Tuesday, January 15, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (12)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (12)

12. TAHANAN POLITIK

Sudah hampir menjelang asar ketika Marwan menyelesaikan cerita panjang itu. Aku dan istriku benar-benar menjadi pendengar yang baik selama itu. Kami simak setiap uraiannya dengan penuh perhatian. Sebagian dari kejadian itu samar-samar masih aku ingat nuansanya. Meski di kampungku sendiri tidak ada orang yang menjadi anggota PKI, aku ingat dengan lobang perlindungan yang disuruh buat entah oleh siapa ketika itu. Setiap rumah harus mempunyainya. Anak-anak yang lebih kecil dari kami menggunakannya untuk tempat bermain sembunyi-sembunyian. Aku ingat dimana letaknya tong-tong dirumahku. Alat dari bambu yang harus dibunyikan kalau ada bahaya sebagai peringatan atau sebagai permohonan bantuan. Tapi seingatku belum pernah tong-tong di rumah ibuku itu diguguh.

Kami berhenti sebentar untuk pergi shalat asar, lalu melanjutkan lagi kisah itu. Sambil menikmati ketan dan pisang goreng yang dibuatkan Desi. Dan minum teh telor seperti yang tadi aku pesan.

Aku menanyakan beberapa hal dari cerita yang sudah diuraikan Marwan.

‘Ada yang ingin kutanyakan. Pertama, tidak adakah keterangan tentang orang yang membunuh pak tangahmu itu sesudah perang selesai? Tidak adakah permintaan maaf atau apalah misalnya dari komandannya? Maksudku, apakah kematian beliau itu tidak diketahui oleh komandan barunya?’

‘Setahuku tidak ada yang datang minta maaf dan sepertinya keluarga kami sudah menerima itu sebagai takdir. Sebagai sebuah kemalangan di tengah susana perang. Tapi ada cerita dari orang lain, yang katanya ikut satu pasukan dengan pak tangahku itu. Orang ini dari kampung tetangga kami. Aku tidak kenal dengannya. Dia punya teman lain lagi di kampungku. Nah, orang kampungku ini yang mendapat cerita bahwa kejadian pembunuhan pak tangahku itu diluar sepengetahuan komandannya. Orang yang datang berempat malam itu, kata cerita ini, adalah yang paling kecewa dan marah ketika dikhianati komandannya kapten Udin Kulabu. Salah satu dari mereka itu bersumpah akan membunuh teman-teman yang meyerah itu kalau mereka bertemu. Teman pak tangahku yang dari kampung tetangga itu mendengar sumpahnya. Tapi aku merasa heran, kenapa pak tangah juga dijadikannya sasaran, padahal beliau bukan termasuk kelompok yang membelot. Tambahan ceritanya, si pembunuh itu juga terbunuh dalam suatu pertempuran di Lintau setahun kemudian.’

‘Atau jangan-jangan mereka memang berniat merampok ? Karena menduga pak tangahmu banyak uang ?’

‘Entahlah. Aku tidak tahu tentang itu.’

‘Pertanyaan berikutnya tentang rumah ibumu. Jadi tetap tidak diketahui siapa yang berusaha membakar rumah itu?’

‘Tidak. Memang sebuah teka-teki besar. Tapi orang kampung tidak pernah ada yang berhasil mengungkapkannya,’ jawab Marwan.

‘Dan kau bilang bahwa tidak ada kemenakan engku Datuk itu yang komunis satu orangpun. Tapi dia sangat dihormati oleh anggota kaumnya, terlepas dari kekomunisannya. Aneh juga orang itu ya? Maksudku, kalau dia sebegitu yakin dengan partai komunis sebagai sebuah ideologi, kenapa justru dia tidak mengajak para kemenakannya untuk ikut?’

‘Aku tidak tahu apakah dia benar-benar tidak pernah mengajak mereka jadi komunis. Tapi aku tahu dan sangat yakin bahwa tidak ada satupun kemenakannya yang komunis. Di tengah kaumnya dia benar-benar bertindak sebagai seorang penghulu. Seorang datuk yang mengayomi mereka semua. Dalam masalah adat, sebagai seorang penghulu dia juga disegani oleh penghulu-penghulu lain di kampungku. Orang tidak menyukainya kalau dia sudah berbicara atas nama partainya.’

‘Adakah dari kalangan kemanakannya yang alim? Karena kau bilang dia alergi terhadap orang-orang surau di kampung?’

‘Setahuku tidak. Tapi kenapa kau tanyakan itu ?’ tanya Marwan.

‘Akan cukup menarik juga mengetahui apakah para kemenakannya itu betul-betul diperlakukan secara khusus secara adat Minang saja. Tidak diajaknya kemenakannya masuk PKI meski dia seorang PKI tulen, sementara dia berusaha mempengaruhi orang lain. Dan apakah dibiarkannya saja kalau ada kemenakannya yang alim sementara kalau orang lain alim dia alergi?’

‘Entahlah. Tapi aku dengar, konon ibu kandungnya pernah berpesan ketika dia sudah tidak bisa lagi dipengaruhi oleh ibunya itu untuk berhenti jadi orang komunis, kalau dia mau jadi PKI, lakukan sajalah sendiri, tapi anak kemenakannya jangan sampai diajak-ajaknya pula ikut serta. Wallahu a’lam apakah itu penyebabnya.’

‘Boleh jadi itulah penyebabnya. Lalu, bagaimana dengan ayahmu sendiri? Apakah ayahmu mendapat kesulitan dari fihak militer?’

‘Mulanya ayahku bekerja saja seperti biasa. Sepertinya lancar-lancar saja. Tapi beliau tahu, suatu saat pasti akan timbul masalah karena bagaimanapun beliau memang terdaftar sebagai anggota PKI. Ternyata benar. Sekitar awal tahun 66 semua anggota PKI tidak diizinkan lagi masuk kantor. Kepala kantor ayahku menasihati beliau agar jangan kemana-mana. Maksudnya agar jangan pergi melarikan diri. Dan beliaupun memang tidak ada niat untuk meninggalkan kampung.

Sebenarnya adik beliau, pak etekku yang di Surabaya itu mengajak beliau agar datang saja ke Surabaya. Ayahku tidak mau. Termasuk ibukupun melarang beliau pergi. Ayahku siap menerima segala resiko di kampung ini. Beliau tidak ingin melarikan diri.

Datanglah waktunya petugas militer mendata anggota PKI ke kampung-kampung. Ada beberapa orang yang diwajibkan melapor sekali seminggu ke kantor koramil, termasuk ayahku. Kecuali ayahku, yang lain umumnya adalah petani bahkan ada yang buta huruf. Mereka yang buta huruf itu sesudah beberapa kali datang wajib lapor dibebaskan dan tidak perlu lagi datang. Ayahku akhirnya ditahan dan dimasukkan ke penjara di Padang, karena menurut catatan para petugas itu beliau adalah anggota PKI aktif. Dan kau tahu, waktu itu tidak ada pengadilan.

Ayahku menerima keputusan petugas militer itu tanpa perlawanan. Tiga bulan pertama beliau tidak boleh dikunjungi. Kami sangat khawatir dengan kesehatan beliau. Ibuku tetap tegar dan memperbanyak doa dan zikir. Hanya itu senjata beliau.

Ada famili ayah di Padang yang bekerja di kantor pemerintah. Dia berusaha mencari jalan agar kami dapat menjenguk beliau. Sebelum itu kami dibuat panik ketika mendengar kabar, kemungkinan ayahku akan dikirim ke pulau Buru. Ibuku tetap tegar dan semakin khusyuk dalam setiap shalatnya.

Alhamdulillah, akhirnya kami diizinkan untuk mengunjungi ayah. Ayahku terlihat sangat kurus, tapi menurut beliau, beliau tidak pernah sakit selama di penjara di Padang. Mungkin udara panas kota Padang lebih cocok untuk beliau. Walaupun kami kurang yakin akan hal itu. Beliau benar-benar kurus. Hanya anehnya, muka beliau terlihat lebih cerah. Kata beliau, di penjara beliau berusaha untuk beribadah dengan sebaik-baiknya.

Dua bulan kemudian pak etekku yang di Surabaya itu pulang ke kampung dalam rangka menjenguk ayah. Pak etekku menawarkan untuk membawaku ikut dengan beliau ke Surabaya. Mulanya ibuku keberatan karena aku anak laki-laki beliau satu-satunya. Tapi ayahku justru mengijinkan. Kata beliau, biarkan saja dia pergi, mudah-mudahan bisa lanjut sekolahnya. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin pergi karena kasihan meninggalkan ibu dan ayahku di penjara. Tapi beliau selalu memberi semangat kepadaku. Akhirnya aku menerima tawaran pak etekku itu kalau aku sudah tamat SMP.

Ayahku ditahan selama dua tahun sampai pertengahan tahun 68. Entah atas pertimbangan apa akhirnya beliau dilepaskan. Kalau menurut ayah mungkin karena selama berada di dalam penjara beliau tidak terlihat sama sekali sebagai orang komunis. Beliau selalu sembahyang dan berpuasa hari Senin dan Kamis,’ Marwan berhenti sejenak.

‘Di penjara beliau ditahan bersama-sama penghuni penjara yang lain ? Maksudku bercampur dengan para penjahat kriminal ?’

‘Tidak. Beliau dan orang-orang PKI lain ditahan terpisah.’

‘Sesudah tiga bulan pertama itu beliau selalu boleh dikunjungi?’ tanya Desi.

‘Boleh. Kami datang bergantian sekali seminggu. Setiap kali datang kami boleh bertemu sekitar satu jam. Dan beliau juga diperbolehkan menerima buku-buku untuk bacaan. Ibuku membawakan banyak buku-buku agama. Beliau mengisi waktu di penjara dengan banyak membaca,’ jawab Marwan.

‘Selama di penjara apakah beliau pernah disakiti ? Atau diinterogasi oleh petugas ?’ tanyaku.

‘Menurut beliau tidak pernah beliau diperlakukan secara kasar. Tapi memang pernah diinterogasi berkali-kali. Biasanya untuk menanyakan tentang anggota PKI yang lain. Dan ayahku tidak banyak mengenal anggota PKI yang lain.’

‘Tidak adakah yang membela beliau pada waktu itu ? Misalnya yang membantu memberitahu bahwa beliau sebenarnya sudah keluar dari partai komunis ?’ tanya Desi istriku.

‘Tidak mungkin. Dan percuma saja. Pertama karena tidak ada pengadilan. Siapa yang akan percaya bahwa ayahku sudah keluar dari partai itu? Jelas tidak ada buktinya. Yang kedua orang pasti takut membela-bela karena khawatir akan ikut pula ditahan atau dipenjarakan. Ibuku sendiripun tidak mungkin melakukan pembelaan seperti itu. Lagi pula melalui siapa kita akan memberikan pembelaan ?’ jawab Marwan.

‘Tentulah merepotkan sekali bagi ibumu menjadi single parent ketika itu? tanyaku.

‘Tidak juga. Ibuku pedagang kecil-kecilan. Beliau berjualan beras. Adalah untung sedikit-sedikit. Dengan keuntungan itulah beliau dapat biaya untuk menjenguk ayah hampir tiap minggu.’

‘Setelah beliau bebas adakah masalah dengan penduduk di kampung?’ tanyaku.

‘Hampir tidak ada. Masyarakat kampung umumnya lebih mengerti dan pemaaf. Bahkan warga kampung sangat prihatin waktu ayahku ditahan, karena di kampung orang-orang tahu bahwa beliau sudah tidak ingin bersama partai komunis lagi. Bahkan rumah ibuku hampir habis dibakar gara-gara beliau ingin keluar dari partai. Semua orang tahu itu. Tapi, mereka tidak bisa membela apa-apa waktu ayahku ditahan. Jadi waktu ayahku bebas, orang kampung menerima dengan sangat baik. Hanya, ayahku merasakan ada sedikit kekurang nyamanan dalam pergaulan di kampung waktu itu dengan keluarga sepersukuan Datuk Rajo Bamegomego. Sepertinya ada anggota persukuan itu yang tidak rela ayah dibebaskan sesudah ditahan dua tahun. Mungkin mereka menginginkan agar ayah ditahan lebih lama. Mungkin juga karena mereka membandingkan dengan kerugian mereka sendiri dengan hilang lenyapnya penghulu mereka.’

‘Ya, itukan sudah takdirnya masing-masing. Tidak ada hubungan antara apa yang dialami engku Datuk dengan yang dialami ayahmu,’ aku berkomentar.

‘Betul. Tapi bukan seperti itu mungkin yang mereka rasakan.’

‘Lalu, apa yang terjadi? Kenapa kau bilang ayahmu sakit-sakitan sampai akhirnya beliau meninggal beberapa tahun kemudian?’

‘Ayahku memang sakit-sakitan. Di penjara itupun beliau pernah sakit dan hampir tidak pernah diobati. Waktu beliau keluar dari penjara badan beliau kurus. Aku tidak tahu apakah karena perbedaan cuaca antara Padang dan kampung kita. Di kampung penyakit sesak nafas beliau itu sering kumat. Beliau berobat kemana-mana di kampung dan di Bukit Tinggi, tapi tidak banyak hasilnya.’

‘Kau sendiri di akhir tahun 66 berangkat ke Surabaya. Masih sempatkah kau bertemu dengan beliau sebelum beliau meninggal?’ tanyaku.

‘Sempat. Persis sebelum beliau meninggal. Pak etekku itu menyuruhku pulang ke kampung di pertengahan tahun 70, waktu liburan semester pertama. Karena ibuku memberi khabar bahwa penyakit ayah semakin parah. Waktu aku sampai dikampung, beliau sangat gembira. Beliau sangat kurus. Tapi masih bisa berkomunikasi denganku. Ayahku menasihatiku tentang banyak hal. Tapi satu hal yang beliau tekankan betul agar aku jangan ikut-ikutan berpolitik. Politik itu sangat kotor, kata beliau ketika itu.’

‘Benar juga yang dikatakan ayahmu. Beliau benar-benar telah jadi korban politik. Dan tentunya nasihat beliau kau jalankan sampai sekarang.’

‘Ya. Aku tidak pernah mau ikut-ikutan berpolitik.’

‘Dan kau berangkat kembali ke Surabaya ketika beliau masih sakit?’

‘Tidak. Beliau meninggal ketika aku sedang di kampung. Seolah-olah beliau menunggu kedatanganku untuk meninggal.’

‘Jadi kau sempat mengurus jenazah beliau,’ kataku.

‘Ya. Dan beliau dimakamkan disamping makam pak tangahku,’ kata Marwan.

‘Lalu apa yang terjadi dengan kau? Kau kembali ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah?’

‘Ya, aku kembali ikut dengan pak etekku. Meneruskan sekolah sampai selesai kuliah. Lalu bekerja. Lalu menikah dengan wanita, anak orang awak yang tinggal di Malang. Seterusnya akan kuceritakan pengalamanku sampai aku diberhentikan dari tempat kerjaku, sampai akhirnya aku berdagang buku seperti sekarang.’


*****

No comments: