Tuesday, March 18, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (10)

10. Thawaf Dan Sa’i Lagi


Hari Kamis tanggal 29 Januari atau tanggal 7 Zulhijjah, tepat delapan hari sejak kami berangkat dari Jakarta. Si Tengah sudah lebih yakin bahwa dia sudah selesai dengan ‘periode’. Sebenarnya kemarin pagi dia sudah ‘bersih’ tapi pengalaman beberapa hari sebelumnya, dia merasa bersih, lalu mandi, lalu ikut shalat zuhur ke mesjid, tapi ya Allah.... sorenya waktu mau ke mesjid shalat maghrib ternyata .... belum. ‘Begitulah wanita....’ kata istri saya suka nyeletuk. Memang......., memang begitulah wanita. Waktu si Tengah dengan mata berlinang bertanya, ‘bagaimana dong pa?’ saya jawab, semua itu adalah kekuasaan Allah. Jadi bertawakkal saja kepada Allah. Bahwa kamu tadi shalat karena berharap sudah ‘selesai’ ternyata belum, biarlah Allah saja yang menilai. Minta ampun kepada Allah di samping memohon agar diberi kemudahan oleh Allah. Begitu jawab saya agak panjang lebar.

Sebelum berangkat sebenarnya istri saya berencana mau menggunakan pil pencegah ‘haid’ tapi sebelumnya dia minta pendapat saya. Saya bilang tidak usah. Tidak usah melawan kodrat dan ketentuan Allah. Berdoa dan kemudian jalani saja. Pil itu baru ada sekarang-sekarang ini, ibadah haji sudah ada sejak 14 abad. Insya Allah kalau kita memohon kepada Allah, Allah akan menolong. Tapi waktu kita terbatas, katanya. Waktu kita insya Allah cukup. Dalam keadaan tidak suci di samping shalat hanya thawaf yang tidak boleh. Dan thawaf itu bisa dikerjakan kalau sudah bersih dari haid. Akhirnya dia terima saran saya. Tidak ada yang menggunakan obat penunda haid.

Pagi itu saya, si Tengah bersama suami istri pak dan ibu H ditemani seorang ustad dari penyelenggara berangkat ke Masjidil Haram naik omprengan. Saya ragu-ragu, apakah kami harus ke Tan’im, karena baik si Tengah maupun ibu H sudah melepas pakaian ihram mereka di kamar. Saya cenderung bahwa kami harus ke Tan’im dulu. Tapi atas saran dari ustad pembimbing yang ahli hadits kami tidak perlu ke Tan’im. Saya yang sudah terlanjur memakai pakaian ihram lagi, dengan pertimbangan bahwa nanti saya akan ikut sa’i sedangkan sa’i sunat tidak ada, jadi sekalian saja saya berniat umrah lagi, tapi oleh ustad dikatakan tidak ada dalilnya mengulang-ulang umrah seperti itu sebelum melaksanakan haji. Akhirnya saya mengalah, tidak jadi berniat umrah, tapi biarlah berpakaian ihram karena sudah terlanjur saya pakai. Ustad itu diam saja.

Ustad itu hanya akan mengantarkan saja. Nanti sesudah shalat zuhur, kami akan bertemu lagi di depan Pemadam Kebakaran tidak jauh dari ‘Jam Gadang‘ kemarin. Pak H mengusulkan agar kita berpisah saja. Maksudnya dia akan thawaf berdua dengan istrinya dan saya berdua dengan anak saya si Tengah. Tawaran itu saya terima.

Kamipun mulai thawaf. Manusia lebih padat lagi dari kemarin. Kami bergerak beringsut-ingsut di tengah-tengah lautan manusia yang subhanallah.... banyaknya. Sambil berzikir, berdoa dan kadang-kadang saya baca hafalan al Quran saya. Anak saya berpegangan di kain ihram sambil berzikir pula. Waktu saya lirik saya lihat matanya merah dengan air mata berlinang. Kami selesaikan putaran demi putaran itu dengan sabar. Udara lumayan panas karena sinar matahari pukul sepuluhan itu cukup terik. Akhirnya kami selesaikan ketujuh putaran itu dalam waktu lebih satu setengah jam. Sesudah selesai, seperti kemarin kami bergeser ke belakang sejajar dengan maqam Ibrahim untuk shalat sunat. Kami shalat di belakang rombongan jamaah lain yang juga sedang shalat. Orang ada saja yang melintas di depan kami. Tidak bisa dihindari. Bukankah mereka juga ada keperluan untuk ibadahnya, bukan sengaja untuk mengganggu. Dan seterusnya berdoa. Si Tengah pun panjang doanya. Dan katanya pula banyak permintaan teman-temannya untuk didoakan. Jadi dia doakan semua.

Setelah itu kami mampir di keran zam-zam yang sekarang baru saya tahu tempatnya. Kami minum dulu sebelum melanjutkan dengan sa’i.

Di tempat sa’ipun sepertinya lebih ramai dari kemarin. Kami jalani sa’i itu dengan sabar. Padatnya orang terasa betul ketika kami berada baik di bagian bukit Shafa maupun bukit Marwa. Hal ini disebabkan pula karena kebanyakan jemaah sengaja berhenti disana untuk berdoa. Mungkin karena kami mulai lebih awal dibandingkan dengan kemarin, hari ini kami selesai lebih awal pula. Saat hampir selesai kami lihat bapak dan ibu H yang juga sudah hampir selesai. Meskipun lumayan berdesak-desak, karena jamaah sa’i masih bergerak, saya mengajak pak dan ibu H untuk mencari tempat di jalur Marwa – Shafa. Kami dapat tempat terpisah-pisah dekat pintu masuk ke dalam mesjid. Sebenarnya bukan tempat lapang, karena tidak muat untuk berdiri dengan baik di antara dua orang jamaah yang sudah duduk. Saya pikir, biar nanti pada waktu shalat sunat, semua orang berdiri, tempat itu akan lebih baik.

Lalu terdengar azan. Orang yang sa’i mulai berhenti sambil menyambung shaf di jalan jalur sa’i. Tempat itu jadi agak longgar sedikit. Tapi bukan berarti lebih lapang untuk tempat shalat. Tempat itu hanya sekedar untuk diisi oleh jamaah yang tadi duduk berdempet ke depan dan ke belakang. Saya mendapat kira-kira lebih sedikit 60 senti untuk tempat sujud. Di depan agak ke samping ada beberapa orang jamaah wanita. Ya begitulah adanya.

Sesudah shalat zuhur kami keluar melalui pintu di samping Marwa karena kami berjanji untuk bertemu dengan ustad yang tadi mengantar di Pemadam Kebakaran dekat pintu itu. Dia belum kelihatan. Agak ke kanan sedikit terdapat tempat tukang cukur berjajar-jajar. Dengan tulisan ‘BARBAR SHOP’. Kemarin saya sudah ingin bercukur pendek, tapi antriannya agak panjang. Kali ini orang yang antri lebih sedikit. Saya beritahu pak H bahwa saya akan memotong rambut dulu dan minta agar dia menunggu sebentar. Saya masuk ke ‘BARBAR SHOP’ yang paling sebelah kiri. Dengan bahasa isyarat saya beritahu saya minta dicukur pendek. Dia tanya ‘knife or machine?’ Saya jawab ‘machine’. Five rial, dia bilang sambil menyuruh salah satu anak buahnya ‘menangani’ saya. Mungkin anak buahnya ini kurang cekatan menurut dia, mesin pencukur itu diambilnya dan dia langsung mencukur saya. Caranya mencukur terlalu kasar malahan, hingga hampir melukai telinga kanan saya. Saya peringatkan dia untuk berhati-hati. Mungkin dalam hitungan beberapa detik saja kepala saya sudah tercukur rata dengan sisa rambut yang tinggal setengah senti. Ini jatah untuk tahalul haji insya Allah. Waktu saya mau membayar, dia suruh saya membayar diluar. Kasirnya khusus menerima pembayaran saja di luar, sekalian bertugas memanggil calon client baru.

Ustad yang menemani kami ternyata sudah datang. Segera saja kami berjalan ke tempat mencegat taksi di terowongan seperti kemarin. Dengan taksi kami kembali ke pemondokan. Selesailah acara umrah si Tengah.



*****

1 comment:

Pengalaman di Adsense said...

Saya suka blog cerita haji begini. Kunjungi juga blog saya, ya. Dari penulis buku 40 Hari Di Tanah Suci.