Monday, October 27, 2008

SANG AMANAH (36)

(36)

‘Pertanyaan pak!’ seorang murid lagi mengangkat tangan.

‘Ya..silahkan. Sebutkan nama dan dari kelas berapa?’

‘Terima kasih pak. Nama saya Tigor dari kelas tiga IPA 1. Saya ini merokok memang karena sudah kecanduan pak. Kalau tidak merokok saya tidak bisa belajar dan berkonsentrasi pak. Bagaimana jalan keluarnya, pak?’

‘Baik. Apakah kamu juga merokok di dalam kelas?’ tanya pak Umar.

‘Tidak, pak. Hanya kalau pas jam istirahat saja pak.’

‘Ya…. Kalau begitu sekarang kamu rubah sedikit jadwal merokokmu. Kalau di sekolah tidak merokok, begitu keluar dari gerbang sekolah silahkan merokok.’

‘Jadinya saya tidak bisa konsentrasi pak.’

‘Itu namanya sugesti. Kamu pasti bisa kalau kamu berusaha. Buktinya kamu bisa menunggu sampai jam istirahat.’

‘Kalau tidak bisa bagaimana pak?’

‘Kamu pindah sekolah ke sekolah yang mengizinkan kamu merokok.’

Tigor terdiam, tidak berkomentar lagi.

‘Kalian perhatikan sekali lagi. Berhenti merokok tidak akan menjadikan orang sakit apalagi sampai mati, maaf. Setiap pecandu rokok bisa berhenti seandainya mereka mau berusaha untuk berhenti. Tapi kebanyakan pecandu rokok mempersilahkan diri mereka diperbudak oleh rokok. Mereka merasa seolah-olah mereka akan lumpuh total kalau berhenti merokok. Tidak bisa konsentrasi, tidak bisa berfikir jernih. Padahal itu hanya sugesti dan menunjukkan kelemahan mental. Kenapa orang tidak bisa konsentrasi kalau tidak merokok? Karena yang dipikirkannya hanya rokok. Orang seperti Tigor ini menunggu-nunggu waktu istirahat dan membayangkan rokok yang menurut dia akan memberikan kepuasan kepadanya. Kenapa tidak boleh merokok di sekolah? Karena dengan merokok kalian meracuni orang lain yang tidak merokok. Asap rokok kalian jadi racun kepada orang yang tidak suka rokok. Bau baju kalian, bau badan kalian yang suka merokok menjadi pengganggu kepada teman-teman kalian yang tidak suka mencium bau rokok. Dan kita harus bisa saling menghormati, saling menjaga agar tindakan kita jangan mengganggu kepada orang lain. Saya tidak usah menerangkan bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Sekarang sudah diwajibkan menempelkan pemberitahuan bahaya merokok di bungkus rokok, kalian semua tahu itu. Tapi saya ulangi sekali lagi, saya bukan mau melarang kalian merokok secara total. Saya mengerti betul bahwa melarang seperti itu mengada-ada dan tidak akan ada jaminan akan kalian patuhi. Maka saya hanya menetapkan peraturan yang berlaku di sekolah ini. Diluar sana kalian bebas untuk merokok. Kecuali tentu saja di tempat-tempat yang diberlakukan pula larangan merokok.’

Semua murid-murid diam. Beberapa orang terlihat lesu, di antaranya Tigor yang baru saja bertanya. Tidak ada lagi yang berani bersuara.

‘Kalau tidak ada lagi pertanyaan, pertemuan kita selesai. Kalian boleh kembali ke kelas masing-masing. Beritahukan kepada guru kalian bahwa kalian baru saja dikumpulkan kepala sekolah untuk membahas peraturan dilarang merokok di sekolah,’ kata pak Umar mengakhiri pertemuan itu.

Pak Hardjono mengambil daftar mereka yang hadir dalam pertemuan itu. Semua ada empat puluh lima orang. Murid-murid itu berdiri dan langsung meninggalkan ruangan menuju kelas mereka masing-masing. Sebagian dengan lesu. Tapi tidak seorangpun yang bersuara.

Pak Umar meminta pak Mursyid agar memberi tahu guru-guru lain untuk mengadakan rapat penting sesudah jam pelajaran sekolah selesai siang ini.


*****

‘Gile nih, Umar Bakri. Galak juga dia, ‘ komentar Rano saat menuruni tangga.

‘Ah, biasa….. lagi unjuk gigi karena baru menjabat. Paling ntar juga capek sendiri. Berani tarohan,’ yang lain menambahkan.

‘Tapi sementara ini kita memang kudu hati-hati deh,’ Asrul menimpali.

‘Kalau gue bilang, kayaknya dia orangnya emang keras. ‘Feeling’ gue begitu. Ngomongnya pasti-pasti. ‘Silahkan merokok diluar, tapi di sekolah, ada peraturan’.

‘Apalagi kalau lo ingat omongan dia tentang ‘catatan keperibadian’. Idenya memang ada-ada saja,’ Sugeng menambahkan.

Murid-murid itu masuk ke kelasnya masing-masing.


*****


Sesudah jam pelajaran terakhir guru-guru berkumpul di ruangan guru atas permintaan bapak kepala sekolah untuk acara rapat mendadak. Ada dua puluh orang guru yang hadir pada kesempatan itu. Pak Umar langsung saja menyampaikan pokok permasalahan tentang kebiasaan merokok di kalangan murid-murid. Sebelumnya pak Umar meminta masukan dari ibu Purwati, wakil kepala sekolah, tentang peraturan dan sangsi bagi siswa merokok di sekolah yang sudah berlaku selama ini.

‘Peraturan tertulis tidak ada seingat saya. Hanya sering kali diingatkan oleh bapak kepala sekolah pada kesempatan upacara bendera bahwa para siswa dilarang merokok. Dan seingat saya pula tidak ada sangsi apa-apa yang di berikan. Sehingga seolah-olah ada ketentuan bahwa anak-anak dibiarkan merokok asal tidak kelihatan oleh guru,’ ibu Purwati menjelaskan.

‘Maksudnya tidak ada yang mengawasi dan tidak ada sangsi?’ tanya pak Umar lebih lanjut.

‘Seingat saya tidak. Tapi pernah ada yang kedapatan merokok, saya lupa oleh guru mana, murid tersebut dilarang mengikuti pelajaran pada hari itu.’

‘Waktu itu saya juga pernah mendapatkan seorang murid merokok dalam kelas pada waktu jam istirahat. Memang saya marahi dan hari itu saya suruh pulang,’ pak Hardjono menjelaskan.

‘Jadi aturan baku, yang bisa dijadikan ketetapan hukum tidak ada?’ tanya pak Umar lagi.

‘Tidak ada. Saya yakin tidak pernah ada,’ pak Hardjono menambahkan.

‘Berapa orang di antara guru-guru yang merokok?’ tanya pak Umar pula.

Guru-guru yang hadir berusaha mengingat dan menyebutnya satu per satu.

‘Pak Situmorang, pak Darmaji, pak Kus kadang-kadang, pak Wisnu. Siapa lagi, ya?’ pak Mursyid mencoba menghitung.

‘Pak Sofyan, kadang-kadang merokok saya lihat. Yang agak perokok berat itu pak Darmawan. Pak Sutisna kadang-kadang suka juga merokok,’ tambah pak Hardjono.

‘Ibu-ibu ada tidak yang merokok?’ tanya pak Umar lagi.

‘Setahu saya tidak ada, pak,’ jawab ibu Purwati.

‘Bagaimana dengan karyawan Tata Usaha?’

‘Yang saya tahu pak Kosasih sama petugas komputer itu, siapa namanya?’ pak Muslih menjelaskan.

‘Itu…., pak Sumitro. Benar itu perokok berat juga itu,’ jawab pak Mursyid.

‘Baiklah. Saya akan tetapkan peraturan bahwa merokok akan dilarang di sekolah ini. Bagi guru-guru yang merokok saya minta dengan hormat agar membantu rencana ini, sekaligus untuk jadi contoh di hadapan murid-murid. Kepada karyawan Tata Usaha akan saya beritahukan pula. Akan ada sangsi bagi anak-anak yang kedapatan merokok di sekolah. Tadi sudah saya sampaikan kepada anak-anak yang kedapatan merokok waktu mereka dikumpulkan di ruang serba guna. Sangsi itu adalah berupa….disuruh pulang pada waktu kedapatan pertama kali, skors seminggu kalau kedapatan untuk kedua kalinya dan dikeluarkan kalau masih mengulangi sampai ke tiga kalinya.’

‘Wah! Apa tidak terlalu berat sangsi seperti itu pak? Dalam sehari barangkali semua anak-anak perokok itu akan terpaksa dikeluarkan,’ kata ibu Purwati.

‘Peraturan yang tidak ada sangsinya akan dilecehkan. Peraturan ini bukan untuk main-main tapi benar-benar sesuatu yang harus ditegakkan. Dan sangsi itu harus tegas.’

‘Maaf, apa dasar pertimbangannya pak?’ tanya pak Muslih.

‘Dasar pertimbangannya adalah bahwa merokok itu merusak kesehatan. Baik kesehatan yang merokok itu sendiri maupun kesehatan orang lain yang berada di sekitarnya. Di sekolah kita berkewajiban mendidik anak-anak untuk menyadari adanya bahaya ini. Saya tidak mungkin melarang pecandu rokok itu untuk berhenti merokok secara total, karena itu akan sia-sia. Saya tidak mungkin mengawasi mereka setiap saat. Tapi di sekolah kita bisa mengawasi mereka untuk tidak merokok. Harapannya kalau mereka bisa dilarang merokok di sekolah, mudah-mudahan penularan kecanduan merokok bisa kita halangi. Karena biasanya merokok itu dimulai dari coba-coba. Sementara mencoba-coba itu sangat mungkin dilakukan di sekolah kalau tidak dibatasi. Harapan lebih jauh lagi mudah-mudahan kebiasaan merokok anak-anak itu bisa dihentikan,’ pak Umar menjelaskan.

‘Bagaimana cara mengawasinya pak?’ tanya ibu Sofni.

‘Betul sekali pertanyaan ibu Sofni. Hal ini yang akan saya sampaikan. Saya akan meminta setiap guru bertugas sebagai pengawas harian atau bertugas piket. Saya tidak tahu apakah selama ini ada kewajiban untuk piket bagi guru-guru. Piket ini maksudnya adalah untuk mengawasi murid-murid secara berkesinambungan. Kita para guru bertanggung jawab tidak hanya urusan pendidikan mereka tapi termasuk juga akhlak mereka. Ringkasnya setiap hari akan ada tiga orang guru piket dan setiap guru akan kebagian bertugas sekali dalam dua minggu. Saya sendiri insya Allah akan ikut mengontrol dan mengawasi, terutama ke tempat-tempat tersembunyi di sekolah ini.’

‘Jadi bertambah tugas dong berarti,’ ibu Purwati berkomentar.

‘Ya…. Dan tugas seperti itu saya rasa tidak akan terlalu memberatkan.’

‘Lalu kapan peraturan dilarang merokok ini mulai berlaku?’

‘Mulai hari ini. Besok pagi saya akan mengumpulkan semua murid sebelum masuk kelas untuk mengumumkannya. Jadi besok pagi saya harap kehadiran bapak-bapak dan ibu-ibu juga.’

Pak Umar membahas juga sepintas masalah kebersihan yang sangat memprihatinkan di sekolah ini. Rapat itu ditutup mendekati jam tiga siang.


*****

No comments: