Wednesday, December 24, 2008

SANG AMANAH (105)

(105)


24. Musibah Lagi (2) (tamat)

Hari baru jam setengah tiga sore. Langit mendung. Awan hitam menutupi cakrawala. Cuaca gelap seolah-olah saat itu sudah menjelang waktu maghrib. Sore ini hujan turun lagi. Tidak lebat-lebat amat. Tapi kadang-kadang terdengar guntur. Jalanan basah lagi. Air tergenang dimana-mana lagi. Jalan Kali Malang macet lagi, bahkan di kedua arah. Kendaraan yang memadati jalan itu bergerak beringsut-ingsut. Pak Umar bersama pak Hardjono menuju rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara dengan mobil pak Hardjono. Ingin benar dia tahu bagaimana hasil operasi tadi siang dan pengaruhnya bagi kesadaran Suwagito. Pak Umar berdoa dengan sungguh-sungguh memohon kesembuhan anak itu. Selama dalam perjalanan itu, mereka berbincang-bincang. Sementara kendaraan itu sebentar bergerak sebentar berhenti.

‘Gelap betul udaranya, pak. Sepertinya mau hujan lebat lagi,’ ujar pak Hardjono.

‘Ya, cuacanya gelap sekali. Sudah seperti waktu maghrib,’ jawab pak Umar.

‘Kalau sudah hujan lebat biasanya banjir lagi dimana-mana. Di tempat pak Umar kena pengaruh banjir juga?’ tanya pak Hardjono.

‘Kalau hujan lebat betul dan lama, air biasa tertahan sebentar. Kalau sudah begitu ada beberapa rumah yang sempat dimasuki air. Tapi rumah saya alhamdulillah agak ketinggian dan tidak kena banjir,’ jawab pak Umar.

‘Kasihan mereka yang biasa terkena banjir. Entah kapan Jakarta ini bisa bebas dari banjir,’ celetuk pak Hardjono.

‘Ya, saya rasa masalahnya kompleks juga sih, pak Hardjono. Penduduk Jakarta sudah terlalu banyak. Lahan yang tersedia terbatas. Akibatnya masyarakat tinggal berjubelan. Sistim aliran limbah banyak yang tidak terurus. Kesadaran masyarakat untuk menjaga saluran-saluran air itu rendah. Buktinya banyak sekali mereka yang membuat bangunan semi permanen di atas saluran. Belum lagi yang membuang sampah sembarangan ke saluran-saluran air atau got. Akibatnya mampet. Kemampuan bumi Jakarta meresap air berkurang dengan semakin banyaknya permukaan tanah yang ditutupi untuk bangunan, untuk jalan, untuk lapangan parkir. Lebih parah lagi karena di daerah hulu seperti Bogor dan Puncak kondisinya tidak pula mendukung. Menurut analisa saya kumpulan dari segalanya itu yang menyebabkan banjir makin sulit di atasi,’ pak Umar membahas panjang lebar.

‘Benar pak. Cukup kompleks masalahnya seperti yang bapak bilang,’ pak Hardjono membenarkan uraian pak Umar.

Setelah melewati perempatan ke arah Pondok Gede dan Pondok Bambu, kendaraan bergerak sedikit lebih cepat. Sementara hujan bertambah lebat. Lampu-lampu mobil pada dinyalakan karena hari seperti sudah mulai malam saja. Mobil pak Hardjono menyusuri jalan Kali Malang itu ke arah Cawang. Makin mendekati Cawang jumlah kendaraan yang searah dengan mereka makin berkurang. Tapi sebaliknya yang ke arah Bekasi makin banyak. Kelihatannya orang ingin cepat sampai di rumah ketika cuaca seperti ini. Pak Hardjono dan pak Umar masih terlibat dalam perbincangan ngalor-ngidul.

Jam setengah empat mereka sampai di rumah sakit Keluarga Sejahtera. Mereka segera mendapatkan tempat parkir karena jam mengunjungi orang sakit belum mulai. Sesudah memarkir mobil di tempat yang teduh, mereka bergegas menuju bangsal tempat pasien kelas tiga di rawat. Suwagito sudah dibawa kembali ke ruangan itu. Dia masih ditunggui ibu dan ayahnya. Pak Slamet menyongsong kedatangan pak Umar dan pak Hardjono. Wajah pak Slamet terlihat agak pucat. Pasti dia penuh harap Suwagito akan sadar dari pingsan yang sudah berlangsung lebih sehari semalam.

Suwagito terlihat seperti sedang tidur nyenyak dengan tarikan nafas teratur. Bekas operasi di kepalanya ditutupi perban putih. Pak Umar ingat tadi dokter mengatakan pengaruh obat bius akan hilang sekitar jam empat. Jadi masih sekitar setengah jam lagi. Pak Umar mengajak pak Hardjono untuk pergi shalat asar dulu ke mushala. Pak Slametpun ikut dengan mereka pergi shalat.

Pak Umar berdoa dengan khusyuk sekali sesudah selesai shalat. Dia kembali memohon kesembuhan Gito kepada Allah SWT. Dengan doa yang tulus. Dengan doa sepenuh hati. Pak Slametpun komat-kamit dalam doa. Disertai cucuran air mata. Begitu pula dengan pak Hardjono, ikut berdoa. Masing-masing berdoa dalam hati mereka masing-masing. Dengan sungguh-sungguh.

Setelah itu mereka kembali ke bangsal. Sudah jam empat kurang lima menit. Gito masih seperti orang tidur nyenyak. Akankah terjadi pertolongan Allah yang mereka tunggu-tunggu itu? Belum tampak tanda-tandanya. Mereka bersabar menunggu. Setiap pasang mata memperhatikan Gito.

Lima menit berlalu. Gito tetap seperti orang tidur. Sepuluh menit. Lima belas menit. Menit demi menit yang terasa panjang. Sudah jam empat lebih lima belas menit. Pak Umar kembali mengangkat tangan. Dia kembali berdoa. Dengan khusyuk.

Jam empat lebih sembilan belas menit. Gito membuka matanya pelan-pelan. Mata sendu itu mula-mula sekali menangkap sosok wajah ibunya.

‘Ibuuuu…… saya kenapa………,’ ujarnya lirih.

Semua yang hadir tersentak. Ibu Slamet, ibu dari Suwagito tersenyum dalam uraian air mata.

‘Alhamdulillah Gustiii………… Alhamdulillaaaah…….,’ ucapnya lirih.

Pak Umar, tersentak dari doanya yang mungkin belum selesai. Begitu pula pak Slamet dan pak Hardjono. Bahkan pasien di sebelah kanan dan kiri Suwagito ikut menoleh setelah mendengar suara barusan itu.

‘Kamu di rumah sakit, nak. Bagaimana terasa badanmu?’ ibu Slamet menanyai Gito.

‘Saya haus……. Haus ibu……. Kenapa…… saya di sini?’ tanya Gito.

Ibunya mengambilkan air dan menyendokkan ke mulut Gito. Kelihatannya dia haus sekali. Sesudah minum beberapa sendok, Gito mengamati sekelilingnya. Dia melihat ayahnya, pak Umar dan pak Hardjono.

‘Kenapa…… saya di sini……. bapak?’ tanyanya dengan suara pelan.

‘Kamu sakit nak. Kamu dirawat di sini. Di rumah sakit. Kamu lihat di sini ada pak kepala sekolah dan pak guru satunya,’ pak Slamet yang menjawab.

Dokter Gunardi datang. Dia sangat gembira waktu dilihatnya Gito sudah sadar. Dokter itu memeriksa denyut nadi Gito.

‘Bagaimana terasa badannya?’ tanya dokter itu ramah.

‘Pusing pak dokter. Saya pusing. Dan saya haus……,’ ucap Gito mulai lebih lancar bicaranya.

‘Nggak apa-apa. Pusingnya nanti hilang. Dan dikasih minum saja, bu. Pakai pipet saja. Biar minumnya lebih puas. Kalau nanti terasa lapar boleh makan. Ya?! Kamu baik-baik saja, kan?’ ujar dokter Gunardi.

Ibu Slamet segera memberikan minum. Gito minum cukup banyak melalui pipet itu. Sepertinya dia haus sekali.

‘Kenapa saya di sini pak dokter? Saya sakit apa?’ tanyanya lagi sesudah minum.

‘Sakit kepala sedikit. Tapi mudah-mudahan nanti sembuh. Ndak usah khawatir. Istirahat saja tenang-tenang. OK?’

‘Saya kan barusan mau melintasi jalan…… saya mau pulang…..kok jadi sampai ke sini?’

‘Begini. Kamu mengalami kecelakaan. Lalu dibawa ke rumah sakit. Ada luka di kepalamu. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Tinggal menunggu sembuh. Kamu istirahat saja di sini, ya?’

‘Buku-buku saya…… siapa yang menyimpan buku-buku saya?’

‘Pasti ada yang menyimpannya. Teman-teman kamu. Nanti kita tanya.’

‘Siapa yang mengantar saya ke sini? Kok bapak sama ibu sudah ada di sini. Kok pak Umar dan pak Hardjono ada di sini?’

‘Kami menunggui kamu. Menunggu kesembuhan kamu. Mudah-mudahan setelah ini kamu segera sembuh dan pulih kembali,’ kali ini pak Umar yang menjawab.

‘Saya kan tadi baik-baik saja, pak. Saya mau cepat-cepat pulang karena pas hujan sedang berhenti.’

‘Kamu tidak sadar sejak kemarin siang, nak. Kami semua cemas. Tapi sekarang kamu sudah kembali sadar. Kami semua sangat senang,’ ibu Slamet memberi tahu anaknya.

‘Sekarang bukannya hari Rabu, ibu?’

‘Bukan, sekarang hari Kamis. Sudah hampir jam lima sore,’ jawab ibunya.

Tak sengaja Gito meraba kepalanya yang ditutupi perban. Mungkin dia baru sadar bahwa kepalanya luka. Gito memandang orang-orang di sekelilingnya itu satu persatu.

‘Baik, saya ingatkan lagi. Kamu istirahat saja ya? Kalau keadaanmu semakin baik, mungkin dalam sehari dua ini kamu sudah boleh pulang. Apa kamu tidak lapar?’ tanya dokter Gunardi.

‘Ya. Saya lapar pak dokter,’ jawab Gito.

‘Saya akan mintakan makanannya. Tolong disuapi saja ya bu. Dan sesudah makan nanti obat-obatnya segera diminum, ya! Baik saya tinggal dulu ya!’ ujar dokter yang ramah itu sebelum pergi.

Beberapa menit kemudian petugas rumah sakit datang membawakan makanan. Nasi bubur. Ibu Slamet menyuapi Gito hati-hati. Waktu Gito mencoba mengunyah makanan itu dia merintih menahan sakit. Pak Umar menganjurkan agar makanan itu tidak usah dikunyah. Bubur itu bisa langsung ditelan saja. Dan Gito melakukannya.

Sesudah melihat keadaan Suwagito yang cukup menggembirakan itu, pak Umar dan pak Hardjono berpamitan untuk pulang. Seperti kemarin, pak Slamet berulang-ulang mengucapkan terima kasih. Sebelum pulang pak Umar mengajak pak Slamet ikut keluar sebentar. Pak Umar mengingatkan pak Slamet untuk sementara tidak usah dulu mencari pembeli rumahnya, karena kemungkinan ada yang berminat membeli. Pak Slamet mengatakan bahwa dia senang sekali kalau pak Umar punya kenalan yang mau membeli rumah itu.

Di luar ternyata hujan sudah berhenti. Cuaca lumayan cerah. Hari sudah jam lima sore. Pak Hardjono mengantarkan pak Umar kembali ke sekolah karena Vespa pak Umar masih tertinggal di sana.

‘Syukurlah Suwagito ada kemajuan seperti itu,’ pak Umar bergumam.

‘Betul pak. Allah mengabulkan doa bapak. Doa kita bersama,’ pak Hardjono menambahkan, sambil melirik ke arah pak Umar.

Pak Umar terlihat letih. Pasti dia sangat kelelahan. Tapi semangatnya tetap saja tinggi.

‘Saya perhatikan bapak terlihat sangat lelah. Apa saya antarkan langsung ke rumah saja?’ tanya pak Hardjono.

‘Tidak usah pak Hardjono. Saya tidak apa-apa. Biar saya turun di sekolah saja. Vespa saya masih di sana. Kalau tidak saya ambil, besok pagi saya repot pula mau ke sekolah,’ jawab pak Umar.

‘Mudah-mudahan dengan doa dan pengorbanan bapak, Suwagito cepat sembuh,’ ujar pak Hardjono.

‘Ya. Mudah-mudahan anak itu segera sembuh kembali,’ ujar pak Umar pula.

Jalanan lebih lancar sore ini. Jam lima lebih dua puluh menit mereka sudah sampai di sekolah. Pak Hardjono berpamitan setelah pak Umar turun dari mobil. Pak Umar langsung mengambil Vespanya dan segera menuju pulang.


*****

No comments: