Thursday, March 13, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (4)

4. Ketinggalan Shalat Maghrib


Pulang dari shalat ashar hari Jumat itu sudah lebih jam empat sore. Kami berlima berbincang-bincang di kamar di pemondokan. Sekalian mensihati anak-anak. Bahwa pada saat melaksanakan ibadah haji ini anjuran utamanya adalah menghindarkan ‘rafats’ , ‘jidal’ dan ‘fusuq’ serta mengikhlaskan waktu untuk beribadah semata-mata karena Allah. Jangan terlalu banyak omong yang tidak perlu karena salah-salah bisa terbelok ke hal-hal yang tidak sopan, yang porno (rafats) atau terbelok kepada pertengkaran (jidal) atau bahkan terbawa menjadi pendurhaka baik kepada orang tua maupun kepada Allah (fusuq). Waktu ngobrol-ngobrol itu saya menanyakan adakah yang ingat jam berapa waktu maghrib sore itu, yang dijawab anak saya jam setengah tujuh. Perasaan saya menerima jadwal itu mengingat tadi ashar jam empat kurang dua puluh menit. Dan kebetulan dari kamar kami di tingkat sembilan tidak terdengar suara azan.

Kami berangkat ke mesjid jam enam lebih sepuluh. Di lobby hotel saya bertemu ketua rombongan dari pelaksana haji dan kami melangkah bersama-sama ke mesjid. Di jalan dia katakan bahwa kayaknya kita terlambat, deh. Dan ternyata....masya Allah.... waktu kami baru sampai di batas lapangan/pekarangan mesjid imam sudah mengucapkan salam tanda shalat sudah selesai. Saya merasa sedih, tapi apa yang mau dikatakan? Akhirnya kami shalat berjamaah di pekarangan mesjid itu yang diikuti juga oleh beberapa jamaah lain. Ternyata waktu maghrib itu jam enam kurang.

Sehabis shalat maghrib di pekarangan itu saya meneruskan masuk ke mesjid menunggu waktu shalat isya sambil membaca Quran. Saya mengambil tempat di belakang pembatas saja. Waktu isya jam setengah delapan. Pada saat mata saya sudah agak lelah membaca saya coba memperhatikan jamaah yang banyak ini. Benar, yang dominan adalah orang-orang Afrika. Berbagai macam cara mereka berpakaian, cara memakai penutup kepala. Berbeda-beda pula cara mereka melakukan gerakan-gerakan shalat. Namun saya melihat suatu keseragaman. Semua menghadap kiblat, semua takbir, semua shalat. Wajah-wajah mereka semua adalah wajah-wajah tunduk dan patuh. Saya tidak melihat yang berwajah sombong. Tidak saya lihat yang bersikap petantang-petenteng. Tidak ada yang misalnya mencoba cari gara-gara. Pada waktu seseorang minta tempat untuk duduk, meskipun sebenarnya tempat itu sudah cukup sempit tidak pernah saya lihat ada yang protes, yang menyuruh cari tempat lain saja. Semua tunduk, semua patuh, semua berusaha menahan diri. Benarkah semua? Wallahu a’lam, tapi itu yang saya lihat.

Sesudah azan isya dikumandangkan, semua bersiap-siap berdiri untuk shalat sunat sambil menyusun barisan. Waktu shalat isya dimulai, semua berbaris rapi dalam shaf yang berdesak-desak, yang bahu dengan bahu saling berhimpitan. Semua mengikuti imam. Meski tetap ada tentu saja yang sedikit berbeda, antara yang bersedekap dengan yang tidak bersedekap tapi tidak satupun yang menyangkal atau melawan komando imam. Atau yang menandingi suara dan bacaan imam. Kita tidak melihat lagi perbedaan antara Sunny dan Syiah. Bahkan kita jadi tidak tahu siapa yang Sunny siapa yang Syiah. Meski kita bisa mengenali jemaah dari Iran dengan jubah dan sorban hitamnya yang khas. Semua adalah sebuah jemaah yang satu belaka. Subhanallah. Masya Allah, seandainya umat yang banyak ini bisa berada dibawah satu komando seperti ini dalam kehidupan sehari-hari. Betapa akan luar biasa kuatnya umat ini.

Shalat isya itu saya mengenali suara imam Huzaifi dengan suara beratnya yang khas yang saya memiliki kaset tilawahnya. Bacaan dengan iramanya yang saya coba meniru tapi tidak pernah bisa pas. Ya Allah, betapa syahdunya shalat dibelakang imam yang bacaannya sangat tartil itu.

Selalu ada shalat jenazah setiap selesai shalat fardhu. Begitu bilal memberi tahukan ‘ashshalaatu ‘alal amwaatu yarhamukumullaah’ semua kembali berdiri. Bershaf-shaf, tertib, menunggu komando imam. Dan kamipun shalat jenazah. Saya selalu ingat ketika saya dulu di tahun sembilan puluh diingatkan oleh seorang jamaah bahwa shalat jenazah hanya satu salam. Begitu imam membaca satu kali salam maka muazin yang menyambung bacaan imam ikut mengucapkan salam. Satu kali.

Sesudah shalat isya saya bergegas pulang ke pondokan. Masih belum berusaha untuk masuk ke Raudhah. Biarlah nanti-nanti saja. Saya rasa mungkin akan lebih mudah pada waktu dhuha dan saya merencanakan untuk melakukannya besok pagi saja.

Di luar mesjid terlihat pemandangan yang sama dengan tadi siang sesudah shalat Jumat. Ribuan jemaah, bahkan mungkin puluh ribuan jamaah atau bahkan lebih banyak lagi, keluar dari mesjid berombongan-rombongan kecil. Dari segala bangsa. Dengan segala macam atribut. Dulu, ditahun sembilan puluh, saya pernah merasa aneh dan kurang suka melihat jemaah dari Kabupaten Langkat misalnya memakai kaus dengan logo kabupaten di punggungnya. Saya merasa itu mengganggu saja, memaksa orang harus membacanya. Tapi agaknya pendapat itu perlu dikoreksi. Sekarang yang memakai kaos bertulisan di punggung, atau di mukena tidak hanya jamaah dari Indonesia tapi dari bermacam-macam negeri seperti Kosovo, Bosnia, India bahkan Turki dan lain-lainnya. Tujuannya agar mudah dikenali pada saat terpisah dari jamaah lain dan tidak tahu jalan pulang ke pondokan.

Malam itu ada taklim di pondokan. Ustad-ustad pembimbing termasuk yang dari rombongan besar, yang baru datang tadi pagi (padahal mereka berangkat duluan dari kami) menyampaikan ceramah yang berkaitan dengan ibadah haji. Sesudah itu kami masuk kamar untuk beristirahat. Saya menambah tadarusan al Quran sebelum tidur.



*****

No comments: