Saturday, October 4, 2008

SANG AMANAH (1)

SANG AMANAH (1)

Sebuah cerita fiksi yang ditulis di tahun 2003. Dicoba menawarkan ke beberapa penerbit tapi belum berhasil diterbitkan. Sekarang dimuat di blog ini untuk dinikmati yang berminat. Cerita ini cukup panjang, hampir 500 halaman A4 dan akan saya muat secara bersambung.

1. Hari Perkenalan (1)

’Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian’. Begitu bunyi firman Allah Ta’ala di dalam Al Quran - Surat An Nabaa’ ayat 9 dan 10. Malam dan siang dipergantikan Allah kehadirannya. Kali ini fajar kembali merekah di ufuk timur. Hari sudah menjelang subuh. Kesunyian malam mulai diusik oleh kokok ayam bersahut-sahutan. Kelelawar-kelelawar, sang binatang malam, sudah puas memenuhi hasrat lapar mereka. Dengan perut kenyang sesudah memanen buah-buahan dari pohon yang tumbuh dimana saja, sekehendak mereka, kini mereka mengepakkan sayap bersiap-siap untuk pulang ke sarangnya. Langit cerah dihiasi bulan kurang setengah lingkaran yang baru muncul dari sebelah timur, di penghujung bulan Rajab, menurut perhitungan tahun qamariah. Langit sangat cerah tak berawan. Namun tidak banyak bintang-bintang yang terlihat karena pengaruh cahaya bulan. Udara yang di siang hari pengap menyesakkan, pada saat seperti ini terasa sejuk. Angin yang bertiup malas lebih menambah lagi kesejukan. Bulan di penghujung malam itu terlihat sangat cantik.

Bulan yang juga terlihat cantik di kompleks perumnas Jatiwangi Pondok Gede Bekasi. Sebagian besar penghuninya sedang menikmati tidur yang paling indah pada saat seperti itu. Di kompleks yang terdiri dari sekitar dua ratusan rumah. Rumah-rumah yang nyaris seragam ukuran dan modelnya. Penghuni kompleks ini terdiri dari kalangan menengah ke bawah, para pegawai negeri atau pegawai perusahaan swasta kecil. Perumahan ini dibagi menjadi beberapa blok yang dinamai mengikuti abjad mulai dari blok A sampai M. Warganya mewakili hampir setiap etnis yang ada di Indonesia, hidup dalam suasana rukun satu sama lain.

Di tengah-tengah kompleks itu terdapat sebuah mesjid yang oleh warga dinamai Mesjid Al Muhajirin. Mesjid mungil namun cukup asri yang dibangun dengan swadaya masyarakat. Menaranya menjulang tinggi dengan sosok yang kokoh bagaikan sebuah benteng, tempat penjaga mengawasi keamanan kompleks perumahan itu. Warga memanfaatkan mesjid Al Muhajirin dengan sebaik-baiknya untuk shalat lima waktu berjamaah. Lima kali sehari azan berkumandang melalui pengeras suara di puncak menaranya. Walaupun siang hari hanya dua tiga orang saja yang hadir shalat karena umumnya penghuni perumahan itu sedang sibuk mencari nafkah, tapi pada waktu-waktu subuh, maghrib dan isya jamaahnya lumayan banyak. Jamaahnya terdiri dari warga kompleks dan penduduk di sekitarnya.

Salah satu rumah disitu, di blok D3, dihuni oleh keluarga pak Umar Hamzah. Beliau ini seorang guru SMU yang sudah tinggal di sana sejak awal kompleks tersebut dibangun. Di rumah mungil ini kehidupan sehari-hari dimulai jam empat subuh. Ibu Fatimah biasanya yang paling dahulu bangun, disusul suaminya pak Umar. Kadang-kadang mereka bahkan bangun lebih awal lagi untuk melaksanakan shalat malam. Seperempat jam sebelum azan subuh baru bangun anak-anak mereka Faisal, Amir dan Fauziah. Begitu azan subuh berkumandang mereka bersama-sama menuju mesjid untuk shalat berjamaah. Di mesjid itu biasanya pak Umar bergantian jadi imam shalat dengan pak Abdus Salam yang tinggal di blok B.
Hari ini hari Senin. Seselesai shalat subuh ibu Fatimah bergegas pulang ditemani Fauziah untuk menyiapkan sarapan. Faisal dan Amir menyusul kemudian. Pak Umar biasanya selalu yang paling akhir keluar dari mesjid. Pagi itu pak Umar bahkan lebih terlambat lagi dari biasanya. Lama benar dia asyik dalam zikirnya yang panjang. Sarapan sudah dari tadi siap. Anak-anak sudah rapi dengan pakaian seragam sekolahnya masing-masing dan sudah duduk di meja makan yang mungil itu. Belum ada yang mulai makan. Semua menunggu ayah. Jam setengah enam kurang lima baru pak Umar masuk rumah. Ibu berseloroh begitu melihat ayah datang.

‘Berdebar juga hati abang rupanya. Panjang betul doa tadi. Apakah sekarang sudah mantap betul?’

‘Insya Allah. Kita serahkan segala urusan kepada Allah dan hanya kepada Allah kita bertawakkal. Maafkan ayah karena terlambat. Mari kita sarapan!’

‘Jadi hari ini ayah akan ke SMU 369 itu?’ tanya Faisal, si sulung.

‘Ya. Kemarin ayah ditelpon pak Suprapto, kepala sekolah SMU 369 itu. Dia meminta ayah datang hari ini. Dia ingin ayah mendampinginya di sana selama dua minggu terakhir masa dinasnya ini. Dan pak Eddi Supratman mengijinkannya.’

‘Hati-hati ayah. Murid SMU 369 itu terkenal bandel-bandel. Mereka kebanyakan anak orang-orang kaya,’ giliran Amir angkat bicara.

‘Dari mana kamu tahu?’

‘Itu sudah rahasia umum ayah. Semua orang tahu. Masak ayah tidak pernah dengar?’

‘Ya, ya. Ibu kalian benar. Sebenarnya berdebar hati ayah untuk pergi ke sana karena ayahpun tahu banyak tentang sekolah itu. Mudah-mudahan Allah memberi ayah kekuatan. Kalian tolong pulalah doakan.’

‘Tentu ayah. Kami semua ikut berdoa untuk ayah. Iyakan ‘bu? Iyakan kak?’ celoteh si bungsu Fauziah dengan jenaka.

‘Yaaa..yaaa, insya Allah,’ jawab yang lain seperti sedang paduan suara.

Sesudah sarapan semua bersiap untuk berangkat ke sekolah masing-masing. Pak Umar masuk kamar untuk berganti baju. Dia mengenakan baju putih bersih lengan panjang dan celana abu-abu yang terbaik dari koleksi pakaiannya. Tidak seperti biasanya kali ini dia memasang dasi. Ibu Fatimah kembali menggoda.

‘Benar-benar hari istimewa hari ini rupanya. Entah kapan terakhir kali abang menggunakan dasi.’

‘Ini untuk menghormati pak Suprapto. Hari-hari selanjutnya mungkin abang tidak akan memakai dasi ini. Apakah tidak pantas menurutmu?’

‘Pantas saja. Bahkan abang gagah kelihatannya. Apakah abang gugup?’

‘Entahlah. Tapi jantung abang berdebar-debar memang.’

‘Memangnya kenapa sih bang? Apa abang khawatir murid-murid di sana akan memusuhi abang? Kan belum tentu mereka semuanya bandel, bang.’

‘Bukan begitu. Ini awal dari amanah yang lebih berat Fat. Abang khawatir kalau-kalau nanti abang tidak kuat memikulnya.’

‘Bukankah Allah sebaik-baik Penolong dan sebaik-baik tempat memohon?’

‘Betul. Dan abang sudah memohon. Abang berdoa agar abang diberi kekuatan memikul amanah ini.’

‘Kalau begitu biarlah kita serahkan sepenuhnya kepada Allah, bang. Tidak ada yang sulit bagi Allah.’

‘Kamu benar Fat. Bismillah. Baiklah, abang berangkat sekarang.’

‘Bertawakkal kepada Allah, bang!’

‘Bismillahi tawakaltu’alallah. Assalamu’alaikum.’

‘Wa’alaikum salam.’

Faisal dan Amir setelah mohon pamit kepada kedua orang tuanya, telah berangkat bersama-sama lebih dahulu pada jam enam kurang seperempat. Mereka sekolah di sekolah yang sama di SMP 501. Faisal kelas tiga dan Amir kelas satu. Keduanya berjalan kaki ke gerbang kompleks dan dari sana naik angkot sampai ke depan sekolah. Sekolah mereka terletak kira-kira empat kilometer dari rumah. Mereka selalu bersama-sama. Kalau Faisal tidak ada kelas tambahan di siang hari, Amir menunggunya untuk pulang bersama-sama.

Fauziah yang masih duduk di kelas empat SD berangkat bersama ayah, berboncengan naik Vespa. Setelah mengantar Fauziah, pak Umar menuju SMU 369 yang jaraknya kira-kira 7 km lagi. Berkendaraan Vespa di Jakarta memang lebih praktis untuk menghadapi kemacetan meski beresiko menghirup udara kotor terpolusi. Tapi pak Umar sudah terbiasa dengan semua itu. Dia cukup menutup hidungnya dengan sapu tangan yang diikatkan kebelakang kepala sebelum ditutupi helm. Lumayan untuk sedikit menyaring udara yang penuh dengan CO2 itu masuk ke paru-paru. Dan untuk menahan angin dari depan pak Umar memakai jaket yang di dalamnya ditambah dengan lipatan koran. Seperti itulah selalu cara berpakaian pak Umar kalau mengendarai Vespa. Tasnya yang cukup besar diletakkan di dek Vespa. Tas ini nanti akan menampung jaket yang dipakainya. Vespa tua ini sudah jadi bagian dirinya semenjak masih mahasiswa dua puluh tahun yang lalu, mengantarkannya kemana-mana.

*****

No comments: