Friday, December 12, 2008

SANG AMANAH (91)

(91)

‘Mengenai memanjat dinding yang curam, kelihatannya perlu juga dilatih, pak. Bukankah tadi bapak mempraktekkannya waktu turun naik menolong pak Sofyan?’ Edwin ikut menambahkan.

‘Betul juga. Tapi cukuplah untuk sekedar bisa saja. Untuk digunakan pada waktu terpaksa seperti tadi sore. Saya tidak bakalan mengajak kalian berlatih di Citatah atau di Padalarang misalnya. Para alpinist itu, memanjat tebing batu yang terjal itu dengan bantuan alat pengaman yang minimum. Yang tadi saya lakukan turun ke bawah tebing dengan bantuan tali yang sudah diikatkan dan diyakini aman. Jadi jelas berbeda,’ jelas pak Mursyid.

‘Jadi sebenarnya perlu ada latihan-latihan fisik secara khusus juga sebelum ikut dalam kegiatan Grup Pencinta Alam seperti ini, pak Mursyid. Paling tidak latihan untuk mencegah kejang otot dan sebangsanya. Bisa dibayangkan betapa akan menyulitkan sekali kalau ada di antara anak-anak yang ikut serta tiba-tiba kram atau nyeri otot pada saat berada di puncak gunung, karena tidak biasa berjalan jauh. Saya berkali-kali mengingatkan Anto untuk latihan seperti itu, waktu kami menyetujui dia ikut dalam acara hari ini,’ komentar ibu Ningsih.

‘Ibu benar sekali. Perlu fisik yang terlatih untuk ikut dalam kegiatan seperti ini. Itu sudah saya ingatkan kepada anak-anak ini. Agar sebelum mendaki gunung seperti tadi siang, mereka sudah latihan pemanasan dulu. Bisa dengan latihan lari, bisa dengan latihan berjalan kaki. Dan syukurlah, tadi semua baik-baik saja, diluar kejadian yang menimpa pak Sofyan,’ jawab pak Mursyid.

‘Saya hanya latihan lari-lari di sekeliling rumah saja pak. Lebih kurang seperempat jam setiap sore,’ ungkap Anto.

‘Itupun sudah cukup,’ jawab pak Mursyid.

‘Tapi ngomong-ngomong, kok tiba-tiba ada babi hutan itu muncul. Kira-kira kenapa ya pak Mursyid?’ tanya pak Suryanto.

‘Namanya juga di tengah hutan pak. Di samping itu, barangkali karena hari sudah sore. Umumnya babi hutan itu keluarnya malam. Dan yang tadi itu kalau saya tidak salah lihat, sepasang. Jantan dan betina. Mungkin lagi masa berahi. Sebenarnya saya lebih takut lagi kalau ada yang sampai diseruduk babi hutan itu. Babi hutan kalau berlari pasti menyeruduk lurus ke depan. Mereka tidak bisa memutar arah kalau sedang berlari. Kita bisa menghindar dengan mudah kesamping dari arah serudukannya. Harus tenang dan tidak panik. Tadi waktu saya mendengar suara tapak binatang berlari saya sudah tahu, itu pasti babi. Saya berteriak menyuruh semua waspada.‘

‘Pak Sofyan benar-benar lagi apes. Dia yang juga mengingatkan orang lain malah tersenggol orang yang diingatkan dan terpeleset masuk jurang.’

Perbincangan itu masih dilanjutkan selama perjalanan ke Jakarta. Sampai di Jakarta mereka langsung menuju ke rumah pak Sofyan untuk memberi tahu keluarganya tentang musibah itu. Ternyata keluarga pak Sofyan sudah lebih dulu diberi tahu pak Darmaji. Pak Mursyid memberi tahu bahwa dia bersedia mengantarkan ibu Sofyan ke Cimande besok pagi. Anto menawarkan diri untuk mengantarkan. Pak Mursyid senang sekali dengan tawaran itu, karena dia tidak punya mobil. Besok mereka akan berangkat jam sembilan pagi.

Dari rumah pak Sofyan mereka mengantar pak Mursyid dan Edwin. Baru sesudah itu terus pulang dan sampai di rumah jam sebelas malam. Sebuah pengalaman yang sangat berharga diperoleh Anto hari ini.


*****

Seusai shalat subuh, pak Lukito yang sudah agak lama menunggu datang menghampiri pak Umar. Sebenarnya pak Umar belum selesai dengan zikirnya, tapi melihat pak Lukito ingin menyampaikan sesuatu, dia mengakhiri zikir itu dan tersenyum ramah ke arah pak Lukito.

‘Ada berita buruk, pak. Apa bapak sudah tahu?’ tanya pak Lukito.

Pak Umar mengernyitkan keningnya.

‘Tentang apa pak Lukito?’ tanyanya.

‘Tentang musibah yang menimpa pak Sofyan guru SMU 369. Dia jatuh ke jurang waktu berwisata ke gunung Salak kemarin. Dia berhasil diselamatkan tapi harus digotong muridnya beramai-ramai dari tempat kejadian.’

‘Inna lillahi wainna ilaihi raaji’uun. Pak Lukito dengar dari siapa?’

‘Adik saya baru saja menelpon, sebelum shalat subuh ini. Anak dari adik saya itu, murid bapak juga, bernama Darmanto, ikut rombongan mendaki gunung itu. Dia yang menceritakan. Dan adik saya meminta agar saya memberi tahu bapak,’ lanjut pak Lukito.

‘Apakah dia bercerita bagaimana keadaan pak Sofyan? Atau apa saya boleh tahu nomor telepon adik pak Lukito itu?’ tanya pak Umar lagi.

‘Menurut keponakan saya itu tangan dan kaki pak Sofyan patah. Nomor telepon adik saya itu ada pak. Sudah saya tulis di sini untuk pak Umar,’ ujar pak Lukito sambil menyerahkan secarik kertas.

‘Terima kasih pak Lukito. Saya segera menelponnya. Sekali lagi terima kasih atas berita ini. Saya akan pergi mencari informasi yang lebih jelas segera.’

Pak Umar bergegas pulang. Sampai di rumah dia langsung menelpon adik pak Lukito. Ternyata Darmanto sendiri yang mengangkat. Pak Umar diberi tahu secara ringkas tentang kejadian kemarin. Bahwa mereka berpisah di Cidahu dan pak Sofyan kemarin sore dibawa pak Mursyid dengan ditemani Adrianto dan Edwin untuk diurut di Cimande. Darmanto tidak tahu apakah pak Sofyan dibawa pulang tadi malam atau belum.

Pak Umar segera menelpon pak Mursyid sesudah itu. Beberapa kali dia coba memutar nomor telpon pak Mursyid tapi tidak ada yang mengangkat. Pak Umar ragu-ragu mau menelpon ke rumah pak Sofyan. Rasanya tidak tega mau menanyakan keadaan pak Sofyan langsung ke istrinya, khawatir kalau-kalau keadaan pak Sofyan gawat. Pak Umar akhirnya ingat untuk menelpon rumah pak Suryanto. Dia ingin bertanya kepada Adrianto. Ibu Ningsih yang mengangkat. Waktu pak Umar mengatakan ingin bicara dengan Adrianto, ibu Ningsih langsung tahu maksudnya.

‘Adrianto tidur lagi sehabis shalat barusan, pak. Pak Umar ingin mengetahui keadaan pak Sofyan?’ tanya ibu Ningsih.

‘Betul sekali bu. Apakah…… kira-kira Adrianto bisa dibangunkan? Saya ingin mengetahui bagaimana keadaan pak Sofyan, karena saya dengar Adrianto ikut mengantarkannya bersama pak Mursyid kemarin.’

‘Kebetulan tadi malam saya ikut dengan suami saya menjemput Adrianto sambil sekalian melihat keadaan pak Sofyan di Cimande. Jadi begini, pak. Tangan kiri pak Sofyan patah. Tangan kanan dan kakinya keseleo. Waktu saya lihat tadi malam, dia sudah selesai diurut oleh tukang urut patah tulang dan tukang urut untuk keseleo. Hanya saja pak Sofyan belum pulang karena oleh bapak tukang urut itu disuruh tinggal dulu untuk dirawat di sana. Mungkin untuk dua tiga hari. Kecuali patah tangan dan keseleo itu, keadaan pak Sofyan cukup baik. Maksud saya tidak ada luka-luka.’

‘Dimana tempat dia dirawat itu bu Ningsih?’

‘Di Cimande, pak. Di jalan ke Sukabumi, kira-kira sepuluh kilo dari Ciawi ada jalan ke kiri. Nama desanya Cimande,’ jawab ibu Ningsih.

‘Baiklah bu. Terima kasih informasinya. Salam saya untuk bapak. Assalamu’alaikum.’

‘Terima kasih kembali pak. Wa’alaikumsalam.’

Setelah itu pak Umar langsung berkemas-kemas. Dia akan pergi ke Cimande. Melihat keadaan pak Sofyan. Ibu Fatimah buru-buru menyiapkan sarapan. Sambil sarapan mereka berbincang-bincang.

‘Abang tidak mau menelpon ibu Sofyan?’ tanya ibu Fatimah.

‘Abang rasa dia belum melihat keadaan suaminya. Biarlah abang berangkat saja dulu melihat pak Sofyan. Kasihan betul dia.’

‘Abang mau naik bus umum ke sana, kan?’

‘Iya. Abang akan ke Kampung Rambutan dan dari sana naik bus jurusan Sukabumi. Abang tahu kok letak desa Cimande itu,’ jawab pak Umar.

‘Ayah mau ditemani?’ tanya Faisal.

‘Tidak usahlah. Biar ayah pergi sendiri saja,’ jawab pak Umar pula.

‘Abang mau langsung berangkat?’

‘Iya. Lebih baik abang berangkat pagi ini. Kalau sudah melihat keadaan pak Sofyan, dan tidak ada apa-apa, abang akan segera pulang.’

‘Hati-hati di jalan bang. Tolong sampaikan salam untuk pak Sofyan. Mudah-mudahan dia cepat sembuh.’

‘Baik. Nanti abang sampaikan. Abang berangkat sekarang.’

Hari menunjukkan pukul setengah tujuh waktu pak Umar berangkat dari rumah. Dia naik becak ke jalan raya Kali Malang dan naik angkot ke Kampung Rambutan. Dari sana seperti rencana semula naik bus umum jurusan Sukabumi dan akhirnya naik ojek dari jalan raya Sukabumi ke desa Cimande. Jam sembilan lebih sedikit pak Umar sudah sampai di desa itu dan langsung menuju ke rumah tempat pak Sofyan dirawat.

Pak Sofyan kaget bercampur gembira dengan kedatangan pak Umar. Keadaannya sudah lumayan. Pak Sofyan bercerita panjang tentang kejadian yang menimpanya kemarin.


*****


Seperti yang dijanjikan, besoknya Anto menemani pak Mursyid, ibu Sofyan dan kedua anak pak Sofyan ke Cimande. Jam sepuluh pagi mereka sudah sampai di sana. Agak kaget mereka mendapatkan pak Umar sudah berada di tempat itu. Pak Sofyan sudah banyak sekali kemajuannya. Dia sudah bisa berjalan meski agak terseok-seok. Begitu pula dengan tangan kanannya sudah bisa dipakai memegang. Anak-anak pak Sofyan sangat sedih melihat keadaan ayahnya. Kelihatan air mata mereka berlinang-linang. Tapi pak Sofyan segera menghibur mereka.

‘Ayah kenapa , yah?’ tanya Dita, anak pak Sofyan yang sulung dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi kaki pak Sofyan.

‘Ayah kena musibah. Ayah jatuh ke lembah. Makanya tangan ayah patah. Tapi sekarang ayah sudah baikan. Kemarin ayah ditandu ramai-ramai dari gunung karena ayah tidak bisa berjalan. Kaki ayah keseleo. Sekarang alhamdulillah, ayah sudah bisa berjalan kembali,’ jawab pak Sofyan menghibur.

‘Katanya ayah dikejar babi hutan. Apa iya ayah?’ tanya Reza, anaknya yang kecil.

‘Bukan dikejar babi. Ada babi hutan, dua ekor berkejar-kejaran. Kami sedang dalam perjalanan menuju pulang dan mendengar derap langkah binatang dari dalam belukar. Semua melihat ke arah datangnya suara itu yang ternyata dua ekor babi hutan. Waktu babi itu mendekat, ayah menyuruh anak yang persis di hadapan babi itu meloncat. Anak itu meloncat ke arah ayah dan tidak sengaja mendorong ayah. Ayah kehilangan keseimbangan. Nggak tahunya di samping ayah ada tebing curam. Ayah terguling dan jatuh ke sana. Untung badan ayah tertahan oleh pohon di bawah itu. Dan sesudah itu ayah ditolong om Mursyid. Benar-benar karena pertolongan Allah, ayah selamat.’

‘Tapi kan ayah kesakitan jadinya,’ ujar Dita.

‘Tidak apa-apa. Mudah-mudahan besok-besok ayah sembuh. Kita berdoa kepada Allah.’

‘Berapa tinggi jatuhnya, bang?’ tanya ibu Sofyan.

‘Mungkin ada sekitar sepuluh meter, ya pak Mursyid?’

‘Lebih kurang sepuluh meter,’ jawab pak Mursyid.

‘Terus katanya ada ular pula?’ tanya ibu Sofyan

‘Iya. Abang sampai tidak bisa bersuara, saking takutnya. Pak Mursyid mula-mula sudah turun dengan tali mau menolong abang. Tapi abang tidak bisa apa-apa. Tangan abang yang kanan ini tidak bisa memegang, sakit sekali. Tadinya pak Mursyid mau mengikat abang untuk ditarik dari atas. Tapi nggak jadi karena kalau abang tidak bisa berpegangan takut nanti terantuk-antuk ke kayu dan ranting di pinggir tebing itu. Banyak ranting-ranting kayu di sana. Akhirnya pak Mursyid naik dulu mau membuat tali dari pelepah pisang, karena satu tali tidak cukup buat berdua. Waktu pak Mursyid naik itulah, tiba-tiba kaki abang sudah dijalari ular. Ngeri sekali. Abang tidak sanggup berteriak. Untung pak Mursyid datang kembali. Oleh pak Mursyid ular itu diusir pakai tongkat berapi. Untung ular itu tidak memberi perlawanan dan segera pergi.’

‘Terima kasih banyak om Mursyid. Telah menyelamatkan ayah,’ ujar Dita.

‘Terima kasih kembali Dita,’ jawab pak Mursyid tersenyum.

‘Tentang ular itu lagi, jadi ular itu belum sempat apa-apa?’ tanya ibu Sofyan.

‘Kayaknya dia baru akan melilit kaki abang. Kaki abang sakit sekali dan tidak bisa digerakkan. Mungkin karena kaki abang panas, dia ingin melilitnya dulu, tidak langsung menelan. Pokoknya benar-benar ngeri,’ kata pak Sofyan.

‘Ya, syukurlah bang. Abang terhindar dari musibah yang lebih besar. Betul sekali pak Mursyid, seperti kata Dita. Kami sangat berterima kasih atas pertolongan pak Mursyid,’ tambah ibu Sofyan.

‘Kami kan dalam satu rombongan, bu. Dalam satu rombongan besar. Jadi merupakan tanggung jawab bersama ketika ada anggota grup yang mendapat kesulitan. Saya juga bersyukur sekali pak Sofyan berhasil diselamatkan dari bahaya yang lebih besar. Kita benar-benar wajib bersyukur untuk itu,’ kata pak Mursyid.

Sedang mereka berbincang-bincang itu datang pula pak Darmaji dan ibu Rita. Keduanya menyalami pak Sofyan. Ibu Rita menyampaikan rasa prihatin atas musibah yang menimpa pak Sofyan. Rumah si Abah jadi bertambah ramai dengan tamu-tamu itu. Tapi si Abah itu ramah sekali. Dia menyambut tamu-tamu itu dengan hangat dan ikut ngobrol dengan mereka. Si Abah sangat menghormati mereka, guru-guru itu. Orang-orang yang menurut si Abah sangat patut dihormati.

Mulanya pak Umar mau pamit untuk pulang duluan. Tapi dicegah pak Mursyid. Kata pak Mursyid lebih baik bersama-sama saja nanti kembali ke Jakarta. Ikut mobilnya Adrianto. Pak Umar menerima tawaran itu.

Rombongan tamu-tamu itu menunggui pak Sofyan sampai selesai shalat zuhur, untuk memberi kesempatan kepada Dita dan adiknya Reza bersenda gurau dengan ayah mereka. Pak Sofyan diminta si Abah tinggal sampai hari Rabu untuk menuntaskan perawatan tangannya yang patah itu. Si Abah sangat optimis tangan pak Sofyan akan segera baik.

‘Harus sabar sajah. Namanya juga musibah. Tidak apa-apa, insya Allah nanti juga sembuh,’ ujar si Abah memberi semangat.

Ya, memang itulah yang terbaik. Sabar. Dan berdoa. Ibu Sofyan dan anak-anaknya tabah menerima musibah yang menimpa. Akhirnya, sesudah shalat zuhur di mesjid dekat rumah si Abah, rombongan itu kembali ke Jakarta. Pak Umar diajak pak Darmaji dan ibu Rita ikut bersama-sama di mobil ibu Rita.


*****

No comments: