnya ayat Allah sepotong saja. Neraka wail bagi orang yang shalat. Apakah pak Broto akan mematuhi anjuran seperti ini, apalagi dia menyitir ayat al Quran pula?’

‘Tentu kita tidak harus menelan bulat-bulat saja Kita wajib menelaah apa yang kita dengar, kalau memang dari yang disampaikan itu tidak pas,’ jawab pak Broto.

‘Persis seperti itulah adanya. Dalam ketaatan kepada pemimpin, kita harus mampu menyaring dan memikirkan. Jadi tidak kita telan bulat-bulat saja apa yang mereka sampaikan, seperti kata pak Broto.’

‘Rumit juga, ya udo,’ pak Tahir mendesah.

‘Harusnya tidak rumit. Di mana rumitnya?’

‘Artinya akan selalu saja umat bertikai dalam penetapan hari raya.’

‘Mudah-mudahan suatu ketika nanti tidak lagi demikian. JIka Allah berkehendak. Wallahu a’lam.’


*****

Wednesday, March 2, 2011

BOK

BOK

Ada perintah baru dari komandan tentara pusat. Wanita-wanita itu sekarang harus jadi penghuni asrama di malam hari. Penghuni rumah yang sudah disiapkan untuk mereka di sebelah rumah komandan buterpra. Diapit oleh rumah yang dijadikan asrama tentara pusat. Orang kampung kemudian hari menyebut nama asrama para istri itu sebagai bok. Entah kenapa demikian. Mereka harus datang sore-sore dan boleh pulang pagi-pagi. Seperti itu tiap hari tanpa kecuali. Begitu bunyi perintah untuk wanita-wanita malang itu. Wanita-wanita para istri tentara PRRI. Entah dari mana datangnya perintah seperti itu. Alasannya, konon karena menurut informasi dari tukang tunjuk, ada saja tentara PRRI yang pulang menemui istrinya lewat tengah malam. Tapi sayangnya, berkali-kali diintai oleh tentara pusat tidak pernah ada satu juga yang tertangkap.

Wanita-wanita itu tidak punya pilihan selain patuh. Melawan? Besar sekali resikonya. Meski mereka sangat khawatir. Khawatir kalau-kalau diperlakukan jahat oleh tentara pusat itu di malam hari. Tapi apa hendak dikata. Sekedar usaha, mereka sepakat untuk datang ke bok dalam kondisi seselebor mungkin. Tidak usah mandi Bahkan ada yang datang dengan memakai kodek di luar. Baju daster atau baju tidur kumal ditambah dengan kain panjang atau kodek yang dipakaikan menutupi bagian bawah daster.

Sesudah sembahyang isya berjamaah pintu rumah mereka kunci dan pasak dari dalam. Sekedar usaha menyelamatkan diri ala kadarnya. Agar tidak ada yang masuk ke asrama mereka itu. Di bok semua tidur di ruang tengah rumah. Berjejer-jejer, bersaf-saf. Sebuah kamar dijadikan kamar kecil. Di dalamnya disediakan dua buah pispot dan sebuah ember berisi air. Kalau ada yang ingin melepas hajat tengah malam, silahkan menggunakan kamar kecil tersebut.

**

Mansur anggota kompi Udin Pitok bukan main masygul. Siapa yang akan menjamin bahwa istrinya tidak akan dijahili? Tidak akan dicabuli oleh tentara-tentara pusat itu? Kemasygulannya disampaikannya kepada komandannya. Komandan Udin tidak melihat jalan keluar. Tidak melihat cara mengatasi masalah musykil itu. Kekhawatiran Mansur sangat beralasan. Istrinya itu cantik. Wanita muda berumur dua puluh lima tahun beranak satu. Tapi Mansur tidak akan menyerahkan diri karena itu. Dia berserah diri kepada Allah. Senantiasa berdoa agar istrinya dilindungi dan dipelihara Allah dari kedurjanaan.

Meski sudah berdoa, sudah berserah diri, tidaklah semudah itu untuk terbebas dari ketidaktenangan. Pernah pula diusulkannya agar pos tentara pusat di Biaro itu diserang saja. Komandan Udin tahu berapa kekuatan tentara di sana. Tidak lebih dari dua puluh orang. Di atas kertas mereka sanggup menyerangnya. Sanggup?

‘Sanggup,’ kata komandan Udin bersemangat. ‘Tapi tidak akan menyelesaikan masalah. Resiko nomor satu, jika serangan itu berhasil, tentara-tentara bantuan sesudah itu akan membakar kampung Biaro seperti biasa mereka lakukan. Resiko kedua, siapa yang akan menjamin bahwa wanita-wanita yang diasramakan itu akan terselamatkan? Kalau iyapun, apakah mereka sesudah itu akan dibawa masuk hutan? Meninggalkannya di kampung? Wah! Itu resiko yang lebih berat. Mereka pasti akan dapat perlakuan lebih dahsyat lagi.’

Mansur dan beberapa anggota pasukan Udin Pitok terdiam sambil melongo. Yang dikatakan komandan itu benar. Jadi bukan masalah sanggup atau tidak sanggup menyerang pos tentara berkekuatan dua puluh orang itu. Dengan berhati-hati dan melakukan serangan di subuh buta, kemungkinan berhasil sangat besar. Tapi ya itu tadi. Terlalu besar akibat yang akan ditanggung sesudah itu. Tapi membiarkan istri diasramakan setiap malam di bok itu? Masya Allah…….

**

‘Aku ada usul,’ kata Karimuddin dengan suara setengah berbisik.

Mata komandan Udin terbelalak. Dia tahu, Karimuddin adalah anggotanya yang agak spesial. Karimuddin ini berisi.

‘Apa usul kau Karim?’ tanya komandan Udin.

‘Kita ingatkan komandan buter itu agar jangan sampai terjadi yang bukan-bukan dengan istri-istri kita di bok di Biaro itu.’

‘Diingatkan? Bagaimana caranya?’

‘Kita datangi dia. Aku akan menyampaikan peringatan itu kepadanya….’

Anggota pasukan yang lain terdiam. Karimuddin bukanlah orang yang suka bergurau. Dia hanya berbicara seperlunya saja. Kebetulan istrinya memang termasuk dalam penghuni asrama bok itu.

‘Bagaimana caranya?’ komandan Udin tetap belum faham.

‘Aku hanya memerlukan dua atau tiga orang untuk jadi kawan ke sana,’ kata Karimuddin.

**

Jam dua belas malam mereka berangkat dari markas mereka di lereng gunung Marapi. Empat orang. Termasuk komandan Udin Pitok dan Mansur. Sampai berangkat Karimuddin tetap tidak menceritakan bagaimana caranya dia akan melaksanakan niatnya. Dia hanya mengajak pergi dan menyuruh lihat saja hasilnya nanti. Komandan Udin yakin bahwa Karimuddin tahu betul apa yang direncanakannya dan tahu pula bagaimana melakukannya, meski dia sendiri belum tahu. Dia tidak mau memaksa menanyakannya lagi.

Jam setengah dua mereka sudah berada pada jarak lima ratus meter dari Biaro Malam itu sangat gelap. Mereka berhenti sebentar di bawah sebuah pohon. Karimuddin memberitahukan rencana kerjanya.

‘Aku akan menyirap tentara-tentara itu,’ bisiknya. ‘Dan yang pertama-tama harus kutertibkan adalah anjing-anjing yang berkeliaran.’

Barulah rombongan itu mengerti sekarang. Dan mereka yakin, Karimuddin memiliki ilmu itu. Ilmu untuk menyirap.

‘Satu saja syaratnya yang tidak boleh dilanggar. Jangan sampai ada darah yang tertumpah. Tidak darah seekor tikus atau katak loncek sekalipun. Apa lagi darah manusia. Kita akan mendekati rumah itu sampai jarak seratus lima puluh meter. Sesudah itu tidak ada lagi yang boleh melangkah dalam berjalan. Kita harus menyelosohkan kaki agar tidak ada katak yang terinjak. Semua nanti menantiku pada jarak dua puluh lima meter dari rumah itu. Nanti akan aku beri kode untuk mendekat. Karena nanti kita akan mengambil sedikit oleh-oleh dari mereka.’

Semua mengangguk tanda mengerti.

Mereka dekati rumah sasaran sesuai petunjuk. Di depan rumah komandan buter itu ada sebuah gardu monyet dijaga oleh seorang tentara. Di beranda asrama ada lima orang tentara piket. Mereka terlihat terkantuk-kantuk. Semua itu jelas terlihat dari tempat ke empat tentara PRRI itu berada di kegelapan.

Karimuddin berkomat-kamit lalu meniup ke arah markas tentara itu. Ketiga anggota rombongannya menyaksikan bagaimana tentara di gardu monyet terjelepok seperti tapai jatuh. Begitu pula kelima tentara piket. Mereka mendekat ke jarak dua puluh lima meter seperti dijelaskan Karimuddin sebelumnya.

Karimuddin melenggang ke arah rumah di sebelah kiri. Mukanya ditutupi kopiah sebo. Itu adalah kediaman komandan buter. Sebelum naik kerumah itu Karimuddin kembali berkomat-kamit. Setelah itu dia masuk ke dalam rumah. Ada empat orang tentara di ruang tengah yang tertidur bergelimpangan. Dia langsung masuk ke kamar sang komandan. Kamar yang terdengar sangat riuh oleh suara dengkur.

Karimuddin mengangkat kepala komandan tentara itu lalu ditiupnya mukanya. Komandan itu terbangun dengan mata melotot karena kaget. Dia mencoba berteriak tapi mulutnya telah terlebih dahulu disodori ujung bedil Karimuddin.

‘Dengar!’ kata Karimuddin berwibawa. ‘Aku bisa membunuhmu sekarang. Aku bisa membunuh semua anak buahmu di luar. Anak buahku ada tiga puluh orang di luar sana. Aku tidak melakukannya. Kami bukan tentara biadab seperti kalian. Aku hanya ingin mengingatkan kau. Jangan sekali-kali kalian, kau dan anak buahmu berani mengganggu dan merusak istri-istri kami yang kalian kumpulkan di sini. Kalau sampai aku mendapat kabar ada dari istri-istri kami yang kalian ganggu, aku akan kembali lagi menguliti kepala kalian dalam tidur kalian. Faham kau?’

Keringat komandan tentara itu bercucuran. Dia mengangguk.

‘Baik….. Pesanku sangat jelas. Sekarang kau boleh tidur kembali, Sebelum kau tidur, biar kau tidak menyangka kau bermimpi, aku akan mengambil beberapa pucuk senjata anak buahmu di luar. Dan juga pistolmu ini,’ kata Karimuddin yang sudah mengambil dan mengantongi pistol sang komandan. Muka komandan tentara itu diusapnya. Dia langsung tertidur kembali.

Karimuddin keluar dari rumah itu menuju ke markas tentara di paling kanan. Dari serambi, di tempat kelima tentara piket tertidur bergelimpangan, diberinya isyarat ke arah teman-temannya. Ketiga orang itu datang mendekat. Mereka mengambil empat pucuk senjata tentara piket itu lengkap dengan magazine pelurunya. Lalu berlalu dari sana.

**

Gempar keesokan harinya. Komandan buter mendapat laporan bahwa empat pucuk senjata hilang. Tapi anehnya, komandan tidak marah. Petugas piket malam itu hanya dihukum ringan dengan empat puluh kali push up. Anggota tentara yang lain terheran-heran. Apa sebenarnya yang terjadi?

**

Sekali sepuluh hari biasanya Mansur tetap pulang ke rumah. Seperti anggota tentara yang lain. Mereka umumnya menyempatkan untuk di rumah sehari dua hari. Dengan senyap-senyap. Datang lewat tengah malam. Mansur gembira mendengar bahwa istrinya tidak pernah diganggu tentara-tentara pusat itu. Bahkan ada seorang tentara yang pernah mencoba usil, kedapatan oleh komandannya, langsung dihukum, begitu cerita istri Mansur. Dia semakin yakin bahwa upaya Karimuddin ternyata cukup berhasil.

*****

Friday, February 25, 2011

KENANGAN MASA PRRI (4)

4. Di Lengangnya Malam

Jam sembilan malam di malam yang gelap. Malam yang kelam. Kelam pirik kata orang di kampung. Gelap yang sedemikian rupa sehingga seseorang tidak bisa melihat tangannya sendiri yang diacungkan ke mukanya. Gelap karena langit tak berbintang, ditutupi awan. Tapi bukan malam yang sunyi. Suara kodok heboh di mana-mana. Kodok selalu berpesta pora di musim penghujan seperti sekarang ini. Dan suara jengkerik yang nyaring bersahut-sahutan. Kadang-kadang terdengar pula suara kepakan kelelawar.

Junaidi berjalan menggunakan naluri di jalan yang lanyah di dalam gelap itu. Menuju rumah tuan Asmar, wali jorong. Rumah itu agak terjorok ke dalam di tengah kampung. Melalui parak atau kebun betung. Suara desir daun betung ditiup angin ikut menambah ramai orkes malam di dalam gelap gulita itu. Ada tebat besar di samping rumah tuan Asmar. Junaidi berjalan meraba-raba di sisi tebat agar tidak jatuh terjerembab masuk air. Tuan Asmar memelihara anjing, yang dulu, sebelum perang sering dibawanya pergi berburu. Anjing itu menyalak ketika Junaidi mendekat ke rumah itu tapi hanya sebentar. Mungkin anjing itu segera mengenali bahwa yang datang adalah orang yang biasa datang. Junaidi sudah sampai di halaman rumah tuan Asmar tapi dia harus memutar. Kamar tuan Asmar terletak di sisi sebelah ke hilir.

Junaidi bergeritik pelan di dinding dekat kamar tuan Asmar. Lalu menunggu beberapa puluh detik. Setelah itu dari dalam terdengar pula ketukan halus di dinding papan rumah itu. Terakhir Junaidi mengulangi lagi dengan ketukan pelan-pelan. Ditunggunya lagi beberapa saat sampai akhirnya terdengar suara pelan dari arah kamar.

‘Engkau?’ suara itu setengah berbisik.

‘Iya,’ jawab Junaidi, juga hampir berbisik.

‘Lalulah ke pintu,’ perintah dari dalam.

Junaidi sudah diberi tahu semua prosedur itu waktu dua hari yang lalu dia datang ke rumah ini. Dia harus datang dengan sangat rahasia, tidak boleh dilihat siapapun. Karena kalau ketahuan, akan buruk akibatnya untuk tuan rumah dalam suasana perang seperti sekarang ini. ‘Lalulah ke pintu’ yang dimaksud tuan Asmar adalah melewati pintu kandang. Pintu kandang itu terletak di bagian belakang rumah, dipasak dengan tongkat dari dalam rumah. Tuan Asmar berjalan berjinjit-jinjit ke dekat pasak kandang itu dan menarik tongkatnya. Junaidi mendorong pintu itu, lalu masuk, menutup pintu kembali, untuk kemudian meraba-raba ke arah tangga. Ada tangga untuk masuk ke rumah, ke bilik di bagian belakang rumah. Pintu masuk dari kandang ke bilik itu adalah lantai rumah yang dipotong dan bisa diangkat. Biasanya lantai yang dipotong jadi pintu itu ditutupi dengan tikar.

Junaidi naik ke rumah. Bilik itu diterangi sebuah lampu togok yang nyalanya sangat kecil. Tuan Asmar sudah duduk di lantai bilik itu.

‘Sudah benar-benar siap, kau?’ tuan Asmar bertanya dengan berbisik.

‘Sudah, tuan,’ jawab Junaidi, juga berbisik.

Mereka melanjutkan pembicaraan dengan berbisik-bisik.

‘Apa saja yang kau bawa dalam buntilmu ini?’

‘Pakaian tiga pasang dan kain sarung,’ jawab Junaidi.

‘Cukuplah itu. Kau tidak membawa-bawa uang, kan?’

‘Ada, dua ratus rupiah.’

‘Ya sudahlah. Tidak ada kau bawa barang-barang berharga, kan? Tidak kau bawa barang emas misalnya…’

‘Hanya jam tangan ini. Yang lain tidak ada, tuan.’

‘Apakah kau memerlukan benar jam tangan itu?’

‘Kenapa tuan?’

‘Untuk berjaga-jaga saja. Supaya tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan perhatian. Yang aku khawatirkan, dalam keadaan tidak seperti biasanya di luar sana kawan-kawan pun bisa saja tergoda berbuat jahat. Faham kau?’

‘Akan ambo simpan di kantong saja kalau begitu tuan. Kalau memang tidak ada yang memakai jam tangan, tidak akan ambo pakai.’

‘Baiklah kalau begitu. Begini….. Kau tidur saja dulu di sini. Tan Basa akan datang lewat tengah malam nanti.’

‘Baik, tuan.’

‘Ada yang akan kau tanyakan?’

‘Tidak ada, tuan.’

‘Kau tentu sudah dinasihati orang tua kau tadi di rumah. Aku tidak akan menambahkan apa-apa lagi selain mengingatkan kau agar pandai-pandai menjaga diri. Yang akan kau sabung adalah nyawamu. Senantiasalah kau mengingat Tuhan Allah.’

‘Ya, tuan. Ambo pegang teguh nasihat tuan.’

‘Sudahlah…... Aku akan kembali ke bilikku dulu.’

Tuan Asmar meninggalkan Junaidi di dalam bilik itu. Dia keluar dengan berjinjit-jinjit kembali ke kamarnya.

Junaidi duduk bersandar ke dinding. Sambil menerawang. Mengingat langkah yang sudah dibuatnya sampai detik itu. Sejak dia berbicara menggunakan bahasa rahasia dengan tuan Asmar dua hari yang lalu. Bahasa kode yang diketahuinya dari temannya Tamrin yang dulu mengajaknya untuk ikut ke luar. Tamrin sudah ikut bergabung dengan tentara luar sejak tiga bulan yang lalu. Tamrin dulu mengajarkan, bagaimana caranya membuka pembicaraan dengan tuan Asmar seandainya suatu hari dia juga ingin ikut.

Mulanya, tuan Asmar tidak menanggapinya. Mungkin beliau tidak percaya bahwa Junaidi akan ikut-ikutan lari ke hutan. Bukankah dia seorang guru? Junaidi bercerita singkat tentang pengalamannya ditangkap dan dipekerjakan tentara APRI hari itu. Dan keinginannya untuk ikut bergabung dengan tentara luar dikarenakan pengalaman pahitnya itu. Tuan Asmar menanyakan kesungguh-sungguhannya, yang dijawabnya bahwa dia sangat bersungguh-sungguh. Wali jorong itu akhirnya percaya, bahkan mengatakan seandainya dia siap dia bisa langsung ikut malam itu juga.

Tapi Junaidi baru siap hari itu. Waktu mereka bertemu dan berbicara dengan berhati-hati dua hari yang lalu, tuan Asmar memberi tahu agar datang paling cepat jam sembilan malam. Lalu diberitahunya pula kode yang akan digunakan. Maksudnya agar jangan sampai ada orang kampung yang tahu atau melihat bahwa Junaidi datang ke rumah tuan Asmar sebelum dia menghilang dari kampung.

Tadi dia sudah berpamitan dengan ayah dan mak. Sudah berpergilah bertinggallah. Mak terlihat lebih tegar di saat-saat terakhir ini. Sejak kedatangan mak dang Endah Kayo tadi sore. Mak hanya berpesan agar dia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Allah. Tidak melupakan sembahyang. Ayah pun berpesan begitu pula. Dalam keadaan takut, dalam keadaan bahaya, sembahyang itu bahkan boleh dikerjakan dalam keadaan berjalan. Begitu ketetapan Tuhan Allah di dalam al Quran. Jadi, kata ayah, jangan sekali-kali sampai kau meninggalkan sembahyang. Kalaulah Tuhan Allah berkehendak, engkau terkorban, ayah doakan agar kau menjadi seorang syuhada. Begitu kata ayah memberinya nasihat. Disalaminya ayah dan mak dengan takzim. Dia minta doa restu dan minta maaf. Minta agar diikhlaskan seandainya terjadi apa-apa dengan dirinya selama dia pergi meninggalkan rumah. Dan mak sungguh sangat tegar. Beliau tidak meneteskan air mata sedikitpun.

Dan sekarang dia sudah berada di sini. Di rumah tuan Asmar. Menunggu rombongan tentara luar yang akan membawanya ikut pergi. Dan dia sudah siap untuk sehidup semati dengan mereka. Niatnya, melawan kemungkaran. Melawan kelaliman dan kesemena-menaan seperti yang telah dialaminya sendiri. Sudah disaksikannya korban berjatuhan di kampungnya. Anak-anak muda teman sepermainannya.

Dia tahu, yang dihadangnya adalah kesulitan. Tentara luar itu tinggal di hutan. Mungkin bukan di tempat yang layak. Mungkin tidak jelas bagaimana makan minumnya. Dan dia sudah siap. Kalau semua makan rumput hutan dia akan ikut makan rumput hutan. Kalau semua tidur di alam terbuka dia akan ikut tidur di alam terbuka. Dan semua telah diawalinya sejak menapakkan kaki dari rumah orang tuanya tadi. Dengan bismillah.

Malam semakin larut. Di luar terdengar suara kodok bersahut-sahutan, tidak berhenti-henti dari tadi. Dan suara jengkerik. Dan suara lolongan anjing di kejauhan.

Junaidi tidak berusaha tidur. Dia ingin menunggu sampai rombongan itu datang. Mungkin tiga jam lagi. Digiringnya ingatannya ke awal peperangan ini.

Terbayang di pelupuk matanya ketika puluhan pesawat terbang APRI menderu dari arah timur, melintas di udara. Saat itu dia sedang berada di atas bendi di Parit Putus akan menuju Bukit Tinggi. Pesawat-pesawat itu rupanya datang untuk membom pemancar RRI di Simpang Limau. Entah kenapa pemancar itu yang jadi sasaran. Melihat pesawat-pesawat itu meraung-raung di udara dan mendengar suara tembakan, mak kusir memutuskan untuk kembali ke Biaro. Mengerikan sekali pemandangan ketika itu. Kuda-kuda bendi bagaikan dipacu kusirnya menjauh dari Bukit Tinggi.

Beberapa pekan kemudian suasana perang semakin terasa. Tiap hari terdengar suara letusan mortir ditembakkan dari Bukit Tinggi ke arah Lasi di kaki gunung Marapi. Dimana-mana orang membicarakan peperangan. Kampung jadi ramai karena orang-orang dari kota-kota pulang ke kampung. Orang berharap di kampung bisa terhindar dari suasana perang.

Dan dia ingat Tamrin, temannya di Sekolah Rakyat. Junaidi melanjutkan sekolah ke SGB di Bukit Tinggi, sedangkan Tamrin melanjutkan ke SMP di Tanjung Alam. Ketika perang itu pecah, Tamrin sudah duduk di kelas tiga SMA B Bukit Tinggi, tapi dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena Bukit Tinggi sudah diduduki tentara APRI. Tamrin memutuskan untuk ikut bergabung dengan tentara PRRI. Diajaknya Junaidi ikut. Alasannya karena negeri kita diserang dan kita diperangi, jadi kita ikut membela negeri. Alasan Tamrin hanya seperti itu. Junaidi faham dengan apa yang dikatakan Tamrin. Tapi dia sedang menikmati pekerjaannya sebagai guru. Dia berkeyakinan guru tidak akan terganggu oleh peperangan.

Ternyata dugaannya salah. Sebagai remaja berumur sembilan belas tahun dia tidak aman sedikitpun. Belum terlalu fatal yang dialaminya. Dan dia tidak ingin sampai kejadian yang benar-benar fatal itu menimpa dirinya.

*****