Tuesday, February 5, 2008

MBAK NARTI BAKUL SAYUR

MBAK NARTI BAKUL SAYUR

Kami makan malam bertiga saja. Aku, istri dan anak bungsu kami. Dan memang hanya ada kami saja di rumah. Dua anak-anak yang lain tidak tinggal bersama kami. Mereka kuliah di kota lain. Istriku memasak sayur asam yang katanya tidak baik untuk orang berpenyakit asam urat sepertiku. Tapi apa boleh buat, karena aku sangat suka sayur asam, sebelum makan membaca bismillah nya di perkhusyuk saja. Dan makan tidak berlebih-lebihan. Insya Allah tidak apa-apa.

Sesudah makan, si Bungsu bergegas mengemasi piring-piring kotor dan mencucinya. Biasanya dia akan segera masuk kamar untuk belajar sesudah itu. Istriku mengupas sebuah apel dan mulai bercerita.

‘Ada berita baru lho, bang. Abang tahu si mbak Narti bakul sayur itu kan?’ katanya memulai.

‘Ada apa dengan dia?’ tanyaku sambil mencomot sepotong apel yang baru saja di belah-belah istriku.

‘Dia sekarang pakai jilbab, lho bang. Tadi pagi ibu-ibu langganannya pada kaget dan heran. Dia pakai jilbab,’ istriku melanjutkan.

‘Baguslah. Itu namanya kemajuan,’ jawabku sambil mengunyah keratan apel itu halus-halus.

‘Ibu-ibu bertanya. Kenapa, mbak? Kok tumben pakai jilbab? Dia bilang, ya mungkin saya lagi dapat hidayah. Rasanya lebih baik begini. Lebih mantap, begitu jawabnya. Apa betul kira-kira dia itu dapat hidayah, ya bang?’

‘Mudah-mudahan begitu. Bukankah kamu pula yang bilang, bahwa si Narti itu orangnya alim. Kalau berdagang tidak pernah bohong. Shalatnya, katanya, tidak pernah tinggal. Mudah-mudahan saja dia itu benar-benar dapat hidayah dari Allah,’ jawabku asal-asalan.

‘Kalau itu sih benar, bang. Dia itu jujur dan amanah. Pernah waktu itu ada yang pesan ayam kampung. Waktu dia mampir di rumah orang yang memesan itu, orang itu sedang tidak di rumah. Lalu ada orang lain yang mau membeli ayam itu, mbak Narti tidak mau menjualnya, karena katanya itu sudah milik orang yang pertama tadi. Dan dia kembali lagi setelah dagangannya habis ke rumah yang memesan itu, orangnya tetap belum ada, sehingga akhirnya ayam itu terpaksa dibawanya pulang dan baru besoknya diterima orang yang memesan itu.’

‘Berarti dia memang sangat amanah,’ ucapku.

‘Tapi balik ke soal pakai jilbab. Dia itu benar-benar dapat hidayah kayaknya ya bang? Bagaimana pendapat abang?’ tanya istriku.

‘Kalau dia pakai jilbab semata-mata hanya karena Allah maka betul-betullah dia itu namanya dapat hidayah Allah. Tapi kalau dia berjilbab karena selain dari Allah tentu bukan demikian lagi,’ jawabku masih sekenanya.

‘Kalau bukan semata-mata karena Allah, karena siapa pula?’

‘Mungkin saja karena suaminya. Atau karena orang lain,’ jawabku.

‘Kalau awalnya karena diingatkan suaminya lalu setelah itu dia ikhlas melakukannya karena Allah?’ istriku pura-pura menyelidik.

‘Ya berarti juga karena Allah dong. He..he..he.’

‘Tapi…. Indah sekali tatkala seseorang itu berubah kepada kebaikan, ya bang?. Mbak Narti itu…….. yang sudah tidak muda lagi itu….mau pakai jilbab karena kesadarannya sendiri. Saya kagum sekali kepadanya.’

‘Perubahan kepada kebaikan seperti itu benar-benar merupakan sebuah hidayah. Allah memberikan kemudahan kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Pada saat hati seseorang mau menerima kebenaran, mau menerima aturan yang ditetapkan Sang Maha Pencipta dengan ikhlas, memang terasa indah sekali. Tidak semua orang mampu memahami aturan yang ditetapkan Allah dan tentu saja tidak semua orang sanggup mematuhinya. Tidak semua orang mampu untuk tidak ngeyel, tidak mencari-cari alasan,’ tambahku.


*****


Hari Minggu pagi. Aku sedang duduk membaca koran di teras depan. Tiba-tiba muncul si Narti dalam busana jilbabnya dengan bakul sayurannya, menyapaku ramah.

‘Ibu mau belanja pak?’ tanyanya.

‘Iya,’ jawabku pendek, serta langsung memanggil istriku.

Istriku muncul. Sedikit salah mengerti dan mengatakan kalau dia hari ini tidak mau belanja karena mau ke pasar. Aku segera menengahi.

‘Mbak Narti bawa sayur asam, kan?’ aku bertanya sambil mengedipkan mata kepada istriku, memberi isyarat bahwa aku ingin membeli sesuatu.

‘Ada sih, pak. Tapi kalau memang ibu mau ke pasar ?’ dia balik bertanya, polos.

‘Tidak, saya mau beli dari mbak Narti saja. Turunkanlah bakulnya,’ perintahku.

Dia menurunkan bakulnya. Mengeluarkan sebuah kantong plastik yang berisi bahan-bahan sayur asam. Ada juga tahu kuning Bandung dalam plastik. Aku bilang aku juga mau membeli tahu. Sekali lagi dia mengingatkan.

‘Katanya ibu mau ke pasar. Di pasar pasti lebih murah lho dari dagangan saya,’ katanya.

‘Nggak apa-apa, mbak. Mbak Narti kan sudah langganan,’ istriku ikut bicara.

Belanjaannya cukup sayur asam dan tahu Bandung itu saja. Istriku mengambil uang ke dalam untuk membayarnya. Aku menggunakan kesempatan ini untuk sedikit mewawancarainya.

‘Bagaimana perasaan mbak Narti sejak pakai jilbab?’ tanyaku. Sebuah pertanyaan agak bodoh.

‘Saya lebih tenang pak. Saya ini dulu sekolah di pesantren. Dulu waktu sekolah saya pakai jilbab. Dan saya masih hafal ayat yang memerintahkan wanita memakai jilbab. Tapi setelah disini, setelah saya berjualan sayur saya tidak lagi memakainya. Rasanya saya berdosa. Saya lihat ibu-ibu di perumahan sini, banyak yang pakai jilbab. Mula-mula saya bilang, ibu-ibu itu kan sudah mapan. Punya suami dan tidak usah membanting tulang berjualan sayur seperti saya. Lha saya ini kan harus pagi-pagi sekali ke Pasar Induk. Lalu keliling untuk berjualan. Repot kalau pakai jilbab. Tapi kembali hati kecil saya mengatakan, saya ini berdosa. Tidak ada hubungannya antara saya harus berkeliling untuk berjualan dengan kewajiban saya berpakaian seperti yang diperintahkan agama. Saya tidak tenang pak. Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Sampai akhirnya, keberanian saya muncul. Saya kembali menggunakan kerudung seperti ini,’ ceritanya secara rinci.

Aku mendengarkan ceritanya dengan kagum. Dan istriku juga ikut mendengar semua yang disampaikan mbak Narti.

‘Jadi mbak Narti dulu sudah pakai jilbab waktu di pesantren?’ istriku kembali bertanya.

‘Iya, bu. Dan baru sekarang lagi sesudah itu saya memakainya kembali. Mudah-mudahan Gusti Allah mengampuni kekeliruan saya selama ini,’ ungkapnya lagi yang menambah kekagumanku.

‘Saya ikut mendoakan, agar mbak Narti semakin teguh keimanannya,’ kataku.

Dia mengaminkan kata-kataku.

Setelah mbak Narti berlalu, kami kembali membahas perihal mbak Narti.

‘Nah, bang. Bagaimana pendapat abang?’ tanya istriku.

‘Pendapat abang, bahwa mbak Narti itu benar-benar seorang yang dapat hidayah dari Allah. Allah menggerakkan hatinya untuk berubah, kembali ke jalan yang benar. Dia tahu bahwa berjilbab itu adalah peraturan Allah. Itulah yang benar. Tapi dia telah mengabaikannya selama ini. Dalam hatinya timbul perasaan tidak tenang. Dia merasa berdosa karena tidak lagi menggunakan jilbab seperti ketika dia bersekolah di pesantren. Dia masih hafal ayat Quran yang memerintahkan setiap muslimah memakai jilbab. Dia merasa takut telah berbuat dosa. Rasa takut inilah yang menggiringnya untuk memperbaiki dirinya. Dia bertaubat kepada Allah. Hanya orang-orang yang punya rasa takut terhadap Allah-lah yang lebih mudah untuk bertaubat.’

‘Tadi dia mengatakan, ibu-ibu di kompleks kita banyak yang berjilbab, dan hal ini mungkin mempengaruhinya pula,’ komentar istriku.

‘Bisa saja demikian. Bisa saja itu menambah semangatnya untuk kembali berkerudung. Karena dia mengamati dan kemudian memikirkan dalam hatinya. Dia berdialog dengan dirinya sendiri seperti ceritanya tadi. Kebalikannya banyak juga orang yang tidak terpengaruh apa-apa, biarpun di sekitarnya banyak orang berjilbab,’ aku menambahkan.

‘Jadi kesimpulannya apa bang?’

‘Kesimpulannya? Kesimpulannya, sering-seringlah mengintrospeksi diri. Jangan membohongi diri sendiri ketika kita sebenarnya mengenal nilai-nilai kebenaran sementara kita belum mampu menegakkannya dengan cara berdalih macam-macam. Jangan malu untuk berubah. Jangan malu untuk bertobat. Kelihatannya itulah kesimpulan dari proses yang dijalani si mbak Narti bakul sayur itu.’


*****

No comments: