Sunday, October 12, 2008

SANG AMANAH (14)

(14)

Ir. Suryanto seorang pria gagah dan pengusaha yang lumayan berhasil. Insinyur Mesin lulusan ITS Surabaya ini mengusahakan pembuatan perabot rumah tangga dari kayu seperti meja dan kursi tamu, meja makan, tempat tidur, lemari-lemari yang semuanya untuk ekspor. Produksinya dikirim ke Amerika Serikat, Canada dan Jepang. Pabrik pengolahannya terdapat di Jepara sementara di Jakarta ada tempat pemeroses dan penghalusan perabot-perabot tersebut di kawasan industri di Pulo Gadung sebelum dikapalkan. Meskipun dia terbilang manusia sibuk yang mondar mandir keluar negeri maupun di dalam negeri pak Suryanto adalah seorang ‘family man’. Dia selalu menyediakan waktu cukup untuk keluarganya. Istrinya, Ningsih seorang wanita anggun dan cantik alami, adalah Sarjana Psikologi dari UNPAD. Dia tidak bekerja. Suaminya memintanya untuk jadi penasihat di perusahaannya yang mempekerjakan lebih dari 200 orang karyawan. Keluarga ini benar-benar merupakan pasangan yang sangat ideal. Mereka hanya mempunyai seorang anak laki. Adrianto.

Kehidupan bahagia yang mereka bina selama belasan tahun, meski kadang-kadang terusik juga oleh kerikil-kerikil kecil rumah tangga, boleh dikatakan nyaris sempurna. Pasangan ini mempunyai kepribadian yang keras kedua-duanya namun sama-sama pula sangat terbuka. Itulah sebabnya hampir tidak pernah diskusi yang kadang-kadang memuncak panas di antara mereka sampai berakhir dengan pertengkaran. Suryanto bukan saja sangat mencintai istrinya tapi sangat memuja kecantikan istrinya itu. Dia akan selalu setuju kalau Ningsih melakukan perawatan kebugaran tubuhnya biar dengan biaya berapapun. Tapi dia sangat tidak suka seandainya Ningsih ingin melakukan perubahan artifisial pada tubuhnya yang cantik itu.

Tidak ada yang abadi. Kabahagian yang hampir sempurna itu kira-kira lima bulan yang lalu seolah-olah diuji Tuhan. Suatu pagi Ningsih dikagetkan oleh benjolan di sekitar dadanya. Hal itu didiamkannya saja untuk beberapa hari karena kebetulan suaminya sedang ke Amerika waktu itu. Benjolan yang selalu menarik perhatiannya dikala mandi, sering dipegang-pegang dan ditekan-tekannya. Tidak ada rasa sakit. Akhirnya dia putuskan untuk memeriksakan ke dokter ahli penyakit dalam. Dokter itu menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada dokter spesialis. Ningsih sebenarnya mulai agak cemas, tapi dia memilih menunggu sampai suaminya pulang dari luar negeri. Waktu mas Suryanto pulang hal itu langsung diceritakannya. Tentu saja suaminya ikut cemas dan mendesak untuk segera memeriksakan ke dokter spesialis. Dokter menyimpulkan penyakit itu sebagai tumor dan menganjurkan untuk dioperasi. Mumpung masih kecil, katanya. Mereka menanyakan apa yang mungkin terjadi seandainya dioperasi dan apa yang mungkin terjadi seandainya tidak dioperasi. Dokter itu menjelaskan bahwa kalau dioperasi harus dilakukan diagnosa lebih rinci pada saat operasi itu dilaksanakan. Artinya, seandainya penyakit itu tumor biasa maka cukup benjolan itu saja yang dibuang. Akan tetapi seandainya itu adalah kanker dan ganas, maka konsekwensinya payudara Ningsih harus dibuang sebelah. Kalau tidak dioperasi, seandainya itu memang benjolan biasa, bukan penyakit, tentu tidak akan mengganggu. Tapi seandainya itu kanker ganas tentu dia akan menyebar ke bahagian tubuh yang lain.

Tentu saja pasangan itu sangat terkejut mendengar berita itu. Mereka minta waktu untuk memikirkan solusi yang ditawarkan itu. Dokter itu mengatakan jika operasi dilakukan lebih awal akan lebih besar harapan keberhasilannya. Pilihan mereka sebenarnya tidak banyak antara dioperasi atau tidak dioperasi.

Ada cerita ‘believe it or not’ dari kiri kanan bahwa pengobatan alternatif bukanlah sesuatu yang aneh sekarang-sekarang ini. Suryanto cenderung untuk mencoba pengobatan alternatif itu sementara Ningsih lebih cenderung untuk segera saja di operasi. Mereka memerlukan diskusi berminggu-minggu sebelum mengambil keputusan.

Dari perbincangan kiri-kanan, Suryanto menemukan seorang ahli pengobatan alternatif di daerah Kali Malang yang menggunakan pola seiki/prana, yang konon berasal dari India dan kononnya pula berhasil menyembuhkan penyakit orang-orang terkenal yang sudah akut. Suryanto ingin istrinya Ningsih mencoba cara pengobatan ini.

‘Sejauh yang saya dengar cara pengobatan ini cukup masuk diakal Ning, tidak ada mistik, tidak ada jampi-jampi, tidak ada cara-cara yang aneh-aneh seperti menggunakan media hewan untuk memindahkan penyakit seseorang misalnya, pokoknya bisa diterima akal, bagaimana kalau kita coba? Siapa tahu jodoh.’ kata Suryanto mengajak istrinya pada suatu hari.

‘Baik, mas. Saya bersedia untuk mencoba. Tapi kalau kira-kira cara pengobatan itu tidak dapat diterima akal saya, saya akan mengundurkan diri. Kapan mas menemani saya ke sana?’

‘Bagaimana kalau besok sore?’

‘Baik mas.’

Keesokan harinya mereka pergi ke alamat tabib ahli seiki/prana itu. Tempatnya di rumah tinggal yang dimodifikasi sedemikian rupa. Ada ruang tunggu, ada ruang praktek, bahkan ada ruangan rawat inap. Para ‘pasien’ harus antri dan mengambil nomor urut. Jumlah ‘pasien’nya puluhan. Umumnya yang punya masalah tumor dan kanker. Banyak di antara para ‘pasien’ itu, yang ditanyai Suryanto, menceritakan kemajuan kesehatan yang dialaminya.

Ningsih akhirnya mendapat giliran bertemu dengan tabib itu. Metoda perawatan itu menggunakan alat bantu kristal-kristal kaca yang disinari dengan cahaya lampu biasa yang lampunya diwarnai merah dan diarahkan kebagian tubuh yang sakit. Lalu ada pijitan refleksi di kaki. Pijitan itu lumayan sakit. Setelah itu kepadanya diberikan cairan dari akar tumbuh-tumbuhan dan daun-daunan untuk diminum dan dibawa pulang. Perawatan ini harus diulangi dua kali seminggu. Dan ada pula saran agar dia menjalani rawat inap di rumah itu selama beberapa hari untuk perawatan intensif.

Ini masalah keyakinan. Meskipun banyak cerita keberhasilan yang Ningsih ikut mendengar waktu diceritakan oleh orang-orang yang datang berobat itu, Ningsih, entah kenapa sejak pertama tidak terlalu yakin dengan metoda pengobatan itu. Apalagi setelah tabib itu menganjurkan untuk menjalani rawat inap, dan dia pergi melihat sendiri pasien yang sedang dirawat inap itu tidur di ruangan sempit berjajar-jajar seperti di tempat pengungsian, dia semakin tidak yakin. Hanya untuk menghormati suaminya, dia masih mau pergi diantar mas Yanto untuk kedua kalinya sesudah itu. Lalu mas Yanto harus berangkat lagi ke Jepang. Sebelum berangkat mas Yanto mengingatkan Ningsih untuk melanjutkan pengobatan itu tapi dia sudah tidak bersedia lagi pergi. Waktu mas Yanto pulang dari Jepang, dia kecewa karena Ningsih tidak mau melanjutkan pengobatan itu. Mereka terlibat dalam pertengkaran kecil. Ningsih masih tetap berkeyakinan bahwa penyakitnya itu adalah sesuatu yang nyata, jadi harus dibuang dengan cara dioperasi secara fisik, bukan dengan disinari cahaya dari lampu bercat merah atau dengan pijitan-pijitan di kaki, yang menurut dia tidak ada hubungannya.

‘Tapi kamu dengar sendiri, Ning. Orang-orang yang disembuhkan tabib itu bercerita. Apa salahnya sih, dicoba? Kamu coba, katakan agak sebulan misalnya setelah itu baru kita ambil kesimpulan. Sejujurnya, Ning, saya tidak rela tubuh kamu itu dilukai. Apalagi dirusak. Kalau nanti kata dokter itu, ternyata penyakit kamu itu kanker ganas, lalu payudara kamu dibuang. Saya benar-benar tidak mau membayangkannya.’

‘Tapi, mas. Itu kenyataan. Kenyataannya saat ini tubuh saya mengidap penyakit. Mas bilang supaya saya coba sebulan lagi. Sementara saya sendiri tidak punya keyakinan dengan cara pengobatan itu. Waktu berjalan juga, bagaimana kalau dalam waktu sebulan itu keadaannya bertambah gawat?’

Seminggu berselang mereka tidak berbuat apa-apa. Ningsih berulang-ulang minta izin untuk menjalani operasi saja, tapi Suryanto belum mau mengizinkan. Ningsih jadi stress. Dan rasanya, atau mungkin juga sebenarnya, penyakit itu mulai menjadi lebih serius. Benjolan itu sedikit bertambah besar. Ningsih jadi uring-uringan. Tiba-tiba Suryanto harus berangkat lagi ke Amerika. Ningsih sekali lagi minta izin dan meminta agar Suryanto menanda tangani ‘surat persetujuan suami’ untuk mengizinkan istrinya dioperasi pada sehelai formulir rumah sakit yang sudah diminta Ningsih pada waktu dia berkunjung ke dokter terakhir kalinya. Suryanto tetap tidak mau mengizinkan dan menjanjikan akan mempertimbangkannya sekembalinya dari Amerika. Ningsih makin senewen. Menunggu sepuluh hari lagi? Iya kalau sesudah itu nanti diizinkannya. Akhirnya dia nekad. Setelah Suryanto berangkat, Ningsih membujuk papanya untuk mewakili memberi izin untuk operasi itu. Papanya Ningsih, meskipun memahami posisinya tidak mudah, membubuhkan tanda tangannya, demi sayangnya kepada anak. Tidak ada maksudnya untuk melangkahi wewenang menantunya.

Dan Ningsihpun dioperasi di Rumah Sakit Metropolitan. Ternyata seperti kemungkinan kedua yang dikatakan dokter awal-awal dulu yang dia hadapi. Benjolan itu adalah kanker ganas. Payudaranya terpaksa dibuang sebelah. Itupun menurut dokter, kemungkinan kanker itu sudah mulai menjalar ketempat lain. Ningsih terpukul, tapi berusaha pasrah. Apalagi yang harus dia perbuat? Dia hanya berharap dan berdoa, agar kemungkinan berikutnya ini, bahwa kanker itu mulai menjalar tidak benar. Berita bahwa dia sudah dioperasi itu disampaikannya kepada Suryanto waktu suaminya menelepon dari Washington. Suryanto marah besar mendengarnya.

Seminggu sesudah dioperasi Ningsih sudah boleh pulang untuk beristirahat di rumah. Badannya masih sangat lemah. Keesokan harinya Suryanto pulang dan mendapatkannya terbaring di tempat tidur. Suryanto marah. Betul-betul marah. Dia merasa dilecehkan dan diabaikan. Dia marah kepada mertuanya. Dia seolah-olah tidak perduli dengan keadaan Ningsih yang terbaring lemah. Dan sejak itu dia tidak mau tinggal di rumahnya itu. Dia masih mau pulang ke rumah sebentar-sebentar, tapi setiap kali datang hanya untuk mengumbar marah.

Ningsih tidak pernah mau melayaninya untuk bertengkar. Dia terlalu lemah. Dia sudah minta maaf dan rasanya itu sudah cukup. Dia coba memahami Suryanto yang betul-betul berubah. Ningsih pasrah. Dia tidak menyesal. Dia bahkan merasa sudah mengambil tindakan tepat untuk dirinya, meskipun ternyata yang dilakukannya menempatkan posisinya di tempat yang lebih sulit baik dari segi kesehatan maupun dari sisi perlakuan suaminya.

Suryanto benar-benar tidak bisa diredakan. Waktu anaknya Adrianto mengingatkan, dimarahinya, mertuanya seolah-olah dijadikannya musuh, mamanya sendiri dibantahnya. Dia lebih nekad lagi bahkan menyatakan bahwa dia akan kawin lagi. Terjadilah gempar besar. Semua saudara-saudaranya, kakak-kakaknya, adik-adiknya menentang. Oom dan tantenya menentang. Mertuanya jelas tidak bisa berkutik. Tapi Ningsih yang mendengar berita itu menyatakan tidak keberatan. Ningsih mempersilahkan. Waktu mamanya Suryanto datang menengoknya yang terakhir kali (mertuanya yang sangat menyayanginya itu mengunjunginya dua hari sekali, berusaha menghiburnya, membawakan makanan dan obat-obat berupa jamu untuknya) menyinggung-nyinggung dengan halus kemungkinan itu, bahwa Suryanto seperti orang tidak normal mengatakan keinginannya mau menikah lagi, Ningsih secara spontan mengatakan bahwa dia mengikhlaskannya. Tentu saja mertuanya terperangah mendengarkan hal itu.


*****

No comments: