(10)
‘Jadi begitulah rangkaian cerita kejadian pagi ini pak Umar. Bagaimana kalau kita lihat keadaan Vespa pak Umar itu ke belakang sekarang?’
‘Rasanya tidak perlu, pak. Saya percaya bahwa mereka telah memompa ban dan menghapus noda itu kembali.’
‘Begitulah perangai anak-anak sekarang pak Umar. Ini yang jadi tanggung jawab kita meskipun tentu bukan tanggung jawab kita seratus persen. Orang tua merekalah yang seharusnya lebih bertanggung jawab. Tadi saya benar-benar ingin meminta orang tua Adrianto itu datang ke sekolah. Tapi setelah mendengar ceritanya saya tidak tega.’
‘Benar, pak. Bagaimana pendapat bapak kalau kita pergi melihat orang tuanya yang sakit itu?’ pak Umar mengalihkan pembicaraan.
‘Oh..ya? Betul juga itu. Maksud pak Umar untuk membuktikan apakah ibunya benar-benar sakit?’
‘Bukan pak. Saya percaya ibu anak itu benar-benar sakit. Jadi maksud saya kita datang untuk menengoknya. Mengunjungi orang sakit itu berpahala pak.’
‘Ya..ya… Baik. Kapan kita pergi? Bagaimana kalau sore ini sesudah jam sekolah?’
‘Ya. Saya rasa bisa pak. ‘
‘Baik. Saya akan mencari alamatnya di tata usaha. Atau kita beritahukan Adrianto bahwa kita ingin datang?’
‘Kalau bapak tidak keberatan saya akan menanyakan kepadanya nanti waktu istirahat kedua.’
‘Oh ya… tentu. Silahkan pak Umar tanyakan.. Ngomong-ngomong jam berapa pak Umar sampai kembali di sekolah tadi? Maksud saya apakah bertemu dengan guru-guru di ruang sebelah waktu anda datang?’
‘Ya. Saya tadi datang waktu jam istirahat dan sempat bertemu guru-guru yang lain. Saya juga diperkenalkan kepada ibu Purwati, ibu wakil kepala sekolah.’
‘Oo.. begitu. Ya ibu Purwati sudah sangat ingin naik pangkat menjadi kepala sekolah. Bahkan sudah pernah ada rumor, entah darimana datangnya, mungkin juga dari ibu Purwati sendiri, bahwa dia yang akan menggantikan saya. Katanya, kata rumor itu, berita itu berasal dari Depdiknas. Saya… ya tenang-tenang saja. Tidak menanggapinya. Dan sekarang setelah terbukti bahwa SK pak Umar yang duluan keluar mungkin beliau akan sedikit rikuh di hadapan guru-guru lain. Ini sekedar untuk tambahan informasi pak Umar saja.’
‘Terima kasih pak. Mudah-mudahan keinginan ibu Purwati cepat terkabul. Setiap guru tentu ingin karirnya cepat naik.’
‘Ya. Tentu saja. Satu hal lagi, ini juga perlu saya jelaskan bahwa kadang-kadang ibu Purwati suka meliwati garis wewenangnya. Saya sudah beberapa kali menegornya secara baik-baik. Tapi berurusan dengan ibu-ibu kita memang perlu lebih sabar.’
‘Terima kasih bapak memberi tahukan hal ini.’
‘Hal lain adalah mengenai guru sejarah yang sekarang sedang sakit. Pak Waluyo, dia sakit sejak sebulan yang lalu. Kasihan dia itu. Istrinya juga sedang sakit. Pak Waluyo ada gejala kena hepatitis A. Mungkin karena terlalu capek, kita kurang tahu. Anak mereka masih kecil-kecil. Yang paling besar baru kelas dua SD. Saya pergi melihatnya waktu dia di rumah sakit dua minggu yang lalu. Sekarang sih sudah pulang ke rumah. Tapi masih perlu istirahat agak lama. Untuk urusan mengajar, biasanya digantikan oleh ibu Rukmini yang juga guru sejarah. Hanya, ibu Rukmini tidak bisa menggantikan seratus persen karena ada jam yang bentrok untuk kelas yang berbeda. Untuk sementara saya harap pak Umar bisa membantu mengatasi masalah ini, menggantikan mengajar.’
‘Baik, pak. Mudah-mudahan jamnya tidak bentrok pula. Paling tidak selama dua minggu ini, karena saya masih bertugas di SMU 267. Saya sudah menyanggupi kepada pak Edi Supratman bahwa kewajiban saya untuk mengajar di sana akan tetap saya laksanakan sampai hari ‘H’ nya saya resmi pindah ke sini.’
‘Tentu saja. Tentu saja.’
‘Kembali ke masalah pak Waluyo yang sakit itu. Dia perlu banyak dana untuk biaya pengobatan. Meskipun kita mendapatkan asuransi kesehatan atau Askes, tentu tidak mungkin mengandalkan itu seratus persen. Dia membutuhkan biaya lebih dari itu. Semampunya kita bantu. Ada policy yang saya terapkan di sini. Di awal tahun, sekolah mendapat sumbangan resmi dari orang tua murid baru. Terus terang ada sedikit tawar menawar untuk beberapa orang wali murid baru mengenai jumlah sumbangan. Uang itu sebagian saya masukkan ke dalam tabungan khusus yang saya sebut sebagai dana taktis sekolah. Biasanya digunakan untuk keperluan-keperluan khusus yang tidak terduga. Termasuk di antaranya untuk membantu pak Waluyo. Kalau pak Umar tidak suka dengan policy ini tentu pak Umar bisa memperbaikinya nanti. Nah, uang yang ada dalam tabungan untuk dana taktis itu nanti akan saya serahkan kepada pak Umar dan silahkan pak Umar menyimpannya atas nama pak Umar kembali. Bagaimanapun di Bank tentu harus ada yang mempertanggung jawabkan. Maksud saya tabungan itu tentu harus atas nama seseorang.’
‘Apakah sekolah tidak punya bendahara misalnya pak? Yang bisa diserahi tanggung jawab untuk menyimpan uang seperti itu dan kemudian dikontrol pemakainannya?’
‘Saya tidak menggunakan cara seperti itu. Tidak ada bendahara di sekolah. Tapi untuk yang akan datang ya.. terserah pak Umar.’
Pembicaraan kedua orang itu masih berlanjut kepada hal-hal lain seputar sekolah. Pak Suprapto bersungguh-sungguh menyerahkan tanggung jawab sebagai kepala sekolah kepada pak Umar. Dia menceritakan segala-galanya sampai sangat detil sekali dan pak Umar sangat menghormati cara-cara pak Suprapto itu. Orang tua ini benar-benar sangat baik. Pengaturan segala sesuatu di sekolah ini sangat cermat. Ini terlihat dari serba keteraturan yang ada. Termasuk ruang guru-guru yang tadi sudah diamati pak Umar. Kelihatan sekali bahwa pak Suprapto telah memimpin dan berbuat banyak untuk kemajuan sekolah ini. Apalagi kalau diingat seperti yang diceritakannya bahwa sepuluh ruangan kelas tambahan dibangun selama kepemimpinannya. Pak Umar sebenarnya juga ingin melihat-lihat sarana yang ada tapi dia pikir kalau belum ditawarkan biarlah nanti-nanti saja.
Dari jauh kedengaran suara azan zuhur. Pak Umar melihat jamnya. Jam 12 kurang satu menit. Azan itu sedikit kecepatan. Menurut jadwal shalat, hari ini zuhur jam 12.03. Pak Suprapto mengamati dan melihat bahwa pak Umar sudah resah. Mungkin dia ingin segera pergi shalat. Pak Suprapto masih ingat bagaimana disiplinnya pak Umar dengan waktu shalat. Dia lalu menanyakan.
‘Pak Umar mau pergi shalat sekarang?’
‘Iya pak. Tapi saya rasa azan yang terdengar itu agak kecepatan. Zuhur hari ini harusnya jam 12.03. Jadi masih dua menit lagi.’
‘Mau shalat di mesjid sekolah atau mau shalat di sini?’
Pertanyaan ini sebenarnya agak konyol untuk pak Umar. Sudah barang tentu dia akan shalat di mesjid sekolah sekalian ingin melihat siapa-siapa saja yang datang untuk shalat di sana.
‘Ya pak. Saya akan ke mesjid sekolah itu. Bapak nggak sekalian bersama-sama ke sana sekarang?’
‘Mh..mh.. Kalau tidak ingat omongan guru-guru lain nanti, saya mau pergi shalat sekarang. Begini saja…. Pak Umar pergi saja duluan.’
Pak Umar langsung keluar, menuju ke arah mesjid sekolah di dekat tempat parkir sepeda motor. Meskipun bel istirahat sudah dibunyikan tepat jam dua belas, suasana di mesjid itu sangat sepi. Dia tidak melihat siapapun yang mendekat ke sana. Padahal murid-murid sudah pada keluar untuk beristirahat. Dia membayangkan dalam hatinya, mungkin sebentar lagi mereka akan datang ke sini. Pak Umar melepas sepatunya dan pergi berwuduk. Sekilas didalam mesjid itu dilihatnya ada tiga orang murid yang sudah siap-siap untuk shalat. Lamat-lamat pak Umar mendengar seorang membaca iqamat. Sesudah berwuduk, pak Umar bergegas memasuki mesjid. Tidak ada yang menyusul di belakangnya. Tidak ada lagi murid yang datang untuk shalat. Pak Umar ikut shalat sebagai makmum dengan tiga orang yang tengah berjamaah dan sudah selesai satu rakaat itu. Sesudah salam, murid yang jadi imam itu pindah duduk ke belakang. Pak Umar melanjutkan shalatnya, mencukupkan rakaat yang tertinggal. Waktu dia selesai shalat, dua dari tiga murid tadi sudah keluar. Tinggal satu orang yang masih berzikir. Dia memandangi anak itu yang juga melirik dirinya dengan sudut mata. Rupanya hanya mereka bertiga ini saja yang memanfaatkan mesjid sekolah yang indah ini. Tapi, tidak juga. Ada dua orang murid lagi datang. Mereka shalat sendiri-sendiri. Pak Umar meneruskan zikir. Lalu shalat sunah. Murid yang jadi imam tadi juga melaksanakan shalat sunah. Sesudah shalat sunah, pak Umar menanyai murid yang jadi imam itu.
‘Siapa namumu? Dan dari kelas berapa kamu?’
‘Nama saya Arif, pak. Saya kelas dua A.’
‘Hanya sebegini ini yang shalat di sini sehari-hari?’
‘Iya, pak. Kalau pak Darmawan ada, biasanya beliau juga shalat zuhur di sini. Sebenarnya ada juga yang lain pak. Tapi biasanya nanti-nanti dan masuk satu-satu. Jarang yang mau ikut berjamaah.’
‘Kenapa tidak ada yang azan?’
‘Dilarang, pak. Dulu pernah saya azan, tapi dilarang pak.’
‘Siapa yang melarang, Maksud saya guru mana yang melarang?’
‘Pak Mursyid, pak. Katanya kita bukan di pesantren. Tidak usah pakai azan.’
‘Baiklah Arif. Terima kasih atas keterangan kamu itu. Mudah-mudahan besok-besok kita dapat melakukan sesuatu untuk memakmurkan mesjid ini.’
Waktu pak Umar mau keluar dilihatnya pak Suprapto masuk mesjid untuk mengerjakan shalat. Rupanya jadi juga dia datang. Atau barangkali, seperti kata Arif, mereka datang sendiri-sendiri dan shalat sendiri-sendiri. Tidak ada jamaah di sini. Tidak ada kebersamaan dalam shalat di sini. Inipun akan jadi PR tersendiri gumamnya dalam hati.
*****
No comments:
Post a Comment